Seorang berjaket hitam dengan tudung jaketnya yang menutup kepala berjalan santai dengan tangan dimasukkan ke saku. Manik violet-nya yang cantik melirik-lirik lingkungan sekitar—taman rindang itu, pertigaan-perempatan yang dilewati, kedai-kedai, semua itu segera di-capture kepala agar selalu ingat.
Pemilik helai violet itu—sebut saja Dokuro Mammon—menghela napas, ia bosan sekaligus lelah tak menemukan jalan pulang. Sialan si Chrome dan Fran yang memaksanya jalan-jalan di kota kecil ini dengan alasan random 'mengenal lingkungan hidup baru' dengan ending menyebalkan berupa Mammon yang terpisah dari mereka.
Panik, tentu. Tapi bukan karena dua adiknya, melainkan dirinya yang tak ingat jalan pulang—ia berada di bagian Namimori yang belum pernah dikunjungi.
Mendecih, dalam hati ia bersumpah akan menguras tabungan dua kecebong itu.
Kedua alisnya sedikit terangkat mendapati beberapa hal familiar, Mammon terus berjalan, hingga ia sampai di depan sebuah bangunan yang juga familiar. Di gerbangnya tertulis sebuah papan bertuliskan 'Namimori Senior Highschool'.
Ah, Mammon ingat; ini tempatnya mendaftar kemarin, dengan kata lain, di mana ia akan menuntut ilmu dalam tiga tahun ke depan.
Mammon menatap gedung sekolahnya, cukup tinggi, mungkin ia bisa melihat apartemennya dari sana. Gerbang yang dikunci tak jadi masalah, ia dengan santai melompat di atasnya.
GREB!
"Muu! Sia—"
—BRUKK!
Mammon ditarik turun dari atas gerbang dengan kasar, membuat punggungnya mencium tanah dengan keras.
Sekelompok laki-laki berwajah sangar kini berada di hadapan si tudung hitam, mereka memakai baju dan menggunakan model rambut yang sama. Mata-mata sipit orang itu menatap garang ke arahnya, seolah dirinya penjahat yang mencuri harta mereka.
"M— muu! Menjatuhkanku seperti itu, artinya kalian ingin isi dompet kalian lenyap." Rasa sakit di punggung mereda, Mammon berusaha berdiri, kelompok di depan ditatap dengan dingin.
"Beraninya kau menerobos masuk ke sekolah! Itu pelanggaran!" seru salah satu pria di kelompok itu.
Mammon memberikan tatapan bosan. "Kukira preman, ternyata hanya penjaga sekolah—oh, atau harus kusebut para school complex? Muu, itu lucu." Senyum mengejek mengembang di wajah cantiknya.
Ucapan Mammon rupanya mengundang rasa marah dari para berandal, seorang dari mereka langsung mengumumkan. "Kita habisi dia."
Mammon tersentak kaget dan sialnya belum ia sembuh dari rasa sakit di punggungnya. Gerombolan berandal school complex mendekat padanya dalam bentuk lingkaran, membuat Mammon tak memiliki celah untuk kabur.
"Tenang dulu, semuanya. Kurasa yang ini hanya tak tahu daerah ini." Sebuah suara menyentak setiap manusia yang hendak menyergap Mammon.
Pemuda berambut violet itu menyipitkan matanya yang juga memiliki warna senada. Sebuah bunyi tapak kaki yang mendarat mulus di tanah terdengar, namun tak berat dan begitu anggun. Suara tapak kaki pun menyambungnya, bahkan langkah ini terdengar begitu menawan bak langkah seorang bangsawan di lorong istana kerajaan. Sesosok pemuda berambut hitam yang dikepang rapi muncul tiba-tiba, yang lain menyingkir seolah memberi jalan.
"Oh?" Sebelah alis pemuda berkepang itu naik satu. "Aku tak menyangka akan menemukan mainan baru."
Mammon mau tak mau meneguk ludah, tapi jangan harap ia akan menampakkan ketakukan di hadapan lawannya.
