WELCOME TO E;SCAPE
- [New Game]
[Continue]
[Settings]
[Exit]
.
Musik medley ala game sederhana mengalun pelan sesaat setelah game itu terbuka. Latar belakangnya hanya menampilkan siluet panah, mungkin untuk memfokuskan judul di tengah yang terlihat mencolok. Opsinya cukup sederhana, tidak ada bantuan, tidak ada kredit, satu-satunya yang absen hanyalah Continue karena game ini baru dibuka untuk pertama kalinya.
.
SELECT MODE
[Single Player]
- [Multiplayer]
.
SELECT DIFFICULTY
[Easy]
- [Normal]
[Hard]
[Extra]
.
Jari telunjuk itu berhenti, berkebalikan dengan panah kuning yang terus berkedip-kedip. Merongrong sang pemain untuk cepat memilih. Tanpa banyak berpikir, ia langsung menekan tombol Enter dan layar mendadak menjadi gelap.
.
.
.
E;SCAPE
Kagerou Project © Jin (Shizen no Teki-P)
(various pair, adventure/scifi/fantasy/angst/friendship/romance, T, AU)
(Warning: alias name used, but I make it pretty clear so you should be able to guess the characters)
-This fanfic is for nothing but fun. I do not gain any profit for making it. Read it, or just leave it-
.
.
.
"Di-di mana aku?"
Suasana suram menyambut kedua matanya setelah ia tersadar. Sambil memegangi kepala yang mendadak terasa berat, Mogi berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi sebelumnya. Kalau tidak salah waktu itu suaranya hampir habis untuk menjerit-jerit minta tolong... ugh.
Nyeri di kepalanya semakin membara.
Mogi berusaha bangkit dan mencari pegangan, apa saja –asalkan ia tak rubuh karena pandangannya kini mulai berputar-putar. Ingatan itu kembali memburam. Hanya beberapa hal yang sepintas lewat sementara mata merah itu masih mengolah informasi dari apa yang dilihatnya... biru, biru, dingin, asin, udara... gelap, dingin, tua, runtuh, abu-abu... tangan, teriak, napas, mati...
Meraba-raba dinding penuh retak dan cat terkelupas, Mogi berjalan tertatih-tatih karena matanya belum terbiasa dengan kegelapan. Hanya dinding itulah satu-satunya indikator agar ia bisa tahu tempatnya sekarang, dan mungkin mencari sesuatu untuk menerangi keadaan. Tak butuh waktu lama baginya untuk menemukan celah berbentuk persegi panjang di ujung, terlihat seperti sebuah pintu –seakan-akan lupa dengan sakit kepalanya, gadis itu berlari menuju arah cahaya dan mendadak berhenti begitu melihat kenyataan di depan mata.
Ia ingat sekarang.
Ia ingat kalau ia tak berada disini sebelumnya.
Ia nyaris menjemput ajal di laut lepas.
Tapi mengapa –
-E;SCAPE-
"Tolong! Tolong!"
Berkali-kali suaranya timbul-tenggelam karena ombak yang semakin ganas. Tak peduli dengan lidahnya yang berkali-kali mencecap asin karena menelan air garam, ia terus berteriak, terus melambaikan tangan, tak peduli pula dengan suaranya yang nyaris mustahil menjejak daratan. Hujan yang sepertinya bersekutu dengan ombak menumpahkan lebih banyak hidrogen dioksida, memporak-porandakkan suasana, dan jangan lupa dengan angin dan petir yang terus menyambar. Matanya sudah pedih, suaranya sudah habis, tubuhnya sudah mati rasa... bahkan untuk muntah karena diombang-ambing ombak saja sudah tak bisa. Kalau ini adalah akhir hidupnya, biarlah ia menghembuskan napas terakhir dengan tenang... bukannya dalam kondisi tersiksa dan takkan ada yang melihat saat-saat terakhirnya di dunia... bahkan mungkin ia takkan dikebumikan dalam kondisi layak...
Seekor ular menghampirinya sebelum ia memejamkan mata.
Hanya itu yang mampu ia lihat sebelum Mogi sampai di tempat antah-berantah seperti ini. Sempat terbesit pikiran kalau ular itu yang menyelamatkan dirinya dan membawanya ke tempat ini. Kalau itu benar, gadis itu harus berterima kasih kepada hewan melata tersebut meskipun sebenarnya kondisinya tak lebih baik. Oke, ia akui kalau kakaknya memelihara kelinci putih di rumah, dan ia juga suka kucing, tapi kucing dan kelinci dengan mulut penuh taring-taring tajam dan menyeringai lebar itu bukan hal yang baik, apalagi jumlahnya yang mencapai belasan dan menyambutnya di depan mata –
"KYAAAAAAAHHHHHHH!"
