Disclaimer: Bleach itu punya Tite Kubo... Saya cuma bisa pinjam beberapa karakter untuk membuat fic ini. Ohohohoohoho *diguyur pake air comberan*
Fic AU (lagi?), abal, dan pastinya gaje. Maaf kalo jadi agak atau terlalu OOC.
-xX-Xx-
Chapter 1
-xX-Xx-
"Hei, dia si Pembawa Kutukan itu, kan?" tanya seorang siswi berkacamata sambil menunjuk pemuda berambut orange yang sedang duduk sendirian di bangkunya yang ada di samping jendela.
"Iya, benar! Itu dia!" jawab temannya dengan ngeri. Sadar dirinya sedang dibicarakan, pemuda berambut orange tadi pun melirik kedua gadis itu.
"Ah! Dia melihat ke arah sini! Hii! Ayo lari!" Ucap siswi berkacamata tadi ketakutan. Ia pun bergegas lari meninggalkan kelas pemuda berambut orange tadi.
"Tunggu aku!" seru temannya sambil mengikuti gadis berkacamata tadi.
Pemuda berambut orange yang sedari tadi dibicarakan itu, Ichigo Kurosaki, hanya menghela nafas berat sambil kembali mengalihkan pandangannya dari kedua gadis yang sedang berlari-lari ketakutan itu. Pandangan mata cokelat musim gugur milik pemuda yang duduk di kelas 2 SMA itu menerawang jauh ke luar jendela, entah melihat apa.
Ichigo hanyalah orang biasa, yang sedikit membedakan penampilannya dengan orang lain adalah rambutnya yang berwarna seperti jeruk, orange, warna yang tak lazim sebagai warna rambut orang kebanyakan. Sifatnya juga tak bisa dibilang buruk, walaupun terkadang memang ia agak menyebalkan. Ia juga tak pernah berbuat kesalahan yang besar hingga membuatnya dipenjara atau dikeluarkan dari sekolah. Tapi mengapa ia dijauhi oleh banyak orang?
Yah, mungkin kemampuannya untuk melihat hal-hal yang tak bisa dilihat orang biasa adalah salah satu alasannya. Tapi alasan utama yang membuat mereka semua membenci pemuda berambut jeruk ini, adalah karena mereka menganggapnya sebagai pembawa kutukan. Anak yang dikutuk.
Ichigo menghela nafasnya lagi untuk kesekian kalinya setelah ia duduk di bangkunya pagi ini, dan kembali menyelami pikirannya sendiri. Ia tak peduli pada orang-orang yang kini sedang membicarakannya atau memandanginya dengan sinis. Ia tahu, di mana pun ia berada, ia akan tetap dipandangi seperti itu. Dipandang sinis oleh semua orang. Dipandang rendah, dipandang sebagai pembawa kutukan oleh mereka.
"Hei, tanggal 17 Juni, kamu ada acara?" terdengar sebuah suara yang cukup untuk membuyarkan lamunan Ichigo, yang spontan langsung menoleh ke arah suara itu terdengar. Rupanya seorang gadis berambut cokelat pendek berombak.
"Ah? Bukannya tanggal 17 masih sebulan lagi, ya?" tanya temannya sambil mengerutkan alisnya heran. "Memang kenapa, sih?" tanyanya lagi.
"Yaa... aku hanya mau tanya saja. Kudengar hari itu akan diadakan konser band favorit kita, lho! Aku mau mengajakmu nonton juga!" kata gadis berambut cokelat pendek berombak tadi dengan antusias.
"Benarkah? Terima kasih!" kata gadis berambut cokelat ombak itu. Gadis itu pun menyadari Ichigo menatap mereka berdua. "Ke... keluar, yuk..." ajak gadis berambut cokelat ombak itu pada temannya dengan ketakutan.
