HunHan's Fanfiction by Duckypocky
Mobil hitam metalik keluaran terbaru itu terparkir berjajar dengan mobil-mobil lainnya. Walaupun bukan satu-satunya mobil mewah, tapi tetap saja terlihat paling menonjol diantara yang lain. Sang pemilik mobil pun keluar dan membawa langkahnya menjauh dari area parkiran. Sebelah tangannya ia masukan ke dalam saku celana, sementara tangannya yang lain memegang tali tas yang tersampir di salah satu bahunya. Meninggalkan jejak pesona sepanjang tungkai panjangnya melangkah.
"Lu!" Suara beratnya –sedikit– berteriak memanggil orang yang berjalan beberapa langkah di depannya.
"Hng?" Wanita dengan punggung kecil itu menoleh, merasa tidak asing dengan suara yang memanggilnya. "Oh, Sehun-ah!" Dengan cepat berbalik arah dan berlari kecil mengahampiri pria tampan itu.
Bruk!
"Bogoshippo~" Ia mengatakannya bersamaan dengan tubuh kecilnya yang memeluk –atau lebih tepatnya menubruk– tubuh tegap Sehun. Perempuan itu benar-benar merindukan Sehun. Dengan alasan liburan musin dingin kali ini mereka tidak menghabiskan waktu bersama menjadikannya tidak dapat mengelak dari perasaannya sendiri.
Sehun membalas pelukan Luhan –wanita yang ia panggil Lu tadi– tak kalah erat, seolah mengatakan dia juga sama merindukannya. "Bagaimana di Beijing?" tanyanya.
Luhan melepaskan pelukannya seraya menatap Sehun dengan mata rusanya yang terlihat antusias. "Aku akan bercerita banyak padamu dan kau tidak boleh kebosanan mendengarnya."
Sehun mencoba memperingatkan dirinya sendiri untuk tidak tertidur saat Luhan bercerita nanti. Luhan yang sedang bercerita itu layaknya seorang Ibu yang tengah mendongengkan cerita untuk anaknya. Tidak akan berhenti sampai sang anak terlelap. Tapi sayangnya Sehun bukanlah bocah kecil yang akan terlelap karena sebuah dongeng.
"Hm, tentu saja. Katakan kapan aku pernah terlihat bosan saat mendengarkanmu?" Ia berkata sambil mengecup bibir Luhan cepat.
"Never!" Luhan menjawab dengan cepat, secepat pipinya yang berubah menjadi merah, semerah tomat. Luhan menundukan kepalanya dalam, sadar atas tindakan yang dilakukan Sehun terhadapnya dihadapan umum. Sehun terkekeh, mencubit hidung Luhan gemas hingga warnanya menyerupai warna pipinya.
"Yak!"
"Kajja! Aku akan mangantarmu sampai ke kelas" Sehun berjalan duluan meninggalkan Luhan yang masih menggerutu di belakangnya.
"Yak! Bagaimana bisa kau mengatakan ingin mengantarku tetapi kau sendiri malah berjalan duluan." Luhan mengejar Sehun yang berada beberapa langkah di depannya. Hingga langkah mereka sejajar, Sehun menarik pinggang Luhan mendekat dan terus merengkuhnya sampai kelas.
― It's Me ―
Sehun menopang dagunya dengan sebelah tangan. Senyum tipis tersungging dibibirnya menatap Luhan yang duduk berhadapan dengannya. Sudah sejak beberapa menit yang lalu Luhan menceritakan liburan musim dinginnya di Beijing dengan antusias.
Saat ini mereka sedang berada di kantin. Terlihat di atas meja terdapat dua gelas minuman yang tersisa setengah. Luhan sangat bersemangat menceritakan liburannya pada Sehun. Sesaat setelah kelasnya selesai, ia langsung menuju kantin dan menghubungi Sehun untuk bertemu disana. Luhan langsung menarik tangan Sehun ke salah satu meja saat batang hidung pria itu terlihat.
"Hm.. Sebenarnya aku berharap Yifan ge akan menghabiskan liburan bersamaku juga." Suara Luhan terdengar murung. Padahal beberapa saat yang lalu dia bercerita dengan semangat menggebu, tapi setelah menyebut nama sang kakak membuat air mukanya berubah cepat.
Waktu liburan merupakan satu-satunya waktu dimana Luhan bisa menghabiskan waktu bersama keluarganya. Ketidak hadiran Yifan sudah pasti membuatnya sedih. Ya, kita harus memakluminya. Bagaimanapun juga, Luhan pasti merindukan keluarganya.
