Morte Nekochan presents
BLEACH FANFICTION
.
.
.
.
.
THE FOUR MUSKETEERS
.
.
Ichigo x Rukia
.
.
.
.
.
.
Disclaimer: BLEACH selamanya milik Kubo Tite.
Summary: Kurosaki Ichigo, pemimpin kelompok pencuri ulung yang paling sulit ditangkap dan selalu membuat para Guardians kerepotan menghadapi ulahnya. Di saat terdesak, Ichigo terpaksa menculik Kuchiki Rukia, sang putri Kerajaan Senbonzakura, untuk menyelamatkan diri. Selama Rukia menjadi 'tawanan' Ichigo, saat itulah hati mulai tumbuh di antara mereka. Pada saat bersamaan, muncul persekongkolan untuk menggulingkan sang Raja dan menghancurkan Kerajaan.
Warning: Alay, abal, gaje, aneh bin ajaib, feelnya gak ngena, misstypo bertebaran dimana-mana, OOC-ness, Ichiruki-ness. Bagi penggemar Ichihime, Renruki, YURI apalagi YAOI yang nyasar ke sini, silakan menekan tombol back atau close. TIDAK MENERIMA FLAME!
Edited in May 27th, 2012.
.
.
.
.
.
Paris, France, 1476...
.
.
.
.
This chapter is brought to you by the god-damned school that I can't wait to get out of.
.
.
.
"HUAHAHAHAHAHAHAHAHA," terdengar suara tawa yang familiar dan ditakuti di seluruh Kerajaan Senbonzakura. Semua orang di kedai makan segera berlindung atau lari ketakutan, karena keempat bandit telah menyerbu – lagi!
Sepotong kaki bersepatu boot hitam menghentakkan meja kayu lapuk di bawahnya hingga debu-debu kayu berterbangan. Pemilik kaki tersebut adalah seorang lelaki yang bertopeng hitam, berjubah hitam dan bertopi fedora hitam dengan senjata pedang besar. Wajahnya tak terlihat jelas, namun topeng tersebut hanya berhenti sampai ke bawah matanya sehingga kulitnya yang terbakar matahari, hidung mancungnya, dan bibirnya yang tipis terlihat. Namun rambutnya tidak terlihat karena dia mengikat kepalanya dengan headband sebelum memakai topi fedora hitam tersebut. Dia mengenakan kemeja putih di balik jubah hitamnya, celana hitam, dan sepatu boot hitam. Layaknya Zorro, ia melompat ke atas meja, menghunuskan pedang besarnya, dan berteriak sekuat tenaga, "Bagi kalian yang masih ingin hidup, masukkan semua harta benda kalian di dalam sini!" Dia melemparkan sebuah karung goni lusuh ke atas tanah.
Semua orang disitu dengan gemetaran melucuti semua perhiasan, uang, dompet, selendang, dan—bagi orang-orang yang tidak punya apa-apa—melucuti pakaian mereka sendiri karena tidak mau dibunuh. Dengan tergesa-gesa dan gemetaran, mereka memasukkan harta benda mereka ke dalam karung tersebut dan mundur pelan-pelan. "Kalau sudah selesai, letakkan tangan kalian di atas kepala dan tiarap di tanah! Cepat!" Serunya. Para pengunjung kedai tersebut segera melakukan apa yang diminta si bandit jubah hitam tersebut dengan gemetaran—bahkan ada yang sampai pipis di celana sendiri hanya karena mendengar suara si jubah hitam yang menggelegar dan menakutkan.
Sementara itu, salah seorang temannya dengan kacamata tanpa bingkai, jubah putih, bersenjatakan busur, dan topi fedora putih mendekati si jubah hitam, "Hei, sudah mulai ada keributan disini," katanya hati-hati.
Temannya yang seorang lagi juga mendekatinya, "Benar, gawat kalau para Guardians memergoki kita." Dia bertopeng merah, bertopi ketat merah dengan bagian atas sobek supaya kunciran merahnya terlihat jelas, dan memakai jubah merah. Pedangnya besar dan bergerigi mirip gergaji. Salah satu temannya yang paling besar, tetap diam disudut, berjaga-jaga bila ada Guardian yang datang. Dia menggunakan topeng hitam, topi cokelat, mantel hitam dan tak bersenjata. Hanya menggunakan lengannya yang besar sebagai senjata.
