Link of Us

Disclaimer : Masashi Kishimoto


Halo semuanya! Perkenalkan saya author baru di fanfic

(Sebenarnya udah lama cuma baru buat fic sekarang) u_u

Semoga kalian suka dengan fic saya ya semuanya!

Karena saya suka GaaHina, jadi untuk memulai debut saya, GaaHina aku jadikan pair fic pertama saya

Kepada para Senpai, mohon bantuannya atas kritik dan saran!

Maaf demi kemajuan cerita chara agak OOC, Drama, gaje haha ;V;

silahkan membaca!

(ReUpload)


Chapter 1


"Hinata! Kudengar kau menolak lagi permintaan dari anak Kepala perusahaan di kota sebelah!" seru lelaki bertubuh tinggi dengan rambut panjang tergerai di pundaknya. Dilihat dari wajahnya, umurnya sudah bisa dipastikan bahwa Ia tidak muda lagi.

"Tou-san, ketuk pintu dulu sebelum masuk kamarku. Ini masih terlalu pagi!" seru Hinata tidak kalah kencang seraya melihat jam dinding di kamarnya yang masih menunjukkan pukul 5 pagi. Hinata tampak sibuk merobek-robek kertas lamaran perjodohan yang bertumpuk di mejanya

"Hinata, kau tidak perlu memikirkan perusahaan keluarga kita, dengan sibuk bekerja dan menolak seluruh lamaran yang datang kepadamu!" laki-laki yang bernama Hiashi itu lalu duduk di sebelah anak perempuannya yang masih sibuk membereskan perlengkapan kerjanya.

"Hm.. bu-bukan karena itu, Tou-san.." Hinata menundukkan kepalanya yang masih menatap kaca di depan wajahnya itu.

"Dengarkan aku, sekali lagi kudengar kau menolak lamaran orang, aku tidak akan pernah membiarkanmu bekerja lagi!" Hiashi lalu segera bangun dari duduknya dan keluar dengan terburu-buru. Hinata sendiri hanya bisa menghela nafasnya panjang menuruti perkataan Ayah semata wayangnya tersebut.

Selesainya memasang make-up tipis di wajahnya, Hinata segera menatap arah luar kamarnya lewat jendela kecil di kamarnya. Terlihat sebuah bangunan tinggi. Perusahaan milik keluarganya yang bangkrut tahun lalu karena seorang pegawai yang membawa kabur uang milik perusahaan dan meninggalkan hutang atas nama keluarga Hyuuga, keluarga dari Hinata.

'Perampok sialan! Harusnya kau jatuh ke laut!' umpat Hinata sebal dalam hati. Bagaimana tidak? Hinata yang kehilangan semua hartanya, harus membayar hutang yang ditinggalkan pegawai itu hingga tak terhitung jumlahnya. Setelah perusahaan keluarganya bangkrut, Hinata langsung kerja untuk membantu membiayai kehidupan keluargnya.

'Bagaimana mungkin aku menikah disaat keadaan keluarga kita begini, kan?' desis Hinata dalam hati. Ia lalu menggeleng kepala-nya cepat dan langsung segera mengganti pakaiannya dengan kemeja putih panjang dan kamisol manis didalamnya. Rok selutut serta sepatu hak tipis sudah melengkapi tubuhnya. Gadis berumur 23 tahun itu kini terlihat menawan di kaca kamarnya. Bukan hal yang tidak mungkin jika orang melihat Hinata dua kali saat berpapasan.

"Baiklah, Hinata! Ini hari pertamamu bekerja di Perusahaan terbesar di Kota ini, bukan? Kau harus semangat!" ujar Hinata kepada dirinya sendiri yang tampaknya berhasil.

Setelah mengambil tas miliknya, Hinata segera keluar dari kamarnya dan menuju ruang makan. Dilihatnya adik perempuan satu-satunya itu sedang lahap memakan roti panggang yang tampaknya dibuat oleh gadis itu sendiri.

"Hanabi, belum siap-siap Sekolah?" tanya Hinata seraya membuat makanan untuknya.

"Ah, sebentar lagi. Hari ini hari pertamamu di perusahaan besar itu, ya? Berjuanglah." gadis kecil itu tersenyum simpul sambil tetap memegang roti di tangannya.

"Iya, terimakasih, Hanabi!"