Baba dan Mama Luhan tinggal di China karena kepala keluarga Xi ini diharuskan mengurus perusahaan pusatnya yang berada disana, sementara sang istri hanya mengikuti dimanapun suaminya akan menetap.
Dulu, Luhan juga tinggal di China bersama kedua orang tua dan kakaknya. Tetapi, saat Luhan berada di pertengahan Junior High School dia pindah ke Korea dikarenakan cabang perusahan Babanya yang di Korea membutuhkan tangan Tuan Xi secara langsung. Berbeda dengan Luhan dan orang tuanya yang pindah ke Korea, sang kakak –Yifan– justru terbang ke Kanada untuk mengambil alih anak perusahaan yang ada disana sekaligus menetap disana.
Setelah Luhan lulus Junior High School, Tuan Xi kembali ke China bersama Nyonya Xi sedangkan Luhan memutuskan untuk melanjutkan sekolah di Korea. Luhan mengatakan bahwa dia lebih nyaman berada di Korea daripada di tanah kelahirannya. Tuan Xi menyanggupi keinginan Luhan, tapi dengan syarat Luhan berada dalam keamanan yang ketat. Kehidupan Luhan sangat mencukupi di negeri gingseng ini. Tuan Xi menyediakan fasilitas yang berlebih untuk Luhan mengingat anak bungsunya hanya tinggal sendiri –bersama seorang kepercayaan Babanya dan beberapa maid- di rumahnya yang bak istana dari dunia dongeng itu.
"Hey, jangan seperti itu. Yifan hyung tidak dapat kembali ke China bukan karena keinginannya, kan? Dia memiliki tanggung jawab di Kanada. Jika memungkinkan aku yakin dia pasti akan pulang ke China dan menghabiskan beberapa waktu bersama adik kecilnya, hm?" Sehun mengelus pipi kiri Luhan dengan tangannya yang tadi digunakan untuk bertopang, sekedar untuk meyakinkan Luhan atas argumennya.
"Ya, aku juga berpikir seperti itu. Tapi, tetap saja..." Luhan menghela napas singkat sebelum memberikan senyumnya pada Sehun. Mata rusa miliknya melengkung indah membentuk eyesmile yang menawan.
Selalu ada getaran aneh –namun menyenangkan– yang dirasakan Sehun ketika ia melihat Luhan tersenyum seperti itu. Entahlah, ia hanya merasa sesuatu dalam hatinya tergelitik nyaman ketika melihatnya.
Senyuman Luhan, hanya senyuman itu yang selalu berhasil membuat rasa rindu Sehun pada seseorang terobati. Walaupun pada dasarnya rasa rindu itu sendiri ternyata terus berkembang memenuhi rongga dada Sehun seiring waktu. Tapi karena kehadiran Luhan semua rasa sesak di dadanya terlupakan. Hanya Luhan satu-satunya orang yang dapat melakukannya. Karena senyuman itu juga menjadi awal kedekatan mereka hingga sekarang.
― It's Me ―
Hari ini adalah hari dimana upacara penerimaan siswa baru Whimoon High School diadakan. Whimoon High School merupakan salah satu sekolah elite di Korea. Siswa-siswi sekolah ini merupakan anak-anak beruntung yang lahir dari rahim perempuan berderajat tinggi dengan harta yang tidak akan habis hingga tujuh turunan. Bisa dikatakan mereka semua anak dari orang-orang yang berpengaruh di Korea, bahkan luar Korea.
Upacara berlangsung lama sampai rasanya perempuan berkulit magis di tengah ballroom itu akan mati kebosanan. Maka setelah acara selesai, Luhan –perempuan itu– memutuskan untuk langsung pulang karena memang jadwal hari ini hanya upacara penerimaan saja.
Diperjalan pulang menuju rumahnya, tiba-tiba saja Luhan menginginkan bubble tea. Sudah lama rasanya ia tidak meminum minuman dengan bola-bola kecil itu. Ah.. Dia benar-benar menginginkannya sekarang.
Bola mata Luhan tak sengaja berputar dan menemukan sebuah papan nama bertuliskan "Cofioca" di perempatan seberang jalan saat lampu lalu lintas berubah warna dan memaksa Yu Ajjushi menginjak rem. Sebuah keberuntungan rupanya, menemukan kedai bubble tea saat ia sedang menginginkannya. Maka setelah lampu lalu lintas berubah warna menjadi hijau, Luhan langsung menyuruh Yu Ajjushi untuk mampir dulu ke kedai tersebut.
"Selamat Siang, ada yang bisa saya bantu?" Pemilik kedai menyambut ramah Luhan saat pintu kedai baru saja terbuka.
"Aku ingin bubble tea rasa–" Luhan berfikir dengan tangan tertuntun mengeja daftar rasa yang ada.
