Hanabi, Me and My Trauma

Disclaimer: Masashi Kishimoto reek

Genre: Hurt/Comfort/Angst

Rate: T semi M

Pairing: Shikamaru Nara & Sabaku no Temari

Warning: OOC, miss typo, gaje, dan maybe AU

Summary: "Temari adalah perempuan yang menyukai kembang api. Tapi, pada suatu saat, kenangan yang buruk mengakibatkannya trauma akan kembang api. Kenangan apa yang tersimpan di dalamnya sehingga membuat dia trauma akan kembang api?"

Hanabi, Me and My Trauma

Chapter 1: Trauma

By Dee Vega

Enjoy…

5

4

3

Enjoy the fic ^^

Temari POV

Aku memandangi pantulan diriku di cermin. 'Yah, cukup cantik' , pujiku dalam hati. Aku memakai yukata atau yang biasa disebut kimono musim panas. Aku memakai warna yang sesuai dengan rambutku yang bercepol empat. Yaitu kuning, aksen keemasan yang ada pada kimonoku membuatku tampak lebih bersinar dengan pita besar yang berwarna kuning pula di belakangnya. Panjangnya hampir semata kakiku, membuatku terlihat menutupi kaki-kakiku yang jenjang dan pinggul rampingku yang tersembunyi di balik kimono itu. Aku terlihat sempurna, itu yang dikatakan ibuku saat aku turun ke bawah hendak berpamitan padanya. Malam ini akan menjadi malam yang menyenangkan bagiku. Aku akan berduaan dengan kekasihku—Shikamaru, di festival musim panas pada hari pertama ini. Malam yang ku harap akan bisa ku kenang selamanya.

Ting tong

Bel rumahku berbunyi. Ibu hanya mengangguk penuh arti padaku. Ia tahu siapa yang datang, pemuda yang ia anggap sebentar lagi menjadi (calon) suami dari anaknya. Ya, bahkan Ibu sudah membayangkanku berganti nama dengan embel-embel 'Nara' di belakangnya. Aku membukakannya pintu dengan wajah sumringahku.

Normal POV

Dia, atau tepatnya Shikamaru terlihat tampak rapi malam ini. Tidak seperti hari-hari biasanya yang ia (selalu) terlihat mengantuk. Matanya berbinar melihat kekasihnya, takjub. Itulah satu kata yang dia anggap bisa mendeskripsikan ekspresi dirinya saat ini. Ya, Temari terlalu cantik baginya. Tapi, dia akan berusaha mengimbangi Temari. Itulah tekadnya yang ia tekankan. Dia juga memakai kimono khusus untuk laki-laki. Dengan warna coklat tua polos dengan ikat pinggang dari tali berwarna putih. Walaupoun sederhana, tapi sangat berkesan. Dia bangga, terlihat berkesan di depan kekasihnya—Temari. Temari terlihat menampilkan senyum terbaiknya.

"Mau masuk dulu atau ...?" Temari membuka percakapan langsung dengan menggantungkan kalimatnya di akhir.

"Kalau boleh,"

"Ayo, masuklah!"

"Maksudku, kalau boleh ayo cepat berangkat! Aku err, sudah tidak sabar,"

Temari tersipu malu mendengarnya. Padahal ia tahu, festival baru akan dimulai setengah jam lagi. Tapi, Shikamaru malah ingin buru-buru.

"Bu, aku berangkat dulu, ya!" Temari setengah teriak dari balik pintu depan rumahnya.

"Ya, hati-hati. Jangan sampai pulang dengan kimono berantakan, ya!"

Temari dan Shikamaru setengah sweatdrop hampir bersamaan. Memangnya mereka mau melakukan hal dliuar batas? Tapi mungkin saja, sih, hahaha. *author digeplak karena mikir aneh-aneh*

Akhirnya mereka berdua pun pergi ke festival itu yang telah memakan waktu 15 menit karena mereka berjalan kaki. Walaupun masih ada 15 menit lagi sebelum festival itu resmi dibuka, tapi di bagian luar tempat festival tampak orang-orang dengan dandanan yang berbeda-beda sedang menunggu festival ini pula. Temari dan Shikamaru duduk di atas kursi yang dekat dengan pintu masuk festival. Mereka agak terlihat canggung untuk saling membuka pembicaraan satu sama lain. Shikamaru terpikir untuk menggenggam tangan Temari, tapi dia ragu. Dia membuang semua keraguannya dan berusaha sedikit demi sedikit menggapai tangan Temari. Ya, tinggal beberapa senti lagi—.

Tiba-tiba dari belakang, muncul Ino dan Sai yang mengagetkan mereka berdua.

"Hai, Temari-chan!" Ino berkata dengan sedikit teriak seperti menggunakan toa. Sementara Sai hanya menepuk bahu Shikamaru pelan dan memberikan senyuman palsunya tipis. Shikamaru hanya menoleh sekilas padanya, lalu memutar matanya seperti orang bosan.

"Hai, Ino-chan! Ano—festivalnya sudah dibuka, ayo kita masuk!" Temari merasa beruntung Ino datang pada saat yang seperti ini. Jadi, dia tidak perlu berlama-lama dengan Shikamaru yang terlihat kaku itu. Ino memulai dengan sifatnya yang seperti biasa. Gadis cerewet, mirip dengan Sakura. Temari yang pada dasarnya bersifat netral, hanya bisa diam mendengarkan Ino. Walaupun matanya tertuju pura-pura antusias memandang Ino, tapi pikirannya tidak. Pikirannya tertuju pada seseorang yang berada di samping Sai yang berada di belakang Temari dan Ino.

'Sudah saatnya, aku harus mengatakannya,' pikir Temari.

