Yo, minna! Yucchan datang dengan fic IchiRuki. Ini adalah fic pertama Yuu, jadi kritik dan saran selalu diterima. ^_^
Enjoy!
.
.
Be Your Freedom
.:IchiRuki:.
Warnings: OOC, maybe typo, gaje, terdapat banyak kekurangan, dll.
Don't Like, Don't Read, okay?
.
.
Chapter 1: Our First Meeting
Pagi itu adalah pagi yang tenang di Kota Karakura. Di musim semi itu, bunga-bunga plum bermekaran. Sebentar lagi, bunga-bunga sakura akan menyusul. Inilah saat yang dinantikan semua orang. Melihat bunga-bunga pohon sakura bermekaran pastilah sangat menyenangkan. Jika sedang libur, sekelompok keluarga bisa memakan bekal mereka di bawah pohon sakura pada pusat Kota Karakura. Ya, di pusat Kota Karakura terdapat sebuah pohon sakura besar yang seringkali menjadi tempat refreshing bagi orang-orang.
Tak terkecuali, Kuchiki Rukia. Setelah mengerjakan tugas-tugas OSIS maupun perusahaan keluarganya, kepala gadis cantik beriris violet tersebut langsung berdenyut. Rasanya pening sekali. Karena itulah, Kuchiki Byakuya, kakak Rukia menyarankan kepadanya supaya Rukia cuti dari pekerjaannya dan refreshing terlebih dahulu. Rukia tahu, di balik nada dingin sang kakak, tersirat secercah kepedulian di dalamnya.
Byakuya juga telah meminta beberapa bodyguard untuk menjaganya. Namun lekas Rukia tolak. Siapa orang yang akan menikmati refreshing-nya dengan sekelompok bodyguard yang malah mengundang berpasang-pasang mata? Mungkin tak ada. Mungkin juga ada. Yah, manusia di dunia ini berbeda-beda, kan? Itu bukanlah hal asing.
Rukia sendiri tak suka suasana yang tegang. Makanya, ia selalu benci dan kesal ketika ia dipaksa ditemani oleh beberapa bodyguard. Meski sang kakak tetap bersikeras, Rukia tetap menolak. Jawabannya akan selalu tidak dan tidak.
Dan sekarang di sini lah ia berada. Mata violet Rukia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Sepertinya tidak terlalu ramai hari ini. Beruntung sekali. Niatnya datang ke sini adalah bersantai. Baguslah jika suasana sepi, ia malah semakin bisa bersantai. Tanpa ada suara orang lain yang mengganggunya. Tanpa ada suara rengekan anak kecil yang minta permen. Tanpa ada suara tawa dari pemuda-pemudi yang tanpa rasa bersalah telah mengganggu kenyamanan sekitar. Pokoknya, tanpa ada segala macam gangguan.
Rasanya sudah lama sekali semenjak ia keluar dari rumah. Suatu malam, Rukia pernah berpikir. Jika ia adalah orang biasa, akankah ia berjalan-jalan di taman dengan orangtuanya setiap sore? Akankah ia pergi ke mall dengan teman-temannya sepulang sekolah?
Segera ia tepis pikirannya tersebut. Berandai-andai seperti hanyalah membuang-buang waktu berharga yang harusnya ia gunakan untuk bekerja. Selain sebagai Ketua OSIS SMA Karakura, ia juga menjabat sebagai Sekretaris perusahaan milik keluarganya. Semenjak dini, Rukia memang sudah dilatih mengerjakan beberapa paperwork, agar nantinya ia dapat terbiasa.
Tak ingin membuang waktu, Rukia kemudian berjalan menuju bawah pohon sakura raksasa yang terkenal di seluruh penjuru Kota Karakura itu. Baru beberapa langkah dari tempat yang dipijaknya tadi, Rukia merasa tubuhnya ditabrak oleh seseorang. Karena tubuh orang tersebut lebih besar darinya, tak ayal Rukia pun terjembab ke atas rerumputan. Untung saja rerumputan. Bagaimana jika aspal? Pasti sebuah luka kecil sudah menghiasi kedua siku dan lututnya.
