"Dasar anak bodoh, kenapa nilai mata pelajaranmu turun semua? Lihat, rankingmu juga jadi turun. Aku tidak ingat membesarkanmu menjadi anak yang bodoh."
.
Nilai…Ranking…
Hanya itu-kah yang kau pikirkan?
Tidakkah kau peduli padaku sedikitpun?
Tentang bagaimana aku mati-matian menghapal semuanya sampai mual?
Kau bahkan tidak pernah peduli.
Jadi kenapa aku harus peduli padamu?
.
Broken Home
I own nothing but this fic
.
.
Summary: Un-beta/Lain kali, aku akan mengajarkanmu untuk tidak menyembunyikan semuanya dari sahabatmu. Friendship! KiseMomo. Dedicated for ore no yuujin. Drabble, maybe? RnR onegaishimasu!
.
.
Fanfiksi ini aku dedikasikan untuk sahabat perempuanku, Widana Novitadewi.
Atas segala yang telah ia berikan, serta mengisi hari-hariku
(Hontou ni arigatou telah memilihku sebagai sahabatmu. Padahal kamu punya segalanya; kecerdasan, uang, kasih sayang, semuanya. Tapi kamu milih aku yang nggak sempurna ini. Maaf kalau aku pernah mengecewakanmu. Hey, kalau kamu baca ini, review ya :p hehe. Aku sayang kamu. Selesai magang nanti, kita nonton OVA KuroBas, movie AoEx, sama movie Naruto yang Road to Ninja oke!? Oiya, aku juga donlot Natsume Yuujinchou, pasti kamu suka. Aku tunggu di bangku-ku; bangku nomor 1 dari kanan dekat jendela)
.
.
"Ki-chan, kau kenapa?"
Sebuah suara membuyarkan lamunan Kise Ryota. Pemuda blonde itu menolehkan kepalanya ke kanan, mengalihkan pandangannya dari jendela disamping bangkunya dan menatap seorang wanita berambut merah muda yang berdiri disamping bangkunya.
"Nandemonai, Momocchi."—dengan senyum modelnya.
"Jadi? Gimana?" tanya Momoi.
Kise mengerjapkan kedua matanya beberapa kali, " 'Gimana'...apanya?"
Momoi mengerutkan dahinya, "Tuh kan, kau tidak mendengarkanku!"
"Gomen, Momocchi!" –menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.
"Hh…sudahlah, lagipula itu tidak penting." –Momoi memijat pelipisnya.
.
.
Bolehkah aku 'membenci' sekali saja?
.
.
"Tadaima…"
Tidak ada yang membalas. Kosong, rumah tua itu kosong.
Dan Kise tidak ambil pusing akan hal itu.
"Yikes. Ki-chan! Tidak ada siapa-siapa disini. Kemana orang tuamu?"
Kise menoleh ke belakang, menatap Momoi yang sedang melepas sepatu sambil melihat sekeliling rumah dengan wajah datar.
"Apa maksudmu? Tentu saja mereka sedang pergi entah kemana."—jawab Kise santai. Lalu masuk ke dalam rumah; menaiki tangga.
"Eh!?"—Momoi menatap Kise dengan tatapan 'serius-lu!?'
"Memangnya kenapa?" –Kise mengernyitkan dahinya, bingung. Ia pun berhenti menaiki tangga dan menatap Momoi yang masih berada dibawah.
Momoi melangkah masuk, mengikuti Kise menaiki tangga, "K-Ki-chan...memangnya Ki-chan tidak takut ditinggal sendiri?"
Terdiam. Masing-masing individu tidak ada yang berbicara. Kise kembali menaiki tangga, Momoi masih mengikuti dari belakang.
Takut?
Benar, mungkin aku takut
Tapi aku tidak menyadarinya
Aku sudah lupa rasanya 'takut'
Namun aku belum melupakan perasaan benci-ku terhadap ketakutanku sendiri
Kukira, aku benar-benar membencinya
"Momocchi ngomong apa? Tentu saja tidak. Aku sudah terbiasa ditinggal sendiri kok~"—jawab Kise sambil terkekeh pelan.
Percakapan pun berakhir
.
.
Seseorang, tolong aku
Tolong aku dari jurang yang tidak berdasar ini…
.
.
Kise terbaring tak berdaya di lantai kamarnya yang dingin.
