Hai, semuanya.

Saya datang membawa fic Eyeshield 21 dengan pair Akaba Mamori. Pair favorit saya yang lain selain Hiruma Mamori.

Saya harap kalian suka dengan ceritanya. Selamat membaca!

Warning! Akaba POV, OOC (bila ada), dan jika ada kekurangan lainnya.


Eyeshield 21

Riichiro Inagaki dan Yusuke Murata

Dibalik Kebetulan

Neary Lan


Aku memang sudah pernah bertemu denganmu di pertandingan American football antara timku, Bando Spiders, dengan timmu, Deimon Devil Bats. Posisimu di sana adalah sebagai seorang manajer yang kulihat selain cantik tetapi juga cerdas, namun tidak selicik kapten timmu. Kaptenmu memang terlihat menyeramkan seperti iblis dan kalian selalu sering terlihat beradu argumen. Aku menyebut kaptenmu sebagai sosok yang menyeramkan padahal aku sendiri pun sama menyeramkannya dengan dia karena mata merahku ini. Mata merahku yang kusembunyikan di balik kacamataku. Tetapi bukan berarti aku membencinya karena berkatmu aku jadi semakin menyukai warna merah. Rambutmu berwarna merah walaupun sedikit kecokelatan, warna seragam timmu pun juga merah bahkan aku pernah mencoba membayangkan dirimu dalam sosok baju pemandu sorak timmu.

"Aku yakin kau akan terlihat sangat… Kurasa aku akan menyimpan pendapatku ini di dalam hati."

Kita memang pernah bertemu, tetapi tidak saling bicara. Selama pertandingan itu aku tidak terlalu memperhatikan sosokmu karena fokusku adalah pada si Eyeshield 21. Rasanya aku cukup menyesalinya karena belum tentu kita akan sering bertemu. Begitulah pikirku selalu ketika mengingat wajahmu. Aku berharap suatu saat kita dapat bertemu kembali. Kurasa aku harus berterimakasih pada olahraga asal Amerika itu dan tentunya kepada Tuhan. Itulah yang kupikirkan ketika aku menyadari ketertarikanku padamu.

Di musim gugur ini aku kembali dipertemukan olehmu. Saat itu aku berpikir ini hanyalah suatu kebetulan karena jujur saja di saat pertemuan pertama aku tidak merasakan perasaan apa pun padamu. Jantungku masih memainkan melodi yang indah, tidak seperti sekarang yang ritmenya selalu kacau hanya dengan melihatmu. Tetapi aku bersyukur karena pertemuan di musim gugur itulah yang menjadi awal kedekatan kita.

Mungkin sebaiknya kuceritakan kisah pertemuan itu. Saat itu aku tengah duduk seorang diri di bangku taman sambil memainkan gitar kesayanganku. Keberadaanku di sini adalah untuk mencari ketenangan dan melepas lelah dari tumpukan data American football yang sering kubaca. Tetapi, tampaknya usahaku sia-sia karena sejak tadi banyak yang memperhatikanku terutama para gadis yang mulai berbisik-bisik mengenaiku. Aku mencoba mengabaikan keberadaan mereka dan tetap fokus pada permainan gitarku. Namun, tiba-tiba aku mendengar suara halusmu yang membuatku menoleh kepadamu.

"Lho, Akaba? Sedang apa kamu di sini?" tanyanya.

Aku terkejut dengan kemunculanmu sedangkan dirimu terlihat menanti jawaban dariku. Aku menghentikan permainan gitarku dan menatapmu. Seharusnya aku tidak kaget bertemu dengannya di taman ini karena taman ini terletak tidak jauh dari sekolahnya. Kulihat di tangannya terdapat dua bungkus kantung belanjaan yang terlihat berat, kurasa dia baru pulang dari minimarket.

"Fuh, kamu manajernya Deimon, 'kan?" tanyaku tanpa menjawab pertanyaannya tadi. "Siapa namamu?"

"Ah, iya. Namaku Mamori Anezaki," jawabmu disertai senyum yang manis. "Jadi, sedang apa kamu di sini? Apa SMU Bando ada keperluan dengan SMU Deimon?"

"Fuh, kamu bisa lihat 'kan aku sedang bermain gitar? Ini tidak ada hubungannya dengan keperluan antar sekolah. Ini murni urusan pribadiku," jawabku cuek sambil membenarkan kacamataku.

