Hi there, people

Slash for Schweinski! Yep, Bastian Schweinsteiger/Lukas Podolski before World Cup 2014. Universal and historical pairing. Real Person Fanfiction Football/Soccer. I owned them, aha. This one is for you, schweinski710. And for y'all, hope you enjoy :)

"We have some kind of relationship with each other but I'm not quite sure what it is."

-Bastian Schweinsteiger about his friendship with Lukas Podolski-


"Hari ini, aku benar 'kan?"

Musim dingin di Hertfordshire menyebabkan suhu di sekitarmu menjadi lebih dingin dari sebebelumnya, terlebih lagi saat ini –kala matahari telah bersembunyi sehingga hanya bulan dan beberapa bintang yang menerangi langit. Tidak mendung, melainkan cerah; seperti perasaanmu, "Berapa lama lagi?"

Kau tersenyum; tak ada alasan untuk tidak melakukan hal itu. Tak menjawab, berpura-pura berfikir barang sejenak sedang sosok satunya menggeram menyesal tak bisa menggapaimu yang nampak sengaja.

"Jawab saja pertanyaanku. Apa susahnya sih?"

Terdengar nyolot meski tidak pada dasarnya –tidak bisa, ia bersumpah tidak akan bisa untuk sekedar kesal padamu, entah apa sebabnya. Ia sempat bertanya-tanya, apa mungkin kau memakai jimat (secara kasarnya, pelet); yang membuat ia sempat merasakan sebuah ciuman horror dari sebuah sepatu. Oh seriously, ia mengingat dengan jelas bagaimana kau mengucapkannya –pipi menggembung tanda kesal, wajah memerah setengah marah. Namun sekali lagi, takkan ada yang mampu memarahi satu sama lain.

"Kepo," jawabmu singkat kemudian tertawa lepas. Kau suka saat-saat seperti ini, membuatnya penasaran akan jawabanmu –atau mungkin dirimu. Kau melihatnya membetulkan letak syal berwarna hitam kelam, kau pernah memuji syal itu dan kau juga pernah menyatakan ingin memilikinya. It's mine, jawabnya sembari menjulurkan lidah; mengejek. Saat itu, kau ingin sekali menendang wajahnya tapi kau tahu kau takkan mampu. Mengapa? Dua hal; (1) ia terlalu jauh, dan (2) kau takkan bisa bahkan untuk sekedar marah padanya.

"Kau tahu aku membencimu, bukan?" Ia tersenyum, berusaha menunjukkan sinisme meski ia tahu ia gagal –yang membuatmu tertawa lebih keras di tengah malam sepi seperti saat ini. Kau tahu ia tak serius; demikian pula dengannya. Sinisme hanyalah sebatas lelucon sejak awal pertemuan kalian. Kau menerawang, mendengarnya mengatakan hal yang sama disertai dengan sebuah pukulan cukup keras di belakang kepalanya. Kau, saat itu, membalasnya dengan sebuah cibiran yang kembali membangkitkan emosi. Lucu. Berdebat mengenai hal yang tidak begitu penting namun menghabiskan waktu seharian penuh. Dan kemudian, rutinitas tersebut terulang kembali di pagi hari, kala kalian baru sepersekian detik membuka mata.

"Tidak –aku hanya tahu kau menyukaiku," DEG. Mendadak kalian terdiam, menahan nafas. Diam-diam tanganmu menyentuh dadamu, berusaha merasakannya. Demi Tuhan, apa itu? Hati kalian berteriak serentak, secara tak sadar saling menyahut dan terprogram untuk memikirkan hal yang sama. Seringkali merasakannya, entah berapa kali hingga kau tak kuasa menghitungnya lagi. Menarik nafas dalam-dalam, kemudian ia kembali membuka suara, "Tidak. Kau yang menyukaiku."

Berusaha menahan tawa, kau mendengarnya berteriak Hei! seraya mengacungkan jari tengahnya padamu. Kau tidak membalasnya, sekali lagi hanya menahan tawa hingga perutmu terasa sakit, "Pfft –really, buddy. No in a million years!" jawabmu bercanda meski setengah meragu, ia pun turut memperlihatkan reaksi terselubung dengan balik menertawakanmu, "Oh ya? Kalau begitu jelaskan padaku apa maksudmu di interview itu, wahai seseorang yang menyukaiku."