Orbs keemasannya menatap lurus; kosong.
Ujung bibirnya mengeluarkan darah.
Luka memar menghiasi tubuhnya yang masih berbalut seragam.
Dia tidak ingat kesalahan apa yang telah ia perbuat sehingga mendapatkan pukulan telak di rusuk, lengan, dan pipinya.
Oleh ayahnya sendiri.
Benci
Benci
Benci
…benci?
Tidak, aku tidak membencinya.
Aku hanya kesal, bukan marah
Aku hanya tidak menyukainya, bukan benci
Aku hanya lelah, bukan menyerah
.
.
Lalu suatu hari…
Aku berhenti berharap
.
.
"Seharusnya kau tak perlu masuk sekolah, Ki-chan…"
Momoi menatap Kise yang duduk dihadapnnya; yang susah payah mengunyah bekalnya. Dia tidak lapar, sungguh. Kalau saja Momoi tidak memaksanya untuk makan…
Kise menutup kotak makannya, "Aku kenyang-ssu."
Namun cepat-cepat Momoi menahan tangannya, "Dame da yo, Ki-chan! Kau sedang demam! Habiskan bekalmu! Kau ingin cepat sembuh kan!? Nanti ga ada yang mau bopong kamu ke UKS kalau kamu pingsan loh!"
"Hiddo-ssu! Tapi aku kenyang…"
"Itu karena demam! Lawan, Ki-chan! LAWAN!" –semangat Momoi menggebu-gebu. Namun Kise benar-benar kenyang dan tidak berniat untuk menghabiskan makanannya. Ia pun menenggelamkan kepalanya di bangku.
"Panas…panas…aku tidak kuat…-ssu." –bisik Kise, namun Momoi dapat mendengarnya.
Momoi mengangkat tangannya, kemudian mengambil lengan kanan Kise yang terbalut jaket. Kise tidak merespon, namun tak lama kemudian, ia mengangkat kepalanya perlahan untuk melihat apa yang dilakukan Momoi.
Seketika itu, orbs keemasannya terbelalak.
Momoi menangkup tangan kanan Kise. Ia juga memejamkan kedua matanya sambil agak tertunduk; seperti sedang berdo'a. Tak lama kemudian, ia mencium tangan Kise. Belum pernah ada yang melakukan hal itu padanya.
"Cepat sembuh ya. Soalnya nggak rame kalau nggak ada Ki-chan…"—ujar Momoi sambil tersenyum tulus.
.
.
Apa yang kau rasakan?
Ketika waktu itu, tanpa sadar kau membuatku sakit hati hingga menangis
Menangis karena 'kamu', my dearest friend, yang membuatku menangis
.
.
"Ngomong-ngomong, kalian selalu bersama ya."
Aomine menunjuk Kise dan Momoi.
Kise mengangguk mantap, "Tentu saja-ssu! Momocchi itu teman terbaikku!"
Momoi tampak berpikir, "Hmm...soalnya bahaya kalau membiarkan Ki-chan berkeliaran tanpa pengawasan."
Aomine terkekeh geli, Kise menggembungkan pipinya.
"Hiddo-ssu! Memangnya aku ini anjing!?"
"Haha, jadi kalian ini sebenarnya apa, huh?"
"Sudah kubilang kan? Kita berdua ini adalah teman!" ucap Kise girang. Senyum mengembang di wajah modelnya.
Momoi menoleh kearah Kise.
"Ha? 'Kita'? Ki-chan aja sendiri!"
Eh?
"Ditolak mentah-mentah!" Aomine tertawa semakin keras. Kise terdiam dengan senyum di wajahnya, namun kedua mata keemasannya agak terbelalak karena perkataan Momoi tadi.
.
Jadi...hanya aku sendiri?
Seketika itu juga, dadaku terasa sangat sakit.
.
"A-ah...b-benar juga. Hahaha..."—Kise tertawa dengan nada bergetar.
.
Benarkah? Benarkah itu?
Dia sendiri yang bilang
.
"K-kalau begitu..." –Kise yang ntah kenapa tiba-tiba wajahnya menjadi pucat, "Ak-aku duluan!"
Kise berlari secepatnya, meninggalkan Momoi dan Aomine di belakang.
.
Dia tidak mengejarku
Kenapa?
Kenapa?
