Katawa Shoujo's Jukebox

===OO===

Katawa Shoujo's Jukebox project

Story © Giselle Gionne

Katawa Shoujo + Their OST © Four Leaf Studios

Genre: Friendship / General

Warning: May be drabble at some chapters. Probably POVs got mixed up at some chapters. Bahasa kurang formal! Hanya ingin menggunakan bahasa yang ringan dan mudah dimengerti.

Rate: T

Chapter 1: Afternoon

Current Scene: Pseudo Tea Cosy, Act 1: Life Expectancy

A/N: Untuk fiksi Katawa Shoujo saya yang satu ini, hanya mengangkat tema Friendship dan General. Seluruh judul untuk tiap chapternya diangkat dari judul soundtrack Katawa Shoujo secara keseluruhan yang disusun secara alfabetis dan mengacu langsung kepada Jukebox Katawa Shoujo di bagian Extra. Untuk tiap judul lagu, saya mengambil satu kejadian di Katawa Shoujo yang sedang memutar soundtrack tersebut, dan saya pilih yang keadaannya ringan namun padat emosi dan bacaan, juga mudah untuk dituangkan ke dalam fiksi panjang maupun drabble singkat. Boleh juga membaca kumpulan drabble ini dengan menyalakan lagu sesuai judul chapter untuk menambah kesan yang berbeda Fiksi ini seperti novelisasi dari versi game nya dengan beberapa perubahan disana-sini. Selamat membaca!

===OO===


Matahari senja yang bersinar dengan hangat menyinari sekolah khusus untuk siswa-siswi yang memiliki keterbatasan indera, anggota gerak, dan lain sebagainya.

Aku, Hisao Nakai, menyetujui perpindahan sekolah dari sekolah yang dulu, akibat penyakit jantung yang tidak wajar ini.

Beberapa bulan berselang semenjak aku mendapat serangan jantung yang pertama. Jantungku berdetak kencang, dan langkah selanjutnya aku sudah tidak sadarkan diri. Teman wanita yang satu kelas denganku, Iwanako, hanya bisa berteriak histeris ketika melihat keadaanku yang sudah tak sadarkan diri di atas hamparan salju.

Betapa bodohnya diriku untuk terjatuh begitu saja di hadapan seorang gadis yang tengah menyatakan perasaannya kepadaku.

"Selamat pagi, Hisao."

Aku menolehkan kepalaku, dan melihat seorang wanita cantik berpostur cukup tinggi dengan sebuah tongkat yang cukup panjang untuk membantunya mengkoordinasi langkahnya.

"Pagi, Lilly."

Lilly Satou, seorang siswi berkebangsaan separuh Skotlandia dan Jepang, memiliki kekurangan indra. Kedua matanya tidak bisa melihat sejak lahir. Meski begitu, kemampuannya untuk merekognasi suara sangatlah bagus. Tanpa kehadiran kedua penglihatannya, ia terlihat cukup mumpuni dalam mengenal sekitarnya dengan sangat baik.

"Bolehkah aku menikmati makan siangku disini?"

"Mengapa tidak? Silahkan. Jangan sungkan-sungkan. Aku menantikan kehadiran seorang teman untuk menemaniku melewatkan siang hari yang penat."

Lilly adalah seorang gadis yang begitu anggun. Logat bicaranya sudah seperti pelafalan para penduduk Jepang yang sesungguhnya. Namun, bahasa yang ia gunakan begitu formal dan dengan tingkat yang begitu tinggi.

Aku menarik kursiku dan terduduk di hadapannya yang tengah mengiris-iris roti tumpuk menjadi beberapa bagian. Pertama kali aku bertemu dengannya, aku merasa canggung. Ia begitu anggun dan juga cantik. Namun lambat laun, ketika aku telah mengenal dirinya secara terbuka, seluruh kecanggungan yang selalu menyinggahiku perlahan-lahan mencair.

"Silahkan, Hisao. Aku sudah mengiris roti tumpuk ini menjadi beberapa bagian. Aku akan segera menyeduhkanmu teh hangat. Apakah kau berniat untuk menjadikan teh hasil racikanku ini menjadi manis?"

"Asal tidak terlalu manis. Terimakasih sebelumnya, Lilly."

Ia hanya mengangguk dan segera mengeluarkan peralatan teh yang biasa ia simpan di dalam rak penyimpanan.

Kami melewatkan jam makan siang dengan candaan dan juga obrolan. Bahkan ketika denting lonceng pertanda bahwa jam istirahat telah selesai, baik aku maupun dirinya tidak berniat untuk bangkit dari tempat duduk masing-masing. Gurauanku berhasil meghibur dirinya. Sesekali ia tertawa dan menanggapi candaanku.

Tak terasa, sinar mentari yang hangat menduduki meja makan kami.

"Sudah sore hari. Tidak terasa, bukan, Hisao?"

Aku menganggukkan kepalaku dan membantunya merapikan alat makan.

"Pembicaraan yang menyenangkan, Lilly. Aku harap kita bisa menghabiskan waktu berdua seperti ini di lain kesempatan."

"Jangan ragu untuk kembali ke ruangan ini, Hisao. Aku selalu menghabiskan jam makan siangku disini. Jika kau merasa ingin menikmati secangkir teh, datanglah. Aku sudah terbiasa menyeduh sepoci besar teh."

"Tentu saja. Sekali lagi, terimakasih. Aku akan mencari dirimu besok saat jam makan siang."

Dengan langkah cepat, aku segera berlalu, meninggalkan Lilly yang melambai kepada diriku.

Sore hari seperti ini sangatlah damai dan juga menyenangkan. Aku membuat janji kepada diri sendiri, agar lebih sering dalam meluangkan waktu bersama gadis Skotlandia tersebut.