Pemimpinnya yang berpakaian layaknya Zorro itu tak menjawab. Nampaknya dia sedang berpikir. Sesaat kemudian, dia tersenyum, "Serahkan saja padaku," katanya percaya diri.
"Hei! Kayaknya sudah penuh tu karung, bawa karungnya!" Perintah si jubah putih. Si cowok jubah merah itu langsung mengambil karung itu dan mereka berempat bergegas lari dari kedai makan—sementara orang-orang yang panik melarikan diri dari kedai tersebut. Nampaknya pemilik kedai itu tidak akan mendapat pengunjung untuk sementara waktu.
Teman mereka yang bermantel gelap itu bergegas menuju ke arah mereka, "Gawat, para penjaga sudah disini!" Katanya.
Si jubah hitam itu mengertakkan giginya. Ini masalah serius. Tapi dengan komandonya, mereka berempat keluar dari kedai dan menghadapi sekompi pasukan Guardian dengan pimpinan Grimmjow Jeagerjack, "Kalian takkan bisa lari kali ini." Katanya. "SERANG!" Dengan satu kata itu, para pasukan Guardians itu mulai maju dengan senjata terhunus ke arah mereka.
Keempat orang itu dengan mudah menampik dan melumpuhkan para Guardians tersebut, tapi mereka kalah jumlah. "Oi, Kurosaki," seru jubah putih, "Cepat pikirkan jalan keluarnya!" Serunya.
Tiba-tiba, bandit berjubah hitam itu bersiul keras. Tak lama setelah itu, dari jauh terdengar suara ringkikan kuda dan disusul bunyi derap langkah kuda. Para pasukan dan keempat bandit itu berhenti sejenak ketika mendengar suara itu. Dan dari horison sana, dari balik jalan setapak hutan, muncullah empat kuda dari balik asap debu jalanan. Masing-masing besar, bersadel, rapi, dan bersih. Kuda yang paling depan memimpin, berwarna hitam mengkilau, dibelakangnya adalah kuda berwarna putih bersih, dibelakangnya kuda berwarna merah bata, dan paling belakang adalah kuda berwarna cokelat berbintik hitam.
Dengan memanfaatkan kelengahan Guardians karena kedatangan kendaraan pribadi mereka, para bandir tersebut segera menampik semua serangan—tak peduli dengan pasukan Guardians yang dengan mudah mengekor—dan langsung loncat ke punggung kuda masing-masing. "HEAAA, HEEAAA!" Mereka pun memacu kuda mereka menuju ke kota...
.
.
.
.
"Paduka," penasihat Raja yang berambut putih panjang berlutut di hadapan Sang Raja yang sedang berada di balkon, "keempat bandit yang sering meresahkan rakyat kembali muncul, paduka. Mereka menuju ke pusat kota." Katanya dengan wajah yang terlihat pucat karena sakit.
Sang Raja, Kuchiki Byakuya mengangguk mendengar laporan tersebut. "Begitu, ya." Katanya. "Selama mereka tak membunuh siapapun, kita biarkan saja dulu." Lanjutnya.
Sang penasihat mengangkat kepala mendengar reaksi rajanya, "Tapi, paduka—!"
Sang Raja menoleh pada penasihatnya dari pemandangan yang memperlihatkan seluruh wilayah Kerajaan Senbonzakura, "Tak usah cemas, Ukitake. Kalau saatnya tiba, aku sendirilah yang akan melawan mereka."
Penasihat tersebut, Ukitake Juushirou, menunjukkan wajah cemas, "Paduka..."
.
.
Bunga-bunga biru wasurenagusa dan violet ungu terinjak oleh kaki-kaki mungil seekor kelinci putih. Hewan mungil tersebut menggoyang-goyangkan hidung mungilnya dan segera melompat bersembunyi di dalam semak azalea ketika mendengar suara familiar, "Chappy!"
"Chappy! Kemarilah, manis! Saatnya makan!" Suara tersebut terdengar lagi. Seorang gadis dengan kulit putih, mata biru safir, dan rambut hitam pendek yang menggelitik rahangnya muncul. Dia menggunakan gaun berwarna putih. Leher gaunnya lebar dan dihias dengan renda-renda sehingga memperlihatkan belahan dadanya yang mungil. Di tengah-tengah gaunnya dijahit kain berwarna krim yang dijahit dengan benang perak dan disatukan dengan pita merah—di bagian dada dan punggung. Lengan gaunnya pendek, tipis, dan hanya bertengger di bahunya sehingga sering turun—memperlihatkan bahunya yang putih seperti susu. Gaunnya yang putih mencapai mata kakinya, berlipit-lipit, dibiarkan mengalir ke bawah sehingga tidak terlihat menggelembung, dan dihias dengan benang perak. Di kaki mungilnya, ia mengenakan sepatu balet putih yang lucu, namun tipis. "Chappy? Ayolah, jangan main-main." Panggilnya lagi dengan wajah cemas.