Setelah berpamitan, Hinata segera keluar dari rumahnya yang tergolong sederhana bagi mantan anak presdir perusahaan besar. Sebenarnya, Hinata bertanya-tanya, bagaimana bisa Ayahnya membeli rumah itu sedangkan hutang kepada para bank masih bertumpuk dulu? Tanpa pusing-pusing, Hinata langsung menuju ke arah stasiun kereta berusaha untuk tidak mengingat kejadian itu lagi.


"Seharusnya aku jalan lebih cepat." ucap Hinata dalam hati. Rumah Hinata yang berada cukup jauh dari stasiun, membuat Hinata harus berangkat 1 jam sebelum kereta berangkat atau Ia akan terlambat. Kebiasaan yang berlangsung cukup lama ini membuat Hinata sadar betapa susahnya menjadi orang yang tidak memiliki kendaraan.

Hinata lalu berdiri di belakang garis kuning menunggu datangnya kereta yang akan datang 5 menit lagi. Sembari menunggu, Ia mainkan rambut biru tuanya yang tergerai panjang sampai sepinggang itu. Belum smepat Ia menggambil ponsel dengan niat melihat jam, tiba-tiba Hinata merasa ada yang menarik ujung rok-nya. Dengan perlahan Ia memutar kepalanya dan melihat anak lelaki kecil sedang menangis seraya memegang roknya.

"Ya tuhan, ada apa?" seru Hinata bingung melihat anak itu menangis semakin kencang.

"Nak, anakmu berisik sekali menangisnya." ujar seorang Ibu-ibu paruh baya melirik Hinata sinis.

"T-Tapi, dia bukan..." Hinata lalu menatap kembali anak itu dengan beribu tanya.

"Kak, aku kehilangan Ibu-ku, tapi aku tidak tahu dimana pos polisinya." ujar anak kecil itu sambil terus menangis. Hinata lalu menatap jam di ponselnya. Sudah pukul setengah 7 dan Hinata harus sudah datang di kantornya pukul 7 pagi ini.

"A-Ah.." Hinata lalu melihat sekeliling kereta. Seluruhnya yang Ia lihat tampak pura-pura tidak melihat kejadian itu. "Baiklah, aku akan mengantarmu ke sana! Ayo, cepat kakak akan membawamu!" Hinata membuka tangannya lebar.

"Tapi, tubuhku kotor." anak itu menggeleng. Hinata lalu mulai menyadari bahwa tubuh anak itu basah karena lumpur.

"Sudah, a-aku juga harus terburu-buru! Ayo cepat!" Hinata lalu mengangkat anak itu dan segera menuju ke pos polisi terdekat.

Dari jauh, ada dua orang laki-laki yang melihat hal itu dibalik tembok tanpa Hinata sadari.

"Jadi itu..Hyuuga Hinata?"

"P-Pak presdir! Sudah pukul segini, anda harus segera menuju ke Kantor!" Ujar seorang lelaki berambut coklat gugup.

"Diam kau. Ayo, cepat pergi."


"Terlambat 30 menit!" seru seorang gadis berambut merah dengan name-tag bertuliskan 'Tayuya' diatasnya.

"Aku minta maaf!" Hinata membungkuk dalam. Ia yang mengira bahwa akan datang tepat waktu, rupanya malah datang 30 menit lebih lambat. Selain itu, bukan hanya terlambat, baju Hinata yang awalnya bersih sudah sukses terkena lumpur dari anak yang ia gendong tadi.

"Apa kau tidak tahu ini perusahaan besar? Kalau dengan penampilanmu begini, bisa-bisa perusahaan ini dipandang sebelah mata, kau tahu?" ujar wanita itu sambil berdecak pinggang.

Hinata lalu kembali membungkuk. Entah sudah yang keberapa kali kata 'maaf' keluar dari mulutnya tetapi wanita di hadapannya tidak kunjung berhenti mengomeli-nya.

"Sebutkan namamu!" lanjut wanita itu sembari mengambil bolpen dari kantungnya.

"H-Hyuuga...Hyuuga Hinata." jawab Hinata ragu-ragu.

Mendengar nama itu, wanita bernama Tayuya itu langsung tersenyum tipis. "Pantas aku pernah melihat wajahmu. Ternyata kau anak dari pemilik Perusahaan terbesr yang akhirnya jatuh. Hm, bagaimana rasanya menjadi bawahan, Nona?" Tayuya memandang lekat mata indigo Hinata yang terlihat makin gugup.