"Ah, taro."
"Maaf Nona, tapi bubble tea rasa taro sudah habis. Persedian terakhirnya baru saja dibeli oleh pria itu." Pemilik kedai itu terdengar menyesal. Salah satu tangannya terangkat menunjuk seorang pemuda yang baru saja keluar dari kedainya.
Pandangan Luhan mengikuti arah tangan pemilik kedai, dan ia dapat melihat seorang pria tinggi baru saja keluar dengan segelas bubble tea disalah satu tangannya. Mata Luhan terus mengikuti langkah pria itu. Setelah pemuda itu hilang dari jangkauannya, Luhan langsung tersadar.
"Kalau begitu, terima kasih!" Luhan dengan cepat berlari keluar kedai guna mengejar pria itu.
"Chogiyo!" Luhan berteriak saat telah berada sekitar satu meter di belakang pria itu. Pria itu berbalik menghadap Luhan dengan sebelah alis terangkat.
"Hoshh.. Hosh.. Bolehkah aku.. Hahh.. membelihh.. itu darimu?" Dengan nafas tersenggal sehabis berlari, Luhan bertanya. Tangannya menunjuk gelas di tangan pria itu.
"Ye?" Pria itu terlihat tidak mengerti akan maksud Luhan.
"Bubble tea-mu. Bolehkah aku membelinya?" Nafasnya sudah teratur. Luhan menatap pria itu dengan mata yang dibuat sememelas mungkin.
"Maksudmu ini?" Pria itu mengangkat gelas bubble tea yang belum diminumnya. Luhan mengangguk semangat. Kepalanya terlihat seperti akan terlepas jika saja ia tidak menghentikannya.
"Aku baru saja ingin membelinya di kedai tadi, tapi pemilik kedai itu bilang bahwa persediaan terakhir rasa taro sudah dibeli olehmu."
Pria itu dengan cepat menyembunyikan tangannya kebelakang punggung. "Shireo! Beli saja rasa yang lain. Kenapa harus bubble tea-ku?" Pria itu menolan tegas.
"Kumohon..." Luhan terus memohon dengan tangan yang ditangkupkan di depan dada. Luhan terbiasa mengeluarkan aegyonya jika sedang memohon dan kebanyakan orang akan luluh dengan hal itu. Dan ia yakin pria ini masuk dalam salah satunya.
Pria itu hendak berbalik. Ternyata pria ini bukanlah salah satu dari kebanyakan orang yang akan luluh dengan aegyo Luhan. Dengan cepat Luhan menahan lengan pria itu saat dilihatnya pria itu akan melangkah.
"Aku akan membayar lebih dari harga sebenarnya, bagaimana?"
"Aku tidak akan memberikannya berapapun kau akan membayarnya, Nona."
Luhan menatap pria itu datar tanpa berkedip sementara yang ditatap balik menatap aneh Luhan. Sampai akhirnya—
Srak!
Luhan merebut gelas bubble dari tangan pria itu saat pria itu lengah. Luhan berlari sekencang mungkin menuju mobilnya. Pria itu terkejut, menatap tangannya yang kosong. Sadar dari keterkejutannya, ia langsung berlari mengejar perempuan gila yang telah merebut bubble tea-nya –pria itu baru saja memberikan julukan.
"Yak! Kembalikan bubble tea-ku!"
Melihat Luhan yang sudah memasuki mobilnya membuat ia mempercepat larinya. Sial, saat sudah sampai didekat mobil Luhan, mobil itu justru melaju dengan cepat.
"Aish, jinjja!" Pria itu mengacak rambutnya kesal.
"Aku tidak akan pernah melupakan wajahmu dan menuntut kembali bubble tea-ku! Dasar perempuan gila." Pria itu terus menggerutu dengan tangan menunjuk-nunjuk jalanan yang tadi dilewati mobil Luhan.
Puas mengeluarkan seluruh kejengkelannya, pria itu memutuskan kembali masuk ke dalam kedai.
Hh.. sepertinya aku memang tidak diperbolehkan membeli rasa lain selain coklat, pria itu membantin seraya memesan bubble tea dengan rasa kesukaannya.
― It's Me ―
Setiap orang memiliki caranya sendiri untuk mengakhiri harinya yang sibuk. Contohnya seorang pemuda yang baru saja memasuki sebuah kedai. Pemuda itu berniat mengakhiri aktifitasnya seharian ini di Cofioca. Ia memilih duduk di tengah-tengah kedai saat melihat bangku itu kosong. Ia rasa tidak ada salahnya membuang beberapa waktunya disini sebelum pulang. Berlama-lama disini juga mempermudahnya jika ingin menghabiskan bergelas-gelas bubble tea.