"Anak buahmu itu mengganggu perjalananku, Sialan," kata Mammon sinis. "Kau berhutang karenanya."
"HEI! Beraninya kau dengan—"
"Oh? Kau lebih menarik dari kelihatannya," potong pemuda berwajah kental Asia itu seraya mengukir seringai yang lebih lebar. Ia menyuruh para tikus tadi diam, kemudian berjalan mendekat ke arah pemuda pemilik manik ungu menawan di depannya. Mammon meneguk ludah samar, ia memundurkan langkahnya sedikit.
Pemuda Asia itu tertawa kecil karenanya. "Takut?" tantangnya.
"Apa maksud—"
—GREP!
Dengan satu hentakan, pemuda berkepang itu mengunci pergerakan Mammon, menatap langsung matanya yang indah bak kopian permata langka, kemudian mengulas seringai lebar bak predator buas yang lapar.
"Kau bilang aku berhutang sesuatu kan?" tanya pemuda itu memastikan. Mammon tak menjawab, suaranya tersekat. Namun itu tak membuat itu terhenti begitu saja, pemuda berkepang itu terus mempertahankan seringainya.
"Jadi," si pemuda Asia mendekatkan wajahnya, "bagaimana jika kubayar hutangku itu dengan satu ciuman darimu huh, Gadis permata violet?"
Sontak, manusia bertudung hitam itu membelalakan matanya, namun dengan cepat rasa terkejut disamarkan. Ia menatap pemuda berkepang dingin, ada sirat benci dalam permata violet itu.
"Kau bercanda?" tanya Mammon, ada sedikit nada mengejek di suara datarnya. Pria yang mengucinya menyeringai.
"Apa kau mencoba mengulur waktu untuk menemukan celah, nona?" sahutnya. Mammon menggerutu dalam hati, kesal rencananya diketahui. Untuk orang sialan, pemuda Asia ini tidak buruk-atau mungkin lebih pintar dari yang disangka.
"Tak masalah, Manis. Basa-basi membuat semuanya terasa lebih nyaman," pemilik surai hitam itu memajukan wajahnya lagi. "...apalagi sebelum ciuman pertama, kan?"
Desakan aneh dalam dada Mammon meluap dengan gila.
"Oh, kau tahu aku tak pernah ciuman? Sebenarnya siapa kau, peramal?"
"Mungkin, tapi dalam kasus ini aku hanyalah seorang yang ingin membayar hutangku pada gadis cantik." Suara berat milik pemuda Asia menjawab, Mammon menyeringai dalam hati.
"Oh, sungguh pemuda yang baik." Dia memutar bola matanya bosan. "Sebelum itu, bisakah kau menerawang hal lain dalam diriku, Tuan Peramal yang ingin membayar hutangnya?"
"Oh, apa aku melewatkan hal lain?" Pemuda Asia itu menaikkan sebelah alisnya.
"Sangat. Dan kuharap itu bisa segera membuatmu berubah pikiran mengenai bayar hutang sintingmu," desis Mammon. Sadar atau tidak, cara pemuda itu menguncinya terlalu kuat dan ia yakin ia tak bisa melepaskannya dengan mudah.
"Begitu. Tapi kurasa aku juga kehabisan waktu."
Mammon tidak ingat apa pun lagi. Ia merasakan hal lain yang menyentuh bibirnya, namun ini penuh hasrat yang diaduk bersama nafsu. Bibir pemuda itu menciumnya, begitu dingin dan lembab, Mammon bisa merasakan rasa bibir itu dan...
...satu-satunya kesempatan kabur yang ada.
Pemuda violet itu menendang si pemuda Asia hingga pemuda itu melepas ciumannya dan berada dalam jarak beberapa langkah dengan Mammon. Mammon nyaris gila, ciuman pertamanya diambil berandalan berdarah Asia? Padahal dia sudah menyisakan itu untuk setidaknya putri bangsawan kerajaan yang punya segunung harta!