"Maaf, tapi aku bekerja disini bukan untuk ditanyai mengenai hal itu." Hinata menjawabnya terbata-bata dengan perlahan Ia menoleh kesampingnya untuk tidak lagi bertemu pandang dengan wanita dihadapannya itu.

"Kau.."

"Tayuya, kerjaanmu sudah selesai?" tiba-tiba seorang Bapak tua memasuki ruangan itu dan mendekati Hinata. Hinata melihatnya dengan seksama. Dari tampangnya, Hinata yakin dia bukan orang sembarangan.

"P-presdir?! Maafkan saya! Saya permisi dulu. Hinata-san, ayo ikut aku." Tayuya lalu menarik lengan Hinata kasar.

"Tunggu, Tayuya. Aku ada perlu dengan gadis ini. Silahkan kau kembali." Bapak-bapak itu tersenyum tipis dan membiarkan Tayuya keluar sendirian. Hinata yang hanya berdua dengannya mulai merasa gugup dan memainkan kedua jarinya di belakang tubuhnya.

"Hyuuga Hinata? Sudah lama sekali aku tidak bertemu denganmu." ujar Bapak bertubuh besar itu pelan.

"Ma-maaf?" Hinata menatapnya bingung. Dengan segera, lelaki itu langsung menyentuh kedua pundak Hinata.

"Ya, kau memang sudah besar. Bagaimana keadaan Ayahmu? Hiashi-san." laki-laki itu tersenyum tipis dan tetap memegang kedua pundak Hinata erat.

"Ah..Tou-san? Dia baik-baik saja." jawab Hinata seraya tersenyum dengan paksa.

"Syukurlah. Namaku Sabaku, berikan salamku padanya. Dia pasti langsung tahu dengan nama itu. Selamat bekerja, Hinata-san." setelah pamit, lelaki itu segera keluar dari ruangan putih itu meninggalkan Hinata yang masih bertanya-tanya dengan kejadian yang hanya berlangsung 30 detik itu.


"Tou-san! Touuu-san!" Hinata buru-buru lari ke ruang tamu dimana Ayahnya biasa membaca buku disana. Ditemukannya Ayah bermarga 'Hyuuga' itu cepat.

"Apa?"

"Sa-sabaku! Apa Ayah kenal dengan nama Sabaku?" tanya Hinata langsung ke inti masalah. Dimata Hinata, wajah Ayahnya sekarang mengatakan bahwa 'Tentu saja aku tahu' itu membuat Hinata langsung menjatuhkan diri ke lantai.

"Hi-hinata, kau bertemu dengannya?" tanya Hiashi gugup.

"Tentu saja! Dia pemilik perusahaan dimana aku bekerja sekarang." Hinata memajukan bibirnya, kesal dengan ucapan Ayahnya.

"Hinata! Jangan sampai berbuat kesalahan padanya!" Hiashi langsung memegang pundak Hinata erat dengan kedua tangannya.

"K-Kenapa?" Hinata memandang mata Ayahnya bingung.

"Karena dia yang membayar seluruh hutang perusahaan kita!" Hiashi menundukkan wajahnya dalam-dalam berusaha menghindari pandangan kematian milik anak perempuannya itu.

"Hee? Bukankah Tou-san menabung? Uangnya, Tou-san kemana-kan?" Hinata menarik lengan baju Ayahnya erat.

"U-Untuk beli rumah ini, tentu saja."

"Tidak mungkin.. Makanya aku bingung kenapa Tou-san bisa beli rumah seperti ini saat kita bangkrut!" desis Hinata sedikit kesal.

"Onee-chan!" tiba-tiba Hanabi datang memasuki ruang tamu dan memberikan secarik surat kepada Hinata.

"A-apa ini?" tanya Hinata bingung.

"Kenapa tanya? Sudah pasti lamaran perjodohan, kan? Seperti biasa. Ngomong-ngomong, sekarang baru lagi, dari keluarga 'Sabaku'. Semangat merobek-robeknya, ya!" Hanabi tersenyum kecil dan segera keluar dari ruangan itu.

Hiashi dan Hinata terdiam mendengar ucapan Hanabi. Bukan karena datangnya surat lamaran, itu sudah hal yang biasa bagi Hinata tapi yang mereka pusingkan adalah, tulisan 'Sabaku' yang tertulis manis di atas amplop putih itu.

"Bagaimana ini.." lirih Hinata.