Ajaibnya, meskipun ia baru saja selamat dari insiden tenggelam dan seharusnya membutuhkan banyak istirahat agar bisa pulih kembali, namun larinya jauh lebih cepat daripada orang normal. Kekuatan orang yang terdesak, mungkin? Mogi bahkan tak berani menoleh ke belakang, tujuannya hanyalah mencari tempat yang tidak terlalu terbuka karena kelinci dan kucing itu mengejarnya dari segala arah. Baru saja ia menemukan gang sempit yang sepertinya hanya muat untuk satu orang, pandangannya terasa aneh. Sesuatu seperti grid hijau membatasi pengelihatannya, dan balon kata bermunculan pada setiap benda yang dilihatnya.
Rabbit
HP: 36
MP: 40
Cat
HP: 45
MP: 55
Di sebelah kirinya, seperti status bar pada game online, terdapat informasi mengenai dirinya, kekuatannya, barang-barang yang dimilikinya, dan pandangan Mogi berhenti pada satu kata.
Weapon
Secara refleks, telunjuknya menyentuh udara kosong, tapi senjata yang dimaksud langsung mucul di hadapannya dan benar-benar nyata. Tanpa buang banyak waktu, Mogi langsung memakai flamethrower itu sambil berlari menghindar. Untung saja gang yang dimaksud sudah ada di depan mata, dan sesuai prediksinya, musuh-musuh itu takkan bisa mendekat.
BRUK!
"Haah... haah..."
Napasnya memburu, namun ekspresi lega justru terukir di wajahnya. Baru saja ia melangkahi maut dengan mengerahkan seluruh energinya, ditambah membawa beban yang tak terkira, jadi lecet-lecet di lututnya bukan hal yang perlu dibesar-besarkan. Mengubah posisinya dari tengkurap menjadi duduk bersandar, Mogi memeriksa lebih jauh apa yang terjadi pada matanya dan senjatanya.
MOGI
Player No. 5
Race: Human
Eye Ability: Captivating Eyes
Weapon: M2A1-2 Flamethrower
Captivating Eyes? Player No. 5? Berbagai pertanyaan muncul di benak Mogi, namun belum ada satupun yang terjawab. Berbekal spekulasi-spekulasi sederhana, ia mengkalkulasikan informasi tersebut menjadi informasi baru.
Kalau aku adalah pemain nomor 5... berarti masih ada pemain lainnya? Lalu Captivating Eyes ini... mata Penarik Perhatian? Apa maksudnya? Padahal mataku hitam polos biasa, tidak biru indah apalagi berkarisma –
Gumaman Mogi berhenti ketika pantulan cahaya yang berasal dari pecahan cermin mengganggunya. Gadis itu mengambilnya, dan menatap bayangan wajahnya sendiri dengan susah payah. Meskipun samar, tapi ia bisa melihat kilatan merah yang berada tepat dimana matanya berada –
Tidak mungkin.
Aku tidak pakai lensa kontak, jadi bagaimana bisa?
Suara geraman yang amat ia benci kembali terdengar, Tidak ada waktu untuk berkeluh kesah, Mogi harus pindah dari tempat itu secepatnya sebelum musuh memaksa masuk ke dalam. Diangkatnya tali ransel flamethrower itu erat-erat sembari berlari ke dalam, berharap seperempat bebannya pindah walau sebentar.
BRAKK!
Kedua dinding yang menjadi mulut gang hancur separuhnya, membuat para monster itu bebas bergerak leluasa meski tak bisa masuk bersamaan. Mogi semakin panik, ditingkatkannya kecepatan lari meskipun dengan napas yang tersengal-sengal –
Sebuah dinding tinggi menjulang di hadapannya.
Bagus sekali, batin Mogi dalam sarkasme. Kondisinya benar-benar terjepit, satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanyalah menghadap musuhnya sambil sedikit-sedikit merapat ke dinding... hingga tidak ada lagi celah bagi gadis itu untuk kabur. Mungkin kalau dalam keadaan normal, Mogi akan bertanya-tanya mengapa hewan-hewan lucu dan berwarna lembut seperti merah jambu, kuning muda atau hijau pandan itu bisa berukuran sebesar beruang dan seganas serigala. Sayangnya, dengan posisi malaikat maut sudah mengalungkan sabit kematian di lehernya, dan tidak ada siapapun untuk dimintai tolong, tak ada waktu untuk memikirkan hal tersebut sampai tangannya menyenggol selang flamethrower.
Ini dia!