"Brengsek, aku laki-laki, Sialan!" umpat Mammon akhirnya. Pemuda itu menyentuh bibirnya dengan punggung tangan, merasakan sensasi lain yang tadi menjalar dalam saraf dan sel di tubuhnya.
"KAU! MATI SAJA KA—"
"Hoo? Laki-laki, eh?" tanya pemuda Asia itu membeo pernyataan Mammon. Ia menatap lurus manik violet Mammon yang tersembunyi dengan manik karamelnya, seringai tadi masih tersisa namun tak begitu buas dari yang pertama.
"Aku bahkan tak menyangka ada laki-laki yang memiliki bibir semanis itu," kekehnya kecil.
Ia berbalik sebelum Mammon sempat mengumpatnya. "Ayo pergi."
"E- eh? T- Tunggu dulu, Fon-sama!" Tikus-tikus itu kembali mengikuti. Mammon tertegun dan mencerna apa yang terjadi. Namun tak ada apa pun yang berhasil ia terima kecuali ciuman itu dan...
"Fon, eh?"
Title : Candu
Disclaimer : Katekyou Hitman Reborn by Amano Akira
Pairing : FonMammon
Warning : HighSchool!AU, BL, OOC, typo yang terlewat mata, bad!Fon, dan hal lainnya.
Selamat menikmati~
Mammon melempar tasnya sebelum mendudukkan dirinya di kursi. Tidak ada siapa-siapa di kelasnya, sepertinya pemuda itu datang terlalu pagi. Dan tebak, di hari yang sangat pagi ini sudah ada berandalan sialan di sekolah yang menyapanya dengan seringai memuakkan. Setahunya manusia pembuat onar sepertinya pasti datang terlambat. Siapa pria Asia tadi, berandal teladan?
Menghela napas, tangan pemuda bertudung menyentuh bibirnya, sentuhan kecil pada benda kenyal itu memanggil kejadian sinting sekaligus sosok bajingan yang menyapanya di gerbang tadi. Mammon menggebrak mejanya karena terbawa emosi.
"Yang benar saja! Si brengsek itu... Fon...!" tangannya mengepal kuat hingga berwarna putih pucat, seiring detik wajah memerah marah. Baik, siapa yang tidak marah mengingat seorang berjenis kelamin sama mengambil ciuman pertama? Ada apa ini, April Mop? Tidak lucu.
"Oh, lantas kau mau apa, Nona?" Suara itu sangat dikenal oleh Mammon—jujur saja dia tak akan lupa. Di depan pintu seseorang bersandar bersama senyum semi seringai yang ditujukan ke arahnya.
"KAU!"
"Iya, ini aku; orang brengsek yang mengambil ciuman pertamamu, Nona."
Tatapan pada pemuda Asia—Fon—menajam. "Bukankah sudah kubilang fakta tentang gender-ku? Apa kepalamu terbentur hingga melupakannya?"
Tawa kecil. "Tidak juga, aku senang saja memanggilmu nona."
"Nona, ya? Lucu sekali, kalau begitu layani aku sebagai nonamu." Manik violet melirik sekitar, mencari sesuatu yang bisa dilemparkan ke wajah sialan di depan pintu sana.
Pemuda itu menahan tawanya. "Memperlakukanmu sebagai nonaku?" ulangnya dengan seringai bak pencari mangsa. "Kalau itu sih, aku akan memintamu ke gudang sekolah dan menari telanjang untukku. Bagaimana, Nona?"
Mammon nyaris saja memuntahkan kembali sarapan paginya yang sungguh sangat disayangkan untuk dikeluarkan kembali karena terdapat susu stroberi di dalamnya.
"ENYAH SAJA KAU KE NERAKA, SIALAN!" hardiknya murka. Ingin sekali ia melempar kursi di dekatnya, tapi mengingat bagaimana pemuda itu dapat menguncinya dengan secepat kilat, pasti mustahil benda kayu itu mampu setidaknya mematahkan tulangnya.