Sebuah gaun mewah yang dirancang desainer khusus kini sudah membalut tubuh Hinata. Pakaian yang sering Hinata kenakan saat Ia masih menjadi Nona 'Hyuuga' itu semakin menonjolkan keindahan lekuk tubuh gadis berambut panjang itu.

"Hi-hinata, sudah siap?" tanya Hiashi ragu-ragu. Jujur, Ia sangat bangga bisa memiliki Hinata sebagai anaknya. Kecantikan yang diwariskan Ibunya, membuat Hiashi terkadang tidak rela memikirkan bahwa suatu hari anak ini akan diambil oleh laki-laki lain.

"Iya. Tou-san..Bagaimana ini?" Hinata menghela nafasnya panjang.

"Aku sudah bilang untuk membatalkannya saja, kan?" Hiashi menatap Hinata bingung.

"Tapi, jika aku batalkan, aku pasti tidak akan diterima lagi jadi pegawai disana. Kita hidup dengan apa?" Hinata menundukkan wajahnya dalam.

"Hinata, Ayahmu ini juga bekerja, kan?" Hiashi memandang Hinata sedikit kesal.

"Hm, tapi..Aku juga tidak mau selamanya membebanimu." Hinata tersenyum tipis. Melihat hal itu, Hiashi langsung menepuk kepala anaknya pelan.

"Kau sudah menjadi sangat dewasa sekarang."

"Tou-san..." Melihat senyuman dari Ayah semata wayangnya, Hinata langsung merasa bahwa Ia mengambil keputusan yang tepat.


Hotel mewah yang sudah dipesan oleh Sabaku membuat Hinata terkesima. Bukannya tidak terbiasa, Hinata sudah sangat sering mengunjungi Hotel-hotel mewah, tapi ini pertama kalinya Hinata mengunjungi Hotel pribadi milik orang yang mengundangnya itu.

"Hiashi-san! Lama tidak bertemu!" Sabaku yang sudah berdiri melihat kedatangan Hiashi dan Hinata langsung menghampiri keduanya cepat.

"Sabaku-san..tidak seharusnya anda mengirim lamaran kepada anak saya yang bodoh ini." Hiashi menunduk dalam dirasakannya pukulan sikut dari Hinata yang berada di sebelahnya.

"Tentu saja aku tidak sembarangan memilih. Aku sudah sering melihatnya bekerja di Perusahaanmu dulu dan aku sangat menyukainya." Tuan Sabaku itu tertawa tipis.

"Hinata, perkenalkan dirimu pada anak dari Sabaku-san." Hiashi berbisik pelan. Dengan cepat Hinata memutar bola matanya, mencari siapa yang akan menjadi calon suami-nya nanti.

"Hinata-san, anakku berada di restoran sebelah sana." Sabaku menunjuk ke arah pintu kiri yang tak jauh dari mereka berdiri. "Masuklah, aku dan Ayahmu sudah lama tak bertemu."

Hinata lalu setuju dan langsung menuju ke arah di balik pintu itu. Dilihatnya jejeran meja dan kursi yang mewah. Restoran Hotel kelas atas yang biasa Ia lihat kini merasuk dalam bola matanya. Tapi yang kini tertuju di matanya adalah, sesosok laki-laki yang duduk membelakanginya.

'Kalau jelek, aku akan menangis seumur hidup.' gumam Hinata dalam hati seraya tertawa kecil. Ia lalu berjalan perlahan. Laki-laki itu tampak tidak mengetahui kehadiran Hinata yang berdiri di belakangnya.

'Rambutnya merah marun, warna yang tidak biasa.' batin gadis bermata indigo itu. Dengan berani Hinata lalu segera melangkah untuk menghadapi lelaki yang berada di hadapannya ini. Sukses Hinata langsung terkesima melihat wajah lelaki yang satu itu. Kulitnya putih dan bersih, tidak terlihat cacat sedikitpun. Tapi, yang Hinata sayangkan adalah, laki-laki ini duduk sambil tertidur.

'K-kenapa dia tertidur disaat seperti ini?' Hinata memanyunkan bibir kecilnya. Ia lalu duduk di bangku seberang lelaki itu. Seraya berhadapan, Hinata dengan polos terus memandanginya lekat.

"Apa yang kau lihat?" tiba-tiba mata laki-laki itu terbuka. Mata berwarna hijau jernih membuat mata laki-laki itu tampak indah.