Dengan jari gemetar, ia menekan semua tombol di selang tersebut dengan acak, dan nyaris saja ia sendiri yang dilalap api hingga Mogi dapat mengontrol flamethrower tersebut dengan baik. Diarahkan moncong selang itu ke arah musuh dengan takut-takut pada awalnya, berharap mereka segera mundur. Berhasil! Mogi semakin meningkatkan volume apinya, dan berlari ke depan –sementara para monster itu justru berbalik dan berlari tunggang-langgang. Seringai tawa tak wajar menghiasi wajahnya, apalagi beberapa diantara mereka yang tak beruntung menjadi kelinci panggang menimbulkan bunyi keretek pelan dan balon kata di atas kepalanya menjadi lenyap.
Mati.
Musnah.
Mogi tertawa keras-keras, angka nol yang sebelumnya bercokol di kanan layar sekarang bertambah tiga puluh. Artinya, satu monster yang baru saja ia bunuh bernilai sepuluh, dan jika menghitung total monster yang kini berlari serabutan karena api yang menyala-nyala, ia bisa mendapatkan poin lebih!
"Mati! Mati kalian semua! Mati!" jerit Mogi girang sambil mengarahkan moncong flamethrower-nya ke segala arah. Angka poin langsung meroket tinggi, seiring dengan monster-monster yang roboh. Tak peduli dengan segala kerusakan yang ia buat karena membakar benda apapun dengan ceroboh, kini status Mogi yang semula korban berubah menjadi pemburu. Dikejarnya semua monster yang tersisa, bahkan tak perlu mendekatpun mereka sudah menjadi kelinci dan kucing panggang karena semburan apinya bisa mencapai dua meter. Ia baru bisa menghela napas lega setelah monster-monster yang menyerangnya tumbang, dan poinnya kini bertengger di angka 180. Cukup banyak juga, batin Mogi sambil mengelus-elus flamethrower yang entah mengapa bebannya tidak terasa lagi di punggung. Dilangkahinya mayat-mayat itu dengan perasaan bangga yang aneh, seolah-olah ia baru saja mengalahkan musuh pada game –
Oh iya, sebenarnya apa yang terjadi di sini?
Semua yang terjadi pada dirinya terlalu nyata untuk dibilang mimpi. Ia bisa merasakan luka di lututnya, panas yang menjalari selang, dan ia bisa ambruk kelelahan saat bersembunyi di gang tadi. Mustahil kalau ini semua hanya ilusi... atau jangan-jangan ia sekarang berada di dalam game?
Mogi duduk di atas kap mobil dan melonggarkan tali ransel flamethrower-nya. Pasti ada... pasti ada semacam keterangan atau cara bermain di layar virtual yang ditanamkan di depan matanya. Gadis itu menekan tombol 'Menu'di pojok kiri bawah, dan beberapa opsi yang tertera muncul seperti pop-up.
Continue
- Setting
Save and Exit
Tidak begitu banyak berguna pada pilihan tersebut, hanya sebatas mengubah tata letak alias template layar virtual yang dipenuhi grid hijau tersebut. Opsi mengecilkan atau membesarkan suara juga tidak ada, tentu saja, apalagi mengubah kontrol dari keyboard menjadi mouse atau sebaliknya –
"Selamat datang di E;SCAPE!"
Mata merah itu membulat. Sebuah pop-up besar tiba-tiba memblokir pandangannya, disusul dengan suara wanita muda yang menyapa. Oh, ia baru sadar kalau suara tersebut berasal dari headphone yang sedari tadi terkalung di lehernya. Mogi mengenakan headphone tersebut dan menekan pop-up tadi sekali lagi.
"E;SCAPE adalah shooting game dengan sistem level. Cara bermain game ini cukup mudah, tembak semua musuh Anda hingga mencapai poin tertentu untuk bisa lanjut ke level berikutnya. Anda telah dibekali Weapon, Energy, dan Memory secara acak, jadi pastikan Anda memanfaatkannya dengan baik. Beberapa Eye Ability bekerja lebih optimal dengan Weapon, sebagian tidak berhubungan sama sekali atau malah merugikan. Tidak ada opsi Save dan Exit disini, jadi –"
"Tunggu tunggu tunggu tunggu!" seru Mogi sambil mengecek tombol menu dengan keringat dingin yang mendadak menyusuri pelipisnya. Ia ingat kalau tadi ada pilihan itu di bawah 'Setting' tapi... tubuhnya mendadak lemas ketika panah kuning yang berkedip-kedip itu tidak dapat digerakkan sampai bawah, yang artinya pilihan tersebut terus terkunci sampai waktunya tiba.
" –Anda harus terus memainkan game ini sampai selesai. Jika Anda menang, Anda dapat keluar dari game ini melalui gerbang yang telah disediakan dan kembali ke dunia nyata. Hal sebaliknya terjadi jika Anda kalah. Peraturan lebih lanjut akan dijelaskan secara bertahap di tengah permainan. Selamat bermain~!"