Seorang pelayan mendatangi mejanya dan langsung menulis pesanan pemuda itu sebelum pemuda itu sendiri menyebutkan pesanannya.
"Bubble tea dengan rasa coklat?" Pemuda itu terkekeh ringan dengan kepala yang mengangguk.
Ternyata pelayan itu sudah terlalu hafal dengan pesanan sang pelanggan. Sejak hari pertama kunjungannya, hanya minuman dengan rasa yang sama yang selalu dipesannya. Terkadang pelayan ini terheran melihat pelanggannya yang satu ini hanya datang sendiri, karena biasanya dia datang bersama temannya. Walaupun kedai ini menyajikan menu lain seperti kopi dan kue-kue ringan, mereka pasti selalu memesan bubble tea. Pemuda ini dengan rasa taro sementara temannya dengan rasa strawberry.
Sambil menunggu pesanannya datang, mata pemuda berseragam Senior High School itu menjelajahi setiap penjuru kedai. Matanya mengamati keadaan kedai yang tidak pernah berubah dari dulu –selain beberapa interiornya seperti peletakan meja–. Dia jadi teringat dengan kunjungan pertamanya ke kedai ini.
Sewaktu itu ia dalam perjalan pulang sehabis menemani temannya berkeliling Seoul dengan alasan bosan di rumah. Ia benar-benar kelelahan karena mereka hampir seharian berkeliling, dan matanya tak sengaja melihat kedai ini. Mereka memutuskan untuk mampir dulu sekedar melepas lelah.
Baru berkunjung untuk yang pertama kalinya, mereka sudah menetapkan bahwa bubble tea di kedai ini adalah yang terbaik. Maka sejak saat itu mereka jadi sering kembali datang kesini, entah sepulang sekolah atau hanya karena menginginkan bubble tea-nya. Menjadikan kedai ini sebagai kedai favorit mereka berdua. Hingga saat ini pemuda itu menjadi pelanggan tetap sementara temannya –mungkin– tidak pernah lagi datang kesini.
"Aku ingin bubble tea rasa strawberry."
Kata 'strawberry' membuat lamunannya buyar dan secara refleks kepalanya terputar kearah kasir. Pemuda yang masih belum diketahui siapa itu melihat seorang perempuan dengan rambut coklat terang baru saja menyebutkan pesanannya. Dada pemuda itu memberi respon berlebih atas terkaan otaknya.
Oh.. Bernarkah yang aku lihat sekarang? Atau aku hanya terlalu berhalusinasi karena terus memikirkannya? Tapi ini begitu nyata. Rambut coklat, tubuhnya yang mungil, dan pesanannya. Benar-benar menggambarkan dirinya. Pemuda itu terus membatin hingga tanpa sadar, kedua kakinya menuntut untuk mendekat pada perempuan itu.
"Baek.." Berusaha memanggil setenang mungkin orang dihadapannya .Kedua onyxnya menatap intens tanpa berkedip. Jantungnya semakin tak terkendali menanti orang itu menolehkan kepalanya. Tetapi yang ditunggu tak juga memperlihatkan wajahnya.
"Byun Baek!" Dengan tak sabaran ia menarik bahu wanita itu hingga menghadapnya.
"Yak! Apa yang kau lakukan?" Luhan dengan kasar menyentak bahunya. Apa apaan pria putih pucat ini, menarik bahunya seenak jidatnya.
"Eoh? Kau?" Luhan membulatkan matanya mengenali sosok pria dihadapannya.
"Kau?" Melihat wajah perempuan di hadapnnya membuat pria itu teringat dengan kejadian tempo hari.
Luhan hampir saja mengambil seribu langkah untuk keluar dari sini, sebelum tangan sang pria mencekalnya. "Mau kemana kau?"
Luhan menundukan kepalanya saat dirasa tidak bisa menghindar lagi. Pria ini adalah orang yang telah ia rebut bubble tea-nya beberapa waktu lalu. Luhan mengaku salah. Bagaimanapun waktu itu ia yang merampas minuman pria ini begitu saja.
Baru saja pria itu hendak mengatakan sesuatu, Luhan lebih dulu mendahului.
"Oke, oke, aku minta maaf. Aku mengaku salah karena telah merebut bubble tea-mu." Sebelah alis sang pria terangkat dengan tangan bersedekap.
"Permintaan maaf tak cukup hanya dengan ucapan–" melirik dada kiri wanita itu. "–Xi Luhan?"