"If I was a woman, I would take him."

Sekali lagi kau terdiam, menatap kosong layar laptopmu sendiri –mendengar suaranya yang terkesan menggodamu. Itu –itu hanya sekedar lelucon belaka, aku tak serius mengatakannya, batinmu panik. Dan untuk pertama kalinya kau meragukan isi hatimu sendiri; pasalnya, jika itu disebut dengan refleks, kenapa harus kalimat seperti –seperti itu yang kau ucapkan?

"Ka –kau juga! Coba saja, menurutmu aku tidak sadar saat kau mengatakan hal yang sama?"

"So you guys sleeping together or what?"

Seolah seperti karma, kali ini giliran dirinya yang termangu dalam keheningan. Kalau boleh jujur, kalimat itu memang terdengar seperti sebuah kecemburuan. Ia mengakuinya, begitu pula dengan dirimu. London dengan Munich, bayangkan saja, suara hatinya menggummam pelan. Meski enggan mengakuinya secara terang-terang, ia rasa sepatah kata cukup mampu menyadarkanmu bahwa sesungguhnya…

Tidak –Schweinsteiger, apa yang kau pikirkan?!

"Tuh kan, apa aku bilang, kenyataannya kau lah yang menyukaiku, Schweini."

Schweini. Schweini. Schweini. Entah sudah berapa kalinya kau memanggilnya dengan sebutan seperti itu –dan sejujurnya, kau lah orang pertama yang memanggilnya seperti itu –kau tidak pernah tahu, rahasia itu tersimpan dengan rapat; hanya dia dan Tuhan yang tahu. Namamu terlalu panjang, merepotkan. Bagaimana jika Basti atau… hmm, oh –Schweini! Itu bagus, bukan? Terdengar manis, sama seperti orangnya. Jika ia tahu akan seperti ini jadinya, saat itu, ia seratus persen akan mengatakan Oh Demi Tuhan, Poldi, jangan menggodaku! Bukan malah mengatakan Terima kasih, aku suka nama itu.

Salah langkah. Dan hal itu menyebabkan kalian terjebak dalam keadaan seperti ini. Namun sesungguhnya, kalian tak menyesal; melainkan menikmatinya.

Jika kalian mampu mengingatnya, salah langkah itu berawal dari keputusan spontan yang kalian ucapkan dengan lantang beberapa tahun lalu. Tidak ada yang menyangka, memang, bahwa keduanya akan saling bertemu –dan menjadi seperti sekarang ini… meski terpisah jauh. Sekali lagi, ia menghela nafas, kembali menjadi sosok yang mengalah atau dewasa, lebih tepatnya.

"Bocah,"

Mendadak –ia terkejut begitu melihat layar laptopnya: sebuah bantal melayang, "Hei Bocah –kau merusak laptopmu sendiri." Yang kemudian dibalasmu dengan sebuah –oh tidak, wajah marah itu, ia hanya tertawa. Sebuah refleks marah yang gagal atau terlalu manis malah. "Jangan panggil aku bocah, Bapak Tua." Lagi-lagi. Sebuah keributan yang tak berujung. Ia –yang terlalu lelah untuk berdebat– tertawa lagi, kali ini lebih menggelegar.

"Ski atau Sepak Bola, Schweinsteiger?"

"Tapi aku tetap ganteng," Tawa terdengar lagi, cukup lama hingga salah satu di antara kalian tertawa tanpa suara dan hampir menangis karenanya, "Bwahahaha!" Itulah respon yang kau berikan –persetan dengan tetangga-tetanggamu, kau hanya ingin menikmati keceriaan malam ini, bersamanya yang tak bisa kau raih.

Ia tak bisa seperti itu, cukup dengan tawa sejenak dan selanjutnya memperhatikan lawan bicaranya diam-diam. Ia lebih suka seperti ini, tersenyum kecil melihat tingkahmu yang pada dasarnya memang seperti bocah. Melihat umurmu yang sudah mencapai usia matang sebagai seorang pesepak bola, sejujurnya ia kagum denganmu. Bagaimana tidak: di luar lapangan, boleh saja kau terlihat seperti seorang anak SD yang serampangan. Namun bagaimana bisa ia berubah menjadi sosok yang sangat… sangat dewasa di lapangan?