Fon kembali tertawa. "Kau yang pertama meminta...," ada jeda di sini, "...Mammon."
"T- tahu darimana kau?" tanya Mammon tersekat.
"Namamu terpampang jelas di urutan kursi kelas yang dipasang di jendela," Fon menaikkan sebelah alisnya. "Dan soal ke neraka, ini sudah di neraka lho, Nona."
"Berhenti memanggilku 'Nona' atau aku akan teriak ada hidung belang pelaku pemerkosaan yang tengah mabuk di sini," ancam pemuda violet itu tajam.
"Ouch, sungguh kejam," kekeh Fon. "Aku bukan hidung belang jika kau merasa begitu, aku hanya membayar hutang. Kau yang pertama mengatakannya, jadi terima saja hal itu. Itu kesalahanmu," ujarnya enteng.
Mammon mendecih. "Jika kau anggap memberiku ciuman adalah membayar hutang, aku tak bisa bayangkan seberapa sakit otakmu," sahutnya tak mau kalah.
"Benarkah? Aku bukan orang gila nona—"
BRAKK!
"Kubilang berhenti memanggilku begitu," Mammon berucap datar setelah tangannya menggebrak meja. Namun protesnya tak dianggap oleh pemuda berkepang.
"—kebanyakan wanita pasti merasa terhormat kuberi ciuman ditambah kupanggil 'nona'..." Fon mengambil langkah, suara langkah kakinya bagai daun yang menyentuh tanah, "dan kau menolak semua itu."
Tubuh atletis itu semakin dekat, Mammon sebisa mungkin mempertahankan poker face-nya.
"Hal itu membuat ada seorang yang lebih sakit otak di sini." Langkah berhenti saat dirinya berada sekitar satu meter di hadapan pemuda bersurai violet.
"Itu menurutmu, tidak berlaku untukku." Mammon menyelipkan helai violet-nya ke belakang telinga dengan—tanpa disadarinya—gerakan anggun. Pemuda Asia tak sadar sedikit terpesona karena itu.
"Dan mengingat aku laki-laki, kau tak bisa protes mengenai pesona memikat wanita-mu itu tidak mempan." sambung Mammon seraya menutup mata, tak menyadari ada langkah tanpa suara mendekatinya.
"Aku tak yakin, Nona."
Gerakan secepat apa yang berandalan itu punya Mammon tak paham, yang ia tahu tiba-tiba saja mereka sudah dalam posisi paling mengundang yang pernah ada di mana Fon menyudutkannya di meja dengan kedua tangan menghalangi jalan keluarnya.
"Kau tahu apa yang membuat seorang berandal tetap menjadi berandal?" tanya Fon kalem namun penuh bisa. Mammon mendecih.
"Itu karena kami mengejar apa yang belum kami dapatkan, sampai kami benar-benar membuatnya bertekuk lutut." Seringai itu melebar, jarak wajah mereka menipis dan—
—PLAK
"Goda saja para pelacur di luar sana, Keparat," desis Mammon benci. Ia pergi dan membiarkan Fon masih memegangi pipi hasil tamparannya.
"Menarik," ucap Fon seraya mengulas seringai untuk ke sekian kali.
"Kau akan kudapatkan, Nona," janji Fon sembari menatap Mammon yang bergerak menjauh. Pemuda violet itu terdiam sejenak, kemudian kembali melangkah.
"Jangan lupa membereskan kelas semi kapal pecah itu, Berandal Brengsek."
"Bagaimana kalau kukatakan aku tidak peduli?" Fon menyusul berjalan ke arah pintu keluar.
Mengindikasikan kalau dirinya kurang paham—ia tahu ada maksud lain dalam perkataan berandal itu, Mammon berkata singkat tanpa mengalihkan pandangan. "Permisi?"
