The Next Rambo

Chapter 1: Prologue

Cena's on

Ah, aloha minna! Saya kembali menulis dan mem-publish fict abal lagi. Nyapu di sore hari ternyata bagus juga, bisa mendatangkan inspirasi. Dan film Tango and Cash yg saya tonton semalem berhasil membangkitkan action maniac saya. Ampun dah, om Stallone, Anda cocok banget ama om Russell! Saya jodohin mau ya? #plak

Ehm. Abaikan yg diatas. Mari kita mulai fict ini.

Disclaimer: punya om Hidekaz Himaruya. Bukan punya saya, apalagi om Stallone.

Warning: gagal jaim chara a.k.a OOC, abal, gaje. Dan… sho-ai, mungkin ada di chapter berikutnya, hehe. #dor

Filming(?): Tango and Cash. Hei! Itu adegan yg flying fox di atas kabel listrik yg ada setrumnya keren sangat! Terus yg pas bagian introgasi musuhnya, ahaha, kocak! Kayaknya box office Trans Tv lagi 'A Week of Sylvester Stallone' ya? aseek~~ XD

Musicing(?): Climax Jump by Den-O Form. Suara Momotaros boleh juga! Tapi jgn lupakan Urataros ama Ryutaros! Kintaros juga ding, ehehe. #dikapak

Yang nggak suka, dipersilahkan mundur dengan lapang dada. :3

Happy Reading All :D

'Bruk!'

'Prang!'

'Desh!'

"ARGH!'

'Syaat!'

"Ugh…"

"…Bagaimana? Sudah semua?"

"Da, sudah. Kau memang hebat seperti biasa, muridku."

"Terima kasih, Master."

"Sekarang, pergilah. Kau boleh istirahat sekarang."

"Baik, Master. Permisi."

Mata violet Ivan memandang kepergian murid kesayangannya dari ruang latihan membunuh. Tidak, kalian tak salah baca kok. Ivan memang master-nya hal seperti itu kan? Wajar jika di kediamannya dia memiliki ruang khusus yang tidak lazim dimiliki orang biasa. Yang menjadi pertanyaan adalah, siapa yang mau berlatih hal gila macam itu?

"Sudah selesai latihannya, kakak?"

Suara seorang perempuan membuyarkan lamunan Ivan tentang murid kesayangannya. Ivan menoleh ke asal suara.

"Ah, Natalia rupanya. Ada apa, da?"

"Tidak ada apa-apa kak, aku hanya ingin melihat dia dan mengantarkan vodka untukmu," jawab si adik.

"Ah, dia? Baru saja pergi," kata Ivan. "Oh, vodka! Terima kasih, da."

"Sama-sama, kak."

Hening merayap. Ivan dan Natalia duduk di sofa yang berada di ruang 'istimewa' itu. Mayat-mayat bergelimpangan, bau anyir yang menyeruak, dan darah dimana-mana tak mengganggu keduanya. Mungkin sudah terbiasa.

"Bagaimana perkembangan anak itu, kak?" tanya Natalia, memecah keheningan.

"Luar biasa, da. Perkembangannya semakin hari semakin hebat saja. Aku yakin sebentar lagi dia berhasil mendapatkan targetnya yang selama ini dia cari, da," ujar Ivan.

"Hmm. Seharusnya kutinggalkan saja pekerjaan membosankan di toko dan melihat latihan dia. Sekalian menguji sudah seberapa jauh kemampuannya saat ini."

"Tidak bisa, Natalia. Kau harus mengumpulkan informasi tentang target anak itu, da. Dan aku juga tidak mau dia kenapa-napa karena ulahmu. Kau tahu, kau lebih beringas dibanding kakakmu ini, da."

"Ah, kakak. Aku takkan sampai hati melukai anak itu. Dia sangat berharga, dan tentu saja hebat. Dan aku juga tak akan mau mengubur impiannya sejak lama itu."

"Kau memaksa, Nat. Baiklah, kuijinkan. Tapi tidak hari ini."

"Nah, begitu dong kak! Baiklah, aku pergi dulu. Sampai jumpa, kak!" dan Natalia pun menghilang dari ruangan berbau anyir dan remang-remang karena hanya mengandalkan pencahayaaan dari bulan itu.

"Ya, sampai jumpa," jawab Ivan. Kemudian dia beranjak dari sofanya dan melihat hasil latihan murid kesayangannya itu.

"Mengagumkan…" gumamnya. "Kemampuannya menggunakan segala sesuatu yang ada disekitarnya untuk mempertahankan keberadaannya, patut diacungi jempol."

Berjalan, menuju salah satu mayat yang tergeletak tak berdaya.

"Membunuh secara perlahan namun pasti…"

Menginjaknya tanpa rasa belas kasihan sedikitpun.

"Mengasah semua kemampuannya…"

Setelah itu, menendangnya layaknya bola sepak.

"…hingga tak lagi mengenal rasa sakit…"

Memukulnya dengan pipa kesayangannya.

