Rhyme A. Black

PresenT

Jatuh Cinta Rupa-Rupa Rasanya

A NaruHina Fanfic

Naruto belongs to Masashi Khisimoto-sensei

WARNING : A. OOC. OOC. OOC. Misstypo. Bahasa agak-sangat Kurang Sopan.

I hope you enjoy this story. Jangan muntah-muntah, apa lagi banting gadget pas baca fic ini. Mungkin pada beberapa bagian ada perubahan gaya bahasa, maklum fic ini sudah lebih tiga tahun mendekam di laptop.

Sekali lagi,

Enjoy this story!

1... 2... 3... TAKE... ACTION!

~0O0~

Hey ya guys! Gue Lee, Rock Lee. 17 tahun, enerjik, dewasa, dan tampan. Oke abaikan kata yang terakhir itu. Gue di sini bukan karena keinginan gue. Namun karena tiba-tiba saja ketika aku sedang menikmati paket sehat seribuku—dalam hal ini push up, sit up, dan up-up lainnya itu kulakukan sebanyak seribu kali—ada seorang perempuan gila yang langsung saja menyeretku, mendesakku ke dalam mobil sialan ini, dan memaksaku bercerita mengenai cinta. ewww...

Dan dia juga yang memasang video kamera ini. Apa maksudnya coba? Padahal gue belum ganti baju, acak-acakan, masih keringetan ganteng gini, sudah disuruh beraksi di depan kamera. Gue tahu kalau gue tuh adorable banget, tapi mesti nggak sih dia nyuruh gue ngomong di depan kamera dengan tampilan seperti ini? padahal gue kan bisa menambah sedikitnya ke adorable-an gue dengan, OH GOD! dia kembali mengacungkan pisaunya. Shit!

Oke, gue diminta untuk menceritakan sebuah kisah cinta, apa aja. Mau kisah Nenek-kakek gue kek, hewan piaraan gue, temen-temen gue, atau bahkan kisah cinta gue sendiri. Tapi gue nggak mau mengumbar kisah cinta gue yang bergelora layaknya semangat masa muda yang sedang membara.

Gue pengen cerita tentang temen gue yang jatuh cinta kepada temen gue yang lainnya. Dan maaf kata nih ye, anjing banget! Mereka yang saling suka, tapi mesti gue yang repot dengan masalah cecintaan mereka itu. Dan ini adalah salah satu kisah dari temen gue.

~0O0~

Namanya Naruto, Naruto Uzumaki. Tampang gak bagus-bagus amat, cenderung dekil malah. Mulai dari penampilan sampai tingkah laku nggak ada yang beres. Semacam ceria, tapi jahilnya kampret bukan main. Peraturan sekolah mulai dari nomor satu sampai nomor kesekian tidak ada yang tidak dilanggar. Rambut gondrong, cek. Baju nggak dimasukin ke celana, cek. Celana pinggul plus dibentuk ala skinny jeans, cek. Pake kaos kaki semata kaki, cek. Pakai sepatu dengan warna ngejreng ke sekolah, ceeekkk! Pemilik track record bolos terbanyak di sekolah, cih gak perlu lagi ditanya siapa pemiliknya. Sudah pasti, Naruto. Merupakan calon penghancur negara. Pemusnah masa depan.

Dia seakan-akan tak takut apa pun.

Ya, seakan-akan.

Tapi siapa yang sangka, kalau si Naruto itu bisa ciut nyalinya di depan seorang perempuan?

Siapakah perempuan yang tidak beruntung itu?

Hinata Hyuuga, yang jujur saja 180 derajat berbeda dengan Naruto. Baik dari segi penampilan maupun tingkah laku. Hinata ini bisa dibilang primadonanya sekolah, sayang beribu sayang, aura primadonanya itu tertutupi dengan sikapnya yang begitu pemalu, pendiam, dan kikuk. Pintar, selalu juara kelas, patuh tata tertib, pembawaannya tenang, dan senang membantu sesama. Dana karena dia seorang Hyuuga, dalam hal ini bangsawan kaya dan juga bertampang di atas rata-rata. Kulit putih mulus bak porselen Cina, manik mata yang putih keunguan, rambut lurus panjang, tinggingya yang semampai.

Dia terlihat begitu sempurna.

Ya, terlihat sempurna.

Tapi siapa yang bisa mengira kalau ternyata dia menyukai seseorang yang bisa dibilang sangat berbanding terbalik dengan dirinya?