"Yang Mulia, Rukia-sama," mendengar namanya disebut, Kuchiki Rukia menoleh dan mendapati tukang kebun kerajaan berdiri beberapa meter di samping kolam. "Tolong jangan diinjak bunga-bunganya, ya. Mereka bunga kesukaan Yang Mulia Ratu Hisana."
Sang putri tanpa mahkota tersebut mengangguk sambil tersenyum sopan pada tukang kebun tua tersebut, "Maafkan aku. Aku terlalu bersemangat mencari kelinciku." Katanya sambil tersenyum minta maaf.
"Biar saya saja yang mencarinya, Yang Mulia. Seorang Putri seperti anda harusnya tak usah repot-repot mencari kelinci anda seorang diri." Kata tukang kebun tua itu dengan ramah. Sambil berkata begitu, tukang kebun tersebut mencari-cari hewan tersebut di semak-semak yang berada di dekat tembok kerajaan yang memisahkan kebun samping dan kebun dalam. "Lagipula, bukankah Tuan Puteri harus makan bersama Paduka Raja dan Ratu di saat seperti ini?" Tanyanya ramah.
Rukia tersenyum malu, "Ah, aku..."
"Rukia," Gadis berambut hitam tersebut menoleh ke arah pintu yang menghubungkan kebun dengan koridor. Ia melihat ibunya—seorang wanita dengan wajah keibuan, rambut hitamnya sepanjang bahu jatuh di antara matanya. Sang Ratu—Ibunda Rukia menggunakan gaun sederhana berwarna ungu muda dengan selendang sutra berwarna pink yang tersampir di bahunya. Gaun ibunya berlengan panjang, mencapai kakinya, dan lehernya membentuk V. Gaun ibunya juga tidak terlalu besar atau mencolok, melainkan—sama seperti Rukia—dibiarkan mengalir ke bawah.
"Sedang apa kamu disini, sayang? Apa kau tidak lapar? Ayahmu cemas melihatmu tidak datang." Tanya ibunya dengan lembut tanpa ada nada tajam sedikitpun dan tanpa kehilangan senyumnya yang keibuan tersebut.
"Ibu," Gumam Rukia. "Ah, aku... Aku punya firasat aneh dan karena itu aku merasa tidak lapar. Itu saja." Katanya sambil bermain dengan pita merah yang menyatukan kain di bagian dadanya—tanda bahwa ia sedang gugup.
"Firasat apa itu, anakku?" Tanya ibunya. Ibunda Rukia mendekati putrinya dan mengelus rambut putrinya yang diputuskan untuk dipotong pendek ketika ia menginjak remaja.
Belum sempat Rukia menjawab—bahkan Rukia tak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan tersebut—si tukang kebun mendekati mereka, "Paduka Ratu, Tuan Puteri," Sapanya dengan hormat sambil membungkuk. Sang ratu ikut membungkuk sopan melihat kedatangan tukang kebun yang jauh lebih tua daripada mereka. "Saya menemukan kelinci anda." Katanya sambil mengangkat hewan mungil berbulu putih tersebut kepada Rukia.
"Chappy! Kau membuatku khawatir!" Kata Rukia sambil menerima hewan itu dan menggendongnya di tangannya. Ia membungkuk pada tukang kebun tua tersebut. "Terima kasih sudah menemukan kelinciku, Pak." Kata Rukia dengan penuh rasa terima kasih. Tukang kebun tersebut hanya mengangguk dan membungkuk sebelum pergi meninggalkan Tuan Puteri bersama Paduka Ratu.
Sang Ratu, Kuchiki Hisana, hanya tersenyum melihat putrinya yang tidak lebih tinggi darinya itu. "Alasanmu menghilang dari makan malam bukan hanya karena kelinci ini, bukan?" Tanyanya. Rukia menatap kelincinya dengan sedih. Ibunda Ratu mengerti arti tatapan tersebut, "Sayangku, ibu juga tidak mau kau tidak bahagia. Tapi pertunangan ini harus dilangsungkan demi kedamaian Kerajaan. Kau mengerti, kan?"