"Dialah lelaki sejati. Lelaki yang sesungguhnya."

Berjongkok di dekat si mayat, mengambil pisau milik Natalia di saku bajunya.

"Lelaki yang disebut-sebut sebagai The Next Rambo…"

Menghujamkan ke arah jantung yang tak lagi berdetak.

"Murid yang paling kusayangi, yang paling kubanggakan…"

Lalu membuat goresan melintang, hingga organ dalam tak berfungsi si mayat terlihat.

"Dialah, Putra Satriana…"

Menarik jantung itu secara paksa, lalu meremasnya.

"Aku berjanji, Putra muridku. Aku akan menjadikan kau tangguh. Sangat tangguh. Lebih tangguh dari segala yang ada di dunia ini…"

Setelah puas meremas jantung itu, Ivan melemparnya begitu saja layaknya sampah kemudian pergi dari ruangan itu.

~x~

"Nggh…" desah seorang pemuda di pagi hari. Tidak, tidak. Bukan desahan yang itu kok, ini desahan orang baru bangun. Siapa yang ngeres? Author! *plak*

Aaw, iya, iya. Kembali ke cerita.

"Selamat pagi, Putra. Bagaimana tidurmu, da?" sapa Ivan ramah sambil membuka tirai di kamar Putra supaya sinar matahari masuk ke kamar. Putra menyingkap selimutnya dan mulai beranjak dari tempat tidurnya.

"Mmhh.. selamat pagi, Master. Tidurku semalam nyenyak sekali, sudah lama aku tidak tidur senyenyak itu." jawab Putra sambil tersenyum.

"Ahaha, maaf, da. Semalam aku terlalu menguras tenagamu ya?"

"Tidak apa, Master. Aku senang kau menyuruhku membunuh orang dalam jumlah yang lebih dari biasanya. Karena mungkin saja orang itu menyewa pembunuh bayaran yang banyak untuk menghabisiku."

"Ah, syukurlah kalau begitu, da. Da, sebaiknya kau bersiap-siap sekarang."

"Eh? Memang kita mau kemana, Master?"

"Aku… bermaksud untuk mendaftarkan kau ke sebuah SMA, da. Kau masih muda, usiamu 17 tahun kan? Kurasa kau juga butuh pengetahuan umum, da. Tidak mungkin kan kau menghabiskan seluruh hidupmu hanya untuk berlatih membunuh dan membunuh?"

"Ta-tapi, Master, siapa yang menanggung biayanya nanti?"

"Kau tenang saja, da. Semua kebutuhanmu aku yang bayar. Lagipula, kau itu sudah kuanggap seperti anakku sendiri."

"Terima kasih banyak, Master. Aku berhutang banyak padamu." Putra terharu.

"Sama-sama, da. Yang harus kau ingat adalah, jangan pernah buat Master-mu kecewa. Okay?" kata Ivan.

"Iya, Master. Semua perkataan dan perbuatanmu adalah mutlak."

"Bagus. Sekarang mandilah, lalu turun ke bawah, kita sarapan bersama."

Di dalam kamar mandi…

Putra membiarkan tubuhnya basah oleh guyuran air shower yang dingin. Sejenak dia memejamkan matanya, menikmati dinginnya air di pagi hari.

'Kau tak akan bisa lari dariku, pembunuh. Kau akan mendapatkan apa yang telah kau lakukan pada kedua orang tuaku. Kau pantas menerima semua itu, kau tahu.'

Senyum psikopat tersungging di bibir merah Putra.

"Putra! Cepat mandinya! Kakak sudah tidak sabar menunggumu!" terdengar teriakan Natalia dari lantai bawah. Putra tersentak dari lamunannya.

"Ah, iya! Tunggu sebentar, aku akan segera kesana!" dan Putra segera mempercepat mandinya.

~X~

"Maaf menunggu lama, Master," ucap Putra seraya turun dari tangga. Terlihat di meja makan ada Ivan dan Natalia yang sudah menunggu sedari tadi.

"Tak apa, da. Ayo cepat sarapan," jawab Ivan.

Putra mengangguk dan memulai sarapannya.

"Kak Ivan, Putra, aku duluan ya! Sampai jumpa!" seru Natalia terburu-buru meninggalkan rumah. Tinggallah Ivan dan Putra berdua.

Sunyi. Semua sibuk denagn kegiatannya masing-masing. Ivan menonton tv, sedangkan Putra sarapan. Namun tidak lama karena setelah memencet-mencet remote tv tidak ada siaran yang bagus, Ivan mematikannya. Putra sendiri sudah menyelesaikan sarapannya.

"Oke, kita berangkat sekarang, Putra." ajak Ivan.

"Baik, Master."

Mereka berdua keluar rumah dan tak lupa mengunci pintu. Setelah itu, masuk ke dalam mobil yang Ivan kendarai sendiri.

"Ngomong-ngomong, aku masuk SMA mana, Master?" tanya Putra.

