Tempat Berbeda
Chapter 1 : Perbedaan
Twoshot
Naruto © Masashi Kishimoto
Warning :
AU, OOC, Abal, Gaje, Typo dkk.
Don't like? Don't read and don't flame
Poetry, Angst, Friendship dan sedikit Romance
Keterangan :
Italic + bold = penggalan puisi
Italic = kata-kata asing dan beberapa kata yang bermakna tertentu
For SIVE (ShikaIno Valentine Event)
.
.
.
Perbedaan…
Bagaikan sekat tipis sebuah dinding pembatas…
Perbedaan…
Bagaikan jurang transparant dalam lorong kehidupan,
Perasaan…
Yang mungkin tak akan pernah tersampaikan,
Mungkin…
.
.
.
Tempat Berbeda
Shikamaru x Ino
.
.
© Ai Kireina Maharanii
.
Friday, February 11th, 2011 at 22.05 p.m. ANSA (Agencia Nazionale Stampa Association) Office.
'Tik tik tik'
Suara tuts keyboard yang sedang di tekan dengan lincahnya oleh sang pemilik laptop tersebut. Seorang pemuda berusia sekitar 23 tahunan masih sibuk berkutat dengan laptop kesayangannya. Tak mengindahkan sedikit pun rasa dingin yang terus menerus menusuk tulang sum-sumnya. Dan keheningan malam pun, masih setia menemaninya.
Tok tok
Kini, berganti suara pintu ruang kerjanya yang di ketuk. Tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun, ia hanya menjawab datar, "masuk."
Cklek
Pintu pun berhasil di buka. Menampakkan siluet seorang gadis cantik beririskan biru aquamarine dengan rambut pirang sebahu yang di kuncir kuda menambah sosok mempesonanya. Sungguh mempesona.
Gadis ini, berjalan pelan mendekati sosok sang pemuda yang sedang duduk di kursinya. Sebisa mungkin, langkah kakinya dibuat sangat pelan. Tak ingin mengganggu konsentrasi sang pemuda sedikit pun.
"Shika, ini sudah malam. Apa kau tidak pulang?" tanya gadis ini hati-hati.
"Sebentar lagi."
"Hah, pasti tadi siang lupa dikerjakan, begitu? Gara-gara kamu ketiduran, heh?" omel gadis ini sambil menatap kesal gemerlap lampu-lampu malam kota Roma, Italia yang Nampak menawan tersebut. Ya, terlihat dengan jelas dari sini. Dari sebuah gedung yang amat sangat tinggi.
Malam ini, begitu sepi dan dingin.
Iris onyx sang pemuda dialihkan pada gadis ini. Ia menatap dingin seperti biasanya. "Pulanglah Ino, ini sudah malam. Ayahmu pasti khawatir."
'Maafkan aku Ino.' Sesal sang pemuda dalam hati. Pemuda ini adalah Nara Shikamaru. Seorang pegawai Kantor Berita Internasional di Italia bernama ANSA kepanjangan dari Agencia Nazionale Stampa Association. Dan Shikamaru pun hanya seorang pegawai biasa yang sangat pemalas namun jenius. Ia adalah bawahan dari ayah sang gadis-Yamanaka Ino.
Berbeda dengan Shikamaru yang seorang pegawai, Ino hanyalah seorang mahasisiwi fakultas kedokteran. Padahal, umur mereka tak jauh beda. Hanya berbeda satu tahun, dengan Shikamaru lebih tua dari Ino.
Mereka berdua, adalah sepasang insan manusia yang saling mencintai. Namun, karena perbedaan materi menjadikan mereka seperti terbatasi oleh dinding pembatas yang transparant.
Perbedaan.
Ya, perbedaan. Karena perbedaan inilah Shikamaru sangat enggan untuk mengutarakan isi hatinya yang sebenarnya. Ia merasa sangat tak pantas jika harus bersanding dengan Ino. Karena ia hanyalah seorang pemuda yang lahir di keluarga yang sederhana. Tak seperti Ino yang lahir di keluarga yang kaya raya.
Aku mencoba,
Melupakan semua tentangmu…
Ya, semua.
Karena kita ini berbeda.
Dan perbedaan ini,
Membuatku merasa sangat tak pantas untuk,
Dirimu…
Ino memutarkan kedua bola mata aquamarine-nya kecewa. Selalu. Ya, selalu. Shikamaru selalu menolak kehadiran Ino disampingnya. Gadis ini, hanya menghela napas berat dan pasrah. "Baiklah, aku pulang duluan ya Shika. Good night…"
"Good night, too…"
Setelah Ino pergi, Shikamaru kembali berkutat dengan laptop kesayangannya. Shikamaru, sebenarnya ia pun sudah mengantuk dan sangat ingin segera mengatupkan kedua kelopak matanya yang sangat lelah. Mengistirahatkan dirinya untuk segera tertidur di atas kasur empuk kesayangannya.