"Ini bukan kelasku." Fon berhenti tepat di samping pemuda cantik. Mammon hanya ber-'hm' bosan. Sebenarnya itu merupakan berita bagus baginya.
Pria berkepang menatap sosok lebih rendah di samping. "Asal tahu saja, faktanya aku adalah anak kelas dua."
Mammon memutar bola matanya bosan. "Lantas?"
"Bersikaplah lebih sopan dan penurut, Kouhai manis."
"Bagaimana kalau kubilang aku tak sudi?" Pemilik permata warna cerah itu memasang tudung jaketnya yang tadi sempat jatuh. "Lagipula itu hanya status, secara pribadi aku tidak—dan tak akan pernah sudi bersikap baik padamu—" Mammon melirik Fon dengan tatapan dinginnya yang menusuk. "—Senpai."
Kemudian sosok berbalut jaket hitam itu menjauh, meninggalkan pemuda berkepang bersama seringai dan perasaan tertantang yang tanpa sadar ditinggalkan Mammon sebagai hadiah.
"Kau ditampar?!" ulang Colonello setelah Fon bercerita soal ciuman dan penamparan hasil berhadapan dengan salah satu adik kelas mereka.
"Heh, jangan bilang kau sudah mulai lurus, Fon," ucap Reborn sambil memandangi rekannya itu dengan tatapan merendahkan.
"Aku tak pernah ingin lurus, Reborn," sergah Fon sembari membersihkan lebamnya. "Aku hanya merasa dia terlalu menarik untuk dibalas."
"Heh, itu sih kaunya saja yang lembek, kora!" semprot Colonello sembari melipat kedua tangannya di depan dada.
"Kalau aku mau, aku sudah memperkosanya di tempat, Colonello," kata Fon tenang.
"Lantas kenapa tak kau lakukan?" tantang Reborn seraya memainkan ujung fedora-nya.
"Lebih menarik mendekatinya dengan berbagai cara dulu sebelum mencicipi tubuhnya, kan?" Fon mengukir seringai.
"Yaah, memang benar sih." Mau tak mau Colonello mengakui.
"Lagipula," Fon mengelus lebam dipipinya, mengingatkannya lagi pada sosok tudung manis yang sudah menjadi incaran abadinya, "mau melarikan diri seperti apa pun dia tak akan bisa. Dia mainanku mulai sekarang."
Keadaan ditempat tiga pria itu mendadak hening. Ribut yang dihasilkan murid yang bergerombol keluar sekolah seperti tak terdengar. Reborn dan Colonnello dapat merasakan hawa aneh pemuda Cina, entah itu rasa puas, tak sabaran atau rasa senang mereka tak tahu. Namun satu hal; dia bersemangat untuk bermain.
"Baik, sudah selesai. Ayo pulang." Reborn memecah atmosfer hening mereka, ia mengangkat raganya yang bersandar pada dinding pagar.
"Ayo Fon, kau tidak lupa rencana kita hari ini, kan?" timpal Colonnello. Fon masih betah bersandar, ia menatap ke samping, melihat setiap orang yang keluar dari balik gerbang.
"Dia belum keluar," gumamnya tanpa mengalihkan pandangan.
"Kau mau mengajaknya pulang bersama? Apa ini, shoujo manga? Kukira dia membencimu." Colonnello melipat tangannya di dada.
"Mimpi buruk dari sebuah shoujo manga, dia mainan berhargaku, Colonnello." Entah lengkungan di wajah Fon harus dibilang senyum tipis atau seringai samar. Colonnello mendecih, bukannya dia iri, faktanya pemuda pirang itu juga punya mainan yang mungkin sebentar lagi akan takluk setelah empat tahun perjuangan.
"Aku ikut menunggu. Jujur saja, aku penasaran akan wajah yang membuat ahli beladiri kita bersemangat." Reborn memasang seringai.
Fon menatapnya sejenak sebelum berkata, "Kurasa tidak, Reborn. Maaf sekali untuk mengatakan aku harus mengusir kalian untuk ini." Ucapannya membuat yang lain dipenuhi tanda tanya, sekaligus rasa penasaran lebih dari pemuda berjambang.