"Aku akan memilih…"

"Baiklah –baik, aku menyerah. Kau, Bastian Schweinsteiger, sahabat baikku, merupakan orang yang ganteng –tapi aku lebih ganteng darimu, asal kau tahu."

Astaga, aku kenapa? Hatinya mencelos tiba-tiba, tak terduga. Apa alasannya pun ia tak paham, tapi entah mengapa mendengar kata sahabat cukup membuatnya merasa terbebani. Bukan; ia tak pernah merasa terbebani karena menjadi sahabat yang baik bagimu. Tapi –demi Tuhan, kenapa hanya… hanya… sebatas…

Hentikan, Schweisteiger!

"Demi Nutella, Lukas Podolski, kau mulai membuatku sakit kepala,"

"… Sepak Bola."

Kau terkekeh pelan, mendesis Aku menang seraya menjulurkan lidah, mengejek. Ia memutar bola matanya, terserah, jawabmu pendek. Kemudian hening seketika. Ia tak berekspresi sama sekali –kau menelan ludah, "Schweini marah?"

Memilih sepak bola merupakan hasil pemikiran ke depan yang sangat berat. Sama halnya memilih masa depan, harus ia akui. Sebuah pilihan berat –dua hal yang amat sangat ia cintai, dua hal yang membuatnya merasa seperti hidup kembali. Sesungguhnya ia hampir memilih langkah yang berbeda, namun hati menuntunnya untuk melangkah pada jalan yang pada dasarnya bukanlah cinta pertamanya.

"Halo, kau masih denganku 'kan?"

"Eh," debar itu mulai lagi, "Maaf, aku –aku… hmm…" Ia bingung, terpikir masa lalu bukanlah kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu. Syukurlah kau hanya tersenyumkecil, "Tak masalah. Jadi, kau marah padaku, Schweini?"

Ia menggeleng lemah. Marah? Mana mungkin, pikirnya, "Tidak, Poldi, aku tak marah padamu. Tapi kotak tertawaku mengalami sedikit kerusakan, kekurangan oli –kurasa…" Tawa. Lagi. Meski pada dasarnya ia bingung apa kotak tertawamu memiliki size yang jauh lebih besar tapi jujur saja, tawamu adalah salah satu dari sekian banyak hal yang ia rindukan saat kau jauh darinya.

"Polandia atau Jerman?"

"Aku heran," Kau mengambil nafas dalam, "Kenapa kau selalu membuatku tertawa, Schweini –padahal menurutku, kau ini Bapak Tua yang berisik," Gerutumu dengan nada yang agak menyebalkan, menurutnya. Kau sempat mendengarnya berteriak Hei –sekali lagi kau memanggilku Bapak Tua, aku akan menendang kepalamu dan Kau yang berisik, Bocah.

"Aku… Tidak tahu," Jawabnya samar-samar, "Mungkin karena aku memang lucu?"

"Oh astaga," kau mengetuk-ngetuk kepalamu dengan sebuah buku, frustrasi –lama-kelamaan lelucon seperti itu mampu membuat kalian benar-benar marah satu sama lain. Kemudian kau mendengarnya bergumam maaf sebelum ikut menenggelamkan diri pada keheningan. Kenapa? Mungkin itulah kalimat tanya yang ada dalam pikiran kalian. Serentak. Bersamaan. Saling penasaran akan apa yang terjadi sesungguhnya.

"Aku akan memilih…"

Kau terdiam menerawang. Jika bukan karena keputusan itu… kau takkan pernah mendengar kalimat Hai, namaku Bastian Schweinsteiger –orang-orang biasa memanggilku Schweinsteiger. Siapa namamu? Dan kau takkan pernah menjawab Schwein –apa? Lugu sekali, kau mengakuinya. Betapa kau berusaha keras melafalkan nama itu, sehingga pada akhirnya ia menyerah dan menyarankan (atau memaksa, lebih tepatnya) untuk memanggilnya Schweini. Ia tidak tahu bahwa kau seringkali melafalkan namanya sebelum terlelap, masih berusaha –hingga berhasil kala mencapai malam ke dua puluh. Hanya Tuhan dan kau –dan kamarmu yang menjadi saksi bisu.