"Oh, begitu. Tetapi kamu jadi pusat perhatian semua orang," ujarmu menatap ke sekeliling.

Aku melakukan hal yang sama dengannya dan sepertinya banyak yang mempertanyakan hubungan di antara kami berdua. Terutama para gadis yang terlihat iri padanya yang dapat berbicara santai denganku. Aku segera bangkit dari bangku taman sambil menenteng gitar kesayanganku dan berdiri di hadapannya. Kutatap mata biru safirnya dan ia balas menatapku dengan wajah kebingungan.

"Tidak ada lagi yang perlu kau bicarakan, 'kan?" tanyaku. Ia hanya diam dan kuanggap itu sebagai jawaban. Mulutnya seperti ingin mengatakan sesuatu, namun diurungkannya. "Kurasa memang tidak ada."

Kami memang pernah bertemu, tetapi kami tidak pernah berinteraksi secara langsung. Kurasa wajar jika ini kuanggap sebagai pertemuan yang kebetulan dan wajar jika tidak ada hal yang ingin kami bicarakan. Aku segera berlalu dari hadapannya dan menghilang di balik guguran daun musim gugur.

"Bye, manajer Deimon," kataku sambil mengangkat sebelah tanganku gestur melambai singkat.

Aku tidak tahu apa yang akan dipikirkannya dari pertemuan ini. Ini hanyalah kebetulan dan mungkin tidak akan sering terjadi. Setelah sampai di rumah aku langsung merebahkan diriku di tempat tidur. Kutatap langit-langit kamarku dan sesaat wajahnya terlintas dipikiranku. Aku menggelengkan kepalaku dan berusaha untuk memejamkan mata. Aku pun berhasil tertidur.

Mamori Anezaki…

Seminggu telah berlalu sejak pertemuanku dengannya. Aku kembali ke rutinitas sehari-hariku di sekolah. Belajar, membaca file, bermain gitar, latihan American football, dan bertengkar dengan Kotaro. Aku sama sekali tidak berniat meladeni si maniak sisir itu, yang kubutuhkan saat ini adalah ketenangan. Tetapi si maniak sisir itu sama sekali tidak peka dan terus gencar mengajakku bertengkar hingga Julie sampai turun tangan untuk melerai kami. Si maniak sisir itu selalu merepotkan Julie hingga membuatnya terpaksa menunda sesaat pekerjaannya sebagai manajer.

Bicara tentang manajer aku jadi kembali teringat dengan manajer Deimon itu. Kembali teringat dengan pertemuan kebetulan itu. Entah kenapa aku terus mengingatnya. Padahal itu sama sekali tidak penting. Tidak ada yang spesial dari pertemuan itu. Di sini mulai berisik karena di hadapanku kini tersaji adu mulut antara Kotaro dan Julie. Pemandangan yang rasanya familiar bagiku. Aku segera berlalu untuk mencari tempat lain yang lebih menjanjikan ketenangan.

"Hei, kau mau kemana, Akaba?" tanya Kotaro yang menyadari pergerakanku.

"Menjauh darimu," jawabku asal.

Kotaro terlihat syok dengan jawabanku. Sisirnya mulai teracung di hadapan wajahku.

"Hei, apa maksudmu dengan menjauh dariku?"

"Kau terlalu berisik, aku jadi tidak bisa fokus bermain gitar."

"Apa? Alasanmu sama sekali tidak smart. Kita di sini sedang membahas American football, bukan mendengar suara gitar bodohmu itu," katanya kesal.

"Sudahlah, Kotaro. Kalian berdua jangan bertengkar lagi," lerai Julie yang mulai menarik tangan Kotaro. "Akaba, kau boleh pergi. Biar aku yang menangani Kotaro."

"Thanks, Julie," kataku sambil berlalu meninggalkan mereka berdua.

"Lepaskan aku, Julie. Urusanku dengan si maniak gitar itu belum selesai. Hei, Akaba! Jangan pergi kau! Dasar tidak smart!" teriak Kotaro sambil berusaha melepaskan dirinya dari Julie.

Selanjutnya aku tidak tahu lagi apa yang terjadi karena aku telah menjauh dari mereka. Saat ini aku benar-benar membutuhkan yang namanya ketenangan usai latihan tadi terutama menjauh dari si berisik Kotaro.