"Hoo, kau ingin privasi? Kalau begitu jelaskan kenapa kau menciumnya di depan anak buahmu." tantang Reborn.
"Kau sudah punya mainan, Reborn?" Pemuda Asia bertanya tanpa takut akan menyinggung rekannya. Reborn memberinya jawaban melalui tatapan tajam, serigai di wajahnya hilang.
"Dan kau pikir aku akan tertarik dengan targetmu itu? Betapa angkuh," desisnya tak suka, kekehan kecil menyahut.
"Dia... benar-benar menarik, Reborn. Tak ada jaminan kalau kau tak akan menyukainya. Malah bisa kubilang persentasemu untuk tertarik padanya cukup tinggi," jelas Fon santai seperti biasa. Kali ini tawa kecil lolos dari bibir Reborn.
"Kau tahu, penjelasanmu membuatku makin penasaran." Dia menepuk pundak Fon. "Baik, aku akan pergi. Kalau kau tak bisa mendapatkannya jangan marah bila kuambil—kesalahanmu yang menjelaskan padaku."
"Hoi, cepatlah, kora!" teriak Colonnello sebal yang sejak tadi mendadak diabaikan. Reborn berjalan mengikutinya menjauh dari SMA mereka, satu tangan diangkat sebagai ucapan sampai jumpa pada satu anggota lain.
Setelah dua sosok itu menghilang, manusia yang ditunggu akhirnya tiba. Pemuda bertudung itu tersentak mendapati pemuda Asia yang bersandar memberi senyum padanya.
"Muu! Apa maumu?"
Fon menegakkan raganya. "Menunggumu, Nona Dokuro." Perkataan elegannya disambut decihan kesal dari lawan bicara.
"Tidak perlu repot-repot, Senpai. Aku bisa pulang sendiri." Mammon langsung mengambil langkah cepat melewati pemuda berkepang, namun setelahnya ada sesuatu yang menahan lengannya.
"Lepaskan!" bentak Mammon, tapi respon yang didapatnya di luar dugaan, Fon malah menurunkan genggamannya dan meremas tangannya.
"Hmm, ternyata ada laki-laki dengan tangan selembut ini." Fon terlihat menikmati perbuatannya.
"B... brengsek!" Nihil, usahanya melepaskan diri tak berbuah manis.
"Katakan, Mammon. Kau laki-laki asli atau hasil transgender, huh?" Si rambut hitam mulai melangkah, membawa pemilik tangan yang diremasnya terseret mengikutinya. Mammon hanya diam, tak membalas sepatah katapun. Ia sibuk mencari celah untuk keluar dari keadaan ini, dan...
…ia tak menemukan satu pun. Serangan darinya tidak mungkin mempan, apalagi mengingat desas-desus siswi di kelas kalau Fon ahli beladiri terhebat di Namimori—dan mungkin lebih dari itu.
"Hei, Senpai brengsek. Apa maumu?" Mammon mengulang pertanyannya.
"Hm, bukankah pagi tadi sudah kubilang?"
Langkah terhenti, tubuh yang lebih tinggi berbalik sembari tangannya mengangkat dagu pemuda violet.
"Aku akan mendapatkanmu." Terdapat bisa mematikan dalam suara kalem itu, membuat Mammon menggertakkan giginya setengah kesal pada si pemuda yang entah mengapa terlalu keras kepala.
"Oh, kau ada bilang begitu? Sepertinya tadi pagi otakku gagal memproses sumpah bodohmu itu."
Terkekeh, Fon mendekatkan wajahnya, tangan Mammon yang bebas terangkat hendak melayangkan tamparan segera digenggam. Seringai pria berkepang makin lebar.
"Muu, kau lupa ini tempat umum? Aku bisa berteriak dan kau bisa berakhir di kursi pengadilan sebagai tersangka pelecehan."