"Temari, bolehkah aku meminjam Ino? Aku ingin berdua dengannya, hehe," Sai kembali lagi dengan senyum palsunya dengan tangan tiba-tiba menghampiri dari belakang dan langsung menggenggam tangan Ino.

"Silahkan, Sai-kun," ejek Temari.

Mereka pun akhrnya pergi meninggalkan Shikamaru dan Temari berduaan.

'Ck, mendokusai! Mengapa mereka pergi, sih?' batin Shikamaru.

Daripada berdiam diri tak jelas di tengah keramaian festival seperti ini, Shikamaru pun memilih untuk mengajak Temari duduk di bawah pohon sakura.

"Temari, duduk disini, yuk!"

"Ah, iya, err Shikamaru?" dia tidak langsung duduk.

"Apa?"

"Aku ingin membeli permen kapas~" Shikamaru sweatdrop. Mereka jauh-jauh datang ke festival ini hanya untuk beli permen kapas?

"Aku mau membelinya sendiri, kau tunggu disini, ya!"

'Kesempatan bagus, nih. Aku mau tidur, ah!"

Plaak.

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi pucat laki-laki itu. Warnanya tidak pucat lagi, melaikan memerah.

"Kenapa, Sai?" suara yang penuh dengan keputusasaan dan ingin meneteskan air mata. Haruskah di malam festival musim panas yang seindah ini menjadi rusak karena air mata seorang gadis yang tidak dapat tertahan meleleh akibat pernyataan dari kekasihnya. Ralat: bukan kekasihnya lagi, semenjak beberapa detik yang lalu. Gadis berambut pirang itu masih mencoba menahan amarahnya. Bahkan, suaranya yang harusnya meledak dia pelankan untuk sekadar menahan gejolak emosinya yang berharap mantan kekasihnya ini hanyalah fikitif atau mungkin gurauan belaka.

"Aku harus menikah dengannya..." Sai tidak sanggup. Dia tahu gadis di hadapannya ini tidak sanggup juga menghadapi kenyataan yang ada.

"KENAPA KAU MEMAINKAN PERASAANKU? PADAHAL KAU TELAH MENGETAHUI PERNIKAHANMU ITU SEBULAN LALU!" kata Ino berapi-api.

"Ino, kau tahu, kan? Aku tidak mungkin tega memberitahumu. Keluargaku terus mendesakku untuk menikah, tiap kali ku tanyakan kau tentang menikah kau malah menghindarinya!"

"Kau tahu aku belum siap—"

"Tapi kau juga tidak tahu bagaimana rasanya di posisiku sekarang! Kau tidak pernah tahu. Kau selalu menganggap kita akan selalu hidup muda! MENJALANI MASA REMAJA SELALU! KAPAN KAU AKAN SADAR DAN MENYADARINYA INO?"

"..."

"Kau tahu, kakek Danzou akan mati karena penyakit yang dideritanya. Hanya dia yang ku punya di dunia ini. Selama dia merawatku sejak kecil, dia selalu menuruti segala keinginanku. Apa sekarang aku salah bila ingin menuruti keinginannya satu kali saja?"

"Kau selalu mementingkan kakekmu! Tak pernah memikirkan perasaanku!"

"Aku selalu memikirkannya! Kau saja yang selalu egois, Bodoh!"

"Apa tadi? Kau mengataiku Bodoh? Harusnya aku yang bilang seperti itu padamu! Kau bodoh karena telah menyia-nyiakanku, Sai,"

Ino pun membalikkan badannya. Masih dengan air mata yang setia menetes terus mengenai kimono indahnya. Dia berjalan beberapa langkah, lalu berhenti.

"Kau tahu, Sai? Jika kau ingin membahagiakan orang lain, jangan pernah korbankan dirimu dan perasaanmu. Tidak ada satu pun orang yang akan bahagia bila menikah dengan orang yang dia tidak cintai!" Ino pun melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. Namun, seolah ingin meninggalkan semua kepedihannya, ia mempercepat langkahnya menjadi lari dan berhenti di bawah pohon Sakura tempat Shikamaru menunggu Temari.

Karena mendengar suara tangisan di dekatnya, Shikamaru terbangun dan kaget mendapati Ino menangis.

"Tolong, biarkan seperti ini saja—hmmph,"

Suara kembang api mengalun dengan indahnya di malam ini. Malam pada akhir bula Agustus di festival musim panas. Dua insan tampak menikmatinya. Sampai...

"Shikama—" kata-kata itu tidaklah terlanjutkan. Otak dan bibirnya sibuk mencerna apa yang terjadi. Diam itu bisu. Itulah yang terjadi. Gadis bercepol empat itu menjatuhkan permen kapas yang ia beli tadi.

Sreek.

Air yang baru saja mulai mengering di pelupuk mata Ino, kini berganti bertamu di mata Temari. Sakit. Sangat sakit. Dia tidak ingin melihatnya. Dia terlalu rapuh untuk disakiti. Tahukah kau para laki-laki? Cinta bukanlah sebuah permainan dimana kau bisa seenaknya memilih karaktermu yang diumpamakan cewek berganti-ganti setiap main. Cinta itu harus menetapkan hati pada satu pilihan. Walau kadang itu berat. Kesimpulan pendek pun telah diambil oleh gadis bercepol empat ini. Dia harus mengalah pada sahabatnya...Genaplah sudah malam ini. Dua gadis sudah membuang air matanya karena sakit hati. Ya, karena orang yang mereka cintai menyakiti hati mereka.

TBC ..

Komentar?

Review?

Kritik mungkin?

Ssaya terima dengan lapang dada kok :D