Mendengar ucapan sinis laki-laki itu, Hinata langsung berdiri. "Maaf, saya salah orang." Hinata lalu dengan buru-buru berusaha meninggalkan laki-laki itu.

"Hinata?" hanya dengan sepatah kata yang diucapkan laki-laki itu, Hinata langsung berhenti.

"Hmm...Jadi kau." laki-laki itu lalu memandang Hinata dari bawah sampai atas. "Biasa saja."

Mendengar hal itu, Hinata langsung kembali membalikkan badannya dan menatap lelaki di hadapannya takut-takut. "Ja-jangan pernah melihat wanita dari luarnya saja, tuan!"

"Oh." lelaki bertato 'Ai' itu hanya kembali meminum anggur di depannya. Tak mempedulikan gadis yang akan segera menjadi Istrinya kemudian yang kini beridiri tepat di hadapannya.

"Ma-maaf, bisakah kau tidak mengacuhkan aku?" Hinata lalu memajukkan kembali kakinya dan bergerak menuju ke arah Gaara. Belum sempat duduk, sikut Hinata mengenai gelas anggur Gaara dan menjatuhkannya. Membuat air di dalam gelas itu dengan manis tumpah di tubuh Gaara yang masih membeku.

Laki-laki berambut marun itu masih terkaget-kaget dengan kelakuan gadis yang masih berdiri di hadapannya. Ia lalu mengambil sapu tangan dari sakunya dan mengelap seluruh wajahnya yang sedikit basah karena tumpahan air yang dilayangkan tepat padanya.

Belum sempat Hinata kabur dari amarh laki-laki itu, tiba-tiba Ayahnya dan Tuan Sabaku memasuki ruangan mewah itu.

"Gaara, kau sudah berkenalan?" ujar Tuan Sabaku yang tampaknya Ayah dari lelaki berambut merah marun itu.

"Ya, dengan sangat terhormat." jawab Gaara seraya tersenyum sinis ke arah Hinata yang sudah membatu.

'Ba-bagaimana ini..' teriak Hinata dalam Hati. Ia lalu kembali menatap lelaki bernama Gaara itu takut-takut. Dilihatnya laki laki itu tetap tenang sambil mengeringkan pakaiannya dengan sapu tangan putih miliknya.

"Duduklah, atau kau akan sangat tidak sopan berdiri dihadapanku seperti itu." Gaara lalu berdiri dan kembali duduk di bangku sebelahnya. Mau tidak mau, Hinata harus menurut duduk di atas bangku tepat disebelah lelaki itu.

"Bagaimana, Gaara? Cantik bukan?" tanya Sabaku itu pada Gaara yang masih sibuk mengelap pakaiannya. Mendengar hal itu, Hinata langsung buru-buru melempar pandangannya ke arah lain.

"Yah.." Gaara menjawabnya pelan. Mendengar jawaban itu, Hinata langsung mengumpat kesal. Ia lalu menatap Gaara perlahan.

'Pembual. padahal tadi kau mengatakan diriku biasa saja.' ucap Hinata tanpa suara di samping Gaara.

"Ngomong-ngomong, Hinata. Aku lupa memberitahumu sesuatu." Sabaku lalu menatap Hinata serius.

"A-Apa?"

"Sebenarnya aku hanya pemilik dari perusahaan Sabaku, tapi Presdir sebenarnya adalah Gaara. Jadi, kau bisa tanya hal apapun mengenai pekerjaan pada Gaara." Hinata langsung membulatkan matanya. Lagi-lagi yang Ia lihat disampingnya adalah senyuman picik milik Gaara yang seakan berkata 'kena kau'.

'Jadi dia adalah bos-ku?.' umpat Hinata dalam hati merasa takut.

"Baiklah, Gaara. Kau sudah tentukan kapan tanggal pernikahannya?" tanya Sabaku pada Gaara yang tampaknya sudah selesai membersihkan kemejanya.

"Ya, besok."

Mendengar jawaban itu, Hinata langsung berdiri. "Tu-tunggu dulu! Aku belum bilang sekalipun kalau aku menerima lamaran itu, bukan?"

"Hm? Jadi, kau menolaknya?" Gaara menatap Hinata menang.

"Ti-tidak.." Hinata lalu menjatuhkan dirinya diatas kursi dan kembali duduk. Ia menatap Gaara kesal.