Rukia mendesah. Percuma saja membantah. Perkataan ayahnya adalah final. "Aku mengerti, Ibunda."
.
.
.
.
Derap kuda terdengar di sepanjang jalan dan meninggalkan debu pasir kemana-mana. Kuda hitam yang dinaiki oleh Bandit Hitam tersebut memimpin di depan—memimpin kemana kuda yang lain harus pergi. Seorang tukang sayur hendak menyeberang ketika dia mendengar derap kuda-kuda tersebut dari kejauhan dan segera menjauh dari tengah jalan ketika sepotong tangan berselimut sarung tangan merah dengan tepat menyambar seikat sawi dari gerobaknya. Tukang sayur tersebut hanya bisa berseru tanpa ada hasil, "Hei! Bayar dulu!" Sedangkan keempat kuda yang berderap tadi hanya meninggalkan debu pasir.
Bandit berjubah merah tersebut meringis puas sambil mengamati seikat sayur sawi yang tadi dia sambar dari gerobak tukang sayur tadi. Bandit berjubah putih mengecamnya, "Jangan bercanda disaat seperti ini, Abarai." Serunya. "Apakah perlu kuingatkan kalau kita sedang dikejar-kejar Guardians?"
Bandit berjubah merah yang dipanggil Abarai itu mendengus kesal, "Hei, yang namanya bandit sejati itu bisa mencuri apa saja, kapan saja, dimana saja! Mengerti?"
Sang pemimpin—bandit berjubah hitam—merasa terganggu dengan pertengkaran mereka. "Diamlah, kalian!" Serunya tanpa menolehkan pandangan dari jalan, "Aku sedang memikirkan jalur yang tepat yang bisa digunakan untuk meloloskan diri dari mereka! Kalau kalian bisa bertengkar, setidaknya beri aku saran!"
Mereka menoleh kebelakang. Nampak pasukan berkuda Guardians mengejar mereka, dan nampaknya makin lama makin dekat, "Gawat, Kurosaki! Mereka semakin dekat!"
Si jubah hitam yang dipanggil Kurosaki melempar pandangan mematikan pada jubah putih, "Diamlah, Ishida! Bukannya kau yang biasanya banyak akal?" Serunya gemas. Mereka terus memacu kuda mereka tak tentu arah, sampai kemudian si jubah hitam berseru, "Ikut aku!" Serunya sambil memacu kudanya ke arah tengah kota. Mereka memacu kuda mereka dan berbelok di pertigaan. Abarai dan Ishida agak khawatir karena kadang Kurosaki buta arah. Tapi mereka tetap mengikutinya.
"Kurosaki," seru Ishida. "Apa kau yakin kau tahu jalan? Bukankah ini jalan menuju istana?"
"Aku tahu," Jawab Kurosaki, si jubah hitam.
"Apa? Jadi kau tahu? Apa yang sebenarnya kau rencanakan?" Ishida berseru gemas dan jengkel. Tapi si jubah hitam Kurosaki itu tak menjawab—melainkan tersenyum penuh percaya diri.
.
.
"Paduka," seorang pengawal bernama Tatsuzaemon Iba bersujud di hadapan Raja Byakuya yang sedang meminum anggurnya dari cawan berwarna kuning keemasan, "Para bandit nampaknya menuju tepat ke arah istana ini, Yang Mulia." Lapornya.
Raja Byakuya terdiam sejenak. Ia nampak sedang memikirkan sesuatu sebelum ia bangkit dari kursinya yang berwarna merah marun, "Perintah pasukan untuk bersiap-siap," katanya. "Aku sendiri yang akan maju melawan mereka." Dia mengambil pedangnya yang selama ini dipegang oleh Penasihatnya yang berambut cokelat kehitaman dan selalu menggunakan caping. Dengan telaten, Paduka Raja mengikatkan pedang tersebut di pinggangnya.
.
.
Keempat bandit itu terhenti tepat didepan gerbang istana yang tinggi besar, terbuat dari kayu, dan tebal—tak mungkin bisa didobrak dengan mudah. Akan tetapi, derap kuda dibelakang mereka memaksa mereka untuk maju menerobos gerbang. Dengan satu seruan, Bandit berjubah hitam tersebut menarik tali kekang kudanya sehingga kuda hitam tersebut berdiri dengan dua kaki belakang, kuda hitamnya meringkik terkejut, dan mendorong pintu gerbang dengan kedua kaki depan kudanya sebelum lari karena kaget. Mereka pun lari ke dalam halaman depan istana melewati jalan utama Istana yang dibatasi oleh semak-semak, sementara di kanan kirinya terdapat kolam koi.