Tiga hari kemudian aku kembali lagi ke taman di mana aku bertemu dengannya. Aku tidak tahu kenapa aku ingin kemari lagi. Kakiku seakan bergerak sendiri. Kali ini aku mencari tempat yang cukup jauh dari keramaian. Aku hanya ingin memiliki waktu berdua dengan gitar kesayanganku. Sebuah lagu mulai kumainkan. Aku benar-benar merasa tenang di sini. Namun, itu hanya berjalan sementara karena sebuah suara halus kembali menginterupsi kegiatanku.

"Lho, Akaba lagi? Sedang apa kamu di sini?" tanyanya.

Aku segera menoleh dan mendapati sosokmu yang kembali menatapku. Jujur aku kembali terkejut dan tidak menyangka kita akan bertemu kembali. Namun, secepat mungkin aku memasang raut wajah datar. Saat itu angin mulai bertiup dan membuat daun-daun berguguran jatuh di sekitar kami. Aku tidak tahu apakah itu latar belakang yang bagus atau tidak.

"Kau lagi, manajer Deimon," kataku cuek walaupun sebenarnya kesal karena ia kembali menginterupsi kegiatanku. "Bisa kau lihat 'kan kalau aku sedang bermain gitar?"

Kulihat ia mengangguk. Kali ini tidak ada kantung belanjaan di kedua tangannya, hanya sebuah tas sekolah. Mungkin saja ia akan pulang, tetapi kenapa ia bisa muncul di sini menjadi sebuah pertanyaan bagiku. Tidak mungkin kebetulan terjadi dua kali. Kutatap mata biru safirnya, entah kenapa suara di kepalaku berkata itu adalah mata terindah yang pernah kulihat. Ya, Tuhan. Aku baru beberapa kali ini bertemu dengannya dan baru dua kali bertemu secara langsung sudah mulai memiliki tanggapan demikian. Dia tampak gugup ketika tatapanku tak sedikit pun beralih darinya.

"A-ada apa? A-apa ada sesuatu di wajahku?" tanyanya gugup dengan jarinya yang menunjuk ke wajahnya.

Aku menggeleng. "Tidak ada. Aku hanya heran kenapa kau bisa ada di sini?" kataku sambil sedikit memetik senar gitarku.

"Ah, itu. Aku mendengar suara gitar dan nyanyian ketika lewat di taman ini, karena penasaran makanya aku kemari," katanya tersenyum. "Aku tidak menyangka kalau yang bermain gitar adalah Akaba, jujur saja aku terkejut melihat Akaba ada di taman ini lagi."

"Oh, begitu."

Ucapannya sama dengan pikiranku. Kita sama-sama terkejut dengan pertemuan kebetulan yang kedua ini. Kami kembali terdiam, tidak tahu akan bicara apa lagi. Semuanya bisu. Yang terdengar hanyalah suara petikan gitarku.

"Apa masih ada yang ingin kau katakan lagi?" tanyaku yang tak tahan dengan kesunyian ini.

Ia tampak gugup untuk menjawab pertanyaanku. "Maaf, kalau aku mengganggu waktumu. Tetapi, bolehkah aku mendengarkan permainan gitarmu?" tanyanya dengan wajah tersipu malu.

Aku terkejut melihat rona merah di pipinya. Warna merah itu benar-benar indah dan pikiran di kepalaku kembali berbisik bahwa ia tampak manis jika tersipu malu seperti itu. Hei, tampaknya ada yang salah denganku. Ritme di otakku mulai kacau dan bermain solo. Sesaat aku terdiam, sulit menanggapi permintaannya.

"Ng, tidak boleh, ya? Maaf, kalau aku sembarangan meminta," katamu dengan wajah sedikit kecewa dan bersalah.

"Fuh, boleh saja," kataku tiba-tiba. Aku terkejut dengan perkataanku dan merasa dikhianati lidahku sendiri. Sialnya aku tidak bisa menarik kembali kata-kataku.

"Benarkah? Terima kasih, Akaba," katanya ceria.

Aku hanya mengangguk singkat. Entah kenapa wajahnya terlihat bahagia sekali. Aku jadi terpaksa menyerah dengan senyumannya. Setelah ini aku akan menginterogasi diriku sendiri. Aku tidak tega melihatnya berdiri jadi kutawarkan ia untuk duduk di sebelahku.

"Kau boleh duduk di sini, aku yakin kau akan lelah berdiri."

"Bolehkah?" tanyanya dan aku pun mengangguk. "Baiklah, terima kasih."