Pop-up itu lenyap. Menyisakan grid hijau yang membosankan.
"'Selamat bermain' apanya..." umpat Mogi sambil meloncat dari kap mobil, tentu saja setelah mempererat tali ransel flamethrower-nya. "Aku hampir mati, astaga! Kurasa aku harus mencari cara agar bisa menemukan monster sialan itu dan pulang ke rumah."
Kali ini gadis itu memindai sekeliling dengan teliti. Sebenarnya, jika tidak ada monster-monster aneh yang berkeliaran, suasana ini seperti kota besar yang telah lama ditinggal penduduknya. Bangunan-bangunan bekas toko, rumah sipil, kantor, tingginya bervariasi namun semuanya sepi dan dalam kondisi tak layak huni . Nyaris semua dindingnya hanya berbentuk batu bata berlapis semen, itupun sudah banyak yang runtuh dan terkelupas. Besi-besi berkarat, mobil terparkir sembarangan, aspal retak dan tak terhitung yang bergelombang apalagi lubang. Tiang-tiang lampu, kotak pos, tanda jalan, semuanya doyong dan beberapa patah. Lampu jalan mati, ada pula yang sangkarnya kosong, bekas pecahan lampu berserakan tepat di bawah.
Singkat kata, kota ini seperti baru terkena gempa berskala tinggi dan secara harfiah sudah mati.
Benar-benar tempat yang layak untuk dijadikan lokasi survival game, batin Mogi sambil membaca alamat toko yang tertera di atas suatu bangunan. Meskipun kesulitan karena papan nama itu nyaris hancur, tapi ia yakin kalau nama kota ini tidak ada dalam peta Jepang, atau peta manapun di dunia. Satu-satunya cara agar ia bisa keluar dari tempat mengerikan ini, seperti yang telah dijelaskan di peraturan, hanyalah naik level setinggi mungkin hingga –
KRUUUUUKKKK
Mogi memegangi perutnya. Sudah berapa lama sejak perutnya diisi? batinnya sambil menekan pilihan 'Menu' sekali lagi. Kalau tidak salah peraturan tadi bilang ia punya semacam Energy?
Health Point yang berada di sisi kanan berkurang separuh lebih dan berwarna kuning, padahal sebelumnya Mogi yakin kalau tadi warnanya hijau dan memenuhi tiga perempat bar.
Setelah mengutak-atik opsi 'Items', akhirnya gadis itu menemukan lunchbox dan makanan yang dimaksud langsung muncul begitu saja di hadapannya setelah ia menekan gambarnya. Satu kotak nasi lengkap dengan lauk pauk dan alat makan sekali pakai. Mogi menggeser tampilan layar 'Items' ke bawah, dan menekan gambar air mineral. Minuman yang dimaksud kembali muncul, wadahnya sama seperti yang digunakan anggota militer sehingga gampang disimpan jika isinya sudah habis. Rasa makanannya standar, tidak begitu enak namun masih dapat ditolerir, yang penting Health Point-nya kini telah naik dan warnanya kembali ke hijau. Diteguknya air mineral itu dua kali sebagai penutup, lalu ia membungkus semua sampahnya dengan plastik yang tersedia dan membuangnya ke tempat sampah yang tutupnya entah dimana.
Sekarang waktunya berburu monster.
-E;SCAPE-
Sembilan, sepuluh...
Mogi terus menghitung jumlah monster yang gosong akibat flamethrower-nya sambil berlari dan sesekali bersembunyi diantara gang sempit. Ternyata tak butuh waktu lama baginya untuk berburu monster, karena mereka datang dengan sendirinya. Ia tak tahu apa dirinya akan dimakan atau api yang disemburkannya menarik perhatian, tapi mereka sangat berguna untuk meningkatkan poinnya.
Lima belas, enam belas...
Bunyi plop pelan membelah suasana. Mogi menginjak mayat-mayat hitam tersebut tanpa beban, langkahnya menuju atap rumah yang tidak begitu tinggi untuk dipanjat dan kelihatannya aman untuk dipijak. Perkiraannya, ia bisa melihat lebih banyak jika dari atas. Langit berwarna merah gelap, atmosfer kematian menggantung di udara, suasana yang takkan kautemukan di dunia nyata. Tidak ada penunjuk waktu di sini, apalagi bulan dan matahari. Satu-satunya benda langit hanyalah lubang hitam menganga dengan petir merah yang menyambar-nyambar.
Itukah jalan keluarnya?
