Angel and Devil

In The Orange Sunset Version

Ini adalah fanfiction saya yang pertama di FFn ini, jadi mohon dimaklumi bila gaya tulisan saya dan cerita ini masih acak-acakan dan membingungkan (-,-)' .

Cerita ini berasal dari ingatan lama saya tentang sebuah kalimat, "Kemarahannya tak dapat dimengerti. Kekalapannya tak dapat dipahabisa lepas dari kata-kata itu. Kata-kata yang akan terus mengikat hatinya sampai mati."

Yaahh, author harap para readers menikmati cerita fic ini. Mohon bantuannya!

. . .

Title : Angel and Devil – In The Orange Sunset Version

Chapter 1 : Prologue

Disclaimer : Eyeshield 21 Riichiro Inagaki & Yuusuke Murata

Story by : "Are" Diangel

Idea by : "Are" Diangel

Genre : Romance

Rated : T

Pairing : Hiruma Youichi X Mamori Anezaki

Warning : AR (maybe), OC, OOC (maybe), gaje, misstypo (buat jaga-jaga), OOS (Out Of Story), masih acak-acakkan (author pemula), bahasa tingkat tinggi (takut jatuh)

Saran : Siapkan mental Anda. Setelah membaca fic ini, saya tidak akan mencegah Anda ketika Anda berniat membanting laptop, ponsel, ataupun komputer Anda yang Anda gunakan untuk membaca fic ini. Bila sudah kehilangan minat membaca fic ini, silahkan tekan tombol 'Back' untuk kembali ke halaman sebelumnya.

Pesan : Semoga Anda suka

Don't Like, Don't Read!

-oOo-

Angel and Devil – In The Orange Sunset Version

Bola itu menggambarkan warna

Menggambarkan kecerahan, dan keceriaan

Menggambarkan kebahagiaan, dan semangat

Menggambarkan waktu aku dilahirkan

Menggambarkan saat itu...

Seketika bola itu pulang,

Setelah bola itu tersesat,

Di ujung senja yang tersesat

Langit kini masih dipenuhi tenunan selendang berwarna jingga. Seakan selendang tenun itu belum mampu neninggalkan langit biru itu, saat itu. Semburat itu sangat nyata dan amat sangat pekat. Saat ini...

Matahari sore menyinari permukaan tanah. Membuat bayangan seorang gadis yang baru meninggalkan Deimon's High School memanjang. Gadis itu memiliki rambut coklat kemerahan, tengah berjalan tenang menuju stasiun.

"Ah, matahari ini lagi, belum tenggelam juga ternyata," gumamnya pelan.

-oOo-

Sesosok cowok itu duduk di atap sekolah, memandang ke bawah. Mulutnya tidak berhenti mengunyah permen karet free-sugar.

"Tch, cewek sialan itu udah pergi," katanya pelan. "Cepat sekali."

Kemudian dia berbaring mengadah ke langit.

"Matahari sialan! Kenapa kau harus cepat-cepat kembali ke sarangmu?" katanya. "Gara-gara kau, aku jadi nggak bisa liat cewek sialan itu lebih lama tahu!"

Tapi tak lama kemudian keluar kekehan dari cowok itu. "Lain kali, akan kutahan dia lebih lama. Kekekeke,"

-oOo-

"Aku pulang," kata gadis itu sambil membuka pintu depan.

"Ya. Selamat datang," sahut seseorang dari dalam.

"Selamat datang," kata suara lain. "Matahari belum hilang juga, bagaimana kalo kau naik ke atas?"

"Ya," sahut gadis itu sambil menaruh sepatunya di rak.

Kemudian gadis itu menaiki tangga menuju kamarnya, berganti baju, dan naik ke loteng.

Di loteng, gadis berambut coklat kemerahan itu mencari tangga, dan dia menemukan tangga lipat di pojok ruangan itu. Mendirikan tangga itu di pojok ruangan sebelah kanan dan mulai memanjat. Gadis itu menyingkap sebuah tingkap di atap loteng, kemudian ia naik ke atas.

Kini di hadapannya ada suguhan pemandangan yang tinggi karena ia tengah berada di atap rumahnya kini. Dengan hati-hati dia duduk di atap yang miring itu. Mengarahkan tatapan matanya yang berwarna biru shappire itu ke arah barat, tempat dimana matahari itu mulai kembali ke peraduannya. Dewa utama orang-orang Mesir itu mulai menghilang.

"Hai, Senja..." kata gadis itu lirih.

-oOo-

Cowok itu memejamkan matanya. Merasakan sinar lembut berwarna jingga yang mulai kembali ke peraduannya. Pintu di belakangnya dibuka—lebih tepatnya—di dobrak paksa, dengan keras.

"Hei! Kenapa pintu ini kau kunci segala?" kata orang yang membuka, ralat, mendobrak pintu tadi.