Siapakah pemuda beruntung itu?

Siapa lagi kalau bukan Uzumaki Naruto.

Bangke banget kan? Buat orang yang tahu hal ini pasti bakalan menganggap Hinata itu buta, sudah dipelet, diguna-guna, diapain lah gitu pake ilmu hitam. Bahkan sampai sahabat-sahabatnya pun heran. Apa menariknya Naruto, si biang onar itu?

Sahabat-sahabatnya bilang, nothing!

Hinata bilang, he have something!

Dan orang-orang gak tahu, something apa yang dilihat oleh Hinata. Guna-guna kali!

~0O0~

"Pageee!" Bruuk! Suara teriakan norak diikuti suara pintu yang ditendang bergema di dalam kelas XII. IA. 6. Membuat sebagian siswa yang berada di dalam kelas menoleh ke sumber suara, sementara beberapa orang lainnya hanya melengos dan kembali melanjutkan aktivitas mereka masing-masing. Si pembuat keributan hanya menampilkan cengiran bodoh di wajahnya dan dengan gayanya yang dibuat-buat dia melangkah ke tempat duduknya.

"Naruto itu, mestikah tiap kali masuk kelas dia nendang pintu?" bisik seorang gadis berambut merah kepada teman sebangkunya yang nampak asyik dengan novel di tangannya.

"Entahlah." balasnya tak peduli. Membuat si rambut merah berbalik dan mengajak bicara dua siswi lain di belakangnya.

"Eh, Hinata. Gue masih heran deh, kenapa sih lo bisa naksir cowok gak bener kayak Naruto?" tanyanya frontal sambil berbisik. Takut ketahuan, karena objek yang sedang dia pertanyakan ini hanya berjarak dua bangku dari tempatnya.

Sementara itu, yang ditanyai hanya bisa menunduk dan menyembunyikan rona merah di wajahnya. "En—entahlah..." balasnya pelan, membuat yang bertanya hanya mampu menggeleng-gelengkan kepala.

"Ganteng, enggak. Kaya, enggak. Bandel, iya. Abstrak gue ngeliat tuh cowok. Coba deh Hinata, lo sebutin satu aja kelebihan yang dia punya?"

Hinata menatap wajah temannya. Bukan hanya si Rambut merah saja yang menanti jawabannya, tapi juga Sakura—yang membaca novel tadi, dan juga Ino, gadis berambut pirang yang duduk di sampingnya.

Hinata hanya mampu menggeleng pelan. membuat teman-temannya memandanginya dengan pandangan kasihan, lalu melengos dan berbalik melanjutkan aktivitas mereka. Dia sudah menghadapi banyak pertanyaan seperti itu dari ketiga sahabatnya, yang seolah-olah menanyakan kewarasan Hinata. Mereka tak pernah bosan merong-rong Hinata dengan pertanyaan yang sama, dan mereka terpaksa harus puas dengan jawaban Hinata yang tidak jauh-jauh dari 'gelengan kepala', 'entahlah', 'aku juga tidak mengerti', dan jawaban klise lainnya.

Dan faktanya, Hinata memang tidak tahu. Abstrak, kalau dia meminjam kata temannya tadi. Ia merasa, Naruto punya sesuatu. Ia menoleh ke arah Naruto, mendapati pemuda itu sedang asyik dengan ponselnya. Meskipun pandangannya harus tertutupi dengan kepala Lee yang sedang menunduk sambil mencoret-coret grafiti di mejanya, dia sudah merasa itu cukup. Merasa cukup dengan hanya memandangi pemuda itu dari jarak tak cukup lima jengkal, dengan pandangan yang terhalangi rambut model 80'an. Dan tiba-tiba saja, si pemilik model rambut ketinggalan jaman itu menoleh ke arahnya, sebelum akhirnya memberikan tatapan memprovokasi pada Hinata dan menyenderkan tubuhnya ke sandaran kursi. Yang dalam hal ini, memberikan akses langsung kepada Hinata untuk memandangi Naruto yang duduk di samping Lee.

Yang dalam hal ini juga, membuat Lee terpaksa memanjang-manjangkan tangan serta lehernya untuk bisa melanjutkan aksi vandalisme di mejanya, membiarkan Hinata sejenak memperoleh kebahagiannya karena menatap si brengsek sialan sok cool yang sedang duduk di sampingnya itu.

Sekonyong-konyong, Lee senyum-senyum sendiri. Tangannya meraih buku cetak TIK yang ada di dekat tangan Naruto, lalu menuliskan sesuatu dan menunjukkan tulisan sandi rumputnya itu pada Hinata.