Ia pun duduk di sampingku. Rasanya aneh jika ada seorang gadis duduk di sampingmu. Selama ini hanya Julie yang sering duduk di sampingku, itu pun hanya terkadang ketika sedang membahas file American football. Aku memang lebih suka menyendiri dan mengklaim ketenangan untuk diriku sendiri. Tanpa membuang-buang waktu aku segera memetik senar gitarku dan memainkan sebuah lagu sebelum pikiranku kembali berkomentar tentang hal-hal yang tidak perlu.

Sambil bermain terkadang aku melirik sedikit ke arahnya. Ia terlihat senang menikmati permainan gitarku dan melemparkan senyuman manisnya kepadaku hingga membuatku nyaris salah memetik senar gitarku. Aku tidak ingin mengakuinya, tetapi beberapa saat aku memang sempat terpesona dengan senyumannya.

"Sial, kenapa Deimon bisa memiliki manajer sepertinya?"

Begitulah pikirku. Karena selain terpesona diam-diam aku merasakan ketenangan ketika berada di dekatnya. Aku mencoba kembali fokus pada permainan gitarku sebelum melodi yang kumainkan menjadi sumbang karenanya.

Lagu yang kumainkan telah usai. Kulihat ia bertepuk tangan dengan antusiasnya dan berkata, "Hebat, Akaba! Permainan gitarmu bagus dan suaramu juga bagus. Aku benar-benar terkejut mendengarnya."

Kurasa reaksinya terlalu berlebihan, tetapi aku tetap senang mendapat pujian darinya. Jarang-jarang ada yang memuji permainan gitarku apalagi Kotaro. Seluruh tubuhku terasa menghangat dan kurasakan jantungku mulai berdetak kencang. Aku memegangi dadaku tepat di bagian jantungku, aku yakin ada yang tidak beres denganku. Kurasa aku perlu ke dokter. Mungkin terdengar berlebihan apalagi yang menyebabkan keanehan ini adalah dia. Seseorang yang akan mengacaukan ritme jantungku.

"Fuh, terima kasih," jawabku singkat. Aku harus tetap memasang wajah cool meskipun sebenarnya mulai terasa goyah.

"Kamu benar-benar hebat. Tidak hanya hebat di American football, tetapi juga hebat di musik," pujinya lagi.

Aku menanggapi pujiannya dengan tersenyum tipis. Ia terlalu memujiku. Lalu keheningan kembali menyelimuti kami. Aku hanya memetik asal senar gitarku sedangkan ia hanya menatap dedaunan cokelat musim gugur yang berserakan di tanah. Kemudian kudengar ponselnya berdering dan ia buru-buru mengangkatnya. Sepertinya itu telepon dari ibunya yang tampaknya menyuruhnya untuk lekas pulang. Setelah komunikasi itu terputus ia segera memasukkan kembali ponselnya ke saku jasnya.

"Sepertinya kau harus pulang," kataku.

Ia menoleh padaku. Tak lama ia bangkit dari bangku dan berdiri di hadapanku. Kulihat ia menatapku dan sepertinya ada hal yang ingin dikatakannya.

"Ada yang ingin kau katakan padaku?"

"Ya. Aku senang bisa bertemu denganmu di sini, Akaba. Kuharap kita bisa bertemu lagi dan berbicara mengenai American football bersama."

Sambil tersenyum kau mengatakan kalimat itu dengan mudahnya walaupun wajahmu memerah malu. Aku terkejut mendengar perkataanmu. Padahal kita baru kali ini berbicara seperti ini dan kau sudah berharap kita akan bertemu lagi. Mudah sekali hal itu terlintas dipikiranmu. Aku bahkan tidak yakin hal itu akan terwujud dengan mudahnya.

"Apa kau berpikir kita akan bertemu kembali, manajer Deimon?"

"Mungkin," jawabmu singkat.

Aku ingin tertawa mendengar jawabanmu. Sebenarnya apa yang ada dipikiranmu itu sehingga berharap akan bertemu kembali denganku. Bahkan mengajakku berbicara mengenai American football. Jujur saja aku jarang berdiskusi hal seperti ini dengan orang lain selain dengan timku. Ini hanya kebetulan, bukan takdir.

"Kalau begitu aku pamit dulu. Sampai jumpa, Akaba!" serumu sambil melambaikan tangan kepadaku.