Luhan dengan cepat mengangkat kepalanya. "Kau boleh membeli bubble tea sebanyak yang kau mau dan aku yang akan membayarnya, bagaimana?" Luhan menjawab dalam satu tarikan nafas ditambah sebuah cengiran. Memprlihatkan gigi putihnya yang tersusun rapih.
Deg!
Sial. Jantungku berulah lagi. Cengirannya bahkan terlihat persis sepertinya. Pria itu kembali membatin.
Luhan sudah mengeluarkan kartu kreditnya dari dompet. Tangannya terjulur hendak memberikannya pada pria dihadapnnya. Tapi laki-laki itu justru pergi begitu saja dengan langkah cepat.
"Hei, apa tawaranku kurang?" Luhan berteriak saat tangan pria itu akan mendorong pintu kedai.
Pria itu melanjutkan langkahnya mengabaikan teriakan Luhan. Ia terus berjalan keluar kedai tanpa menoleh. Bubble tea kini sudah tidak menarik perhatiannya lagi –hanya untuk saat ini. Pikirannya sedang dipenuhi berbagai pertanyaan. Inti dari pemikiran disetiap cabangnya adalah...
'Bagaimana bisa ada dua orang berbeda, namun terlihat begitu mirip?'
Luhan terus memerhatikan pria itu hingga matanya tidak dapat menemukannya lagi.
Aneh, tadi ia menuntutku. Sekarang ia justru pergi saat aku menawarkannya bubble tea. Bahkan sepuasnya, batin Luhan.
Luhan hendak memasukan kembali kartunya saat ia menyadari sesuatu. 'Bukankah baju yang mereka pakai sama? Jadi pria itu juga sekolah di tempat yang sama dengannya?'
― It's Me ―
–Aku tidak pernah mencalonkan diri menjadi ketua kelas, tapi dengan seenaknya saja mereka menunjukku, Luhan terus merutuk dalam hati sepanjang koridor. Sebagai ketua kelas, dia bertugas mengantarkan buku-buku milik teman satu kelasnya untuk dikumpulkan di ruang guru. Pandangannya pun saat ini sangat terbatas karena terhalang tumpukan buku.
Saat sampai di depan ruang guru, Luhan kesulitan untuk membuka pintu. Ia berusaha membuka pintu dengan mendorongnya menggunakan kaki saat dirasa tangannya tak mampu meraih kenop.
"Butuh bantuan?" Luhan terkejut saat beberapa buku paling atas yang dibawanya terangkat sendiri. Membuat penglihatannya tak terhalang lagi untuk melihat apa yang ada dihadapannya. Mata Luhan membelo dengan mulut yang terbuka lebar mengenali sosok si pelaku.
"K-kau?" Si pelaku hanya menatap datar Luhan yang berekspresi konyol.
Bruk! Luhan oleng karena dengan seenaknya orang itu menumpuk kembali buku yang tadi diangkatnya.
"Yak! Apa yang–" ucapan Luhan terpotong karena tubuhnya didorong ke dalam ruang guru –sebelumnya orang itu telah membuka pintunya–. Luhan memutar kepalanya, mendelik pada pria yang tadi mendorongnya. Pria itu mengangkat dagunya, memberi isyarat pada Luhan untuk segera masuk. Berpaling dari pria itu, Luhan dengan cepat melangkah masuk dengan kaki dihentak-hentakan.
― It's Me ―
"Sudah selesai dengan urusanmu, Nyonya Xi?" Luhan terperanjat hebat mendengar suara seseorang sesaat setelah ia membuka pintu. Menemukan orang yang sama sedang bersandar pada loker di dekat pintu ruang guru.
'Jadi benar ia bersekolah disini.' Luhan mengamati penampilan orang itu dari ujung sepatu sampai ujung rambut.
"Kau tidak berniat membayar hutang-mu?"
"Eoh?" Luhan memfokuskan pandangannya pada teman satu sekolahnya itu. Pria itu melangkah mendekat pada Luhan.
"Bubble tea-ku. Kau melupakannya?" Pria berhenti tepat di depan Luhan. Merundukan kepalanya, mensejajarkan wajah mereka. Wajahnya mendekat saat Luhan tak kunjung menjawab. Luhan menatap waspada orang di depannya yang terus mendekatkan wajah mereka tanpa berkedip. Dengan cepat Luhan menutup mata saat yakin wajah pria itu berjarak tipis dengannya.
Tuk!
"Yak!" Luhan membuka matanya, mendorong keras bahu Sehun.
'Oh, jadi nama manusia ini, Sehun. Oh Sehun." –Luhan sempat melirik name tagnya.
Luhan menatap sangar Sehun dihadapannya dengan tangan mengelus keningnya yang menjadi sasaran sentilan.