Cowok yang tengah berbaring mengadah ke langit itu membuka matanya yang berwarna hijau toska. "Tch, orang tua sialan! Ganggu aja!"

Cowok yang baru datang itu berdiri di belakang orang itu. Menjaga dalam jarak dua-tiga meter. "Kau masih senang mengamati cewek itu?" tanyanya.

"Kau pikir aku akan berhenti sebelum aku mendapatkan cewek sialan itu, hah?" sahut yang lain.

"Tentu tidak, anak bodoh! Tentu itu tidak akan kau lakukan, kan, The Commander of Hell?" sahut cowok yang berwajah mirip orang tua itu.

"Tentu, orang tua sialan," sahut cowok lainnya, berambut spike-pirang. "Mamori Anezaki, kelas 2-1 Deimon's High School, rambut coklat-kemerahan, mata biru shappire," cowok itu terkekeh. "Anggota Komite Kedisiplinan."

-oOo-

"Mamo-chan!" seru sebuah suara. Terdengar jauh dari tempat gadis bermata biru itu duduk. Atap rumahnya.

"Mamo-chan!" seru suara itu lagi. Tapi suara itu semakin sayup.

"Mamo-chan!" wah, kini gadis itu dapat mendengar suara itu dengan jelas. Gadis berambut coklat kemerahan itu melongokkan kepalanya ke bawah, ke arah jalan di depan rumahnya. Seorang wanita separuh baya tengah melihat ke arahnya, kata yang lebih tepat menggambarkannya adalah melotot tak percaya.

"Ya, Kaa-san," sahut cewek itu dari atap rumahnya.

"Otou-san memang menyuruhmu untuk naik dan menyarankan untuk melihat matahari itu. Tapi tidak di sana!" seru wanita itu.

"Tidak apa-apa, Kaa-san. Bila kulihat dari balkon tidak akan sama," sahut cewek itu.

"Apa maksudmu dengan 'tidak apa-apa'? Bagaimana jika kau jatuh?" kata wanita itu khawatir.

"Baiklah aku turun sebentar lagi," sahut cewek itu.

"Kaa-san ingin kau turun sekarang!" tukas wanita itu.

"Ya, baiklah,"

"Cepatlah, Mamori,"

"Ya,"

Cewek itu, Mamori Anezaki turun melewati tingkap di atap tadi. Setidaknya, itu yang dilihat Mami Anezaki, Ibunya. Kemudian Mami kembali masuk ke rumah.

Selang beberapa detik, kepala Mamori kembali menyembul dari lubang tingkap itu. Ia kembali duduk di atap rumah bercat putih bersih itu.

"Hei, Senja, enak saja Kaa-san menyuruhku turun sekarang. Jelas aku tidak mau, setidaknya, aku akan menunggumu hilang dulu," kata Mamori.

Perlahan matahari sore itu tenggelam. Hanya menyisakan semburat tipis warna jingga yang kini sudah mulai samar-samar. Kemudian Mamori turun ke ruang loteng di bawahnya, terus ke kamarnya, lalu mengunci pintu kamarnya. Ketika ada suara mengetuk pintunya, ia hanya menjawab, "Aku mau mandi dulu. Tunggu. Sebentar lagi aku turun."

-oOo-

"Hei, orang tua sialan! Kau tidak pulang?"

Lelaki yang diberi pertanyaan itu melirik arlojinya. "Ya, sebaiknya aku pergi sekarang."

Ketika cowok berambut spike pirang itu sudah sendiri, ia mengarahkan tatapannya ke arah barat. Kini matahari sore itu telah hilang. Hanya meninggalkan semburat cahaya orange yang sudah semakin samar.

"Hei, Jingga, dimana mereka?"

Satu pertanyaan tanpa jawaban itu terlontar, bersuara. Tapi, keheningan yang hadir mengganti jawaban yang diharapkan itu. Sebenarnya, sosok itu bersyukur karena pertanyaannya dibiarkan mengambang, tak terjawab. Karena, jawaban yang mungkin ia dapatkan hampir selalu dapat membuat pertahanan cowok ini runtuh.

"Di sana, ya? Di barat?" desis cowok itu. Seringai tipis mengakhiri kalimatnya.

To Be Continued

Yups! Akhirnya selesai juga chapter pertama saya di Fandom ini. Chapter pertama, hanya prolog.

Fic ini buat teman saya, Hikari-chan yang udah bersedia ngeluarin sifat ke-angel-annya buat bantu saya, karena biasanya sifat iblisnya yang keluar. Juga buat temen-temen saya "INCOGNITO", yaitu : Nindy-chan, Vishnu-kun, Firmant-kun, Imei-chan, dan Ardha-kun.

Saya menerima berbagai kritik dan saran, flame juga boleh (sertakan alasan yang jelas), dan boleh juga anonymouse. ^_^

And for the last,

Review, please

R

E

V

I

E

W

P L E A S E