"Eh? Ada apa, sih?" tanya temannya. Gadis berambut ombak itu membisikkan sesuatu kepada temannya yang langsung membelalakkan matanya ngeri. Keduanya pun segera keluar dari kelas, dengan mata yang sesekali melirik Ichigo yang masih menatap kedua gadis itu.
Ichigo menghela nafas lagi.
"Tanggal 17 Juni ya..." gumamnya pelan.
.
.
~Flashback~
Titik-titik air mulai turun dan membasahi bumi. Melompat-lompat di manapun yang bisa mereka jangkau layaknya anak kecil yang sedang bermain, memainkan sebuah orkestra yang unik dan nyaris tak ada yang dapat menyamainya. Semakin lama, semakin banyak titik-titik air yang jatuh dan bergabung dengan orkestra. Tetapi ini tak membuat wanita cantik pemilik rambut cokelat bergelombang dan anak laki-laki berambut orange itu menghentikan langkah mereka menuju ke rumah.
"Ichigo, kau tidak apa-apa?" tanya wanita cantik itu, Masaki Kurosaki, kepada anaknya yang saat itu masih berusia sembilan tahun.
"Aku baik-baik saja, bu," ucap anak laki-laki berambut orange itu– Ichigo Kurosaki. Padahal sebenarnya tubuh mungilnya yang tadi baru saja terkena cipratan air itu sudah menggigil kedinginan. Masaki tersenyum melihat anak laki-lakinya itu. Ia tahu sebenarnya Ichigo kecilnya itu merasa kedinginan.
"Sudah sudah, ayo tukar tempat, biar Ibu saja yang berjalan di sisi jalan," ucap Masaki sambil tersenyum lembut. Itulah salah satu hal yang membuat Ichigo makin menyayangi ibunya itu, senyumannya yang lembut dan menenangkan.
"Tidak usah, aku kan harus melindungi Ibu, lagipula aku tidak apa-apa, aku kan pakai jas hujan," cegah Ichigo. Masaki tertawa kecil.
"Ibu tidak bisa membiarkanmu berjalan di sisi jalan sebelum kau menang dari Tatsuki-chan," ucap Masaki, berpura-pura marah. "Sekarang, ayo tukar tempat," kata wanita itu lagi, kali ini ia tak bisa menahan tawanya.
Ichigo merengut.
"Tapi tadi aku kan dapat ippon!" ucap anak laki-laki berusia sembilan tahun itu tidak terima. Tapi ibunya hanya tersenyum dan langsung menukar posisinya dengan Ichigo yang tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya.
Mereka terus berjalan, sampai akhirnya Ichigo menghentikan langkahnya.
"Ah...," gumam anak berambut jeruk itu. Matanya membelalak ketika melihat sesuatu yang menarik sekaligus aneh baginya di seberang jalan. Tampak sesosok anak laki-laki berdiri tegak di seberang jalan. Anak lelaki itu, baik wajah, rambut, maupun tubuhnya, semuanya sangat mirip dengan Ichigo, hanya saja seluruh tubuhnya berwarna putih mulai dari rambut hingga kaki. Bagian yang seharusnya berwarna putih di matanya berwarna hitam, dan irisnya berwarna kuning emas, membuatnya terasa berbeda. Aneh.
Masaki yang sadar Ichigo tidak mengikutinya dengan langkah-langkah kecilnya langsung menoleh ke belakang.
"Ichigo, ada ap-" ucapan Masaki terpotong begitu ia mendapati Ichigo sedang berlari ke seberang jalan tanpa memperhatikan jalan. Tampaknya ia ingin menemui seseorang atau sesuatu. Dan mata wanita itu membelalak lebar ketika menyadari bahwa sebuah truk berjalan ke arah anaknya yang berambut orange itu. Hujan rupanya membuat pengemudi truk itu tidak dapat melihat jalan dengan jelas.
"Ichigo!" seru Masaki sembari berlari ke arah Ichigo.