"Wow, jadi dalam istana itu seperti ini? Luas sekali," Abarai, si jubah merah, mengamati sekitarnya dengan kagum.
"Benarkan pikiranmu!" Seru Ishida, si jubah putih, "Kita kesini bukan untuk main-main!"
Mereka mengikuti kuda hitam menuju ke lapangan dalam istana yang ternyata sudah terdiri dari banyak pasukan Guardians baik yang berkuda ataupun tidak dan mereka semua bersenjata. Serentak, Bandit jubah hitam tersebut menarik tali kekang kudanya dan mereka berhenti di tempat. "Kurosaki," Ishida, si jubah putih menatapnya sambil memincingkan mata. "Lain kali, takkan kubiarkan kau memimpin jalan." Katanya sinis. Kurosaki, si jubah hitam, dengan panik menoleh kesana-kemari—mencari jalan keluar.
Belum sempat Kurosaki menemukan jalan keluar, muncullah sang Raja Byakuya dari balik kerumunan berkuda tersebut. Beliau menunggang kuda putih terbaik di kerajaan dengan pakaian besi lengkap dengan pedangnya. Mereka berempat menelan ludah. Sang Raja Kuchiki Byakuya tidak menjadi Raja hanya dengan modal nama dan keturunan—kekuatannya benar-benar hebat. Apalagi menurut rumor, Raja Byakuya memiliki jurus mematikan dashyat yang belum pernah diperlihatkan kepada siapapun.
"Kalian para bandit tidak pantas menyandang nama Musketeers—apalagi berada disini." Kata Paduka Raja. Beliau menghunuskan pedangnya, "Jangan khawatir, aku akan memastikan kalian tidak perlu menanggung malu atas nama kalian yang bertolak belakang dengan perbuatan kalian ini." Sambil berkata begitu, beliau menggenggam pedangnya sejajar dengan dadanya, persis seperti orang berdoa. Keempatnya panik—itu adalah gerakan untuk melepaskan kekuatan tersembunyinya! Kurosaki, si jubah hitam menoleh kiri-kanan dengan panik untuk melihat apakah ada jalan lolos dari situasi ini. Matanya menangkap pagar semak tanaman yang dipotong rapi tepat di belakang kerumunan penjaga yang tak berkuda. Itu dia! Ia tak boleh membuang waktu lagi!
"Chire—"
"HEAAA!" Bandit berjubah hitam tersebut berseru—memotong apapun yang akan dikatakan Raja Byakuya selanjutnya—dan dia memacu kudanya. Kerumunan tanpa kuda yang sama sekali tak menduga apa yang terjadi segera menghunuskan tombak ke arah keempat bandit tersebut. Bukannya berhenti, bandit berjubah hitam itu malah semakin memacu kudanya ke arah tombak tersebut, "Zangetsu!" Seru pria berjubah hitam itu. Seperti mengerti yang dimaksud tuannya, kuda hitam tersebut merunduk dan melompat dengan kedua kaki belakangnya yang kuat—melewati para penjaga tanpa kuda itu dan melewati semak-semak yang dijadikan pagar—diikuti dengan tiga anak buahnya yang kudanya melakukan hal yang sama.
Pasukan berkuda yang sama sekali tidak menduga bahwa mereka justru akan dilewati segera kocar-kacir dan mengejar para bandit tersebut—berusaha menghalau mereka, "Pasukan! Siaga! Para bandit memasuki area taman pribadi istana! Jangan sampai mereka lolos!"
Byakuya melebarkan matanya mendengar hal tersebut, "Hisana! Rukia!"
.
.
Samar-samar, Hisana dan Rukia mendengar suara keributan para penjaga yang saling berseru-seru dan suara ringkikan dan derapan kuda. "Ibunda, ada keributan apa itu?" Tanya Rukia cemas.
"Aku yakin tak ada apa-apa. Lebih baik kita masuk ke dalam dulu, Sayang." Kata ibunya dengan lembut, menuntun putrinya dengan tangan di atas punggung putrinya dengan lembut. Paduka Ratu tahu keributan tersebut berarti ada yang masuk ke dalam istana tanpa ijin, jadi ia menuntun putrinya untuk masuk ke dalam. "Kau yakin tidak mau makan, sayang? Hari ini Hachigen-san memasak makanan kesukaanmu."