Merasa jengkel, Rukia berniat membalikkan tubuhnya untuk menatap orang yang menabraknya tadi. Ketika wajahnya terangkat, yang pertama dilihat oleh iris violetnya adalah sebuah tangan besar di depan mukanya persis. Apa yang orang ini inginkan, sih?
"Kau tidak apa-apa, Midget? Apa kau butuh bantuan untuk berdiri?"
Dahi Rukia berkedut-kedut ketika mendengar kata tabu itu. Apalagi dari orang asing yang baru saja menabraknya tanpa rasa bersalah. Memutuskan untuk memendam sumpah serapah di dalam hatinya, Rukia kemudian berdiri tanpa bantuan orang itu, lantas menepuk-nepuk bagian celananya yang kotor.
Sesaat kemudian, ia menatap tajam kepada orang asing tersebut. Rukia dapat menangkap bayangannya dalam kedua iris hazel itu. Segera ia gelengkan kepalanya, kemudian ia lipat kedua tangan di depan dadanya.
Dengan ketus, ia kemudian menjawab, "Kenapa cuma berdiri di situ? Kalau kau tidak minta maaf, lebih baik kau pergi dari ha—"
Bunyi perut menginterupsi omelan Rukia.
Mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali, Rukia kemudian melihat wajah orang itu yang sedikit memerah menahan malu. Rukia menjadi geli karenanya. Tawa ringan keluar dari bibir ber-lip gloss tersebut. Kenapa dia ini? Apa tadi ia belum makan? Atau, apakah keluarganya tak mampu?
"Ma-maafkan aku. Aku tidak sengaja," ucap orang itu pada akhirnya. Hoodie yang ia pakaikan pada kepalanya perlahan ia lepas. Warna orange tampak menyembul dari hoodie gelap milik orang itu. Sejenak, Rukia terkesiap. Warna rambut orang itu…orange? Yang benar saja. Di mana-mana, ia jarang melihat rambut dengan warna seperti itu.
Mengelus dagu, Rukia mengamati orang bersurai orange di hadapannya. Ia memang salah, karena dengan kasar telah menabrak dirinya. Tapi ia yakin, orang itu tak sengaja. Lagipula, ia telah meminta maaf pada Rukia. Menghela nafas pelan, akhirnya Rukia memutuskan untuk mengajak orang itu makan bersama—karena cukup mengenaskan juga mendengar suara itu keluar dari perutnya.
"Ya. Permintaan maaf diterima. Nah, karena kau telah meminta maaf, aku akan membagi bekalku padamu. Bagaimana? Karena sepertinya, perutmu terlihat mengenaskan dengan suara 'imut' itu."
Orang berambut aneh itu tampak berpikir sejenak. Hingga akhirnya ia mengangguk pelan. "Baiklah."
Rukia tersenyum simpul. Syukurlah jika orang itu menerima ajakannya. Ia selalu tidak tega saja ketika melihat orang lain dalam kesulitan. Termasuk melihat orang itu, yang sedang kelaparan. Itulah yang dipikirkan Rukia. Ia lantas mengajak orang itu duduk bersebelahan dengannya di bawah pohon sakura yang terkenal itu..
"Ini, ambil. Untung aku membawa dua sumpit. Kalau tidak, kau terpaksa harus makan dengan tangan," celoteh Rukia. Sembari membentuk dua jarinya menjadi huruf V, Rukia melanjutkan, "Bercanda! Hahaha…"
Tak lama kemudian ia tertawa ketika melihat raut wajah orang itu yang cemberut. Ya ampun, dia lucu sekali. Rukia merasa nyaman bersama pemuda berambut orange di sampingnya ini. Padahal, baru beberapa menit lalu mereka bertemu.