Tapi niat itu, ia urungkan dengan cepat. Ia sudah bertekad untuk menyelesaikan bait-bait terakhir puisi ciptaannya ini. Memang, Shikamaru bukanlah seorang pujangga yang pandai merangkai rangkaian puisi. Ia pun, bukan seorang yang romantis bagi seorang gadis. Namun ia berusaha. Berusaha sebaik mungkin agar ia pantas bersanding dengan gadis yang dicintainya-Yamanaka Ino.
Terkenang…
Sebuah perasaan yang selalu terpendam…
Menorehkan sebuah luka dalam kalbu…
Perbedaan…
Membuatku terjerat dalam kemelut cinta,
Yang rumit…
TAP
Setelah menyelesaikan bait terakhir puisinya, Shikamaru segera mematikan dan menutup laptopnya, lalu memasukkannya ke dalam tas.
Shikamaru berdiri dan siap meninggalkan Kantor Berita ANSA yang penuh kenangan ini. Dengan langkah yang berat, Shikamaru keluar dari ruang kerjanya. Kemudian menuruni tangga dan berhasil keluar dari dalam kantor yang sudah sepi dan hanya tinggal beberapa orang lagi.
Drap drap
Derap langkah kakinya yang berjalan menelusuri jalanan kota Roma yang dingin nan gelap, karena hanya ada sedikit penerangan lampu di malam ini.
Sepi.
Iulah keadaa jalanan sat ini. Yah, pantas saja waktu sudah menunjukkan pukul 22.45 p.m. Dimana saatnya semua orang terlelap diatas kasur empuknya dan berlayar di alam mimpi. Mimpi yang hanya milik mereka seorang. Tak ada yang lain. Tak ada.
Sesekali, ia mengusap-ngusapkan kedua tangannya mencari kehangatan di tengah-tengah dinginnya malam. Namun, gosokkan tangan saja tak cukup untuk menghangatkan tubuhnya saat ini. Karena, yang bisa menghangatkannya, hanya satu. Hanya gadis itu saja-Yamanaka Ino.
Baginya, rasa dingin ini tak sebanding dengan rasa perih yang dirasakannya saat ini.
Ia terus berjalan menelusuri jalanan kota Roma yang sepi nan gelap, tanpa mengindahkan apapun. Setelah cukup lama ia berjalan, akhirnya ia sampai juga di sebuah apartment sederhana di ujung jalan yang ia lalui. Tanpa ragu, Shikamaru pun masuk ke dalamnya dan segera mengganti pakaiannya yang kotor menjadi bersih.
Shriiittt
Ia menyeduh secangkir teh hangat untuk membuat dirinya merasa lebih baik. Kemudian, ia membereskan barang-barangnya yang masih berceceran tak karuan.
Setelah semuanya selesai, ia pun segera membaringkan tubuhnya di atas kasur untuk segera pergi berlayar ke alam mimpi yang hanya miliknya seorang. Hanya miliknya.
.
.
.
Sendiri…
Hidupku selalu sendiri.
Tiada cinta dan kasih kini…
Karena mereka,
Telah pergi untuk selamanya…
.
.
.
Saturday, February 12th, 2011 at 06.00 a.m Shikamaru's Apartment
Kriing kriing
Suara bising alarm itu berhasil membuat Shikamaru terbangun dari alam mimpinya. Suara itu membaur ke seluruh ruangan. Menjadikan ruangan yang sepi itu menjadi berisik.
"Hoamm…" Shikamaru menggeliat malas di atas kasur empuknya dan membuka malas kelopak matanya. Kemudian mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Menatap bosan jam yang menempel di dinding kamarnya. "Sudah jam enam yah? Hah…"
Ia pun bangun dan segera bersiap-siap untuk pergi bekerja.
"Hari yang membosankan."
Selalu kalimat itu yang ia ucapkan di pagi hari. Kalimat yang mengawali aktifitasnya setiap hari.
Benar memang, apa yang di katakan Shikamaru. Ia seharian bekerja di kantor tersebut, hanya diam menatap layar laptopnya. Dan terkadang, ia harus menulis diatas sebuah buku tebal yang menurutnya itu semua merepotkan. Tapi mau bagaimana lagi, mencari kerja di jaman sekarang ini memang susah. Jadi, ia terima apa adanya saja.
Setelah aktifitas paginya selesai, ia bersiap-siap untuk berangkat bekerja. Shikamaru menyambar asal jaket yang tergantung di sebelah pintu kamarnya dan segera pergi meninggalkan apartmentnya.
