Dua gadis belia memandang tak berkedip sekumpulan remaja yang sedang asyik bermain basket. Keringat tampak membasahi kaos mereka hingga mencetak tubuh khas remaja yang sedang dalam masa pertumbuhan.

"Hin, kakakmu ganteng banget," seru seorang gadis berambut pink pendek sambari menangkup kedua belah pipi nya, malu.

Hinata, gadis yang dipanggil mengangguk. Matanya tak lepas memperhatikan performa sang kakak yang tengah berlari sembari mandrible bola. Ada rasa bangga ketika mendengar anggota keluarganya di puji bahkan di puja.

"Hyuuga memang rupawan, Kur." Balasnya sedikit congkak.

Sakura, gadis itu mencebikan bibirnya. "Sakura, Hin. Bukan Kur. Please deh!" keluhnya seraya melipat kedua tangan di depan dada. Ia tidak ingin menampik jika apa yang diucap Hinata adalah kebohongan.

Fakta Keluarga Hyuuga berwajah rupawan tidak perlu diragukan lagi. Lihatlah Neji. Gantengnya maksimal, multitalenta pula. Pantas dijadikan suami. Begitu pikir Sakura, bocah 11 tahun yang masih bau kencur.

"Samperin yuk Beb." Ajak Sakura antusias seraya menarik lengan sang sahabat.

Hinata? Gadis itu tentu menolak. Kepercayaan dirinya rendah untuk sekedar muncul apalagi berbaur dengan gerombolan remaja gagah berbau keringat di sana.

"Gak ah Kur, di sana banyak senior." Tolak nya halus dengan tangan sedikit meronta minta dilepas.

Sakura dongkol. Niat pendekatannya tidak boleh gagal. "Ayolah Hin. Memangnya kenapa kalo di sana banyak senior? Kan, ada Kak Neji. Apa perlu aku ingetin kalo dia kakak kandung kamu?" bujuk Sakura kukuh. Tangannya kembali meraih telapak tangan Hinata namun ditepis lembut si empunya.

"Gak mau Kur." Seperti Sakura, Hinata pun keras kepala. Kakinya menghentak lantai berkali-kali. Iris yang tadi focus pada sekumpulan remaja, kini beralih haluan menatap kesal sang sahabat.

"Ayolah Hin…"

"Gak mau…"

"Please…"

"Sekali no tetap no…"

Aksi tarik-menarik tak terhindari. Kegigihan Sakura memperjuangkan keinginannya serta teguh pendirian Hinata, memicu pertikaian bodoh yang semestinya tidak perlu terjadi. Keduanya bahkan tidak menyadari adanya bola basket, menggelinding dan berhenti tepat di belakang kaki Hinata.

"Ngapain takut sih, Hin. Mereka gak gigit kok."

"Gak mau... pokoknya aku gak mau."

"Aish... kamu tuh ya…"

Lutut di tekuk, tubuh di keraskan, dan lengan ditarik sekuat mungkin. Entah sial atau beruntung, berkat bantuan keringat serta lotion yang dipakai Hinata tadi, lengan mungil nya berhasil lepas dari cengkeraman Sakura. Namun ibarat kata pepatah; keluar dari mulut harimau masuk ke dalam mulut buaya. Dirinya memang lepas dari jerat tangan Sakura. Tapi naas, ia malah dihadapkan pada masalah yang lebih rumit. Salahkan tangannya yang tanpa sempat dicegah mendarat di tempat yang salah.

Dengan gerakan patah-patah Hinata menoleh. Rona mukanya pudar ketika mendapati wajah high level seorang pemuda memerah dibagian pipi. Iris hitam itu menatapnya penuh intimidasi.

"Nama?"

Mampus. Rutuk Hinata. "Hi-Hinata, Kak." Tangannya saling meremas juga gemetar.

"Kelas?"

"6a," kepalanya mulai menunduk.

"Hebat ya. Junior sekarang udah berani main tangan sama senior. Gak takut di bully?"

Hinata meneguk ludah. Permata amethisnya berkaca-kaca siap memproduksi cairan bening. Si bocah ketakutan.

"Kok diem?"

"Hiks…"

Fix ini berlebihan. Tapi yang namanya Uchiha, air mata saja tidak cukup menyentuh hatinya. Bukannya tenang, remaja berinisial 'S' malah makin gencar menggencet si gadis.

"Air mata buaya. Kayak gini baru nangis. Aku yang korban bukan kamu. Udah salah malah sok. Jadi bocah jaga etika. Hormati senior biar gak dikira belagu."

"Hiks… ma-maaf Kak... Hiks… A-hiks-Aku ngak sengaja..." Segukan Hinata makin menjadi. Disampingnya, Sakura mencak-mencak menahan emosi.

"Please deh," suaranya menarik lirikan sang senior, "Hinata udah minta maaf, Kakak Senior yang terhormat. Bisa ngak selow aja negurnya."