"Apa, Hinata? Ada yang mau kau katakan?" Gaara membalas tatapan sinis Hinata tak kalah sinis.

"Sa-sama sekali tidak!" Hinata langsung melemparkan wajahnya ke arah sebaliknya. Dilihatnya Hiashi hanya bingung dengan apa yang harus Ia lakukan.

"Baiklah, aku senang karena anakku ini sudah terlalu lama berkutat pada kerjaannya dan tidak pernah memikirkan hal ini."

Selagi Hiashi dan Ayah dari Gaara bicara, Hinata kembali menatap sampingnya, dan yang Ia temukan adalah Gaara yang sibuk membaca buku menu tanpa memperhatikan dirinya.


Hari ini adalah hari pertama Hinata sebagai seorang wanita yang sudah menikah. Pernikahan yang berlangsung cepat kemarin, tiba-tiba ingin Hinata hapuskan bagaimanapun caranya.

"Hei, barangmu hanya segini?" tanya Gaara yang sibuk mengangkut barang-barang Hinata kedalam bagasi mobilnya.

"Ah, i-iya.." Hinata yang asik duduk di bangku mobil menganggukkan kepalanya tanpa menatap Gaara yang berada di sampingnya yang sibuk memasukkan barang miliknya. "Barangku.. sudah ku taruh di depan rumah semua."

"Aku sudah masukkan semuanya." Gaara membalas ucapan Hinata tenang sambil tetap merokok. Hinata sedikit merasa tidak enak hati. Walaupun sudah bertindak kekanak-kanakkan atau egois, Gaara tidak pernah sekalipun membentaknya bahkan saat Hinata menangis di altar karena kesal dengan pengucapan janji pernikahan Gaara yang tampak main-main. Masih tampak jernih di kepala Hinata bagaimana Gaara meminta penghulu untuk menghentikkan jalannya pernikahan untuk membiarkan Hinata menangis terlebih dahulu.

"Sudah pamit dengan Ayahmu? Kita berangkat sekarang." Gaara langsung memasuki mobilnya dan duduk di bangku pengemudi. Mobil mewah berwarna hitam miliknya yang terpakir di depan rumah Hinata kini mulai melaju pelan.

Hinata yang duduk disamping Gaara menatapnya perlahan. Dilihatnya Gaara sibuk menyetir seraya merokok dengan tenang. Merasa dipandangi, Gaara melirik Hinata, dilihatnya wanita itu sedari tadi menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

Gaara langsung fokus ke arah jalan tanpa melihat Hinata sedikitpun. Telinga Gaara langsung menangkap suara batuk Hinata disampingnya. "Apa?"

"Ma-maaf.. asap.. aku tidak tahan dengan asap." ucap Hinata tidak enak hati. Tanpa banyak alih, Gaara langsung mematikan rokoknya dan membuangnya.

"Cukup?" Gaara melirik Hinata lagi. Melihat hal itu, Hinata langsung membalikkan wajahnya berusaha untuk tidak dipandangi lagi oleh lelaki yang berstatus suami-nya itu. Berbeda dengan sebelumnya, Hinata sedikit merasa malu melihat seorang laki-laki begitu menurut dengannya.

"Kita hampir sampai, tempatnya tidak jauh dari perusahaan, jadi kau tidak perlu naik kereta lagi." Gaara membuka suaranya dan memberhentikan mobilnya tepat disebuah apartemen mewah.

"A-Apartemen? Bukan rumah?" tanya Hinata bingung.

"Ya, aku tinggal di Apartemen, terpisah dari Ayah dan keluargaku." Gaara lalu keluar dari mobilnya dan segera membuka bagasi mobilnya. "Kemari, bantu aku membawa barangmu."

Mendengar hal itu, Hinata langsung keluar dan menuju ke arah bagasi mobil hitam itu. Dengan cepat Hinata mengambil koper yang berada di dalam bagasi.

"Ah, jangan yang itu. Bawa saja yang ini." Gaara mengambil koper di tangan Hinata dan memberikannya sebuah tas kecil.

"K-Kenapa?" tanya Hinata bingung.

"Hm? Karena tubuh kurusmu itu tidak akan sanggup membawanya bukan?" ujar Gaara dengan nada mengejek.

"A-aku bisa." Hinata lalu mengambil koper yang berada di tangan Gaara dan mengangkatnya sekuat tenaga.