"Kau tak memperhatikan, Dear? Jangan buat permata violet cantikmu tidak berguna."
Hening, angin berhembus. Mammon membelalakan mata, melihat mainan cantiknya menyadari, raut puas terlihat jelas di wajah Fon.
"Hmph, pintar sekali," desis Mammon penuh benci. Tak menghiraukan, wajah kalem itu makin mendekat dan—
—Drrttt! Drrttt!
Ponsel di saku Fon bergetar menandakan panggilan, Mammon melihat kesempatan di sini, ia akan kabur saat Fon sibuk berbincang.
—Greb!
Hanya saja cara berpikir pemuda Asia gagal dibaca oleh pemuda violet, Fon memeluknya erat dengan satu tangan, sebelum tangannya yang lain mengambil ponsel dan menempelkan benda itu ke telinganya. Mammon hanya bisa meronta, pembicaraan apa yang dilakukan pria yang menyergapnya—maaf saja Mammon tak ingin mengatakan ini adalah pelukan—ia tak tahu, namun perkataan akhir Fon membuat lega.
"Baik, aku akan ke sana secepatnya." Sambungan diputuskan, ponsel dimasukkan kembali ke saku celana. Pelukan pada pemuda cantik dilepaskan, Mammon langsung mundur beberapa langkah.
"Sayang sekali aku ada urusan. Tak keberatan aku meninggalkanmu, Nona?"
"Sebenarnya itu berita bagus untukku. Dan aku ingin kau hentikan panggilan bodoh itu, Kepar—"
Mammon seketika dan bisa berpikir, yang ia tahu sesuatu melumat bibirnya. Rasanya dingin dan basah, ia pernah merasakan ini kemarin. Tak salah lagi pemuda berandalan itu kembali menciumnya. Selang beberapa detik, Fon melepas ciumannya lalu menatap buas permata violet.
"Semakin banyak membantah, semakin kotor bibirmu," ucapnya membuat pikiran manusia di depan makin kacau, setelahnya dia berjalan menjauh. Mammon melayangkan tatapan benci pada punggung itu.
"Brengsek...!" Pemuda bertudung mendesis tajam, tapi di sisi lain ia juga berusaha menenangkan dirinya. Waktunya pulang.
Sebentar—Mammon menyadari satu hal. Wajahnya mulai pucat.
"SIALAAAANNN! DI MANA AKUUU?! MUU! DASAR SENPAI CABUL BRENGSEK!"
.
.
.
TBC
.
.
.
A/N : HALO~~ Ketemu lagi dengan Profe Maulida, akun collab dari Profe Fest dan Harukaze Maulida. Semua berawal gara-gara kita lagi ngobrol buat nentuin ava akun ini, eh, terus berlanjut Maulida bilang mau ngasih fic FM ke gurunya sebagai tugas [dengan catatan Mammon telah dibuat transgender, sayangnya]. Dan sebagai pemasok delusi paling sinting, Profe Fest segera mengirim konver paling ambigu di mana Mammon sedang dikunci Fon yang memang bikin hati doki-doki suru sampe mau meledak HHHHHNNNGGGGGHHHHH /udah. Dan kami pun memutuskan untuk melakukan collab lagi dengan tambahan bahwa ini berbentuk multichapters. Oh, penyelesaian fic ini dibuat selang-seling dan pembuat prolog kali ini adalah Maulida~. Silakan tunggu si Profe Fest yang lelet bak siput buat meng-update fic yang memuat Berandalan!Fon dengan Penurut!Mammon, bahkan ini sudah direncanakan bakal ada Harem!Mammon :""D /APA /diilusi.
Jangan lupa memberi review, fav, follow, kritik, saran, dan lainnya ya! Kami berdua setia menunggu lhooo~! Nanya-nanya soal apa yang kurang di sini juga ditunggu~ Sampai jumpa di chapter berikutnya!
-Salam-
Profe Maulida [Profe Fest and Harukaze Maulida]