Seperti biasa, Shikamaru berjalan menelusuri jalanan kota Roma yang dingin. Tidak seperti di malam hari yang sepi, karena setiap pagi hari, semua orang akan berangkat bekerja ke tempat masing-masing menjadikannya sangat ramai.
Tapi, ada yang sama antara malam dan pagi. Ya benar, hawa dingin yang selalu saja bisa menusuk menerobos jaket tebal miliknya.
.
.
.
Dingin…
Tak cukup membuatku menggigil.
Dingin…
Tak cukup membuatku sakit…
Karena hanya engkaulah cinta,
Yang bisa membuat itu semua…
.
.
.
ANSA (Agencia Nazionale Stampa Association) Office at 11.45 a.m.
"Shika, apa kau sedang sibuk?" seorang gadis pirang masuk secara tiba-tiba kedalam ruangan kerja Shikamaru.
"Tidak." Tanpa merubah posisi duduknya, Shikamaru menjawab datar. Dan sambil terus menatap langit siang yang biru cerah itu. "Sudah pulang?"
"Ya. Hari ini tak ada jadwal tambahan, jadi aku pulang cepat. Shika, apa kau sudah makan siang?" tanya Ino lalu mendekat kearah Shikamaru, dan duduk di sebuah kursi dekat Shikamaru.
"Belum."
"Ini kan sudah waktunya makan siang? Eh Shika, temenin aku makan yuk?"
Shikamaru mengela napas perih lalu membalikkan kursi putarnya. 'Kali ini, aku tak boleh mengecewakannya.' batinnya. "Baiklah, aku mau. Lagipula, hari ini pekerjaanku sudah selesai."
Mata biru aquamarine Ino yang sejernih langit itu pun Nampak bersinar tanda senang. "Merci, Shika."
"Oui."
.
.
.
Jarak materi,
Memang bisa diukur dengan jari…
Tapi, jarak dalam hati,
Hanya bisa diukur dengan waktu,
Cinta…
.
.
.
"Ino."
"Ya?"
"Kenapa kau selalu ingin bersamaku?" tanya Shikamaru ketika mereka baru saja sampai, dan sedang melihat-lihat daftar menu.
"Eh." Ino berblushing ria, tidak tahu harus menjawab apa. "Hmm, ya ingin saja. Memang kenapa? Tidak boleh, heh?"
Shikamaru menyeringai tipis. Membuat wajah Ino mau tak mau harus memerah lagi. "Tidak. Tentu saja boleh."
"Shika, mau pesan apa?"
"Capuccino con cioccolato saja," kata Shikamaru malas tanpa melihat daftar menunya sedikit pun.
"Makanannya?"
"Pas. Merci," jawabnya sambil sedikit menguap.
"Oh." Ino hanya ber'oh' ria mendengar perkataan Shikamaru. 'Kita kesini kan mau makan. Kalo cuman minum saja sih, di kantor juga banyak.' gerutunya kesal dalam hati.
"Excusez-moi. Serveuse, je veux comamander un verrede Cappuccino con Cioccolato, Gelatto, et pizza," pesan Ino pada seorang pelayan yang tadi menghampirinya.
"Oui, maitresse. Attendez une minute," jawab pelayan tadi ramah kemudian berlalu untuk membuatkan pesanan Ino.
Hening.
Tak ada satu pun diantara mereka yang membuka pembicraan. Yang terdengar, hanyalah sura musik klasik yang diputar oleh sang pemilik Café.
Setelah 5 menit menunggu, akhirnya sang pelayan datang dengan membawakan pesanan Ino.
"S'il vous plait," kata sang pelayan ramah sambil menyimpan pesanan Ino tadi di atas meja.
"Oui, merci," ujar Ino sambil tersenyum manis kearah sang pelayan, dan hanya dibalas anggukan.
Setelah tugasnya selesai, sang pelayan pun pergi meninggalkan Shikamaru dan Ino berdua. Membiarkan mereka menikmati makanannya.
"Hmmm... yummy..." Ino pun segera melahap makanannya. Sedangkan Shikamaru, ia hanya meminum pelan minumannya.
"Shika, aku rindu sekali air mancur Fontana. Maukah kau mengantarku?" pinta Ino penuh harap.
"Hoamm..." Shikamaru mengucek matanya pelan. "Air mancur Fontana yang ada di persimpangan via di San Marcello dan via delta Muratte itu?" tutur Shikamaru dengan malas.
Ino menatap bosan lelaki yang berada di hadapannya ini. "Yaiyalah. Emang ada berapa sih?" Ino mendengus kesal. Bagaimana tidak, lelaki yang satu ini selalu saja bisa mencari alasan untuk membuatnya kesal.
"Hah, genant..." Shikamaru menguap lebar. Membuat kemarahan Ino semakin menjadi-jadi. "Iya, iya..." jawab Shikamaru mengalah.