Gaara lalu menutup bagasi mobilnya dan mengikuti Hinata seraya membawa tas kecil tadi dengan tangan kirinya. Dilihatnya Hinata yang berada di depannya sekuat tenaga membawa koper itu.

"Ja-jangan bantu aku! Aku bisa!" seru Hinata saat memasuki bangunan apartemen itu. Tampaknya jiwanya yang tidak mau dianggap lemah oleh siapapun itu sedikit mengganggu Gaara.

"Iya,iya.." Gaara mengangguk pelan dan tetap berjalan di belakang Hinata.

"Lantai berapa?" tanya Hinata dengan suara tertekan karena barang yang ia bawa.

"26." jawab Gaara santai.

"Eh? Tinggi sekali." bisik Hinata kaget. Gaara sendiri tidak menggubris kalimat Hinata dan tetap asik membawa 2 koper di kedua tangannya. "Aku mengerti, ja-jangan bantu aku!" seru Hinata lagi.

"Sudah kubilang aku tidak membantumu." Gaara mulai gerah dengan pernyataan itu dan menggelengkan kepalanya.

"Ah, untung liftnya besar." ucap Hinata tenang. Gaara lalu memencet tombol 26 di pintu lift. Mereka berdua tetap diam tanpa bicara sedikitpun. Hinata sendiri bingung harus menatap kemana karena Gaara sedari tadi hanya berada di belakangnya.

DRAK

"Tsk." decih Gaara menyadari lift tak berfungsi. "Entah sudah berapa kali seperti ini."

Lampu lift yang ikut matipun membuat Gaara menjadi susah beranjak kemanapun. Ia lalu segera memencet tombol panggilan darurat di pintu lift. "Aku terjebak di lift D, perbaiki segera." serunya berbicara dengan orang di seberang telepon. Setelah selesai berbicara, Gaara lalu menyadari bahwa Hinata yang ada bersamanya tidak bersuara sedari tadi.

"Hinata?"

Gaara lalu membuka ponselnya untuk mendapatkan bantuan cahaya. Diarahkannya layar ponselnya dan menemukkan Hinata di sudut lift. "Apa yang kau lakukan."

Gaara lalu mendekati tubuhnya ke arah Hinata dan melihat tubuh Hinata sudah gemetaran di sudut ruangan. Nafas gadis itu tampak tersenggal-senggal seperti habis lari. Merasa takut terjadi sesuatu dengannya, buru-buru Gaara menarik tangan yang menutupi wajah gadis itu.

"Hinata!" Gaara langsung menarik tubuh Hinata kedalam dekapannya. "Ada ada denganmu?" Gaara mendekap erat tubuh Hinata yang sudah berkeringat dingin dan gemetar di seluruh tubuhnya. Belum sempat Hinata menjawab, tiba-tiba Ia kehilangan kesadarannya. Gaara lalu menaruh Hinata perlahan kembali menatap Hinata yang masih pingsan dengan tubuh yang sudah basah dengan keringat. Masih teringat di dalam kepalanya. Meski tak dapat melihat wajah Hinata karena gelap, Gaara yakin bahwa wanita yang dihadapannya ini menangis.

Beberapa menit kemudian, lift mulai menyala dan berjalan lagi. Dengan cepat, Gaara membopong Hinata di pundaknya dan membawa barang-barangnya keluar saat tiba di lantai 26. Beruntung Gaara memiliki kekuatan besar untuk membawa orang dipundaknya dengan satu tangan, dan membawa 3 koper yang lebih berat di tangan lainnya.

Saat sampai di kamar apartemennya, Ia lalu melepas koper ditangan kirinya dan mengambil kunci di sakunya. Dengan segera ia membuka pintunya dan menaruh Hinata pelan di atas kasur miliknya. Sebelum mengambil koper Hinata yang masih Ia tinggalkan di depan pintu, Gaara menghapus keringat di sekujur wajah Hinata dengan handuk miliknya perlahan.

"Sebenarnya..Apa yang terjadi padamu?" bisik Gaara dalam hati. "Padahal, ini adalah pertama kalinya sejak kita bertemu saat itu."


TBC

Wahaha, ini gaje banget sebenernya maaf ya *sujud*

yah, ini masih permulaan jadi nggak seru maafkan sayaaa :"(

Masih belum diceritain juga gimana kehidupan mereka pas nikah ya kekeke

Dibutuhkan review kalian yang sangat membantu terlaksananya fic ini!

Terimakasih banyak!

RnR