"Pulang sekolah aku menunggumu di gerbang. Kita ke kedai bersama." Sehun berjalan dengan langkah lebarnya meninggalkan Luhan yang mematung. Tangan wanita itu masih setia di keningnya walaupun sudah berhenti mengelusnya. Ia sedang berusaha menormalkan frekuensi degupannya karena kejadian barusan.
'Aish! Ada apa dengan jantungku? Memangnya apa yang aku harapkan, hah? Dia menciumku? No!' Dengan pipi yang merona hebat, Luhan berjalan cepat berlawanan arah dengan Sehun tadi.
― It's Me ―
Sehun sejak tadi sudah berdiri di depan gerbang menunggu Luhan. Matanya tidak melepaskan satu orangpun yang melewati gerbang. Namun hingga beberapa menit terbuang, ia tak juga melihat keberadaan Luhan.
"Apa dia sudah keluar sebelum aku disini?" Sehun memikirkan berbagai kemungkinan dimana Luhan sekarang. Terlalu sibuk dengan pikirannya, membuat Sehun tidak menyadari kehadiran seseorang dihadapannya.
Melihat mata Sehun yang tidak fokus padanya, Luhan menyimpulkan bahwa Sehun tidak menyadari keberadaannya.
"Kau melamun?" Luhan melambaikan tangannya tepat dihadapan wajah Sehun.
Sehun terlonjak. Dengan cepat ia mengontrol kembali ekspresinya sebelum menatap Luhan datar.
"Ani." Menangkap tangan Luhan yang masih terangkat dihadapannya lalu menariknya keluar gerbang meninggalkan sekolah.
"Yak–" Luhan ingin protes atas tidakan Sehun yang seenaknya. Tapi, jantungnya lebih dulu menyela sebelum suara Luhan berhasil keluar. Jantungnya berdetak di atas normal lagi.
'Aish! Kenapa jantungku selalu berulah saat bersama Sehun?'. Luhan menghelas nafas keras.
Mungkin Luhan hanya terkejut karena Sehun yang menarikki tiba-tiba, atau...
Karena tangan Sehun yang masih menggenggam tangannya walaupun mereka telah sampai di halte bus.
― It's Me ―
Hari ini Cofioca tidak terlalu ramai. Banyak orang lebih memilih membawa pulang pesanannya daripada menghabiskannya di sini. Karena banyak meja yang kosong, Luhan dan Sehun memilih meja di pojok kedai. Luhan hendak melangkah pergi setelah meletakkan tasnya di kursi sebelum suara Sehun menginstrupsi.
"Mau kemana kau?" Luhan menoleh dengan wajah bingung.
"Tentu saja memesan bubble tea. Kau kira apalagi?"
"Kau tau rasa apa yang ku inginkan?" Sehun menaikan salah satu alisnya.
"Taro?" Luhan menjawab ragu. Waktu itu Sehun membeli rasa taro, bukan? Jadi sudah pasti taro adalah rasa kesukaan Sehun.
"Sok tahu! Coklat. Aku ingin coklat." Sehun bersikap seolah ia raja yang sedang memerintah pada pelayannya.
"Eoh? Bukankah waktu itu kau membeli rasa taro?" Luhan menelengkan kepalanya.
Sehun memalingkan wajahnya dari Luhan.
'Bahkan caranya menggerakan kepala mereka sama. Ia juga suka menelengkan kepalanya seperti itu jika sedang bingung. Dan itu terlihat imut...' Sehun tersenyum kecil mengingatnya.
'...tidak berbeda jauh dengan Luhan.' Sehun menggelengkan keras.
'Ada apa dengan otakmu Sehun?' –Sehun merutuk dalam hati.
"Hei! Kau baik-baik saja?" Luhan mengguncang bahu Sehun. Sehun berhenti menggelengkan kepalanya. Menyadari Luhan yang tetap diam memaksanya melirik anak itu.
"Apalagi yang kau tunggu?" Luhan mngerjapkan matanya beberapa kali seraya menarik tangannya dari bahu Sehun.
"Ja–di.. kau ingin rasa apa?"
"Bukankah aku sudah mengatakannya? Coklat. Aku ingin rasa coklat, Luhan." Sehun menjawab Luhan jengkel.
Luhan baru saja ingin bertanya, tapi–
"Waktu itu aku membeli rasa taro hanya karena ingin." Sehun memotong. Dia tau persis apa yang akan Luhan tanyakan.