'Jangan cuma diliatin, ajak ngomong dong. Dia juga naksir tuh sama lo.'

Membaca tulisan itu, wajah Hinata langsung saja memerah dengan sempurna. Dia cepat-cepat mengalihkan perhatiannya pada buku yang tadi sempat ia terlantarkan karena kehadiran Naruto. Lee menunduk menahan tawanya, puas karena bisa mengerjai salah satu temannya itu. Melihat gelagat Lee yang aneh dan juga karena tawanya yang norak itu, Naruto menoleh dan menegur si pemilik rambut hitam klimis itu.

"Kenapa lo? Kerasukan?"

"Nggak boy, gue baru aja melakukan sesuatu yang brilian. khehehehe..."

Naruto hanya menggeleng pelan, lalu kembali memusatkan perhatiannya pada ponselnya.

"Liatin apa sih lo?" tanya Lee penasaran, memajukan kepalanya mencoba untuk mengintip layar benda pipih hitam yang dipegang Naruto. Membuat pemuda yang memiliki tiga garis di pipinya itu gelagapan menjauhkan ponselnya dari sikap kepo Lee. "Aaaaa... gue tahu lo!"

"Apa?"

"Boy," ujar Lee dengan wajah yang serius. Tangan kirinya menepuk bahu Naruto pelan, sementara tangan kanannya menunjuk Hinata dengan jempolnya. "Jangan cuma di-stalking timeline-nya, di-mention dong... dia juga naksir tuh sama lo."

Naruto memelotokan matanya, "sok tahu lo!"

Dan tawa Lee meledak lagi, kali ini lebih menggelegar.

~0O0~

Hari senin selalu menjadi hari yang istimewa untuk kelas IPA 6. Karena setiap senin, wali kelas mereka yaitu Bu Anko yang juga guru Fisika mereka masuk mengajar. Dan biasanya hari itu adalah hari yang begitu sial bagi Naruto dan kawan-kawannya. Karena Bu Anko adalah salah satu guru terkiller di SMAN 1 Konoha. Biasanya Naruto akan selalu kabur dari kelas dan nongkrong di kantin atau belakang sekolah. Tapi berhubung yang mengajar adalah wali kelasnya, yang juga memegang kendali akan keberadaannya di sekolah ini. Mau tak mau, Naruto harus tetap tinggal di kelas.

Yang berarti bencana bagi dirinya dan juga genknya.

"Selamat siang anak-anak." sapa Bu Anko begitu dia memasuki ruang kelas. Anak-anak perwaliannya hanya membalas sekenanya sapaan selamat siangnya itu. Maklumlah, matahari sudah di atas kepala, otak mereka sudah terkuras karena tadi diberi ulangan Kimia dadakan oleh Pak Orochimaru, dan siapa pula orang gila yang tega menaruh pelajaran Fisika pada jam-jam mengantuk seperti ini?

Bu Anko memandangi seisi kelas yang tampaknya tak punya masa depan itu—-kecuali beberapa orang, tentunya. Matanya mendapati Lima Sekawan ada di antara siswanya. "Nah, kebetulan hari ini, ibu bawa gunting, jadi sebelum kita belajar, ibu mau melakukan aksi pencukuran massal."

Langsung saja sebagian besar siswa di kelas itu mengerang kesal dan putus asa. Rambut yang susah-susah mereka pelihara, kini harus tamat riwayatnya di tangan Bu Anko. Para siswa yang berambut panjang hanya bisa berharap agar Bu Anko tidak membotaki mereka.

"Naruto, maju." sebuah perintah dikeluarkan oleh Bu Anko, tanpa ragu langsung menunjuk kepala preman di kelasnya. Dengan enggan Naruto maju ke depan kelas sembari memasukkan seragamnya ke dalam celana, setidaknya ia mencoba untuk terlihat tidak terlalu berantakan di hadapan Bu Anko. "Jongkok!" perintah Bu Anko begitu Naruto sampai di hadapannya.

"Astaga..." Naruto mengerang pelan, mengsuap-usap belakang kepalanya. "Bu jangan, Bu..."

"Jangan apa?" tanya Bu Anko dengan mata yang melotot.

"Jangan dipotong, Bu... Nanti saya cukur sendiri deh." pinta Naruto mengajukan penawaran.