Tangan orang itu perlahan terjulur ke depan untuk menerima sumpit yang disodorkan Rukia. Setelah mengucapkan 'Itadakimasu' dengan lirih, orang itu langsung 'menggali' masakan lezat buatan Hisana, kakak Rukia. Di dalam hati, Rukia bangga juga dengan kakak perempuannya itu. Masakan Hisana memang yang terbaik. Bahkan para tetua Kuchiki yang dingin apabila memakan masakan Hisana akan menunjukkan raut wajah kagum yang jarang mereka tunjukkan.
"Jadi…" Rukia memecah keheningan di antara mereka. "Aku Kuchiki Rukia. Namamu?"
Sejenak, orang itu menghentikan gerakan sumpit yang menggali kotak bekal berwarna biru tua di tangannya. Ia menoleh, mendapat sepasang violet yang bertabrakan dengan hazelnya. Orang itu sontak memalingkan wajahnya. "Kurosaki Ichigo."
Rukia mengernyitkan dahinya. Kurosaki? Ia seperti pernah mendengar nama itu. Kalau tak salah Kurosaki adalah keluarga yang memiliki Zangetsu Company. Semua orang tentu pernah mendengar nama yang melejit seantero Jepang itu. Kalau Kurosaki adalah keluarga kaya raya, kenapa ia kelaparan seperti ini? Apa orang nekat ini belum makan sama sekali karena ada urusan?
"Kenapa kau berlari tadi? Dan kenapa kau kelaparan seperti ini? Mengingat keluargamu itu kaya raya, harusnya kau bisa makan sampai kenyang. Atau, kau terlalu sibuk mengurusi sesuatu sampai-sampai kau lupa makan?" Pertanyaan bertubi-tubi itu terlontar begitu saja dari mulut Rukia. Mau bagaimana lagi, ia sudah terlampau penasaran.
Ichigo menghela nafas panjang. Mata hazelnya menewang langit cerah berawan di atas sana. Kemudian, ia kembali menghela nafas. Melihat tingkah anehnya, Rukia kembali mengerutkan dahinya.
"Kau tahu sekali keluarga bangsawan itu seperti apa. Tak heran, kau sendiri adalah seorang bangsawan. Ya kan, Rukia?" Ichigo kemudian memejamkan matanya, sementara Rukia hanya bisa menatap Ichigo dengan pandangan memelas, berharap supaya Ichigo mau menceritakannya. Mendesah kecewa karena pemuda itu tak kunjung menjawab, Rukia menyenderkan punggungnya dengan nyaman pada batang pohon berbunga indah itu.
"Tak apa kalau tak mau bercerita. Aku tak memaksamu, Ichigo," ujar Rukia kemudian. Mata violetnya yang indah melirik Ichigo dari sudut matanya. Segelintir rasa bersalah muncul di benaknya, karena pemuda itu murung setelah ia menanyakan keluarganya. Jika dipikir-pikir, kemungkinan besar Ichigo sedang ada permasalahan dengan keluarganya. Rukia merasa iba juga.
Pertama kali ia masuk keluarga Kuchiki, dirinya disambut dengan pandangan dingin dari para tetua. Memang wajar. Kebanyakan anggota keluarga bangsawan bersikap demikian, karena mereka lebih mementingkan perusahaan daripada perasaan mereka. Setelah itu, Rukia diajari tata krama dan peraturan-peraturan keluarga lainnya. Saat ia dipaksa mengerjakan berlembar-lembar paperwork di meja kerja Byakuya-nii-sama, Rukia merasa pegal dan bosan. Berjam-jam berada ruang kantor dan duduk dalam posisi yang sama seperti ini…sangat membosankan.
Jika mengingat perusahaan keluarga Kurosaki yang sering beredar di televisi itu, Rukia menjadi ingat suatu hal. Suatu berita bahwa keluarga Kurosaki mengadopsi seorang anak dari keluarga biasa. Kalau tidak salah, namanya begitu familiar dengan Ichigo. Tak salah lagi, anak yang telah berubah menjadi pemuda itu kini berada di sampingnya.