Luhan membulatkan matanya. "Kau tidak boleh begitu! Seharusnya kau tetap membeli rasa coklat! Dengan begitu aku tidak akan kehabisan rasa taro dan merebut bubble tea-mu!" Luhan menunjuk-nunjuk Sehun tepat di depan hidungnya. Menjengkelkan. Seharunya Sehun tetap membeli rasa coklat agar dia tidak kehabisan rasa taro.
"Toh kau juga yang mendapatkannya. Kau tahu? Aku harus membeli lagi karena kau membawa kabur milikku." Sehun menurunkan jari Luhan yang masih menundingnya dan menatapnya malas.
"Aish! Tidak usah membahasnya lagi." Luhan dengan cepat berjalan ke counter.
Bukankah ia duluan yang membahasnya?' Sehun tersenyum kecil melihat tingkah Luhan.
'Aku seperti melihatmu dalam diri Luhan. Dan aku bersyukur dipertemukan dengan Luhan setelah kau pergi' –Sehun membantin dengan pandangan yang tidak melewatkan sekecil apapun gerakan Luhan.
― It's Me ―
Sejak saat itu, Sehun mencoba menjalin hubungan baik dengan Luhan. Dan respon Luhan yang baik membuat mereka cepat menjadi sangat dekat. Tidak ada yang mereka sembunyikan satu sama lain. Memutuskan memasuki universitas yang sama setelah lulus menbuat hubungan mereka terus berlanjut. Seperti gula dan semut, dimana ada Luhan pasti ada Sehun, begitupun sebaliknya. Seiring berjalannya waktu, salah satu dari mereka menginkan hubungan yang lebih. Setelah semua yang mereka lewati, mempunyai hubungan yang lebih merupakan hal yang wajar. Tapi, yang lainnya justru hanya melihatnya sebagai sosok lain. Bukan dirinya sendiri.
Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk selalu menjagamu, Lu. Setelah semua yang kau berikan, aku menyadari bahwa kau seharusnya memiliki tempat sendiri di hatiku. Aku sudah menyiapkannya dan aku akan memberikannya padamu suatu saat nanti, saat aku siap. Tapi maaf, posisinya masih sama seperti dulu. Dia memimpin paling depan.' –Sehun
― It's Me ―
Sehun dan Luhan masih terlihat asik di bangku kantin. Minuman yang tadi masih tersisa setengah sekarang hanya menyisakan wadahnya yang kosong. Terlihat Luhan yang lebih banyak berbicara sementara Sehun sebagai pihak yang menanggapi. Tapi ketika Sehun membuka suara –entah apa yang dikatakannya– selalu berhasil membuat Luhan tertawa ataupun memunculkan rona merah dikedua pipi Luhan.
"Kyungie-ya!" Luhan berteriak kencang saat dirinya melihat sosok mungil bermata doe di depan pintu kantin bersama seorang namja.
"Eoh?" Matanya yang bulat berkeliaran mencari orang yang tadi memanggilnya.
"Kyungie-ya, bogoshippo~" Sebelum orang itu dapat menemukan objek yang dicarinya tiba-tiba saja seseorang memeluknya dari samping.
Kyungsoo menoleh, mendapatkan sang sahabat yang ternyata tengah memeluknya.
"Yak, Xi Luhan! Bisakah kau tidak berteriak? Kau menjadikan kita pusat perhatian." Seorang yang berdiri disisi lain Kyungsoo memprotes tingkah Luhan.
"Wae? Kau tidak suka,eoh? Kau tidak tahu betapa aku merindukan sahabatku ini." Balas Luhan cuek dengan semakin mengeratkan pelukannya pada Kyungsoo. Jongin –orang yang berada disisi lain Kyungsoo– hanya mendengus keras.
Sehun mengangkat tangannya memberi gesture agar mereka segera ke mejanya. Jongin yang melihat Sehun bergegas menghampirinya dan duduk disebelahnya, sementara Luhan masih terus memeluk Kyungsoo sepanjang jalan sampai bokongnya kembali menempel pada bangku kantin.
Kyungsoo tersenyum geli, mengelus tangan Luhan yang masih setia memeluknya. "Aku juga merindukanmu, Lu"
Luhan melepaskan pelukannya dan tersenyum manis pada Kyungsoo sebelum meminum jus yang tadi baru dipesan Jongin untuk dirinya dan Kyungsoo.
"Yak! Itu milik Kyungsoo." Jongin menarik sedotan yang masih menempel dibibir Luhan, membuat Luhan mendengus keras.
"Bagaimana liburanmu?" Luhan bertanya dan kembali memfokuskan diri pada Kyungsoo.
"Tentu saja dia menghabiskan liburannya bersamaku." Jongin yang menjawab dengan tangan yang dilipat di dada seraya menatap Luhan seolah membanggakan diri.