Oh iya, aku kan bukan temannya
Dan…bukankah sejak awal aku memang sendirian?
Haha, bodoh sekali diriku
.
TES
TES
Tanpa sadar, air mata mengalir dengan derasnya dari wajah Kise yang masih tersenyum.
.
Eh?
.
Kise berhenti berlari.
.
Air mata?
Kenapa?
.
Cepat-cepat ia menghapus air matanya.
.
Sial, tidak mau berhenti
Kenapa?
Kenapa—
.
"Oi,"—PUK
Sebuah tangan mendarat di pundak Kise. Reflek, ia menoleh ke belakang. Dan terbelalak begitu ia melihat Momoi—yang juga terbelalak karena air mata yang mengalir dari wajah Kise.
"H-hei! Kau kenapa, Ki-chan!?"
.
Kenapa?
Kau tanya kenapa?
Aku pun penasaran
Ada apa denganku?
.
"E-eh? Kenapa apanya?" –menghapus air matanya, "Wah, benar juga, aku kenapa ya? M-mungkin kemasukan debu! Ahahaha!"
.
Sial
Kumohon berhentilah mengalir
Aku tidak bisa memperlihatkan wajahku yang seperti ini didepan Momocchi
.
"Ak-aku…aku minta maaf, Ki-chan."—dengan wajah seperti ingin menangis.
.
'Maaf'?
Kumohon, jangan minta maaf padaku
Kau tidak salah, sungguh.
Sakit rasanya mendengarmu yang meminta maaf padaku
.
"M-Momocchi ngomong apa? Momocchi tidak salah apa-apa kok. Sungguh!"
Wanita berambut merah muda itu terdiam, menatap Kise dengan beribu emosi didalamnya.
"S-sudah, ya. Mata ashita, Momocchi..."
Kise pun berjalan sambil menghapus air mata-nya, meninggalkan Momoi yang terdiam.
.
.
Dulu, dulu sekali…
Ada seorang wanita berambut panjang yang menghampiriku sambil tersenyum…
.
.
"Bisakah kau menjelaskan ini, Ryota?"
Seorang wanita berambut hitam dengan orbs keemasan menghampiri Kise yang sedang duduk bersimpuh.
Wanita itu membawa sebuah kertas; angka, kata-kata…
Diam, Kise terdiam sambil menunduk. Poninya menutupi kedua matanya.
Ibunya—satu-satunya sosok yang membuatnya bertahan sampai sekarang kini berdiri didepannya dengan murka.
"Aku sangat kecewa dan benci padamu, Ryota."
.
DEG
.
Jantung Kise berdetak lebih cepat.
Sosok itu, sosok yang ia kagumi. Sosok yang ia lindungi dan ia bela mati-matian.
Menyakitinya.
Kise bangkit dari duduknya, kemudian pergi dari sana.
"RYOTA!"
.
.
Nilai, nilai dan NILAI!
Semuanya tentang NILAI!
Aku muak mendengarnya
.
.
Kise menghela napas berat.
Kemarin, orang tuanya bertengkar lagi.
Laki-laki itu yang salah, lebih memilih perempuan itu, menelantarkan Kise dan ibunya.
Kise; yang tidak tau permasalahannya, ikut terlibat dalam pertengkaran tak berguna itu.
Namun tak peduli seberapa sering orang tuanya melibatkannya dalam pertengkaran mereka, tak peduli seberapa seringnya kata, 'bodoh', 'tolol', 'sial', dan lain-lain yang keluar dari mulut orang tuanya untuk Kise, pemuda itu tidak bisa membenci mereka.
Kesal? Pastinya.
Namun rasa 'kesal'tersebut tidak pernah berubah menjadi 'benci'.
Dan Kise, selalu merasakan sakit yang luar biasa ketika hal itu terjadi.
"Nee…"
Lamunan Kise buyar. Tapi, ia tetap diam di bangkunya, memutar-mutar ponselnya diatas meja dan menatap ponsel tersebut dengan datar.
"Semuanya sudah pulang sejak tadi..."
Momoi menarik kursi disamping Kise dan duduk disamping pemuda itu.
"Aku tidak mau pulang-ssu."
Momoi menatap Kise dalam-dalam. Ia tau bahwa pemuda disampingnya ini sedang ditimpa masalah. Well, mengenal Kise selama 1 tahun lebih tentu membuatnya hafal gerak-gerik pemuda itu.