Si senior menoleh sempurna. Iris hitamnya menatap si pinky yang baru saja berbicara. "Diem lu kresek."

Nah, disini Sakura heran. Perasaan dengan Hinata aku-kamu, kok gilirannya malah lu? Oke ini senior minta di bacok.

"Ada apa ini?" Niatan menjambak senior koplak sirna ketika suara idolanya tertangkap gendang telinga.

Sakura menoleh. Senyum sumringah merekah mendapati sang pujaan.

"Ka-Kak Neji," katanya malu-malu. Kepala pink-nya sedikit menunduk sembari sekali-kali mengintip. "Aku-"

"Astaga Hinata! Kamu kenapa sayang! Kok nangis? Ada yang sakit? Cup.. cup.. cup... oh sayang..."

Sakura melongo. Dia lupa kalau Kak Neji itu pengidap siscon. Sempat-sempatnya ia mengira kalau laki-laki itu datang untuknya.

"Sakura bodoh," pikirnya kecewa.

.

.

.

.

.

"Jadi gini Kak," Sakura memulai percakapan setelah sedari tadi sibuk merutuk diri.

"Kan tadi aku sama Hinata lagi tarik-tarikan," tangannya memperagakan, "terus gak tau kapan Kak Sasuke muncul di belakang Hinata. Kan Hinata narik tangannya kayak gini. Nah, karena licin, tangan Hinata lepas terus kena pipi Kak Sasuke. Terus..… apa ya?"

Neji diam, Sasuke diam, yang lainnya juga diam.

Berbelit-belit. Pikir mereka.

"Oke," Neji angkat tangan. "Intinya Hinata ngak sengaja?" Tanya Neji sembari melirik Hinata yang masih sesegukan. Ah, adik kecilku memang-

"Cengeng!"

manis.

Serentak mereka melotot menatap Sasuke.

"Apa?" Tanya Sasuke heran. Dahinya mengernyit mendapat tatapan tajam nan menusuk. Selang dari itu, jempolnya terangkat menunjuk Hinata yang sedang menatapnya. "Nih bocah emang cengeng kok. Ingusnya aja udah nyebar ampe bibir. Caper banget 'kan?"

"Hiks… hiks… hiks… HUWAAAA!!" Sudah diduga tangis Hinata makin histeris. Matanya terpejam dengan rona merah akibat marah dan sakit hati.

Neji pasang kuda-kuda. Tangannya mengepal siap menggempur wajah si Uchiha. "Sialan lu," katanya sembari menarik kaos bagian dada Sasuke.

"Eitsss!!!" Tidak ingin ada masalah, para sahabat bergerak cepat memisahkan Sasuke dan Neji.

Shikamaru yang menganggur ambil tindakan membawa Hinata dan Sakura. "Sakura," panggilnya. "Tolong bawa Hinata ke kelas. Masalah di sini biar kita-kita yang beresin," suruhnya sambil sesekali menoleh ke belakang.

Paham situasi memburuk, Sakura mengangguk. Didekapnya Hinata lembut dan membawa gadis itu menuju kelas. Dalam hati ia berharap, agar masalah sepeleh ini cepat diselesaikan.

.

.

.

.

.

"Keterlaluan lu Sas! Lu gak perlu kali bikin adek gua nangis." Neji berucap kesal. Napasnya sedikit sesak sehabis adu jotos.

Para sahabat juga begitu. Shikamaru, Naruto, Lee, Shino dan Kiba ikut terkena imbasnya. Sasuke sendiri tak luput mengalami hal serupa. Ia membuang wajahnya kesamping sembari menarik-narik kaos di bagian dada.

"Maaf," hanya kata itu yang diucapkan. Jujur, ia tidak menyangka kalau masalahnya berubah pelik. Niat ingin mengerjai malah berakhir rusuh. Salahkan dirinya yang memang sengaja ingin dikenal oleh si lucu.

Neji menarik napas panjang. Wajahnya melunak setelah mendengar penjelasan sang sahabat beberapa menit lalu. Konyol! Pikirnya.

"Ya udah," Neji berucap. Wajahnya menatap Sasuke serius. "Jam 7 malam, rumah utama keluarga Hyuuga. Sisanya biar gue yang atur."

Sasuke terdiam sebelum kemudian bibirnya mengurva. "Terima kasih, kakak ipar."

End or Tbc?

A/n: Kalo next, bakalan aku jelasin dari sudut pandang Sasuke. Dan maafkan klo bahasanya rada gaje. Ini fic aku buat sehabis ngetik MINE yg menguras otak. Semoga suka btw. :)

Sasuke dkk - Kelas 3 SMP. Hinata, Sakura - Kelas 6 SD. Jangan kaget karena bocah jaman sekarang semakin kekinian. Aku yang lahirnya sebelum masehi bisa apa?