"Ibu?" Ichigo yang mendengar suara ibunya itu langsung menoleh dan mendapati ibunya sedang berlari ke arahnya dengan wajah panik. Anak laki-laki itu pun tiba-tiba menyadari bahwa sebuah truk hampir saja menabraknya. Dan ia merasakan tangan ibunya mendorongnya sehingga ia jatuh berguling-guling ke tepi jalan.
Sekilas, Ichigo dapat melihat anak yang tadi dilihatnya itu kini berdiri di tempat ia dan ibunya berjalan tadi, entah bagaimana caranya. Kedua sudut bibirnya yang baru saja selesai mengucapkan sesuatu tertarik, membentuk sebuah seringai licik yang mengerikan. Bersamaan dengan itu, terdengar suara jeritan antara hidup dan mati yang terdengar samar di tengah suara hujan. Tetapi sebelum Ichigo mengetahui apa yang sedang terjadi, tubuh mungilnya terhempas dan menabrak pembatas jalan, dan membuatnya kehilangan kesadaran.
Cahaya matahari mulai menembus jendela dan tirai yang tipis. Cahaya yang bagaikan pita emas tipis yang indah itu mulai menyentuh wajah Ichigo dan seolah berusaha membangunkannya, membuat anak itu menggeliat dan akhirnya bangun dari tidurnya.
"Ah!" seru Ichigo.
"Ichigo? Kau sudah sadar, nak?" ucap Isshin Kurosaki, ayah Ichigo yang duduk di samping tempat tidurnya sejak kemarin. Sorot matanya menampakkan rasa cemas dan sedih yang luar biasa, namun ada sedikit binar senang yang terpantul disana saat Ichigo terbangun. Di sofa yang ada di sebelahnya, tampak kedua adik Ichigo, Karin dan Yuzu Kurosaki, tertidur lelap.
"A... ayah? Ini... dimana?" tanya Ichigo sambil melihat ke sekelilingnya.
"Tenanglah Ichigo, sekarang kau ada di kamar, tenang saja ya," ucap Isshin, berusaha menenangkan Ichigo.
"Tidak... ini bukan kamarku...," bantah Ichigo, menyadari bahwa kamarnya tidak memiliki tirai berwarna biru laut yang menghiasi jendela seperti yang ada di kamar ini. "Dimana aku?" tanyanya panik.
"Tenanglah, Ichigo!" pinta Isshin, dan Ichigo pun menurutinya. "Kau sekarang ada di rumah sakit, tapi tidak apa-apa, Ayah ada disini untuk menemanimu," ucap Isshin.
"Kenapa aku ada di rumah sakit?" tanya Ichigo. Tiba-tiba, kedua mata musim gugurnya membulat sempurna saat ia mengingat kejadian yang dialaminya. "Ah... Ibu! Dimana Ibu?" seru Ichigo panik. Isshin terdiam dan menundukkan kepalanya.
"Ayah? Dimana Ibu?" seru Ichigo sambil melihat ke sekelilingnya dengan panik. Isshin mengangkat kepalanya dan menatap Ichigo dengan tatapan sedih. Tetapi ia hanya terdiam. Ia tak tahu bagaimana cara mengatakan ini kepada Ichigo. Ia tahu Ichigo sangat menyayangi ibunya, dan ia tak bisa membayangkan reaksi Ichigo ketika tahu ibunya telah meninggal.
"Ayah?" desak Ichigo, seiring ingatan-ingatan tentang kejadian itu mulai berkelebat dalam pikirannya. Hujan, anak berpenampilan serba putih, jalanan, wajah ibu yang panik, senyum licik, pagar pembatas jalan, suara jeritan...
"A... ah...," Ichigo membelalakkan kedua mata cokelatnya. Ia akhirnya bisa menyusun semua ingatan yang terserak berantakan itu dan mengetahui jawabannya. Jeritan itu adalah jeritan ibunya. Dan ibunya mendorongnya karena truk itu nyaris menabraknya. Dan... jeritan itu... jeritan itu milik ibunya. Jika sekarang ia masih hidup, maka...