"Ah, ibunda, aku..." Belum sempat Rukia menyelesaikan kata-katanya, kelinci putihnya berontak dari tangannya dan melompat lari ke arah samping—berlawanan dari arah seharusnya Rukia masuk ke dalam istana. "Ah! Chappy! Mau kemana?" Seru Rukia seraya lari mengejar kelinci putih tersebut.
"Rukia, sayang! Biarkan saja! Ayo, kita masuk!" Seru ibunya dengan cemas.
"Tapi, ibunda—" Rukia tak sempat menyelesaikan kata-katanya karena seekor kuda hitam yang besar melompat dari tembok di belakangnya, melewati kepalanya dan mendarat di hadapan Rukia—diikuti oleh tiga kuda-kuda lainnya yang berwarna berbeda-beda. Rukia mengamati pria yang menaiki kuda hitam tersebut. Pria yang langsing, tinggi. Wajahnya tidak jelas karena dia mengenakan topeng sebatas mata berwarna hitam dan topi fedora berwarna hitam. Dia mengenakan kemeja putih dan jubah hitamnya nampak berkibar di belakangnya. Di punggungnya juga tersembul keluar gagang katana yang besar yang dibalut oleh kain putih. Rukia terpaku di tempat. Ia pernah mendengar tentang orang ini; Kurosaki Ichigo, pemimpin pencuri terkenal yang menyebut diri mereka sebagai Four Musketeers. Menurutnya pribadi, mereka lebih pantas disebut Four Bandits.
Pria yang berpakaian serba hitam tersebut bertatapan dengannya. Rukia bisa melihat bahwa matanya berwarna cokelat hazel. Rukia memincingkan mata, "Apa yang anda inginkan disini?"
Pria itu menelengkan kepala dengan wajah tak berdosa, "Dari kata-kata anda barusan, saya bisa menyimpulkan bahwa anda tahu tentang saya." Kemudian dia tersenyum sopan dan mengangkat topinya dengan hormat kepadanya. "Saya tidak pernah melihat anda sebelumnya, tapi saya pernah mendengar tentang anda, Tuan Puteri. Harus kuakui, anda terlihat lebih cantik dari isu yang beredar." Katanya sambil meringis menggoda.
Rukia memutar matanya, "Menggoda seorang puteri tanpa ijin dari Paduka Raja adalah sebuah pelanggaran hukum, Tuan Bandit." Katanya tenang.
"Ah, kami semua sudah melanggar hukum dengan menjadi kelompok kriminal dengan mencuri dari yang kaya dan memberi pada yang miskin. Apa bedanya melanggar satu hukum lagi?" Tanyanya dengan percaya diri.
Rukia baru akan membalas ketika ibunya memanggil, "Rukia! Kau tidak apa-apa, sayang?" Ibunya yang pucat karena sakit itu terlihat lebih pucat lagi karena ketakutan. "Ibunda!" Seru Rukia. "Aku baik-baik saja. Ibunda mundur saja."
Pria berjubah hitam itu menoleh kepada ibunya yang terlihat pucat pasi karena ketakutan. Entah ketakutan karena sekarang buronan kerajaan ada di hadapannya, atau karena putrinya sedang berhadapan dengan pria buronan tersebut. "Paduka Ratu," Sapa pria itu dengan hormat sambil mengangkat topinya dan membungkukkan badannya, "Suatu kehormatan bisa bertemu langsung dengan anda dan putri anda yang cantik ini."
Sang Ratu terlihat menahan rasa takut tapi ia berusaha tegar, "Tolong jangan lukai putriku."
"Anda bisa tenang, karena saya tidak akan pernah melukai siapapun, termasuk putri anda—itu saya bisa janjikan kepada anda." Sahut pria berjubah hitam itu.
"Kurosaki! Bisakah kau hentikan formalitasnya sejenak dan fokus pada melarikan diri?" Seorang pria berkacamata dengan jubah putih berseru padanya.