Sambil terus membakar para monster, Mogi terus menatap angkasa. Memang ia tak mungkin terbang ke sana, namun kalau memang itu jalan keluarnya, ia akan berusaha sebisa mungkin untuk mencapai lubang tersebut. Baru saja ia hilang ingatan ke-berapa monster yang sudah dilumpuhkan, sebuah tulisan besar-besar muncul di hadapannya, namun tidak begitu mengganggu sehingga ia masih bisa menyerang monster lain.
COMBO 2X
COMBO 3X
COMBO 4X
Kombo itu terus bertambah sementara Mogi semakin terengah-engah. Setahunya, kombo sangat berguna untuk melipatgandakan poin, namun jika kombo itu berhenti di tengah jalan, maka ia harus mengulang dari awal. Karena itulah, ia harus berusaha lebih keras agar kombonya terus berjalan –
"AAAAAHHHHHH!"
Mungkin karena ia terlalu bersemangat mengejar kombo, Mogi tak melihat kalau ada salah satu genting yang sudah rapuh sehingga tubuhnya langsung terperosok ke dalam rumah tersebut. Di saat-saat seperti ini ia baru menyesali mengapa senjatanya begitu berat, yang sangat membantunya agar terjatuh lebih keras. Sambil berusaha bangkit, dilihatnya Health Point di samping kanan mulai menurun dan berwarna kuning tua.
"Gawat!"
Sebelumnya, untuk menaikkan kembali Health Point, ia harus makan sesuatu. Tapi sayangnya saat ini ia tidak lapar, tapi syok dan memar-memar... sial. Mogi mengutak-atik opsi Menu dengan beringas, mencari Items apapun yang dapat menaikkan Health Point-nya kembali... seingatnya di game lain, ia bisa memperoleh semacam mantra sihir atau minimal perban dan obat. Tapi sayang, selain flamethrower yang sudah ia gunakan... tidak ada benda yang dimaksud sama sekali. Bahkan siluet saja tidak ada, seperti yang biasanya game lain lakukan kalau pemainnya masih mencapai level bawah. Hanya kosong, kecuali Treasure Box yang sempat muncul saat ia mengumpulkan kombo barusan.
"Semoga ini bisa berguna..." ujar Mogi setengah berharap sambil menekan gambar yang lebih mirip peti harta karun itu. Cahaya menyilaukan keluar dari peti tersebut setelah dibuka, memaksa gadis berambut pirang itu untuk mundur selangkah, namun tiba-tiba rasa pusing menyerang dan semuanya menjadi gelap.
-E;SCAPE-
Kamar... putih... pemuda.
Pemuda... kuat... kakaknya...
Shintaro... siapa?
Pemuda berambut putih itu... siapa?
Niichan... tolong...
Tolong...
Bangun...
"Bangun."
Mata merah itu setengah terbuka.
"Kumohon, bangunlah."
Guncangan di bahunya semakin keras. Mogi langsung terduduk, jantungnya berdetak amat kencang. Seakan-akan ia baru saja mengalami mimpi buruk, keringat dingin menyusuri pelipisnya, dan napasnya juga terengah-engah. Apa yang barusan terjadi? mengapa ia ada disini? Siapa pemuda berambut putih itu? Mengapa ia minta tolong?
"Ah, syukurlah kau sudah bangun."
"Si-siapa?" Mogi memasang sikap siaga, tangannya otomatis meraih selang flamethrower yang selalu ada di sampingnya, tapi tidak ada apa-apa disana. Gadis itu semakin panik, ditatapnya pemuda itu dengan tajam.
Hei, pemuda itu sama persis seperti yang ada di dalam mimpinya!
Melalui layar virtual dengan grid hijau, Mogi melihat pemuda itu dengan lebih jelas, berharap balon kata akan muncul di atas kepalanya dan memberikan identitas yang lebih jelas. Kono-ha?
"Jangan takut. Aku hanya ingin menolong," ujar Konoha berusaha agar terlihat lebih menyakinkan, namun ekspresi dan nada suaranya tetap datar. Alis Mogi naik sebelah, mencoba memanggil pemuda ini berdasarkan informasi yang ia punya.
"Kono...ha?"
"Ya, itu aku. Kau sendiri... Mogi? Benar?"
"Ya. Apa kau salah satu pemain juga? Coba kulihat... nomor sembilan?" tanya Mogi memastikan. Konoha mengangguk.
"Apa kau pernah bertemu dengan pemain lain sebelumnya? Ngomong-ngomong, pemain nomor sembilan... lumayan juga yang terjebak disini," gumam Mogi sambil mengerutkan kening. Kalau pemuda yang ada di hadapannya adalah pemain terakhir, besar kemungkinannya ia bisa bertemu dengan tujuh orang lain dan bekerjasama untuk bisa keluar dari game ini. Mogi baru saja mendapat ide cermelang kalau saja ia tak ingat tujuh pemain itu belum tentu memiliki tujuan yang sama dengannya...