"Aku bertanya pada Kyungsoo, bukan denganmu, Kkamjong. Dan apa? Kau bangga hanya dengan hal seperti itu? Cih." Luhan menggulirkan lensanya pada Kyungsoo, masih menuntut jawaban darinya.
"Ya, seperti yang Jongin bilang. Aku menghabiskan liburanku bersamanya." Kyungsoo menjawab.
"Sudah kukatakan bukan?" Luhan hanya mendengus –lagi– mendengar Jongin.
Jika boleh jujur, sebenarnya Kyungsoo merindukan perdebatan antara Luhan dan Jongin. Melihat mereka berdebat kadang membuatnya tergelak sendiri. Luhan dan Jongin bagaikan Tom and Jerry jika sudah bertemu dan ini menjadikan hiburan tersendiri untuk Kyungsoo. Selama liburan dia tidak bisa melihatnya, bukan?
"Lalu apa yang kalian lakukan? Tidak mungkin hanya menghabiskan waktu di rumah saja, kan?" Luhan masih terus mengintrogasi, belum puas atas feedback yang didapatnya.
"Apalagi selain menghadiri pertamuan keluarga dan membahas pertunangan yang akan segera dilakukan." Kyungsoo mengedikkan bahunya.
"Dan kita menghabiskan beberapa malam suntuk bersama, Baby." Jongin menambahkan yangmana mendatangkan hadiah cubitan sayang dari sang tunangan.
"Yak! Apa kalian lupa saat mengajakku pergi?" Sehun akhirnya bersuara.
"Ya, ya, ya, Tuan Oh. Kita memang mengajakmu pergi. Sekali." Jongin mengacungkan satu jarinya dengan menekankan kata sekali.
"Kau terlalu sibuk dengan perusahaan Appamu, kau tahu?" Jongin memasang ekspresi seolah mengasihani masa remaja Sehun yang menurutnya terbuang sia-sia karena harus sibuk dengan perusahaan Appanya. Walaupun Jongin juga sering turun tangan membantu Appanya di kantor, tapi ia tidak sesibuk Sehun.
Sambil menunggu kelas berikutnya, mereka terus melanjutkan acara mari-berbagi-cerita-saat-liburan. Luhan merupakan orang yang paling bersemangat bercerita. Karena bisa ditebak hanya Luhan yang berlibur dengan normal. Sehun sibuk membatu Appanya sementara Jongin dan Kyungsoo akhir-akhir ini disibukkan dengan persiapan pertunangan mereka.
― It's Me ―
"Mau pulang bersama?" Sehun bertanya pada Luhan yang baru saja keluar dari kelasnya. Sedari tadi ia menunggu Luhan setelah kelasnya usai.
"Aku rasa tidak hari ini. Aku harus ke ruang musik setelah ini." Luhan menjawab seraya berjalan beriringan dengan Sehun.
"Eh? Bukankah hari ini tidak ada jadwal untuk klub musik?" Sehun bertanya heran. Pasalnya hari ini bukan jadwal Luhan untuk latihan.
"Ya memang, hanya saja ada beberapa urusan yang harus dibicarakan dengan anggota lain."
"Apa perlu aku menunggumu?" Luhan menatap Sehun dan memberikan senyumannya. Dia selalu senang saat Sehun memperhatikannya.
"Tidak perlu. Aku akan meminta jemput Yu Ajjushi saat sudah selesai. Kau pulanglah duluan." Luhan tidak mungkin membiarkan Sehun kebosanan menunggunya yang dia sendiri bahkan tidak tahu akan memakan waktu berapa lama.
"Luhan! Sehun!" Kepala mereka serempak menoleh saat mendengar seseorang memanggilnya. Ternyata Kyungsoo dan Jongin.
"Ayo ke ruang musik bersama." Kyungsoo mengajak Luhan saat dirinya sudah sampai dihadapan Luhan. Luhan mengangguk mengiyakan ajakan Kyungsoo.
"Kajja!" Luhan menggenggam salah satu tangan Kyungsoo.
"Sehun-ah, kami duluan." Sehun hanya tersenyum dan menganggukan kepalanya.
"Yak! Kau tidak pamit padaku?!" Jongin berteriak pada Luhan yang sudah menarik Kyunsoo menjauh. Kedua wanita itu hanya menghiraukan seruan Jongin tanpa berniat berbalik.
"Sudahlah, Jongin." Sehun hanya geleng-geleng kepala, merangkul pundak Jongin dan menggiringnya menuju parkiran. Sehun tidak habis pikir kenapa Jongin dan Luhan suka sekali memperdebatkan hal-hal kecil jika sudah bersama.
.
.
.
.
.
To Be Continue