"Sudah kupilihkan SMA yang baik dan cocok untukmu, da. Kau tenang saja," jawab Ivan lembut sambil membelai lembut rambut hitam raven Putra. Putra terdiam, membiarkan Master-nya membelai helaian hitamnya. Sepanjang perjalanan lagi-lagi sunyi senyap. Yang terdengar hanyalah deru mesin mobil yang melaju dengan kecepatan sedang.

~X~

"Jadi aku akan menimba ilmu disini, Master?" tanya Putra.

"Iya. Bagaimana, kau suka, da?" kata Ivan. Saat ini mereka sedang berada di parkiran untuk memarkirkan mobil Ivan.

Mata hitam kelam Putra memandang takjub kemegahan gedung SMA ini. Berwarna putih bersih, dan disekitarnya terdapat banyak pepohonan tumbuh, membuat sedap dipandang mata. Dan tentu saja, banyak siswa-siswi berlalu-lalang dengan berbagai macam keperluan.

"Bagaimana SMA ini, da? Kau suka?" Ivan menepuk pundak Putra yang seketika terkejut karena sibuk mengagumi arsitektur gedung itu.

"Ah, iya. Aku suka, Master. Kau memang benar-benar mengerti aku," jawab Putra sambil tersenyum simpul.

"Hmm, kalau begitu, ayo kita temui kepala sekolah ini."

~X~

Di sebuah kelas XII…

Suasana kelas yang begitu berisik. Ada yang main lempar-lemparan kertas, ada yang mengobrol dengan teman sebangku, ada yang bermain hp, dan lain sebagainya.

"Yuhuu! Lempar tas itu ke arahku, Antonio!"

"Oke, Gil! Tangkap ini!"

"Hei, bodoh! Kembalikan tasku!"
"Sey, pulang nanti kita kencan mau?~"

"Tidak! Aku sibuk!"

"Hei! Kembali ke tempat masing-masing, kepsek datang!"

Mendengar peringatan itu, kontan seluruh siswa berlarian menuju tempat duduknya masing-masing. Tak lama kemudian, kepsek masuk. Tampak di belakangnya ada seorang lelaki, mengikuti.

"Baik, anak-anakku sekalian, kali ini kita kedatangan murid baru. Nah, nak Putra, perkenalkan dirimu!" ucap kepsek itu.

"Ehm, namaku Putra Satriana. Kalian bisa memanggilku Putra. Salam kenal semua! Aku mohon bantuan dan bimbingan kalian semua selama aku disini!" wow. Kemampuan sosialisasi Putra memang mengagumkan.

"Yak, cukup perkenalannya. Nanti kalian bisa lanjutkan setelah pelajaran usai. Nah, nak Putra, kau duduk di…" pak kepsek menjelajahi seisi ruangan sampai akhirnya menemukan satu tempat duduk kosong.

"Kau duduk di dekat nak Pieter ya. Bisa kan?" tanya pak kepsek.

"Tentu pak, dengan senang hati!" kata Putra sambil tersenyum.

"Ya sudah, bapak permisi dulu ya. Anak-anak, berbaiklah dengan Putra!" pesan pak kepsek lalu meninggalkan ruangan.

Putra berjalan menuju tempat duduk yang telah ditunjuk kepsek tadi. Sesampainya dia menaruh tasnya dan meletakkan bokongnya di kursi kayu itu.

"Hai! Aku Pieter van Houten, tapi kau bisa panggil aku Pieter. Salam kenal!" sahut lelaki berambut seperti Thomas Tawn yang diketahui bernama Pieter.

"Aku Putra, Putra Satriana. Salam kenal, err… Pieter!"

Dan sejak saat itu, kehidupan yang sesungguhnya akan dimulai…

To Be Continued

Ah, capek juga ngetik. Tapi nggak apalah, dapet pahala sapa tau. #lah? Pendek ya? ahaha, maaf, ini baru prolog, hehe #plak

Anu, bagi yg nggak tau, Putra itu Indo dan Pieter itu Nethere. Nama Putra itu saya ambil dari nama tetangga dan Satriana-nya nama akhir temen di kelas. Dipinjem dulu ya namanya! XD #plak terus yg Nethere, saya bener-bener siwer mau pake nama apa. Di pengajian saya melongo kaya orang dongo cuma mikirin nama buat si Nethere. Tadinya sih mau Herman Abanda, tapi itu kan nama pemain bola. Akhirnya saya terpaksa ngubek2 buku catetan ips kls 8 saya, dan mutusin make nama Pieter. Van Houten? Itu mah nama coklat fave saya, sekalian numpang promosi, hehe. #hajared

Typo pasti bertebaran. Ah, saya males ngecek. #dor btw, terima kasih yg udah mau buang waktu buat baca fict gaje ini. Terima kasih dua kali buat yg mau review fict gaje ini. ^^

Yasud, saya tunggu tegur sapa dari para pembaca sekalian :D

Would you mind to review this (weird) fict? *wink-wink*

Cena's off