Aku hanya menatap punggungmu yang mulai menjauh hingga menghilang di antara daun-daun musim gugur. Aku mendongakkan kepalaku ke atas dan sebuah daun jatuh mengenai wajahku. Aku mengambil daun itu dan menatapnya sesaat. Kujatuhkan daun itu ke tanah, aku menghela nafas. Senyum tersungging di bibirku ketika mengingat kata-katamu tadi.

"Fuh, mungkin, ya?"

Mungkin memang tidak ada yang salah dengan kata-katanya di waktu itu. Mungkin memang memiliki jawaban di antaranya, bisa ya atau bisa tidak alias keraguan. Namun, aku tak menyangka ketika menyadari bahwa kali ini aku kembali ke taman ini. Tidak hanya bersama gitarku melainkan juga dengan dirinya.

"Ya, dirinya kembali berada di sisiku ketika aku kembali mencari ketenangan."

Dia kembali mendengarkan permainan gitarku dan menikmati keheningan di antara kami karena minimnya pembicaraan. Walaupun begitu aku tetap menikmatinya. Mungkin yang diinginkannya adalah mungkin yang diam-diam juga kuinginkan. Mungkin aku memang ingin kembali ke taman ini dan bertemu dengannya.

Semakin sering bertemu denganmu semakin kusadari diriku yang kacau. Aku tak bisa lagi mengatur ritme jantungku. Aku tak bisa lagi terus bertampang datar di hadapanmu dan digantikan oleh senyum yang hanya sesekali tercipta di bibirku. Aku tak bisa lagi mengacuhkan keberadaanmu di sekitarku. Aku tak bisa lagi mengirit kata-kataku karena bahan pembicaraanmu yang menarik. Aku tak bisa lagi mengalihkan wajahku darimu walau hanya sesaat. Aku pun sudah tidak bisa lagi membagi pikiranku antara belajar, American football, dan musik karena kau telah bertambah di dalam pikiranku. Yang terpenting aku tidak bisa lagi seenaknya mengatakan pertemuan kita adalah kebetulan yang terjadi untuk kesekian kalinya.

Perlahan aku mulai terbiasa dengan pertemuan ini. Meskipun awalnya aku kurang nyaman dengan keberadaanmu, namun perlahan-lahan semuanya berubah. Kuakui ada ketenangan yang kudapatkan jika bersamamu. Sedikit demi sedikit kita mulai saling berbicara layaknya teman, terlihat lebih santai dan bersahabat. Aku sudah tidak lagi memanggilmu "Manajer Deimon" dan mencoba memanggil dengan nama belakangmu, Anezaki. Bahkan kita sudah saling bertukar nomor telepon dan alamat email. Terkadang kau juga membawakan makanan untuk kita berdua. Pertemuan kita pun jadi semakin sering terjadi bahkan terkadang kita membuat janji untuk bertemu. Terdengar seperti kencan, mungkin. Kau meluangkan waktumu untuk menemuiku, begitu pun aku sebaliknya. Tidak ada lagi kebetulan karena kita terlihat menginginkannya. Pertemuan hanya di antara kita dan tidak ada satu pun yang mengetahuinya.

Di pertemuan kita untuk yang kesekian kali ini kau membawa kue kesukaanmu, yaitu kue sus Kariya. Kau bilang itu adalah kue sus terenak di kota ini. Kau menawarkanku makanan manis itu, namun aku menolaknya dengan alasan tidak suka makanan manis. Kau langsung cemberut dan mulai menceritakan mengenai kaptenmu yang selalu meledekmu karena terlalu menyukai kue itu bahkan sampai mengatakanmu monster kue sus. Aku hanya menahan tawaku begitu mendengar ceritamu. Tetapi aku juga kagum melihat betapa langsingnya tubuhmu meskipun sering mengkonsumsi makanan manis itu. Aku tidak bisa membayangkan jika kau menjadi gemuk.

"Ayolah, Akaba. Hanya satu saja. Cicipi sedikit saja," katamu memohon.

Aku tetap menggeleng. "Tidak, Anezaki. Sudah kubilang 'kan kalau aku tidak suka makanan manis."

"Hanya sedikit saja. Kamu tidak akan mati walau hanya memakannya sedikit," bujukmu lagi.

Aku hanya tertawa di dalam hati melihat usahamu. Sempat terpikir di otakku untuk mengerjaimu.

"Baiklah, aku akan memakannya asalkan kau menyuapiku," kataku sambil tersenyum licik.