Rukia mengamati mereka. Mungkinkah mereka bersaudara? Tapi tak ada yang mirip di antara mereka dan setiap dari mereka memiliki ciri warna masing-masing. Pria berjubah hitam itu terdiam sejenak setelah mendengar perkataan si Jubah Putih tersebut. Ia nampak sedang memikirkan sesuatu sambil mengamati dirinya dari rambut hingga kaki. Rukia merasa risih dipandangi seperti itu, "Apa yang kau lihat?" Tanyanya dengan curiga. Pria tersebut hanya meringis, tapi dengan begitu saja Rukia bisa mengetahui bahwa pria itu sedang merencanakan sesuatu.
Tiba-tiba, ayahnya, Raja Byakuya muncul dari balkon, "Pasukan, tangkap mereka! Lindungi sang putri!" Tiba-tiba, entah dari mana, para pasukan mengepung mereka dengan senjata terhunus. Para dayang-dayang kerajaan berusaha melindungi Paduka Ratu mereka, tapi karena posisi Rukia terpojok di depan tembok, maka ia tidak bisa dilindungi. Rukia memperhitungkan kemungkinannya. Ia bisa lari menuju ke arah penjaga yang berada di belakang keempat pria berkuda ini untuk mencari perlindungan. Dia bisa memanfaatkan elemen kejutan dan mungkin ia bisa lolos dari bahaya ini. Rukia mencuri-curi pandang antara ayahnya di balkon, pria berjubah hitam itu, dan penjaga yang saat ini berada di belakang keempat pria tersebut untuk mencari kesempatan yang tepat untuk kabur dan berlindung.
Setelah dirasanya waktunya tepat, secepat kilat, Rukia berlari menerjang kuda hitam yang paling besar dan menuju ke arah penjaga untuk perlindungan—tapi yang terjadi justru terbalik 180 derajat, karena seolah telah mengetahui bahwa Rukia akan menerjang ke arahnya, pria berjubah hitam itu menyambut terjangannya dengan rangkulan di abdomen dan tiba-tiba, ia merasakan sebuah pedang besar di lehernya. Rukia membeku. Cepat sekali, pikirnya. Rukia bisa merasakan bahwa ia sedang duduk di salah satu paha pria yang sedang mengancamnya ini dengan satu tangan merangkul perutnya dan satu tangan lagi digunakan untuk memegang pedang yang saat ini ada di lehernya.
"Tolong jangan bergerak," Kata pria itu tenang. Napas Rukia terengah-engah dan menelan ludah merasakan rangkulan pria itu di abdomennya mengencang dan merasakan dingin baja pedang yang saat ini berada di ambang lehernya. Atas komando yang tenang tersebut, seluruh pasukan langsung berhenti bergerak; Paduka Raja mengangkat tangannya untuk menghentikan gerakan seluruh pasukan. "Tolong turunkan senjata kalian dan beri kami jalan keluar; aku juga tak mau dipaksa melukai gadis secantik ini." Katanya kepada seluruh pasukan, tapi matanya yang cokelat dingin dan tajam mengawasi gerak-gerik Paduka Raja. Rukia berhenti bernapas ketika ayahnya mengisyaratkan kepada seluruh pasukan untuk menurunkan senjatanya dan mundur. Ayah?
Para pasukan mundur, dan memberi mereka jalan untuk keluar. Dengan hati-hati dan tanpa mengambil gerakan tiba-tiba, keempat bandit tersebut memacu kuda mereka untuk berjalan pelan-pelan melewati pasukan sambil menaikkan senjata mereka dengan waspada. Setelah yang dirasa selamanya, mereka tiba di pintu keluar, tempat yang sama dimana mereka masuk tadi. Meskipun sudah sampai di luar area istana, pria berjubah hitam itu sama sekali tak mengendurkan pegangannya pada Rukia. Malah, dia melingkarkan tangannya ke pinggang gadis itu dan memeluknya lebih erat lagi—lebih dekat pada dirinya. Sang putri tak bisa berontak karena pedang besar si jubah hitam masih menempel di lehernya. Napasnya terengah karena adrenalin yang mengalir di darahnya. Saat ini, punggungnya menempel di abdomen pria ini, dan walaupun terpisah oleh beberapa lembar kain, Rukia bisa merasakan panas tubuh pria ini mengalir ke dalam dirinya.
Tiba-tiba pria berjubah hitam itu membawa Rukia ke pangkuannya dan memacu kudanya berlari secepat mungkin, diikuti ketiga temannya. Rukia panik, "Ap—?" Pria tersebut mengikat kedua tangannya di belakang dengan kain—cukup erat untuk membuatnya tak bisa bergerak tanpa membuatnya kesakitan. "Turunkan aku, dasar barbar!" Seru Rukia.