Tak terkecuali, masalah keluarga—masalah yang sedang menimpanya saat ini.
Tentu saja, tentu saja Momoi paham akan perasaan itu. Perasaan 'ingin kabur dari rumah setiap harinya'
Kise menghela napasnya, kemudian menengadah sambil memejamkan kedua matanya. Menahan emosinya agar tidak meledak.
Pemuda itu menempatkan ponselnya diantara dia dan Momoi. Sebuah isyarat kecil untuk Momoi. Kise tertunduk, wanita berambut merah muda panjang itu mengambil ponsel Kise.
.
Satu pesan singkat dari ibunya.
Dikirim sepuluh menit yang lalu.
["Ryota, kenapa tadi tidak pamitan? Kenapa belum pulang juga? Ryota marah sama ibu?"]
.
TES...
Air mata turun dari orbs berwarna senada-nya.
"Kemarin...kemarin kami bertengkar hebat. Ibu yang duluan, menyakiti-ku dengan mengatakan itu..."
Susah payah Kise menceritakan kronologisnya. Momoi diam mendengarkan.
"…tapi sekarang…sekarang malah mengirimiku pesan singkat itu…mau sampai kapan ia mempermainkanku?"
Momoi meletakkan ponsel Kise diatas mejanya.
"Rasanya sakit…Momocchi…"
Momoi mengelus pelan punggung yang bergetar milik pemuda disampingnya.
"Melihat dan membaca pesan singkat itu membuatku menyesal..."—menarik napasnya, "Padahal dia duluan yang menyakitiku, tapi kenapa…kenapa aku yang merasa bersalah? Kenapa harus aku? Aku yang jadi korban disini...!"—agak menaikkan nada bicaranya.
"Ki-chan..."—jeda, "Jelas saja, mereka orang tuamu-"
" 'Orang tua'ku Momocchi!?"—Kise mengangkat kepalanya, menatap Momoi dengan air mata yang mengalir deras. Marah, sedih, kesal, semuanya bercampur menjadi satu, "Orang tua mana yang mengatai anaknya 'bodoh', 'tolol' dan 'sial'!? Orang tua mana yang mengatakan bahwa mereka membenci anaknya!?"
"K-Ki-chan-"
"JELASKAN PADAKU, MOMOCCHI!"—Kise menggenggam kedua pundak Momoi dengan tangan gemetar. "...jelaskan...padaku..."—perlahan, kedua tangannya terjatuh; lemas. Ia pun tertunduk; lagi
"Aku pun tidak mau membenci mereka...itu menyakitkan, Momocchi...membenci sesuatu yang kita cintai itu menyakitkan..."—tidak bisa, Kise tidak bisa berhenti menangis.
"Kurasa...itu hanya emosi sementara." Balas Momoi.
Kise tersenyum memaksa dalam tangisannya, " 'emosi sementara'? Artinya mereka mempermainkanku bukan?"
Momoi tidak menjawab. Membawa tangannya ke pipi kiri Kise, menghapus air mata pemuda blonde itu.
"Kalau…seperti ini…rasanya percuma aku belajar mati-matian…"
"Semua yang kulakukan...semuanya percuma..."
Kise tak dapat berkata lagi. Hanya menangis dalam diam, dan Momoi yang terus menghapus air matanya. Pemuda itu juga tak mampu untuk mengangkat kepalanya sekedar untuk menatap Momoi. Berat, rasanya berat…
"…sudah?"
Jeda sesaat. Kemudian dibalas anggukan samar dari Kise.
"Tatap aku, Ki-chan…"
Perlahan tapi pasti, Kise mengangkat kepalanya. Menatap Momoi dengan tatapan kosong.
"Sekarang, tutup matamu..."
Kise melakukan seperti yang Momoi katakan. Tak lama kemudian, tangan dinginnya merasakan kehangatan tangan Momoi yang memegang tangannya erat sambil gemetar.
.
"Aku disini, Ki-chan…"
.
Kise tak dapat menahan tangisannya ketika ia mendengar bisikan itu dari bibir Momoi yang bergetar.
"Ki-chan tidak perlu mempercayaiku…"—jeda, "Tapi aku akan selalu ada disamping Ki-chan…"
Kise mengeratkan pegangannya di tangan Momoi yang hangat.