Kulihat wajahnya kaget sesaat, kemudian ia menganggukkan kepalanya. Tangannya yang memegang kue sus mulai diarahkannya ke mulutku bermaksud untuk menyuapiku, namun aku segera menghentikan pergerakan tangannya. Ia terlihat bingung sementara senyum licikku semakin terkembang. Aku menggoyangkan jari telunjukku di hadapan wajahnya.

"Ck, ck, ck. Tidak dengan tangan, Anezaki."

"Kalau bukan dengan tangan dengan apa aku harus menyuapimu?" protesnya.

"Fuh, pertanyaan bagus. Karena kau bersikeras menyuruhku untuk memakannya jadi kuminta kau menyuapiku dengan ini," kataku menggerakan jariku menuju ke wajahnya, "dengan bibirmu," sambungku ketika jariku terarah ke bibirnya.

Ia sangat terkejut dan langsung menjauhkan diri dariku. Kulihat wajahnya memerah sebelum ia mengalihkan wajahnya. Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya. Kemudian ia kembali menatapku dengan wajah cemberut, kurasa ia marah padaku. Sebelum semuanya menjadi kacau aku segera berinisiatif meminta maaf.

"Maafkan aku, Anezaki. Aku hanya bercanda," kataku sambil mengambil kue itu dari kotaknya. "Lihat, aku akan memakannya sesuai keinginanmu. Jadi maafkan aku, ya."

Ia hanya diam bahkan setelah aku menggigit kue itu tetap tidak ada komentar apa pun darinya. Kurasa ia masih kesal dengan candaanku yang terlewat batas. Namun, kulihat ia mulai tersenyum manis semanis kue yang kumakan ini.

"Bagaimana? Enak, 'kan?" tanyanya ceria.

"Fuh, lumayan," kataku. Ia kelihatannya tidak puas dengan komentarku.

"Coba satu kali lagi pasti kamu akan bilang enak," katanya sambil mengarahkan kue itu kembali di hadapan wajahku.

"Fuh, kau bilang cuma cicipi satu, 'kan? Aku sudah memakannya satu dan rasanya terlalu manis," kataku menolak.

"Ini hukuman karena Akaba sudah mengerjaiku. Aku akan menyuapimu. Ayo buka mulutmu, Akaba," pintanya atau mungkin lebih tepat perintahnya.

Kurasa aku tidak punya pilihan lain selain menurutinya. Kubiarkan ia menyuapiku dan dengan terpaksa aku menguyah makanan manis itu. Melihat wajahnya yang tersenyum manis padaku membuatku tidak menyesali menerima hukuman makanan manis ini. Asalkan itu darimu aku rela memakannya walau semanis apa pun kue itu.

"Enak, 'kan?" tanyamu lagi.

"Fuh, enak," kataku terpaksa, bermaksud mengerjainya lagi. Kelihatannya ia menyadari nada bicaraku yang terpaksa.

"Nada bicaramu seperti terpaksa. Oh, kamu harus lebih sering mencobanya, Akaba," ujarmu.

"Aku masih ingin menjaga bentuk tubuh dan gigiku agar tidak gemuk dan rusak," kataku tegas. "Kau pun juga harus memikirkan akibat dari mengkonsumsi makanan manis itu. Kau bisa gemuk, walaupun kelihatannya kue itu tidak begitu berefek buruk pada tubuhmu."

"Kamu tidak akan gemuk kalau hanya sesekali memakannya, gigimu pun akan baik-baik saja kalau rajin menyikatnya," katamu. "Aku tidak akan gemuk. Lihat saja, aku masih tetap langsing."

Aku tidak menanggapi perkataanmu melainkan hanya tersenyum. Aku tidak bermaksud meledekmu dan kue kesukaanmu. Aku hanya ingin melihat ekspresimu yang lain selain tersenyum dan itu sangat menyenangkan. Aku menatapmu yang kembali berwajah cemberut. Mulanya kau tidak ingin melihatku, tetapi sesekali kau melirikku dengan gelisah hingga wajahmu perlahan memerah. Kau mulai tidak nyaman dengan tatapanku.

"Ke-kenapa melihatku seperti itu?" tanyamu gugup.

Aku tersenyum dan berkata sesuai apa yang muncul dipikiranku. "Kamu manis."

"Apa?" Kau terkejut dengan perkataanku.