"… Jerman."

Kalian adalah sahabat dekat sejak saat itu. Satu paket. Tidak ada Schweini tanpa Poldi. Begitu pula sebaliknya. Selalu bersama. Meski jarak memisahkan sejauh apapun… tetap saja, pada akhirnya kalian akan berkomunikasi satu sama lain, berusaha menghilangkan rasa sepi yang menerpa. Tapi terkadang, ada satu hal asing yang menghantui kalian, kapanpun kalian bersama. Tak mengenal waktu maupun jarak. Satu hal yang mengganggu hati kalian. Satu hal yang entah apa namanya.

"Hey, kapan drawing di mulai?"

Kembali memulai percakapan dan kembali ke masalah awal, kau memilih untuk melupakan sejenak pikiran itu, "Hmm… Sekarang, kurasa," Jawabmu ragu seraya melirik jam yang terpampang di dinding kamarmu. Kembali menatap layar laptopmu, kau tersenyum kecil. Ia tak membalas. Lagi-lagi seperti ini, setiap ingin mengakhiri conversation di Skype. Terulang kembali.

"Aku –aku akan menonton."

Jelas sekali, batinnya. Tak pernah sekali pun kau berterus terang untuk mengakhiri –kau selalu mencari alasan; entah itu menonton big match, harus menjalani medical check-up, atau bahkan mengantuk. Ada saja alasanmu. Ia tersenyum kecil, sejujurnya ia tak mau mengakhiri percakapan yang sudah berlangsung selama tiga jam ini. Tidak cukup. Ia masih mau melihatmu tertawa. Tapi kenyataannya kau tak kuasa mengatakan apa-apa, "Aku juga, sudah dulu ya, sampai jumpa tahun depan di training camp, Lukas,"

"Aku –"

"Aku –"

Lalu mereka terdiam. Mengapa bisa begini? Kau hanya terkekeh pelan sedangkan dia menggelengkan kepalanya lalu kembali diam, mempersilahkan kau untuk melanjutkan lebih dulu, "Aku –aku berharap agar kita mendapat group yang bagus…" jelasmu lalu tertawa dengak sedikit dipaksakan. Semoga Schweini tidak menyadarinya…

Kau melihatnya menghela nafas lalu tersenyum… pahit, "Aku juga… Baiklah, Dah, Poldi."

Pahit. Entah mengapa hatimu seperti tersayat melihatnya seperti itu. Tak kuasa mengatakan apapun, kau hanya melambaikan tangan padanya dan kemudian tab conversation itu lenyap seketika. Menghela nafas, seharusnya kau tak berbohong lagi padanya. Tapi harus bagaimana lagi? Kau takut mengambil langkah yang salah. Dan langkah itu menuntunmu untuk kehilangan sahabatmu sendiri –meski pada dasarnya kau tidak hanya ingin menjadi sahabatnya semata.

"Aku –merindukanmu, Schweini."

Ia menatap nanar pada layar laptopnya, enggan berpaling meski suara televisi kerap memanggil dan memaksamu untuk mengalihkan perhatian. Masih tersisa wajahmu pada laptopnya, tak bergerak –ya, hanya berupa wallpaper kalian dengan boneka penguin yang sama. Apa ia menyadarinya? Tanyanya entah pada siapa. Ia tak sadar, betul-betul tak menyadari perubahan refleks tersebut. Tapi saat itu pula keduanya bisa merasakan sesuatu…

"Aku juga merindukanmu, Poldi."

Dalam suatu keadaan, ada kalanya isi hati kalian meneriakan hal yang sama, tanpa kalian sadari.


Drawing = Suatu pengundian; dalam hal ini, pengundian untuk menentukan posisi suatu Negara dalam suatu group (antara group A hingga group H) pada pergelaran ajang World Cup 2014.

Thanks for reading, mind to review? :D