Si Bungsu Gin
Summary:
Gin berbeda dengan kebanyakan orang. Hobinya adalah bermain dengan Rukia dan mengusili seekor kucing pirang yang dinamai Kira. AU.
Disclaimer: Bleach beserta karakternya bukan milik saya.
Warning: Cerita ini AU, jadi selamat membaca cerita ini sebagaimana adanya.
Chapter 1
.-.-.
Gin berbeda dengan kebanyakan orang.
Sejak kanak-kanak pun, dilihat dari penampilan dan apapun yang bisa dilihat mata, Gin lain dari anak-anak sebayanya. Kulitnya putih pucat, seperti tak pernah terjamah sinar matahari. Banyak yang menduga dia kekurangan vitamin D. Mengherankan sebenarnya, mengingat sinar matahari bisa didapat dengan gratis dan tak perlu mengeluarkan uang sepeser pun untuk sekedar menikmatinya. Tubuhnya luar biasa kerempeng dan jangkung. Busung lapar? Tidak juga, perutnya tidak buncit. Cacingan? Sudah berbotol-botol cairan pembasmi cacing diteguknya, dan tidak ada hasilnya sama sekali selain nafsu makannya yang semakin menggila. Kelaparan? Hoho, sungguh hinaan yang kurang ajar, karena keluarganya sangat kaya raya, lebih dari mampu untuk membeli pulau di Hawaii atau daerah tropis lain. Matanya super sipit, membuat wajahnya bagai rubah. Bedanya, rubah yang ini selain menakutkan juga manis.
Pendeknya, apa yang dipunyai Gin bisa bikin orang geleng-geleng kepala.
Dia anak terakhir dari dinasti Yamamoto. Dua kakaknya, Sousuke dan Starrk, jauh lebih tua darinya. Otomatis sebagai anak bungsu, paling kecil dengan rentang usia yang bisa dibilang lumayan jauh dengan kakak-kakaknya, Gin adalah bocah kesayangan di keluarganya.
Sousuke mengambil alih properti di perusahaan dengan aset besar, Hueco Mundo. Sedang Starrk, si tengah, menjalankan bisnis di bidang mebel dan terutama, yang berhubungan dengan kasur, bantal, dan selimut. Pernah dengar brand ternama Las Noches? Nah, itu punya Starrk.
Yang tidak banyak diketahui orang adalah, bahwa sebenarnya Gin kadang merasa kesepian. Dia punya beberapa teman akrab, tapi begitu sampai rumah, tidak ada teman main. Starrk biasanya sibuk tidur. Hanya Sousuke yang paling dekat dengannya. Kakak pertamanya itu seperti figur kakak sekaligus ayah bagi bocah itu. Sayang, sekarang Sousuke menganggap bahwa seorang bocah, lebih tepatnya remaja yang sudah menginjak lima belas tahun dan duduk di bangku SMA kelas sepuluh, seharusnya lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Dan karena kakak berambut coklat itu gemar mengusirnya keluar, akhirnya Gin menemukan tempat yang tepat untuk menampungnya sampai Sousuke membolehkannya pulang.
Di rumah keluarga Kuchiki.
Byakuya Kuchiki bukan remaja ramai. Malah, dia cenderung pendiam. Entah kenapa, Gin senang sekali mengusiknya. Biasanya Byakuya akan berwajah kesal, tapi dia masih bisa tahan dengan celotehan Gin.
Yang membuatnya lebih betah lagi di sana, adalah adik perempuan Byakuya. Rukia baru berumur tiga tahun. Anak itu lucu dan menggemaskan. Rambutnya hitam legam, dan tubuhnya kecil. Meski begitu, cerewetnya minta ampun. Gin sih tidak keberatan. Malah dia lebih senang bermain dengan Rukia daripada dengan kakaknya. Seringnya mereka bermain di beranda, sedang Byakuya – yang sudah berganti dengan kaus rumahan dan berada tak jauh dari mereka- mengerjakan PR di meja kayu kecil yang bisa diseret dari ruang sebelah.
"Gin-chan, kau punya toko?" tanya si kecil Rukia.
Gin menggeleng. "Tidak, aku tidak punya," jawabnya santai. Dia menanti-nanti kalimat Rukia selanjutnya. Rukia jauh lebih menarik dari Byakuya. Anak kecil itu suka melempar pertanyaan polos yang merupakan manifestasi rasa penasarannya. Berbeda dengan Byakuya.
"Kenapa kok tidak punya?" cecar Rukia. Saat ini dia sedang berada dalam masa-masa dimana keinginannya untuk tahu banyak hal tidak bisa ditahan. Dan dia suka sekali mengawali pertanyaannya dengan kata 'kenapa'.
"Karena...tidak punya uang," jawab Gin asal, tidak sepenuhnya bohong. Meski keluarganya bergelimang harta, tetap saja uang sakunya dijatah. Dan uang saku tersebut masih belum bisa untuk membeli barang toko kelontong kecil sekalipun.