"Aaaaahhh! tidak bisa, nanti Ibu saja yang cukur." kata Bu Anko tegas sembari meraup sejumput rambut pirang Naruto di bagian atas.

"Arghhhghghgrr! Jangan buuuu!" Naruto sontak saja berdiri dan menjauhi Bu Anko, tangannya mengelus pelan pada bagian di mana tadi Bu Anko hendak menggunting.

"Kalau tidak mau dipotong rambutmu, pulang! Tidak usah ikut pelajaran saya untuk selama-lamanya!" ancam guru Fisika itu dengan sedikit kelebayan.

Lagi-lagi seisi kelas mengeluarkan suara, ada yang mengerang ada pula yang menyukuri.

"Bu guru deh, jahatnya..."

"Apa kamu bilang? Naruto, sini. Jongkok!"

"Bu, tolong bu. Jangan bu, nanti saya potong sendiri..."

"Alaaah, memangnya kenapa kalau ibu yang potong?"

"Nanti saya tidak ganteng lagi, bu guru..."

"Wuuuuuuu!" seisi kelas kembali bersorak, mengejek sang pesakitan yang ada di depan mereka. Sebagian besar ada yang menahan tawa, menggeleng-gelengkan kepala, dan berdoa agar nasib mereka tak sama seperti Naruto.

Bu Anko, dengan penuh semangat menjambak bagian belakang kepala Naruto. Dan dengan sekali gerakan, gunting yang ada di tangan Bu Anko berjalan mulus.

"Astaga, sudah Bu Guru!" sekali lagi, Naruto beraksi. Langsung berdiri sebelum Bu Anko membabat habis rambutnya. kedua tangannya melindungi bagian belakang kepalanya. "Nanti saya yang rapikan, bu Guru. cukup, bu. cukup..."

"Benar, mau dirapikan sendiri?"

"Iya, bu!"

"Dicepak ya." Ancam Bu Anko, "sekarang, Kiba!"

"Bu, jangan dulu saya Bu Guru. Ibu mulai dari belakang saja, Lee!" Kiba sontak mengelak dan menunjuk Lee Yang duduk di belakangnya.

"Eh, kenapa lagi saya, setan?" tukas Lee tidak terima.

"Lee, bilang apa kamu tadi? Maju!"

"Bu Guru jangan, ini mode bu." kata Lee dengan nada memohon. "Kapan lagi ibu bisa melihat Jonh Lennon di kelas Ibu? Ini legenda bu, legenda!"

"Alaaaah, tidak ada alasan. Mau Lennon kek, lenong kek, jenong kek. Ibu babat habis semua. Sini!"dengan langkah gontai, Lee maju ke tempat Bu Anko berdiri lalu berjongkok di sana dengan gaya ala boker. Sementara itu Naruto kembali ke tempat duduknya sambil menggerutu pelan. Karena rambut, rasa gatal ditengkuknya, serta rasa malu ketika tadi dilihatnya si gadis manis pujaan hatinya itu tertawa. Meskipun malu, tetap saja ada rasa senang yang memenuhi rongga dada Naruto ketika dilihatnya gadis itu tertawa, rasanya damai sekali. Bahkan tadi sempat ada pikiran ekstrim melintas di benak Naruto, asalkan bisa melihat gadis itu terus tertawa, dia rela membabat habis rambut pirang kebanggaannya itu.

Begitu sampai di tempat duduknya, Naruto masih saja membersihkan tengkuknya yang penuh dengan helaian-helaian pirang miliknya. "Kiba, punya tisu?" tanya Naruto.

"Ha? Tisu? Nggak ada. Coba tanya sama Hinata, kali aja dia punya." balas Kiba enteng, mata coklatnya berkedip-kedip genit kepada Naruto yang bergidik ngeri melihatnya.

"Bangke nih anak."

Kiba kembali menoleh ke belakang, berbisik kepada Naruto yang masih sibuk dengan tengkuknya. "Coba aja kenapa sih?"

Naruto mendesah pelan, sebenanya dia juga ingin berbicara kepada Hinata, tapi apa Hinata mau? dihembuskan napasnya herlahan, mengatur debaran jantungnya yang tiba-tiba saja jejingkrakan. "H—Hei, Hinata."

Sial, kenapa malah pake gugup sih?

"A—ada a... apa?" tanya Hinata, mengangkat pandangannya sesaat sebelum akhirnya menunduk kembali.

"Punya tisu, nggak?" Naruto nyengir, mencoba menyembunyikan rasa groginya.