Ino tersenyum puas. "Ayo..."
Shikamaru dan Ino pun segera pergi meninggalkan Café tersebut. Setelah membayar tentuya.
.
.
.
Kau…
Adalah gadis pertama yang bisa mengalahkanku,
Membuatku mengalah dan menyerah…
Kau…
Adalah orang pertama yang mengajarkanku arti hidup…
Karena kau…
Aku tak pernah lagi menyesal,
Menyesal Karena aku pernah di lahirkan kedunia ini…
.
.
.
"Indah bukan?" Ino berlari dengan penuh kegembiraan di sekitar air mancur ketika mereka baru saja turun dari motor Shikamaru.
"Hoamm, begitulah…" Shikamaru kemudian duduk diatas kursi taman dengan posisi menyender pada kursi. Ia menatap langit siang hari yang silau ini. Ia menutup matanya sebentar. Merasakan aliran angin yang menerpanya dan memberikan susuana sejuk di siang hari ini.
Tanpa menghiraukan Shikamaru, Ino pun mendekat kearah air mancur Fontana. Disana, terlihat dengan indahnya pantulan sinar matahari diatas airnya yang jernih. Ino terkagum-kagum. Sudah lama ia tidak kesini semenjak ibunya meninggal beberapa tahun silam.
"Aku merindukannya."
Mendengar suara parau Ino, mau tak mau Shikamaru pun membuka matanya dan melihat kearah Ino yang sedang memainkan air mancur itu. "Sudahlah Ino."
Hampir saja Ino menangis jika ia tidak mendengar ucapan Shikamaru tadi. Namun, segera ia mengelap matanya yang sudah sedikit berkaca-kaca. Ia tersenyum miris kearah Shikamaru.
Shikamaru, Ino.
Mereka berdua sama-sama rapuh. Rapuh karena tak mempunyai sandaran hati. Hanya karena sebuah perbedaan materi, membuatnya menjadi seperti ini.
Kesepian.
Selalu itu yang mereka rasakan. Kesepian, karena hatinya selalu kosong. Kosong, tak ada yang mengisinya.
"Jadi?" Shikamaru menaikkan sebelah alisnya bosan.
Ino tersenyum simpul. "Ayo pulang. Hari sudah mulai senja Shika."
Shikamaru pun berdiri kemudian menghampiri motor sport-nya yang mendadak ia bawa dari apartment-nya saat akan pergi makan siang bersama Ino.
.
.
.
Kebahagiaanmu…
Adalah kebahagiaanku juga…
Tapi, entah apa yang kurasakan sekarang.
Mungkin, waktuku sudah tak lama lagi,
Cinta…
.
.
.
Shikamaru's Apartment at 20.45 p.m.
"Hoamm…" Shikamaru menguap lebar tanda ia sudah benar-benar mengantuk. "Sedikit lagi."
Saat ini, ia sedang merangkai rangkaian puisi untuk sang pujaan hati. Ia sudah bertekad untuk memberikan ini besok malam, yakni di malam menjelang hari Valentine. Malam yang akan sangat bersejarah baginya.
Bosan.
Sudah terlalu lama ia menunggu. Sudah terlalu sakit ia menanti. Bosan. Itulah yang terus selalu ada pikirannya. Menunggu hari demi hari untuk mencari saat-saat yang tepat. Dan besok malam, adalah hari yang tepat untuk menungkapkannya.
Srekk
Shikamaru menyeringai puas melihat hasil jerih payahnya selama ini. Ia lalu memasukkan kertas tadi ke dalam sebuah amplop berwarna ungu cerah, dengan hiasan dua buah hati di sudut atasnya yang berwarna putih. Sedikit corak mawar putih dan dedaunan hijau turut memperindah siluet amplop mungil ini.
"Yap. Hanya tinggal membeli beberapa tangkai bunga mawar saja," gumamnya puas kemudian meletakkan amplop tadi diatas meja kerjanya. "Hoamm… saatnya tidur." Shikamaru pun segera membaringkan tubuhnya diatas kasur untuk bermimpi. Mimpi yang hanya miliknya seorang. Hanya miliknya seorang.
.
.
.
Esok…
Akan kuutarakan semuanya padamu…
Apapun yang terjadi,
Aku akan melindungimu selalu…
Selamanya, cinta…
.
.
.
Sunday, February 13th, 2011 at 07.45 a.m Shikamaru's Apartment
Trililit… trililit…
Suara ponsel Shikamaru bordering nyaring. Mengisi bunyi di ruangan Shikamaru yang sunyi senyap. Dan dengan suksesnya membuat Shikamaru menggeram kesal karena ada yang mengganggu tidurnya di hari minggu.