"Kamu manis, Anezaki. Lebih manis dari kue apa pun," kataku tanpa keraguan.

Kau terlihat gugup dan salah tingkah. Wajahmu telah sepenuhnya memerah hingga kau ingin segera menutupinya dengan apa pun itu, asalkan aku tidak melihatnya. Tingkahmu jadi terlihat lucu. Apa yang kukatakan adalah apa yang kupikirkan dan itu kata-kata jujur yang kali pertama kuutarakan langsung padamu. Aku terkejut pada diriku yang dengan mudah mengatakannya.

"Te-terima kasih," katamu dengan kepala tertunduk seolah sulit menatap wajahku.

"Sama-sama."

Setelah itu kita hanya saling berdiam diri dengan pikiran masing-masing. Kau masih terkejut dengan ucapan frontalku yang tidak biasanya. Dengan cepat aku kembali mencairkan suasana dengan memainkan sebuah lagu sesuai permintaanmu hingga kita bernyanyi bersama. Rasanya sangat menyenangkan. Tidak pernah aku merasa sesenang ini. Akan kusimpan baik-baik kenangan ini.

Hari ini aku berada di sekolah dan melakukan latihan seperti biasanya. Seperti biasanya juga Kotaro akan berisik dan mengganggu konsentrasiku bermain gitar. Aku pernah berpikir bahwa ia cemburu karena aku lebih perhatian terhadap gitarku dari pada dirinya. Aku tahu itu terdengar menggelikan. Tiba-tiba ponselku berdering dan aku melihat sebuah email masuk. Segera kubuka pesan tersebut dan senyumku terkembang. Itu pesan darinya, Anezaki. Pesan yang berbunyi bahwa ia tengah membuat kue. Ia sudah pernah memberikannya kepada anggota tim Deimon dan mendapat pujian enak, kecuali dari satu orang yang anti makanan manis. Tetapi dia juga heran ketika menyadari kue terakhir yang disimpannya di ruang klub justru menghilang tanpa jejak. Tetapi ia berpikir itu mungkin dimakan oleh anak-anak yang lain. Lalu ia ingin membuatkannya untukku dan berharap aku menyukainya.

"Fuh, dia benar-benar ingin membuatku gemuk, ya," gumamku pada diri sendiri.

"Kenapa kau menatap handphonemu sambil tersenyum seperti itu?" tanya Kotaro tiba-tiba.

Aku mengalihkan pandanganku dari ponsel ke Kotaro yang tetap sibuk menyisir rambutnya.

"Bukan apa-apa," jawabku singkat.

"Jawaban macam apa itu? Kau benar-benar menyebalkan! Tidak smart," dengus Kotaro.

Aku hanya mengabaikannya. Tanganku mulai mengetikkan email balasan untuknya. Aku tersenyum setelah menekan tombol send. Rasanya aku tidak sabar menunggu balasan darinya. Kotaro melirikku dengan wajah kesalnya.

"Akhir-akhir ini kau sering pergi entah kemana. Ya, memang itu tidak masalah," kata Kotaro kembali menyisir rambutnya.

"Lalu apa yang kau permasalahkan?" tanyaku yang tidak mengerti arah pembicaraannya. "Aku pergi kemana itu 'kan bukan urusanmu."

"Yang kupermasalahkan? Kau itu pergi tanpa bisa dihubungi. Dalam seminggu bisa dua atau tiga hari kau pergi entah kemana, sama sekali tidak ikut latihan setelah pulang sekolah," gerutu Kotaro padaku.

"Ah, itu. Aku hanya mencari ketenangan," kataku.

"Alasan macam apa itu? Sama sekali tidak smart!" kata Kotaro dengan menambahkan kata-kata favoritnya.

Tidak jauh dariku muncul Julie sambil membawa beberapa lembaran kertas di tangannya. Ia berkata, "Kotaro benar, Akaba. Akhir-akhir ini kamu jarang latihan dan pergi entah kemana. Sebenarnya dibilang jarang pun juga tidak. Kamu sering datang latihan pagi bahkan terlalu pagi saat sekolah masih sepi, tetapi menghilang saat latihan di siang hari. Kalau boleh tahu sebenarnya kamu kemana?"

"Fuh, seperti jawabanku tadi. Aku pergi mencari ketenangan."

"Itu sama sekali bukan alasan. Tidak smart!" geram Kotaro sambil menggenggam sisirnya erat-erat.