Hinata mengangguk sekali, lalu merongoh tasnya. "Nggak ada Naruto, ta... tapi kka...kau bboleh pake ini." katanya seraya menyodorkan sapu tangan berwarna ungu pucat pada Naruto.

"Aaaa... nga... ngak usah deh kalo gitu..." tolak Naruto.

"Nggak apa-apa kok, bbe...beneran. Nnna... Naruto pakai saja ini."

"Beneran nih, nggap apa-apa?" tanya Naruto meraih sapu tangan yang masih dipegang Hinata dengan tangan yang mulai terlihat gemetaran.

Hinata mengangguk pelan.

"Thanks ya—"

"Bu! ada yang pacaran di belakang!" Teriakan Lee mengagetkan dua orang yang sedang berinteraksi di belakang kelas. Naruto langsung menarik sapu tangan itu dan menyibukkan diri dengan menyeka tengkuknya, sementara Hinata langsung saja menunduk di depan bukunya. Hidung mancung gadis itu nyaris menempel pada lembaran buku Fisikanya yang terbuka.

"Siapa yang berani berpacaran di kelas saya?!" Bu Anko langsung saja melupakan kepala Lee. Tangannya berkacak, matanya mendelik pada seluruh siswanya. Guru killer ini sangat tidak menoleransi kegiatan lain di dalam kelasnya selain kegiatan belajar mengajar. Dan pacaran, termaksud dalam hal yang tidak ditoleransi itu.

"Naruto dengan Hinata, bu!" seru Lee memprovokasi. Membuat Naruto mengerang pelan, sementara objek kedua yang disebut namanya makin menyembunyikan wajahnya yang memerah sempurna.

"Na. Ru. To."

"Tidak, bu guru." kilah Naruto gelagapan. Bu Anko makin tajam menatapnya. "Mu—mustahil. Mana mungkin. Bisa-bisanya saya pacaran dengan Hinata, bu."

Perkataan Naruto membuat teman-temannya mengerang pelan, Chouji yang duduk di depannya hanya mampu menggeleng-gelengkan kepalanya, Kiba menyumpah-nyumpahi Naruto, sementara Lee melakukan keduanya. Menyumpah-nyumpahi dan menggeleng-gelengkan kepala atas ketololan temannya itu.

"Hinata."

"I..iiya bu?"

"Kamu pacaran sama Naruto?"

"Tiii...tik..tidak, bu." Hinata menggeleng pelan, meskipun berusaha ia sembunyikan, tetap saja ada nada tercekat dalam suaranya.

"Hmmm, kalau dipikir-pikir omongan Naruto benar juga. Mustahil. Mana mungkin Hinata mau dengan laki-laki kayak Naruto, iya kan?" ujar Bu Anko akhirnya, lalu kembali memainkan guntingnya di kepala Lee.

"Goblog!" bisikan tanpa suara itu diterima Naruto ketika dia memelototi Lee. Naruto kembali menghembuskan napasnya, berat. Ditatapnya helaian ungu pucat di tangannya yang dijejaki pirang rambutnya, diremasnya pelan sebelum menoleh pada si pemilik sapu tangan itu.

"Beneran, mustahil gue bisa memiliki lo, Hinata." batinnya mengasihani diri sendiri.

Sementara Hinata? Hmmm, jangan ditanya lagi. Patah hati.

~0o0~

To be continued? Bersambung? Bersambung?

Hahahaha nggak! #dor

Bersambunglahhhhhh…. :D

~0o0~

Author's side

Holaholaaaa semuanyaaaaa!

Hooo iyaa, hai teman-teman semua. Akhirnya setelah berjuta-juta milyar triliyun tahun tak menulis fanfic, aku yeah… kembali lagi, dengan fanfic yang err…. Agak… ah sudahlah!

Okeke teman-teman, terima kasih sudah membaca fanfic ini sampai selesai. Maybe the storyline in this fic is too old school, but, yeah, this is my style, I like write stuff like this. Kekekke… :D

Beberapa adegan di chapter ini adalah nyata di kehidupan aku, so thanks a lot untuk teman-teman SMA aku yang udah kasih inspirasi lewat kelakuan sinting mereka. Hahahaha. Berkat kalian, fanfic ini ada, cuy!

Sampai berjumpa di chapter selanjutnya!

Narsiezzz dikit gak papa, yaphz?

NaruHina, The Greatest Pairing...

Ever After...

*Sewotkah bos? Bakar laut! Wakakkaka...*