Mata violet Rukia semakin membulat. Wajah polosnya menatap Gin penasaran. Rambut hitam lurusnya beriap-riap ditiup angin. "Aku punya uang," sahutnya gembira.
"Banyak, tidak?" tanya Gin, senyumannya semakin lebar.
"Banyak," jawab Rukia mantap.
"Seberapa banyak?"
"Se..." Rukia berhenti sejenak. Meski kata yang nyaris diucapkannya terpotong, bibirnya tetap terbuka. Wajahnya tampak berpikir keras. Menurut Gin, tidak ada yang lebih lucu dan menggemaskan selain Rukia yang sedang berceloteh. "Se..selumah (serumah)," tukas Rukia akhirnya. Tangan kecilnya dilambaikan membentuk lingkaran, menekankan besar 'rumah'.
Gin terkikik. Dia memegangi perutnya. Kaus sewarna rambut perak keunguan yang dipakainya sampai kusut. Seragam atasannya memang biasa ditanggalkannya saat sekolah berakhir dan kebetulan dia main ke rumah salah satu kawannya. Sedang celananya tetap terpakai.
Melihat Gin tergelak, Rukia ikut nyengir, memperlihatkan barisan giginya yang kecil.
Byakuya harus menahan giginya yang bergemelutuk, menahan tawa.
"Rukia-chan sendiri, punya toko tidak?" setelah tawanya reda, Gin balik bertanya.
"Punya," jawab Rukia cepat.
"Toko apa?"
"Toko syal."
Gin terbahak lagi. Di belakang Gin, Byakuya sampai harus menutupi wajahnya dengan buku supaya Gin tidak tahu dia sedang tertawa tertahan dan tanpa suara.
Keluarga Byakuya memang punya butik scarf dan topi, dari bahan kwalitas nomor satu, yang harganya selangit. Dan karena Rukia masih cadel, belum bisa melafalkan beberapa huruf dengan benar, Byakuya mencarikan kata lain untuk padanan suatu kata. Rukia belum bisa mengucapkan 'scarf', jadi Byakuya mengajarinya kata 'syal'.' Selendang' terdengar lebih mudah, tapi karena nyaris janggal, 'syal'-lah yang dipilih Byakuya.
Tiba-tiba seekor kupu-kupu hitam besar melintas di rumpun bunga di seberang halaman. Rukia segera bangkit, memakai sandal, dan berlari mengejar sang kupu-kupu. Sayup-sayup terdengar gumam nyanyian dari bibirnya,"...kupu-kupu yang lucu...kemana engkau telbang(terbang)..."
Anak kecil itu perhatiannya gampang teralihkan. Beberapa waktu bercanda dengan Gin dan mengamati kakaknya mengerjakan PR, detik berikutnya bisa saja dia mengejar kupu-kupu atau kucing yang suka mampir ke rumah.
Dulunya, Rukia takut dan malu-malu pada Gin. Dia tidak menjawab apapun pertanyaan Gin. Dan kalau Gin menghampirinya, secepat kilat dia berlindung di balik tubuh Byakuya. Lama-lama, ketika intensitas kunjungan Gin semakin sering, dia tidak malu-malu lagi.
"Gin," panggil Byakuya. "Sepertinya aku tahu apa yang kurang darimu."
Kalimat Byakuya membuat Gin menoleh dan sepenuhnya memberi perhatian pada teman sekelasnya di Seireitei High itu. "Apa?" tanyanya penasaran.
Byakuya tetap menatap Gin, ekspresinya berubah datar. "Kau anak terakhir, kan? Mungkin saja kau butuh adik sebagai teman bermainmu di rumah," urai Byakuya.
Wajah rubah Gin membeku, tapi kemudian seringai muncul dan nyaris menghabiskan seluruh wajahnya. "Kau benar, Byakuya. Aku memang butuh teman bermain di rumah. Bagaimana kalau Rukia kubawa pulang?"
"Kau sinting. Masa kakakmu belum punya anak?"
"Jangan sinis begitu, dong. Kedua kakakku masih single, belum ada tanda-tanda punya pacar, apalagi menikah. Kalau boleh, Rukia saja kuadopsi," tawar Gin.
Tentu saja permintaan Gin ditolak mentah-mentah meski Byakuya diiming-iming bakal diberi selimut dan bantal dari bulu angsa merk Las Noches, yang sehelainya saja sama dengan uang saku remaja reguler selama tiga bulan.
Jadi si bungsu mungkin memang terdengar menggiurkan. Disayang, dimanja. Hanya saja, bagi Gin, akan lebih menyenangkan lagi kalau ada seseorang di rumah yang bisa diajak bersenda gurau. Bukan orang tua, atau kakak yang usianya jauh lebih tua. Mungkin Byakuya benar, Gin ingin adik. Kalau bisa sih yang lucu, imut dan menggemaskan seperti Rukia. Sayang sekali, statusnya sebagai sang bungsu tidak akan berubah.
.-.-.
TBC