Ichigo tidak bisa lagi menahan airmatanya. Isshin menatap anak lelakinya itu dengan pandangan sedih.
"Ibu... I... Ibu...," ucap Ichigo berulang-ulang dengan suara yang bergetar. Tubuhnya mulai gemetaran ketakutan, takut kehilangan ibunya. "Ayah..., i... itu... bohong, kan...,"
Tetapi Isshin tak menjawab. Ia hanya dapat menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan air mata yang terus mengalir deras dari matanya. Kenyataan ini pastilah terlalu menyakitkan bagi Ichigo yang menyaksikan sendiri saat ibunya tertabrak. Tetapi di lain pihak, kejadian ini juga sangat menyakitkan bagi Isshin.
Sadar ayahnya tak menjawab, Ichigo tahu bahwa jawaban yang ditemukannya itu benar. Ibunya telah meninggal.
"Ibu... Ibu...," ucap Ichigo. Hanya itu yang ingin ia katakan.
"Ibu...," ulangnya, berharap ibunya akan datang dan mengusap kepalanya, mengatakan bahwa yang muncul di kepalanya hanya mimpi saja. Tapi percuma, itu tak mungkin. Karena ibunya telah pergi dari dunia ini, untuk selamanya. Langit yang cerah mulai ditutupi awan gelap, dan titik-titik air pun turun ke bumi, seolah langit ikut berduka dan menangis seperti Ichigo. Berduka karena kehilangan ibu yang sangat disayanginya, juga disayangi seluruh keluarganya.
"Ibuuuuuuuuuuuuuu!"
.
.
17 Juni, 3 tahun kemudian
"Ayaaah!" panggil anak perempuan berusia 7 tahun yang berambut kuning pendek dengan jepit rambut berbentuk cherry yang menghiasi rambutnya itu, Yuzu Kurosaki. Sementara di sebelahnya tampak saudara kembarnya yang berambut hitam, Karin Kurosaki, sudah menggerutu tak sabar. Dan Ichigo, yang saat itu telah berusia 12 tahun dan duduk di kelas 1 SMP, akhirnya ikut membantu Yuzu memanggil ayah mereka yang sudah membuat mereka menunggu di depan rumah terlalu lama.
"Ayah, ayo cepat!" seru Ichigo.
"Baik, sebentar lagi~!" terdengar suara Isshin Kurosaki, kepala keluarga Kurosaki, dari dalam rumah.
"Cepat, jangan lama-lama!" tukas Karin gusar.
Tak lama kemudian, tampak Isshin keluar dari rumah.
"Sudah lama, ya?" tanya Isshin.
"Sangat," koreksi Karin, yang membuat ayahnya down seketika.
"Ah, sudahlah, ayo berangkat!" kata Ichigo cepat melihat ayahnya akan mulai bertingkah aneh lagi.
Keeempat Kurosaki itu pun berjalan ke tempat Kurosaki kelima berada, terbaring tenang untuk selamanya. Ya, hari ini, tanggal 17 Juni, adalah hari di mana Masaki Kurosaki, ibu bagi Ichigo, Yuzu, dan Karin, sekaligus istri Isshin, meninggalkan dunia untuk selamanya. Dan mereka akan mengunjungi makam wanita itu hari ini.
Tampak Isshin dan Yuzu yang tetap riang– bahkan Isshin sudah kelewat riang– di sepanjang perjalanan. Karin yang seolah tidak peduli apapun hanya menatap ayah dan saudarinya dengan datar. Dan Ichigo, yang tampak muram dan sedih. Ya, mengingat kematian ibunya lima tahun yang lalu membuatnya sedih, apalagi dengan mengingat kenyataan bahwa ia ada di sana saat itu, dan ia yang menyebabkan ibunya tewas.
Ichigo menghela nafas berat dan menatap langit biru yang dihiasi awan putih yang berarak teratur.
'Akankah kau memaafkanku, Ibu?'
