Orange © Takano Ichigo
Dia memang hanyalah seorang gadis biasa, gadis polos biasa yang hidup di suatu desa. Hidup di sebuah rumah mungil sendirian. Tidak ada yang istimewa darinya. Apalagi dengan kekurangan yang dimilikinya. Dia buta, memang buta.
"Suwa... hari ini aku mendapatkan roti melon dari Azu." dia menghampiriku dengan meraba benda di sekelilingnya. "Lihat!"
Dia menunjukannya, dua buah roti melon pada meja kosong. Lagi-lagi dia salah, padahal aku selalu berada di sini tanpa berpindah tempat sedikit pun.
"Suwa?" dia memanggilku, namun aku hanya diam. Menjawab pun percuma karena aku memang tidak bisa berbicara. "Ah! Ternyata kau di sini."
Dia meraba wajahku, menciptakan senyum lebar setelah menunjukan kembali kedua roti yang ia dapatkan. Aku menanggapinya dalam diam, tetap memberikan senyum tipis padanya.
"Ayo kita makan... Suwa..."
Namanya Naho, Takamiya Naho. Dia adalah gadis biasa yang tanpa sengaja menemukanku di pinggir sungai lalu menolongku. Naho tahu aku tak akan pernah bisa berbicara namun ia tetap mengajakku mengobrol, meski aku tak dapat merespon apapun selain memberinya senyuman tipis— yang jelas tak akan pernah bisa ia lihat.
Naho tidak pernah mengeluh, meski memiliki kekurangan ia tetap menjalani hari-harinya dengan penuh keceriaan. Teman-temannya baik, itu yang dia katakan padaku. Tapi aku hanya mengenal Azusa dan Hagita, salah satu temannya yang paling sering datang ke sini mengantarkan beberapa roti— gratis untuk Naho.
"Aku senang sejak ada Suwa aku jadi punya teman bicara di rumah," katanya dulu.
Aku suka tiap kali melihat cara Naho berbicara, tingkahnya ketika berusaha menemukan keberadaanku, atau gembungan pipinya kala aku tanpa sengaja bersembunyi di balik kursi.
Setiap dua minggu sekali Naho membersihkan rumah— tentu saja dengan bantuan Azusa dan Hagita. Sedangkan aku hanya duduk diam menandang mereka. Ikut membantu? Mana mungkin, aku tak akan pernah bisa melakukan sesuatu semacam itu. Yang bisa kulakukan hanyalah memandang mereka sambil tersenyum kecil.
Aku selalu berada di sisi Naho, tak pernah sekalipun aku berniat meninggalkannya. Naho adalah sosok yang sangat berharga dan penting bagiku. Aku tidak membutuhkan alasan khusus untuk menjelaskan mengapa gadis itu begitu berharga bagiku.
Aku hanya... merasa mencintainya. Hanya itu.
Aku tidak perduli kalaupun Naho hanya menganggapku sebagai teman bicara saja— malah tidak bisa dikatakan teman bicara mengingat aku yang selalu diam. Aku tidak perduli kalaupun Naho tak pernah bisa melihatku dan hanya menerka seperti apa rupa wajahku. Aku mencintainya, sangat mencintainya.
"Suwa... berjanjilah agar tidak meninggalkanku ya." Ujar Naho suatu hari. Memandangku dengan tatapan kosongnya sambil memelukku.
Aku tidak mengangguk maupun menggeleng, lagi-lagi aku hanya tersenyum tipis. Aku tak akan meninggalkanmu tenang saja, tak akan pernah. Apapun yang terjadi aku akan tetap berada di sisimu, Naho. Meskipun semua telah hancur.
.
.
.
.
.
.
.
.
Sayangnya, itu dulu. Dulu sekali saat rumah ini masih berdiri dengan gagahnya. Dulu sekali saat sulur-sulur tanaman ini belum tumbuh. Dulu sekali saat barang-barang di dalam rumah masih tertata dan tidak terbakar. Dulu sekali saat Naho masih ada, tersenyum padaku, mengajakku berbicara sambil meraba meja mencariku.
Saat ini, semua itu hanyalah sebuah kenangan yang perlahan akan terlupakan. Saat ini... lagi-lagi aku hanyalah sebuah boneka yang ditinggalkan pemiliknya.
"Halo tuan boneka... bagaimana kalau kupanggil Suwa?"
Terima kasih untuk hari-harinya... Takamiya Naho.
A/N Haaai~ saya author baru di Fandom ini salam kenal~
Omong-omong terima kasih untuk winkiesempress yang sudah membantu mencari judul untuk fic ini QAQ)/