"Hoammm…" Shikamaru membuka kelopak matanya malas. Dengan berat hati, Shikamaru mengambil ponsel yang tadi mengganggunya. "Hallo?"
"Shika, apakah hari ini kamu ada acara?" ucap seorang gadis diseberang telpon yang langsung saja nyerocos tak jelas.
Dari suaranya saja, Shikamaru sudah tahu siapa yang menelponnya pagi hari ini. "Hah, ada apa Ino? Hari ini kan hari minggu. Mana mungkin aku ada acara diluar. Palingan juga tidur dirumah, huh…"
"He, kamu ini kerjaannya cuman tidur dan tidur. Tolong antar aku ke Colosseum. Aku ada tugas," pinta Ino, atau lebih tepatnya ia memaksa Shikamaru agar mau mengantarnya.
"Ah, troublesome…"
Ino menggeram marah dibalik telponnya. "Ayolah Shika. Dan berhentilah mengucapkan kalimat tak berarti itu…"
"Ck, yasudah. Aku akan menjemputmu jam sepuluh, setuju?" akhirnya, Shikamaru kembali mengalah.
"Siang amat," protes Ino bersungut-sungut.
"Mau ku antar tidak?"
"Eh, iya iya deh. Aku tunggu, bye bye Shika…"
Tutt… tutt…
Sambungan telpon itu terpotong secara sepihak oleh Ino. Membuat Shikamaru mencibir kesal.
Selalu.
Ino selalu seenaknya saja pada dirinya. Namun entah kenapa, inilah yang menbuat Shikamaru mencintainya. Mencintai gadis yang ia anggap 'merepotkan' ini.
"Troublesome."
Dengan langkah yang berat, Shikamaru pun bangun dari tempat tidurnya dan segera bersiap-siap untuk pergi bersama Ino.
.
.
.
Symphony…
Yang tak bisa aku jelaskan sekarang…
Karena symphony ini,
Akan segera terlantunkan dengan sendirinya…
Tunggulah cinta,
Saat itu tiba…
.
.
.
"Shika, kau ini lama sekali sih." Ino mencibir kesal karena Shikamaru terlambat menjemputnya hampir setengah jam.
"Macet." Alasan yang sungguh sangat simple sekali bagi seorang Nara Shikamaru.
"Hah, yang benar saja. Kan kamu pake motor Shika?" kata ino tak percaya dengan jawaban asal Shikamaru.
"Ck, jadi atau tidak?" ujar Shikamaru mengalihkan pembicaraan yang sungguh sangat membosankan baginya.
"Iya jadilah." Ino pun segera menaiki motor sport milik Shikamaru.
Sangat jarang sekali Shikamaru menggunakan motornya. Karena selain ia jarang bepergian jauh, jarak kantor ANSA dan apartment-nya pun cukup dekat. Menjadikan Shikamaru hanya perlu berjalan kaki saja untuk sampai disana.
.
.
.
Terlalu cepat ku mencintaimu…
Terlalu cepat ku mengenalmu…
Dan
Terlalu cepat pula ku meninggalkanmu…
.
.
.
"Colosseum adalah… sebuah bangunan pertunjukan yang besar dengan… na-nama asli Flavian Amphitheatre dan didirikan oleh…" ino mulai mencatat hal-hal penting tentang Colosseum setelah tadi cukup lama berkeliling.
Jujur, walaupun Ino sudah lama tinggal di Roma, Italia, namun ia belum terlalu mengenal seluk beluk kota ini terlalu dalam.
"Oleh Raja Vespian dan terselesaikan oleh anaknya Titus," potong Shikamaru cepat karena ia sudah bosan berada di tempat bersejarah ini.
"Eh," Ino sedikit kaget. Tapi kemudian, tanpa buang-buang waktu lagi, Ino segera mencatat apa yang baru saja Shikamaru ucapkan.
"Ck, kalau cuman materi ini saja kan bisa dilihat dari buku sejarah Ino," gerutu Shikamaru yang sedari tadi hanya diam terduduk sambil memandangi Ino yang sibuk dengan pekerjaannya saat ini. "Cepatlah, ini sudah hampir sore."
"Sebentar, aku akan mengambil beberapa foto lagi," jawab Ino dengan santainya. "Eh, sore katamu? Ini kan masih jamdua Shika. Huh…"
Crash
Crash
Crash
Ino pun berhasil mengambil beberapa foto dari Colosseum dengan beberapa sudut pandang yang berbeda. Ia tersenyum puas melihat hasil kerjanya yang cukup memuaskan.
"Hei Ino! Kamu kan sekolah kedokteran, kenapa harus meliput Colosseum segala. Seperti reporter saja." Shikamaru menggelengkan kepalanya bingung.
"Ini untuk kliping tugas sejarahku…"
"Sudah belum? Aku ngantuk. Mau pulang."