Matahari tampak sedikit tertutup awan ketika Ichigo dan keluarganya pulang dari makam ibunya. Mereka melewati sebuah taman bermain di perjalanan.
"Ayah, boleh kami ke taman itu sebentar?" pinta Yuzu.
"Ya, sebentar saja, ya!" kata Isshin sambil tersenyum. Setelah mengucapkan terima kasih, Yuzu pun berlari riang ke taman itu.
"Karin-chan! Ayo sini, kita main!" seru Yuzu riang.
"Yaah..." Karin mendekati Yuzu dengan ekspresi datar.
Yuzu terlihat sangat senang ketika ia duduk di atas ayunan dan mulai berayun. Yah, ia memang sudah agak lama tidak bermain seperti itu. Karin sendiri mulai memanjat kubus yang tersusun dari palang-palang beraneka warna yang ada di sudut taman dengan cekatan. Ia memang menyukai permainan-permainan semacam itu. Isshin mendekati Yuzu dan bermain bersamanya, sementara Ichigo duduk di bawah pohon sambil melihat kegiatan keluarganya itu.
Laki-laki berambut jeruk itu sedang menatap lurus ke depan ketika angin berhembus cukup kencang. Dan kali ini, ia tak bisa menahan keterkejutannya melihat sosok yang dijumpainya. Kedua matanya membelalak sempurna melihat sosok yang ditangkap kedua matanya itu.
Anak itu.
Ia sangat mirip dengan Ichigo, hanya saja seluruh tubuhnya berwarna putih, dan iris matanya berwarna kuning mengerikan. Pemuda itu... Ichigo mengingat pemuda itu sebagai anak laki-laki yang juga 'hadir' di tempat Masaki meninggalkan dunia ini selamanya lima tahun lalu. Kali ini, ia tampak berdiri di bawah pohon lain di taman itu, mengawasi sekeliling.
'Dia...?' batin Ichigo kaget. 'Kenapa ia bisa ada di sini?'
Tentu saja pemuda orange ini bingung. Siapa juga yang tidak bingung jika menemui orang yang sangat mirip dengan dirinya yang muncul hanya dalam hitungan detik?
Ichigo belum bisa mengerti apa yang sedang terjadi ketika terdengar suara teriakan panik Yuzu.
"Karin-chan!"
Ichigo spontan menoleh ke arah suara, yaitu tempat Karin sedang bermain. Di sana, tampak Karin yang sedikit kepayahan, dan terlihat akan terpeleset. Sementara Yuzu, berdiri beberapa langkah jauhnya dari palang itu dan menatap saudarinya cemas. Isshin sendiri sama dengan Yuzu.
"Ah, tenanglah, aku bisa, kok!" kata Karin enteng. Dengan beberapa gerakan, anak perempuan berambut hitam itu pun kembali duduk dengan seimbang di puncak kubus palang itu. "Lihat?" kata Karin.
"Fuuh... bikin cemas saja, Karin-chan..." kata Yuzu sambil mendekati kubus palang tempat saudaranya itu.
Ichigo menghela nafas lega dan kembali mengarahkan pandangannya ke tempat yang dipandangnya sebelumnya. Ia kira akan terjadi sesuatu yang buruk, ternyata tidak. Dan saat ia merasa bahaya telah lewat, ia melihat seringai kejam di wajah pemuda putih itu.
"Ah?" gumam Ichigo. Tiba-tiba, ia merasakan nafasnya sesak. Tenggorokannya serasa tercekat, dan firasatnya buruk. Ia kembali menoleh ke tempat kedua adiknya bermain sekarang.
Dan kedua matanya pun membelalak lebar melihat peristiwa di hadapannya itu, yang bagaikan terjadi hanya dalam hitungan detik setelah ia menoleh ke arah mereka.