"Hei, Konoha."
"Hm?" Pemuda berambut putih itu masih mengunyah isi lunchbox yang baru saja dibukanya.
"Mungkin aku bodoh karena menanyakan ini, tapi... kau lawan atau kawan?"
"Maksudnya?" tanya Konoha balik, namun tangannya masih sibuk menjejalkan nasi ke dalam mulut.
"Kau tahu..." Bola mata Mogi berputar. "Mungkin kita akan bertemu pemain lain, dan kita tidak tahu apa-apa tentang mereka, apa tujuan mereka, seberapa kuat mereka, dan apakah mereka akan membantu kita seperti yang kaulakukan atau sebaliknya. Ngomong-ngomong, kau cukup kuat juga... senjata apa yang kau –UWAAAAHH!"
"A-ada apa?"
"Kau-kau sudah sampai level sepuluh?" jerit Mogi terkejut ketika membaca informasi lain yang ada di atas kepala Konoha sementara pemda itu masih kebingungan. "D-dan... poinmu... astaga... sebelas ribu? Aku bahkan belum mencapai empat ribu! Bagaimana bisa kau melakukannya?"
"Err... entahlah... setiap ada monster yang menyerang... kuserang balik... aku tidak sempat menghitung..."
"Tapi ini penting sekali, Konoha!" Kali ini gantian Mogi yang mengguncang-guncang bahu Konoha dengan frustasi. "Satu-satunya cara agar bisa keluar dari game sialan ini adalah memiliki poin tinggi! Arghh, padahal kukira aku sudah membunuh banyak monster waktu itu..."
"Aku cuma pakai ini." Konoha mengeluarkan benda yang tak asing dari sakunya, membuat Mogi ternganga untuk kali kedua. Senjata itu puluhan kali lebih ringan, lebih mudah dibawa dan lebih mematikan jika digunakan dengan benar. Lagi-lagi, gadis berambut pirang itu menyesal mengapa ia mendapatkan flamethrower sebagai senjatanya.
"Kau bercanda... kan?" tanya Mogi serius, tapi Konoha menggeleng.
Benda itu adalah dua buah pisau dapur biasa.
"Tak mungkin..." Mogi menggeleng-gelengkan kepala, kembali membaca informasi tentang Konoha yang mungkin terlewat. Memang benar disana nama senjatanya tercantum Double Knife, tapi kemampuan mata alias Eye Ability-nya...
"Awakening Eyes? Apa itu?"
"...Entahlah," jawab Konoha asal setelah jeda lama. "Oh, jadi Eye Ability-mu Captivating Eyes?"
"Ya, apa kau tahu sesuatu?" tanya Mogi dengan mata berbinar.
"...Tidak."
Ingin rasanya gadis berambut pirang itu membenturkan jidatnya ke tembok terdekat.
"Konoha, uhm..." Masih ada banyak pertanyaan yang belum terjawab, dan awalnya Mogi berharap pemuda yang sekarang membuka lunchbox keduanya ini bisa tahu beberapa, atau setidaknya bisa diajak berdiskusi. Nyatanya mereka sama-sama buta, hanya perbedaan poin yang cukup ekstrim meskipun Konoha tidak tahu caranya. Tunggu dulu... tidak tahu atau pura-pura tidak tahu?
"Ya?"
"Darimana kau bisa dapatkan dua lunchbox? Bukankah masing-masing hanya dapat satu?" Atau setidaknya itulah yang Mogi alami, tambah gadis itu dalam hati.
"Bukan dua, tapi lima..." Konoha merentangkan kelima jarinya. "Setelah aku mengalahkan monster itu, aku mendapat lima Treasure Box. Isinya makanan semua."
Mogi menghela napas. Meskipun pemuda berambut putih yang ada di hadapannya ini sulit dipahami dan suka berkata seadanya, namun ia bisa menyimpulkan beberapa. Treasure Box bisa berisi apa saja, dan hanya dapat diperoleh melalui kombo. Entah apa yang ia dapatkan setelah membuka Treasure Box miliknya karena cahaya menyilaukan itu membuatnya kehilangan kesadaran... tidak mungkin zonk, kan?
Gadis berambut pirang itu mengecek Health Point-nya. Sudah separuh lebih terisi dan berwarna hijau muda.
"Konoha, apa saja yang kaulakukan padaku selama aku pingsan?"
"...Hah? Menungguimu, tentu saja," jawab Konoha sambil garuk-garuk kepala.