"Ya sudah. Thanks Shika." Ino memperlihatkan senyun andalannya dan membuat Shikamaru membuang muka karena malu memperlihatkan wajahnya yang sedikit memerah. "Ehm, Shika aku ingin mampir dulu sebentar ke Café itu. Aku haus."
"Ah, troublesome."
"Ayolah. Aku yakin, kamu pun pasti haus. Biar aku yang traktir deh…" bujuk Ino sehalus mungkin.
Dan benar saja, hati lelaki ini pun luluh. "Okay, okay." Shikamaru pun akhirnya menyerah.
Kebersamaan…
Adalah hal yang sangat berharga bagiku…
Mengenagmu…
Adalah hal terindah yang pernah aku lakukan,
Cinta…
"Mau pesan apa?"
"Hmm…" Shikamaru melihat-lihat daftar menunya. Dan baru kali ini, ia memesan makanan atau minuman dengan melihat-lihat buku menu. Biasanya, ia hanya melihat menu yang di pampang dengan manisnya oleh sang pemilik toko di depan Café. "Capuccino Chip Freeze Saja."
"Ok. Excusez-moi. Serveuse, je veux commander un verrede Capuccino Chip Freeze et Capuccino Caramel," peasn Ino ramah pada sang pelayan seperti biasanya.
"Oui."
5 menit berlalu. Akhirnya sang pelayan pun datang membawakan pesanan Ino.
Ino dan Shikamaru pun segera meminumnya karena haus.
"Ino."
"Ya?"
"Apakah malam ini kamu ada acara?" seperti biasanya. Shikamaru lah yang pertama kali membuka pembicaraan diantara mereka.
"Sepertinya tidak. Memang kenapa?" jawab Ino menerka-nerka jadwalnya malam ini.
"Kalau begitu, malam ini aku tunggu kamu di Monte Mario Hills jam Sembilan malam."
"Apa tidak terlalu malam?"
"Tidak."
"Baiklah, aku akan datang. Sekarang ayo pulang," kata Ino kemudian pergi keluar dari Café tersebut bersama Shikamaru. Dan setelah membayar tentunya.
"Oui."
.
.
.
Malam ini…
Aku siap menghadapi semuanya..
Semua resiko itu…
Apapun itu,
Cinta…
.
.
.
Monte Mario Hills at 21.00 p.m.
Shikamaru datang lebih cepat dibandingkan Ino. Ia mengenakan kaos pendek berwarna putih dengan sedikit motif daun di depannya dan celana jeans hitam yang panjang. Malam ini, ia Nampak rapih. Tak lupa, sebuket bunga yang berisikan 7 tangkai mawar merah dan 7 tangkai mawar putih yang sudah diselipkan sepucuk surat oleh Shikamaru kemarin malam, sudah siap ditempatnya.
"Shikamaru…" seorang gadis anggun menghampirinya.
Shikamaru pun menoleh. Dirinya terpana. Terpana melihat siluet gadis yang ia kenal dan Nampak cantik malam ini. Gadis ini, memakai dress berwarna biru langit yang senada dengan warna matanya. Sebuah hiasan pita berwarna putih polos melingkar di pinggang sang gadis. Beberapa motif kupu-kupu turut mempercantik sang gaun. Rambut pirangnya yang biasa ia kuncir, kini tergerai bebas. Dengan hiasan bando berwarna putih bermotif mawar ungu sangat anggun di pakainya. Tak luput dari keindahan dress-nya. Kaki jenjangnya pun ia lengkapi dengan sepatu berhak sedang berwarna putih. Wajah putihnya hanya dipoles sedikit bedak. Sangat berkesan natural.
"Ino." Shikamaru pun berdiri lalu menghampiri Ino. "Kau cantik sekali."
"Eh," Ino tersipu malu mendengar perkataan Shikamaru. Mereka pun segera duduk dibawah pohon zaitun yang tepat berada diatas bukit.
"Ino, tempat ini indah bukan?" ujar Shikamaru sambil memperhatikan kerlap-kerlip lampu malam kota Roma yang bagaikan kunang-kunang di malam hari itu. Meskipun gelap, tempat ini sangat indah. Sangat.
"Ya Shika. Indah sekali. Indah. Aku… aku sangat menyukainya."
"Ino."
"Ya?"
Shikamaru menarik napas dalam-dalam. "Aku mencintaimu, Ino." Akhirnya, kata-kata itu terucap juga dari bibir Shikamaru. Kata-kata yang selalu membuatnya tersiksa. "Me too." Ino menjawab senang.
Tes
Setetes cairan likuid sebening kristal itu menetes dari aquamarine Ino yang jernih. Lama. Ya, sudah lama sekali Ino menanti saat-saat seperti ini. Bahagia. Itulah keadaan mereka saat ini.