Kubus yang terbentuk dari palang itu rubuh. Hancur berantakan. Tampak Karin terbaring tak berdaya dengan kepala yang membentur palang dan tanah. Sementara Yuzu tertindih beberapa palang hingga tak mampu berdiri. Dan Isshin menatap kedua putrinya itu dengan syok.
Sementara Ichigo, refleks menoleh ke tempat pemuda yang seolah merupakan 'bayangan dirinya' itu. Dan sosok itu telah menghilang bagaikan ditelan bumi, menghilang entah ke mana.
Ichigo menatap kosong ke arah adik-adiknya itu.
Terjadi lagi.
Kejadian ini lagi-lagi terjadi pada keluarganya.
Kejadian yang sama sekali tak diinginkan Ichigo.
~flashback end~
.
.
'Sejak itu... aku tidak melihatnya lagi,' batin Ichigo. 'Mungkinkah... ini sudah berakhir?' batinnya lagi sembari memejamkan matanya perlahan.
"Hei!"
Tepukan di punggungnya membuat lamunan Ichigo buyar seketika.
"A... ah, kalian..." ucap Ichigo tergagap. Di belakangnya, tampak empat orang berdiri dan menatapnya bersahabat. Mereka terdiri dari seorang pemuda berambut merah, di sebelahnya tampak seorang gadis berambut hitam pendek dengan model seperti anak laki-laki, gadis berambut oranye kecokelatan panjang yang tersenyum manis padanya, dan gadis berkuncir yang juga tersenyum padanya.
Mereka adalah keempat teman Ichigo. Di sekolah ini, hanya mereka yang mau berteman dengannya. Mereka tak peduli dengan kutukan, menurut mereka itu konyol dan tidak penting.
"Ada apa, Kurosaki-kun?" tanya gadis berambut orange kecokelatan panjang itu cemas.
"Ah, tidak ada apa-apa, Inoue, tenang saja," kata Ichigo, tak ingin membuat teman-temannya khawatir. Gadis berambut orange kecokelatan yang memiliki nama lengkap Orihime Inoue itu menghela nafas pelan. Tampak dari wajahnya bahwa ia masih sangat cemas pada si rambut jeruk itu.
"Benarkah? Sepertinya kau agak murung tadi..." kata pemuda berambut merah.
"Sudah kubilang, aku baik-baik saja, Renji," kata Ichigo. "Hanya... sedikit mengingat kejadian beberapa tahun lalu,"
"Peristiwa ibumu?" tanya gadis yang berambut hitam pendek dan modelnya seperti rambut anak laki-laki. Ichigo hanya tersenyum pahit.
"Sepertinya kau benar, Tatsuki," kata gadis yang rambutnya dikuncir sambil menatap Ichigo dengan iris matanya yang sewarna rambut Ichigo.
"Tapi sepertinya ada yang lain, Senna," kata Tatsuki. "Mungkin peristiwa adiknya juga," ucapnya datar.
Ichigo memasang ekspresi datar. Semua yang dipikirkannya rupanya telah diketahui oleh mereka.
"Oh iya, benar tuh, Tatsuki," kata Senna pelan.
"Yah, tapi... bukan apa-apa. Hanya sedikit mengenang..." kata Ichigo.
"Ichigo, sudahlah. Setelah itu pun tak ada kejadian apapun, kan? Dan kau juga tidak melihat pemuda putih yang kau bilang itu lagi, kan?" ucap Tatsuki sambil tersenyum untuk membesarkan hati Ichigo yang sekarang hanya diam.
"Iya, Tatsuki-chan benar! Berarti semua peristiwa buruk itu sudah berakhir, kan! Senyum dong, senyuuum!" kata Senna dengan nada riang sambil tersenyum manis kepada Ichigo.
Ichigo menatap keempat temannya yang kini tersenyum padanya itu dengan kedua bola mata cokelatnya yang indah. Kemudian, ia tersenyum, membuat wajahnya terlihat semakin tampan saja.
"Yah, mungkin juga..." ucap pemuda berambut jeruk itu sambil tersenyum. Walaupun begitu, ia masih menyimpan sedikit rasa khawatir dalam hatinya.