"Kau yakin tidak mengobati luka-lukaku karena terjatuh tadi... tunggu, bagaimana bisa kau menemukanku?" tanya Mogi penuh selidik. Seingatnya, tidak ada siapa-siapa di dalam rumah itu saat ia terjatuh, dan Mogi baru pingsan setelah Treasure Box miliknya dibuka... jadi, kapan pemuda itu datang dan menyelamatkannya?
"Aku baru saja mengalahkan para monster dan aku mendengar suara terjatuh yang keras, jadi kukejar," jawab Konoha datar. "Itu saja."
"Apa kau pernah mendapat sesuatu di dalam Treasure Box selain makanan? Sesuatu seperti... mimpi aneh?"
"Mimpi aneh?" Konoha berusaha berpikir keras, meskipun ekspresi wajahnya tidak berubah sedikitpun. "Mimpi apa? Kalau kau mau, aku bisa berbagi makanan."
"Bu-bukan itu maksudku!"
BLAAARRRR!
"Bersiap-siaplah, Konoha. Ini akan menjadi kerjasama kita berdua." Mogi menyandang flamethrower-nya setelah berdiri. "Tenagamu pasti lebih banyak setelah menghabiskan dua porsi makanan itu."
"Umm... sebenarnya aku lebih kenyang kalau makan tiga porsi," sahut Konoha yang dibalas oleh pelototan Mogi. "Tapi tidak apa-apa, waktunya bertarung."
Mereka berdua berjalan mengendap-endap menuju pintu keluar. Mogi di sisi kiri, Konoha di sisi kanan. Ledakan demi ledakan terlontar, suaranya yang memekakkan telinga memaksa mereka berdua untuk menutup indra pendengarannya.
"Konoha! Apa yang terjadi di luar sana?!" tanya Mogi sambil setengah berteriak.
"Tidak tahu!"
"Mungkinkah pemain lain?!" tanya Mogi lagi, pandangannya kembali diarahkan ke luar rumah. Puluhan monster itu terkapar di tanah, bersamaan dengan bekas ledakan yang menghancurkan sekeliling. Benar-benar gaya bertarung yang berantakan, batin Mogi sambil geleng-geleng kepala. Ia memberanikan diri untuk melangkah keluar tanpa memberi kode untuk Konoha terlebih dahulu. Suasana di jalan mendadak sunyi, terlalu sunyi... bagi pertempuran yang baru saja berlangsung di situ beberapa detik lalu.
"Mogi, awas!"
Ia bahkan tak sempat melihat ke arah mana yang dimaksud dengan bahaya. Tubuhnya tiba-tiba sudah terbawa ratusan meter dari tempat ledakan, yang rupanya berasal dari granat. Konoha ternyata menggendong tubuhnya sambil berlari hingga tersungkur di trotoar, namun bagaimana bisa?
"Uhuk, uhuk –" Pemuda berambut putih itu bangkit ke posisi duduk sambil membersihkan debu-debu yang melekat di permukaan kausnya. "Kau tidak apa-apa?"
"'Tidak apa-apa'... bukankah seharusnya kau yang 'apa-apa'? Bagaimana bisa kau menghindari ledakan itu hanya dalam beberapa detik dan kita sudah terlontar ratusan meter dari pusatnya?" omel Mogi, lebih ke khawatir dan penasaran sebenarnya. Baru saja ia ingin menyemprot pemuda itu lebih jauh, sebuah bel bergemerincing di kepalanya. "Ja-jangan bilang kalau Awakening Eyes-mu adalah... ini –"
"Ini apa –"
BLAAARRRRR!
Tanpa menunggu perintah Mogi, Konoha langsung belari menuju sumber ledakan, berkebalikan dengan sang gadis pirang kini terengah-engah. Meskipun kecepatannya kini melambat karena beban di punggungnya, namun ia yakin seratus persen kalau kekuatan yang dimiliki Konoha bukanlah sembarang. Apa itu yang ia maksud dengan Awakening Eyes? Kekuatan super ala Superman?
Mogi baru saja sampai di atas atap tempat mereka berdua bertemu, asap yang sedari tadi menghalangi wajah sang lawan akhirnya memudar dan hilang. Seorang pemuda bermata kucing dengan hoodie yang dinaikkan sampai kepala tersenyum lebar, tangannya masih menggenggam sebuah granat.
" –Maaf saja, Sobat, tapi area ini milikku, termasuk semua monster yang telah kubunuh dibawah sana!"
Konoha tidak bergerak, namun kedua pisau dapur yang telah tergenggam di tangannya telah di posisi siaga. Mogi yang mencium adanya ketidakberesan pada otak pemain baru ini buru-buru mendekati mereka berdua dan menengahi perdebatan tak perlu ini.