"Ino…" Shikamaru menarik napas dlam-dalam lagi. "Allez-vous etre mon amant?" kata Shikamaru sambil menyodorkan sebuket bunga tadi.
"Oui. Biensur." Ino menjawab dengan suara yang bergetar. "Boleh ku buka surat ini?"
"Tentu."
Cinta
Cinta…
Aku, bukanlah seorang pujangga yang pintar merangkai,
Rangkaian kata…
Cinta…
Aku, bukanlah seorang lelaki yang romantis…
Karena,
Rumit jika harus aku ucapkan…
Sakit jika harus aku ungkapkan…
Dan,
Bimbang jika harus aku utarakan…
Memang,
Terkadang perbedaan bagaikan sebuah sekat tipis dinding pembatas…
Memang,
Terkadang perbedaan selalu membatasi semuanya…
Terkenang…
Sebuah perasaan yang selalu terpendam…
Menorehkan sebuah luka dalam kalbu…
Perbedaan…
Membuatku terjerat dalam kemelut cinta,
Yang rumit…
Perbedaan…
Membuatku merasa tak pantas untukmu,
Cinta…
Tapi sekarang,
Sudah saatnya aku ucapkan…
Dengan sebuah syair yang tak berarti ini…
Mungkinkah,
Perasaan ini akan tersampaikan padamu,
Cinta…
Sudah kukatakan,
Ini hanya sebuah syair sederhana,
Yang aku ciptakan hanya untukmu, cinta…
Terkenang…
Diriku yang lemah, dalam belenggu cinta…
Tangis Ino semakin menjadi setelah membaca sebait puisi itu. "Shika, terima kasih…"
"Apapun untukmu, Ino." Shikamaru menyenderkan tubuh Ino di dada bidangnya. Membiarkan Ino terisak dalam pelukannya.
Malam semakin larut. Angin berdesir nyaring menerpa pucuk-pucuk pohon zaitun. Memberikan suasana tersendiri bagi yang merasakannya.
"Shika. Apakah besok kamu sibuk?" kata Ino memecah keheningan yang tercipta sejak tadi.
"Tidak. Kebetulan besok aku libur."
Ino melepaskan genggaman Shikamaru. "Maukah kau mengantarku ke Gereja Trinita del Morti? Aku ingin berdoa disana."
"Tentu Ino. Sekarang, ayo pulang. Hari sudah sangat larut."
"Ya."
Mereka berdua pun pulang untuk beristirahat dan bersiap-siap untuk acara besok yang sangat bersejarah dalam hal cinta mereka berdua.
.
.
.
Ungkapkanlah, cinta…
Apa yang ingin engkau ungkapkan…
Berdoalah, cinta…
Apa yang ingin engkau doakan…
Karena aku,
Mungkin akan terlelap setelah esok tiba…
.
.
.
Monday, February 14th, 2011 at 07.35 a.m. Ino's home.
"Père, je voudrais aller a l'eglise. Au revoir…" pamit Ino pada ayahnya sebelum ia berangkat bersama Shikamaru.
"Oui. Coeur Coeur amour," pesan ayah Ino sebelum mereka pergi. "Shikamaru."
"Oui père?"
"S'il vous plait voir ma fille se portent bien."
"Oui."
Mereka berdua pun segera pergi menuju Trinita del Morti Chruch.
.
.
.
Berdoalah cinta…
Berdoa,
Agar aku tenang disana…
.
.
.
"Puji Tuhan," kata terakhir itu menutup doa Ino pagi hari ini.
"Sudah selesai?" tanya Shikamaru yang kebetulan sudah selesai berdoa lebih dulu dari Ino.
"Ya."
"Sekarang mau kemana?"
"Bagaimana kalau kita ke Valentine Day's Festival di Campo de Fiori?" tawar Ino dengan penuh semangat ketika keluar dari gereja.
"Boleh."
"Ya sudah, jangan lama-lama ayo cepat. Aku dengar festival ini hanya sampai sekitar jam dua saja."
"Ck, ya."
Mereka berdua pun berlari kecil menuju motor sport milik Shikamaru dan segera pergi menuju festival.
.
.
.
Seperti jajniku padamu, cinta…
Bahwa aku, akan melindungimu…
Apapun yang terjadi…
.
.
.
"Shika, lihat itu! Waw,coklat yang besar bukan?" ujar Ino terkagum-kagum dengan tangan menunjuk-nunjuk kearah patung yang dibuat dengan coklat dan nampak sangat besar itu. "Eh, aku beli minum dulu yah, kamu tunggu disini."
Ino pun pergi meninggalkan Shikamaru sendiri di bangku taman yang tersedia. Namun, Shikamaru pun tidak diam. Ia pergi menemui sebuah toko kecil yang ada di festival itu. Ia membeli sekotak coklat dengan rasa yang bervariasi.