"Huh, baiklah kalau kamu tidak mau memberitahu kami. Lagipula itu juga bukan urusan kami. Setidaknya kamu tidak mengabaikan tim kita, Akaba," kata Julie yang memilih menyerah, tetapi juga memperingatiku.

"Tentu, Julie. Melodiku akan selalu selaras dengan tim kita tanpa ada nada-nada sumbang," kataku dengan kebiasaanku menggunakan istilah musik.

"Itu tidak ada hubungannya, Akaba bodoh!" teriak Kotaro sekerasnya hingga aku dan Julie terpaksa menutup telinga.

Pembicaraan ini membuatku terpaksa mengabaikan pesan masuk di ponselku. Setelah menjauh dari mereka barulah aku bebas berkirim pesan dengannya. Ocehan Kotaro tadi masih terngiang di kepalaku. Kalau dipikir-dipikir apa yang dikatakannya itu benar. Sejak pertemuan itu semuanya perlahan berubah. Saat bersamamu yang menyajikan ketenangan membuatku kecanduan. Aku selalu ingin menemuimu.

Selama ini Kotaro dan Julie tidak curiga kemana pun aku pergi, aku bebas pergi semauku. Hanya saja kali ini aku selalu pergi tanpa mereka tahu kabarku. Aku memang selalu mematikan ponselku ketika bersamanya, tidak ingin saat tenangku diganggu. Tetapi aku tidak melarangnya mematikan ponselnya, lagipula apa hakku melarangnya. Seperti kata Julie, di hari aku menemuinya aku akan datang lebih awal untuk latihan pagi dan tidak latihan di siang harinya. Setidaknya mereka tidak perlu terlalu mempermasalahkannya, aku masih bisa membagi waktuku. Tetapi kalau mengingatmu kata-kataku tadi rasanya terdengar palsu.

Sebenarnya bukan hanya aku, kau pun juga mengalaminya. Aku tahu kesibukanmu sebagai manajer yang dibebani tugas berlebih dari kaptenmu hingga kau harus mencuri-curi waktu untuk menemuiku. Terlebih lagi kau bilang gadis cherrleader itu tampaknya mulai mencurigai tindakanmu sampai membuat anggota yang lain pun berpikir demikian. Kau takut apabila ia mengajak yang lain untuk membuntutimu dan yang lebih parah adalah apabila kaptenmu pun tahu tentang rahasia kita. Kita merahasiakan pertemuan ini walaupun sekarang kedua belah pihak mulai menaruh curiga.

Sekarang ini kita mulai sering bertemu. Dalam seminggu kita bisa dua atau tiga kali bertemu, bahkan pernah hanya sekali. Rentang waktu pun bervariasi tergantung kesibukan kita masing-masing. Setidaknya kali ini jika ingin bertemu kita akan mengkomunikasikannya terlebih dahulu, tidak seperti dulu yang selalu kebetulan. Tetapi sampai saat ini ada yang mengganjal dipikiranku hingga menimbulkan pertanyaan. Aku ingin tahu alasan sebenarnya kau menemuiku. Aku yakin bukan hanya sekedar membicarakan American football, makan kue, mendengarkanku bermain gitar, dan hal-hal lainnya. Alasanku karena kau mulai mengacaukan diriku dan membuatku menggilaimu secara perlahan-lahan.

"Kurasa aku memang tidak bisa menyembunyikannya lagi. Ya, aku mengakui bahwa aku menyukaimu, Mamori Anezaki. Karena itulah aku ingin tahu alasanmu. Aku tidak ingin hanya aku sendiri yang bersorak girang setiap kali kita bertemu, sementara dipandanganmu aku tak lebih seperti teman sekelasmu."

Aku serius bahwa kali ini aku tidak ingin pertemuan ini hanya sekedar pertemuan. Lama kelamaan aku tidak bisa menahan diri lagi. Sosokmu di mataku telah menjadi spesial. Pikiranku selalu ingin menyentuhmu melebihi keinginanku untuk selalu menyentuh gitarku. Kurasa aku harus minta maaf pada gitarku karena berniat menduakannya.

To be continued…


Sekian chapter pertama. Bagaimana tanggapan kalian setelah membaca fic ini?

Silakan tulis tanggapan kalian di kolom review.

Terima kasih kalian sudah membaca fic saya dan sampai ketemu di chapter selanjutnya.


September, 2012

Neary Lan