"Hentikan, kalian berdua! Apa kalian tak sadar kalau kita semua berada di tengah bahaya –"
BZZZZZ BZZZZZZZ
"Oh, bagus, monster tipe baru." Pemuda berambut pirang itu merogoh saku hoodie-nya dan mengeluarkan sebuah granat lagi. "Tuan-tuan dan nyonya-nyonya, biarkan saya yang mengatasi lebah sialan ini~"
"Tidak secepat itu!" Konoha pasang badan dengan kedua tangan dalam posisi menyilang, pisau dapur masih dalam genggaman.
"Bwahahahahahahaha! Itukah senjatamu? Pisau dapur? Che, kukira kau baru saja mencurinya saat Ibumu memasak –"
BRUAAAAKKKK!
"Sayang sekali, Tuan-tuan, mangsa Anda hilang begitu saja karena Nyonya yang satu ini pintar mengambil kesempatan dalam kesempitan," sela Mogi santai sambil meniup asap yang tersisa dari selang flamethrower-nya. Lebah seukuran singa itu kini terkapar di bawah dalam kondisi gosong, dan mereka berdua hanya bisa melihatnya dari atas sambil melongo. "Kau, mata kucing! Angkat tanganmu, letakkan senjatamu dengan hati-hati, dan keluarkan semua benda yang berada di sakumu sekarang! Dua lawan satu akan percuma, Sobat!"
Ditodong dengan selang flamethrower yang mampu membuatnya menjadi sate hanya dalam hitungan detik, pemuda bermata kucing itu menurut. Dilakukannya apa yang Mogi minta secara perlahan, namun pada saat yang tak terduga, ia melempar bom asap yang mampu mendistraksi mereka berdua.
"Kejar orang itu... ambil senjatanya juga! Sial, padahal baru saja mau kuajak bersekutu!" geram Mogi kesal sambil berusaha meminimalkan gerakannya. Ingat, mereka berada di atas genting, dan Mogi tak ingin mengulangi kesalahan untuk yang kedua kalinya dengan bersikap ceroboh "Konoha, apa kau berhasil mengejarnya?"
"Tidak, tapi aku berhasil mengambil beberapa granat darinya. Sangat berguna," jawab Konoha sambil mengulurkan dua granat yang berada di kepalan tangan. Mogi tersenyum puas, senjata itu sudah lebih dari cukup untuk memancing pemuda pirang itu untuk keluar dari tempat persembunyiannya.
"Baiklah, Konoha, hari ini cukup sekian! Ayo kita cari tempat yang aman dari para monster itu! Oh iya, hati-hati membawa granatnya, soalnya itu mudah meledak," ajak Mogi sambil tersenyum riang. Konoha mengangguk datar, namun ia tetap mengikuti langkah gadis itu.
-E;SCAPE-
Di suatu tempat, pemuda bermata kucing itu menggeram kesal. Tangannya merogoh saku untuk memastikan senjata yang tersisa –bom asap, flashbang, gas air mata, namun tidak ada satupun yang bisa mencabut nyawa. Hanya granat itu senjata terbesarnya, dan ia harus mengambilnya dari kedua pemain amatir tersebut.
.
.
.
TO BE CONTINUE
[bersambung]
.
.
.
-Behind the Scene-
[for those who have much free time and/or just curious about everything that happened when I wrote this fanfic]
Halo! Ini adalah next project setelah M-E-K-A-K-U-S-H-I~ sebelumnya maaf kalau masih banyak kekurangan, saya nggak main game cowok kayak Battlefield, DMC, dan lain sebagainya. Saya lebih suka game indie RPG (Ib, Mad Father, etc), dan game keluaran Gamehouse atau Popcap, sama game android. Kalaupun online, mentoknya cuma di osu! Jadi mohon bantuannya untuk memperbaiki bagian yang nggak pas :
Btw, seperti yang sudah saya katakan di warning, fanfic ini menggunakan nama alias untuk semua karakternya supaya sama dengan Ene (Takane Enomoto) dan Konoha (Kokonose Haruka). Tapi saya usahakan bisa ditebak sejelas mungkin :3 sudah pada tahu kan siapa saja yang muncul disini? Sebenarnya mau saya lanjutin itu scene terakhir tapi takut kepanjangan :")) yasudahlah saya cut saja.
Oh, sama satu lagi. Menurut Anda, lebih suka para karakter Mekakushidan ini pake baju kasualan (referring to Headphone Actor) atau desain yang semodel dengan Konoha & Ene (itam, putih, uning, panah everywhere, headphone)? Kalau lebih banyak yang suka desain kostum baru, ntar saya bikin fanart nya =w= makasih banyak!
Review?