"Aku...aku ini sahabat yang tidak pantas diampuni..."
.
Eh? Sahabat?
Bukannya waktu itu...
.
"Membiarkan Ki-chan menahan semuanya sendiri. Dan membiarkan Ki-chan menangis..."
"Waktu itu...aku tidak bermaksud untuk menyakiti Ki-chan dengan mengatakan bahwa kita bukan teman..."-jeda, "Aku hanya ingin bilang, kalau Ki-chan bukan temanku, tapi sahabatku yang mempunyai hati yang tulus dan tak bisa membenci. Manusia yang paling sempurna, menurutku."
"Aku ini tidak berguna..."
.
Jadi semuanya...
Bohong?
.
Momoi menarik kepala Kise, kemudian menaruhnya di pundak kiri Momoi. Mengelus surai blonde milik pemuda itu.
"Gomen ne, Ki-chan..."
Kise menggelengkan kepalanya. Senyum tipis mengembang di bibirnya.
"Lain kali…aku akan mengajarkanmu untuk tidak menyembunyikan semuanya dari sahabatmu."
Kise mengangguk tipis.
"Arigatou…Momocchi…Arigatou…"
.
"Terima kasih, karenamu, aku dapat melewati hari-hari'ku…"
"Senang bisa mengenalmu."
.
.
Dulu, dulu sekali…
Ada seorang wanita berambut panjang yang menghampiriku sambil tersenyum…
Sambil menawarkan tangannya ia berkata,
"Salam kenal, Ki-chan. Kuharap kita bisa berteman baik!"
.
"Terima kasih atas segalanya, Momocchi. Terima kasih sudah lahir ke dunia, ore no ichiban takaramono..."
.
.
…apa yang kita alami demi teman kadang-kadang melelahkan dan menjengkelkan…
Tetapi itulah yang membuat persahabatan mempunyai nilai yang indah…
…persahabatan sering menyuguhkan beberapa cobaan…
Tetapi persahabatan sejati bisa mengatasi cobaan itu bahkan tumbuh bersama karenanya…
…persahabatan tidak terjalin secara otomatis…
Tetapi membutuhkan proses yang panjang seperti besi menajamkan besi…demikianlah sahabat menajamkan sahabat…
…persahabatan diwarnai dengan berbagai pengalaman suka dan duka…dihibur-disakiti…diperhatikan-dikecawakan…didengar-diabaikan…dibantu-ditolak…namun semua itu tidak pernah sengaja dilakukan dengan tujuan kebencian…
…seorang sahabat tidak akan menyembunyikan kesalahan untuk menghindari perselisihan, justru karena kasihnya ia memberanikan diri menegur apa adanya…
…seorang sahabat tidak pernah membungkus pukulan dengan ciuman, tetapi mengatakan apa yang amat menyakitkan dengan tujuan sahabatnya mau berubah…
…proses dari teman menjadi sahabat membutuhkan usaha pemeliharaan dari kesetiaan…
Tetapi bukan pada saat kita membutuhkan bantuan barulah kita memiliki motivasi mencari perhatian, pertolongan, dan pernyataan kasih dari orang lain…tetapi justru ia berinisiatif memberikan dan mewujudkan apa yang dibutuhkan sahabatnya itu…
…kerinduan adalah menjadi bagian dari kehidupan sahabatnya
Karena tidak ada persahabatan yang diawali dengan sikap egoistis…
…semua orang pasti membutuhkan sahabat sejati, namun tidak semua orang berhasil mendapatkannya…
Banyak pula orang yang telah menikmati indahnya persahabatan, namun ada juga yang begitu hancur karena dikhianati sahabatnya…
…mempunyai satu sahabat sejati lebih berharga dari seribu teman yang mementingkan diri sendiri…
…dalam masa kejayaan teman-teman mengenal kita…dalam kesengsaraan kita mengenal teman-teman kita…
…ingatlah kapan terakhir kali kamu berada dalam kesulitan?...siapa yang berada disampingmu…siapa yang begitu mengasihimu saat kamu merasa tidak dicintai…siapa yang ingin bersamamu saat kamu tidak lagi bisa memberikan apa-apa…?
Merekalah SAHABATMU…Hargailah dan peliharalah selalu persahabatan dengan mereka.
.
.
FIN