Rukia tersenyum tipis, "Seandainya kau ingin curhat kepadaku….datanglah kepadaku. Bagi semua beban dan kesedihanmu. Aku dapat memahami perasaanmu, karena aku juga diadopsi oleh keluarga bangsawan. Aku…akan selalu menunggumu, Ichigo."
Kedua mata hazel Ichigo membelakak. Kemudian, hazel kembali bertemu dengan violet. "Pengetahuanmu cukup luas juga, Rukia. Kau tahu bahwa aku diadopsi. Aku kagum."
Rukia hanya tersenyum tipis. Pujian seperti itu seringkali ia dengar. Hal ini sudah biasa, bahkan sangat biasa baginya. Senyuman itu perlahan bertambah lebar, seiring dengan merapatnya tubuh mungil Rukia ke tubuh Ichigo. Lalu, Rukia mencubit pelan lengan Ichigo, membuat si pemuda mengaduh kesakitan.
"Kau tahu…Dulu waktu pertama kali berada dalam keluarga Kuchiki, aku merasa terkekang. Sangat terkekang. Harus melakukan ini, tak boleh melakukan itu. Hah, aku bahkan pernah nekat melarikan diri dari rumah. Namun…berkat dukungan kedua kakakku, aku akhirnya tetap bertahan dan terbiasa. Yah, kau tahu…Terkadang, aku mempunyai konflik di dalam keluarga. Tapi…asal kau berpikir jernih, kau akan menemukan jalan keluarnya. Aku yakin itu," ucap Rukia panjang lebar. Ia rasa, sejak dirinya masuk ke keluarga Kuchiki, Rukia menjadi bisa berbicara sebijak ini. Rasanya tak bisa dipercaya. Rukia kemudian memasang senyuman lebarnya lagi. Ia angkat lengan kirinya, seakan menggambarkan semangat yang ada pada dirinya. Ia kemudian berseru, "Jadi, jangan menyerah, Ichigo!"
Untuk beberapa detik, kedua mata hazel Ichigo kembali melebar. Pastilah yang ada di pikiran Ichigo berupa 'dasar gadis yang sulit ditebak' dan semacamnya. Senyum Rukia sedikit menghilang ketika ia melirik jam tangan berwarna ungu yang selalu ia lingkarkan di pergelangan tangan kirinya. Dengan tepukan pada jidatnya, Rukia buru-buru memberesi kotak bekalnya. Sebelum Ichigo sempat berkata apapun, Rukia sudah menyelanya terlebih dahulu.
"Ah, kotak bekal yang itu kau bawa dulu. Kembalikan besok saja kalau kita bertemu lagi, Ichigo. Aku tak punya waktu lagi, aku ada urusan. Sampai jumpa!"
"Ya. Terima kasih, Midget!"
Dalam hitungan detik, sosok gadis mungil itu menghilang dari pandangan Ichigo. Kalau Rukia tak mengindahkan kata tabu yang keluar dari mulutnya, berarti urusan tersebut sangatlah penting. Tersenyum kecil, Ichigo berniat menghabiskan dulu makanan sedap yang didapatnya secara cuma-cuma ini. Mungkin setelah ini, ia akan menginap di rumah kakek atau kerabatnya yang lain. Di mana pun. Asal jangan di rumah itu.
Sekali lagi, Ichigo mendongak ke arah langit penuh awan itu.
"Kuchiki…Rukia, ya?"
TBC
Em, bagaimana? Ancurkah? Yuu harap, tidak sehancur Desa Konoha waktu diserang Pain. #plak
Huweee…..*guling-guling*
Gomen kalau kurang menarik dan banyak kesalahan…
Kritik dan saran diterima, namun usahakan jangan flame. ^_^
Review, please?