Setelah mendapatkan apa yang ia inginkan, Shikamaru pun kembali duduk di kursi taman dan menunggu Ino. Ramainya tempat ini, membuat Shikamaru sedikit kesal.
Tak lama kemudian, Ino pun datang menghampiri Shikamaru. "Ini."
Shikamaru pun segera meminum segelas Frappuccino dingin, begitu pula dengan Ino. Setelah itu, Shikamaru pun memberkan sebuah kotak coklat yang ia beli tadi. "Ino, ini untukmu."
"Apa ini Shika?"
"Buka saja."
Mata Ino sedikit berbinar-binar saat membuka isi kotak tersebut. "Thanks Shika."
"Ya."
Cukup lama mereka duduk di kursi itu. Sampai akhirnya Ino memutuskan untuk membeli souvenir yang terletak di seberang jalan. "Shika, ayo kesana. Sepertinya, souvenir disana lumayan bagus."
"Ya."
Shikamaru pun berdiri dari duduknya, dan segera menyusul Ino yang setengah berlari menyebrangi jalan.
Tanpa terduga, sebuah mobil jeep tengah melaju dengan kecepatan sedikit cepat, karena kebetulan sekali tempat yang dituju Ino itu berada diluar area festival.
"Ino awas…" teriak Shikamaru lalu berusaha mengejar Ino.
Ino pun terhenti di tengah jalan dan menoleh kearah Shikamaru. "Apa?" karena merasa aneh, Ino pun segera menoleh kepinggir, tempat dimana sang mobil tengah melaju.
"Gyaaaaa…."
"Ino…"
Apa yang akan terjadi,
biarkanlah terjadi…
karena aku, akan selalu ada untukmu,
cinta…
~To Be Continued~
.
.
Keterangan :
* Oui, Merci : ya, terima kasih.
* Excusez-moi. Serveuse, je veux comamander un verrede Cappuccino con Cioccolato, Gelatto, et pizza : permisi. Saya ingin memesan segelas Capuccino con Cioccolato, Gelatto dan Pizza.
* Oui, maitresse. Attendez une minute : baik nyonya. Tunggu sebentar
* S'il vous plait : silahkan menikmati
* Pas. Merci : tidak. Terima kasih
* Allez-vous etre mon amant ? : maukah kau jadi kekasihku ?
* Oui. Biensur : ya. Tentu saja
* Pere, je voudrais aller a l'eglise. Au revoir : ayah, aku akan pergi ke gereja. Sampai jumpa
* Oui. Coeur Coeur amour : ya, hati-hati sayang
* Oui, père ? : ada apa ayah ?
* S'il vous plait voir ma fille se portent bien : tolong jaga putriku baik-baik
* Genant : merepotkan
.
.
.
Apa-apaaan ini? *treak frustasi*
Kok endingnya neggantung sih..? mana alurnya gak jelas, OOC lagi. Ceritanya aneh sangat, abal ancur. Angst gak kerasa, poetry-nya aneh. Huweeeee…*nangis di pojokan*
Ini adalah genre poetry pertama Ai. Jadi, mohon maklum yah ? maaf kalo ada penulisan kata yang gak jelas. Ai akui, dalam pembuatan fic ini Ai kesusahan sendiri. Sungguh imajinasi yang sangat menyiksa. Dan alurnya emang Ai sengaja dicepetin, tapi ini mah kecepetan banget…..
Ok readers, ini fic Ai persembahkan buat SIVE (ShikaIno Valentine Event). Maaf nih, buat penanggung jawab, fic Ai rasanya gak pantes deh. Gomen gomen…*pundung*
Gomen juga, kayaknya Ai lama banget deh publish-nya.. habis, kompi Ai lagi gak enak badan - ?-.
Ehm, daripada Ai berculcol lama-lama, sebaiknya kita akhiri saja. Bagi yang penasaran, silahkan nanti lihat di chapter depannya.
Dan Ai harapkan, readers semua mau mengkritik dan memberi saran pada Ai yang masih belajar memperbaiki ini. Dan usahakan, ripiu kalian berbentuk sebuah kritik atau saran. Dan NO FLAME OKAY!
Jangan flame Ai, kalau readers ingin Ai jadi lebih baik dari ini. Silahkan, yang mau menasehati, lebih baik dengan cara yang baik-baik yah ?
Akhir kata, ditunggu ya ripiunya ?
See you next chapter…
Apakah Ino akan selamat?
Lantas, siapakah yang akan tertabrak?
Mungkinkah, hubungan mereka akan berlanjut?
Lihat sja di final chapter..
Jaa minna…..
Tertanda,
^Ai Kireina Maharanii^
Long Live ShikaIno