'Semoga saja itu benar...' batinnya.
Sosok berpenampilan serba putih itu berdiri tegak di atap SMA Karakura sambil melihat pemandangan di bawahnya. Ia tenang-tenang saja di atas sana, tak akan ada yang mengganggunya, tak akan ada yang menegurnya atau bahkan meneriakinya karena ia tak dapat dilihat oleh manusia biasa. Hanya orang yang punya kemampuan 'lebih' saja yang bisa melihatnya, dan ia yakin, di tempat ini tak begitu banyak yang memiliki kemampuan itu.
Tiba-tiba sepasang iris matanya yang berwarna kuning mengerikan itu menangkap sosok yang dikenalnya sedang melangkah keluar dari bangunan SMP ini. Sosok pemuda berambut orange yang berjalan pulang bersama teman-temannya, sungguh mirip dengan dirinya. Tunggu- tepatnya bukan mirip, melainkan pemuda putih inilah yang 'membuat' dirinya mirip dengan pemuda berambut orange itu. Bagi makhluk sepertinya, ini tidaklah mustahil.
"Heh, mungkin sekarang kau bisa bersenang-senang, Kurosaki..." ucapnya sinis. "Tapi setelah ini..."
Pemuda putih itu menghentikan ucapannya sejenak dan menyeringai kejam.
"...Giliranku bersenang-senang!"
.
.
.
~To Be Continued...~
Apa ini? :D - talkshow dan catatan seorang author yang bisa hilang dan muncul tiba-tiba
Ai-69: "Ohishasiburi ne, 586' 920 jikan 37 fun, minna-san!"
Suigintou (nyasar): "Woi! Itu kan dialog gue!" *nggeplak Ai*
Ai-69: "Uwakh! Ada boneka nyasar!" *jejeritan geje*
Suigintou: *jawdrop* "Bodo amat ah. Eh... author! Kok ceritanya pendek? 'Rada-rada' pula!" *baca-baca*
Ichigo: "Iya! Mana gue jadi pembawa kutukan lah, inilah, itulah!" *muncul-muncul protes*
Renji: "Pantes tuh!" *ngakak ala babon -?-*
Ichigo: "WHAT? Fukutaichou sialan!"
Renji: "Vizard gebleg!"
Ai-69: "HOI! STOP! ENOUGH!" *bawa-bawa clipboard* (Clipboard itu yang item putih yang dipake Spongebob waktu bikin film itu lho~ *penjelasan yang nggak jelas*)
Ichigo & Renji: *diem*
Ai-69: "Uhm, iya sih, saia ngaku kalo ini cerita emang 'rada-rada' & pendek banget. Deskripsinya tambah geje pula! Inikah efek dari kebanyakan makan bakso?" *meratap gaje*
Ichigo+ Ishida+ Suigintou: *eswete* (sejak kapan boneka bisa keringetan?)
Rukia: "Oh, oh, Thor, saya kok nggak muncul sih? Nanti saya muncul nggak?" *angkat tangan ala murid sekolahan bertanya pada gurunya* (?)
Momo + Toushiro: "Kita muncul nggak?" (ciiieee... kompak nih yee~ XD)
Rangiku: "Gue gimana? Muncul enggak?"
Chara laen: "Kita gimanaaaaaaaaa?" *kompak* (paduan suara yang baik nih! Dicontoh! *plak*)
Ai-69: "Mungkin. Suka-suka saia... khekhekhe"
Momo + Toushiro + Rukia + Rangiku + Chara laen: *eswete*
Ai-69: "Yasud, seperti biasa, saia minta kritik, saran, dan reviewnya... kalo ancur boleh dicaci maki juga kok. Saia terima review jenis apapun dengan senang hati! Mari membangun fic yang lebih baik dengan review! Hidup reviewers! Merdeka!" *dibuang ke laut sama all chara*