"Maaf, Tuan Puteri. Aku tidak bisa mengorbankan teman-temanku." Kata pria itu. Sejenak—karena jarak mereka yang terlalu dekat—Rukia bisa merasakan aroma cokelat bercampur dengan kayu manis yang ternyata berasal dari pria itu, dan ia bisa melihat lebih dekat lagi mata cokelat yang ternyata sedang menatapnya dengan sedih dan penuh sesal—sebelum pria itu menutup matanya dengan kain dan disusul dengan kain yang menyumpal mulutnya. Rukia tak bisa melihat apa-apa lagi. Ia berontak, tapi ia tahu itu percuma—apalagi lengan besar pria itu menariknya untuk menempel di tubuhnya. "Dan aku juga tidak bisa menurunkanmu sembarangan di hutan—aku tidak mau melihat Tuan Puteri diterkam binatang buas atau tersesat." Pada saat Rukia mendengar kata-kata itu, ia terdiam sejenak sebelum berusaha berbicara dan berontak lagi. "Santailah. Kami ini orang baik-baik—kami tidak akan mengapa-apakanmu. Kami cuma tidak bisa membiarkan seorang sandera pergi begitu saja." Dalam hati, Rukia berdoa semoga pria ini berkata jujur. Tapi—ayolah—mereka pelanggar hukum! Mana ada pelanggar hukum berbicara jujur?
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Author's Note:
Uwaaaa... Morte nongol lagi dengan fic rombakan! (+.+") Okeh, gak usah diomongin; aku tau kalian mau ngomong apa, "Ehh? Morte tu ternyata masih hidup yahh? Kupikir dia udah mati meninggalkan gading—eh, fanfic." Noup, I'm still alive, people! Alive and breathing! °\(=o=)/° (lagian yang mati meninggalkan gading itu gajah kalee) So, jangan tuduh aku lupa dengan fic2ku yah. Bagi seorang author, melupakan fic sendiri itu ibarat ibu lupa sama anaknya! X( And I will never forget my babies! X3 *glomps
Kurasa pertanyaan yang akan pertama kali muncul adalah, "Kok ngerombak ulang fic jadul sih? Padahal kita inget sama ceritanya aja enggak." (Aduh, gawat dong kalo kalian lupa. Saya ingetin yah.) Ceritanya panjang. Saya sedang membuat fic request dari Searaki Icchy (itung2 latian). Selagi membuatnya, saya iseng2 membaca fic2 jadul saya sebagai referensi. Kebetulan kebuka tuh The Four Musketeers. Begitu saya baca ulang Four Musketeers dari chapter satu, saya cengo, "Masak yang kayak begini ini buatan akuuuu?" (dengan muka tak percaya) Saking histerisnya dan malunya gue dengan fic ijo royo-royo itu, dengan cepat dan tanpa ampun, langsung aku babat habis dan kurombak ulang dengan gaya ceritaku dalam The Knight and the Princess. Begitu aku baca ulang semua cerita Four Musketeers dan kubandingin sama Knight and Princess, gue mikir, "Ternyata gue masih ijo banget, yak..." (baru nyadar ni anak)
Dan karena alasan itulah, The Four Musketeers ini saya delete dan rombak ulang. Tapi jangan cemas, apdetnya cepet kok. Kan ceritanya udah ada, tinggal ngedit aja. Cuman masalahnya, ceritanya belum selesai. Saya juga harus apdet The Knight and the Princess, I Love My Shinigami (akan saya ubah namanya jadi Ore no Shinigami wa Daisuki), dan saya masih mengerjakan fic request dari Searaki Icchy. Jadi kepala saya berjejalan ide-ide mentok dan gambaran2 fic2 baru. Belum lagi penyakit malas dan WB sering kambuh. Sungguh terlalu... (ala Rhoma Irama)(=.=")
Sekali lagi disclaimer, cerita ini berawal dari ide The Great Kon-sama. Kon-sama, maafkan saya sekali lagi telah meng-orisinilkan idemu... *bungkuk2 sampek kejedot lantai* harap maafkan saya. Baiklah, sekian curhat ngocol dari Morte. Bila anda masih bersama saya, silakan klik biru-biru di bawah ini—alias review. Jangan pelit review kayak saya ya :) saya ini bukan teladan yang baik :p
