Disclaimer:
Cast milik diri mereka sendiri
Cast:
YunJae dkk
Genre:
Romance, Drama
Rated: T
WARNING: Alur fanfic ini super pasaran dan amat pake sangat gampang ditebak (cukup baca 3 paragraph awal, reader akan ngerti dan tahu semua alur cerita ff ini)
.
.
.
#Jung Yunho POV
Tepat jam 2 sore di hari sabtu, aku sudah duduk dengan tenang di café the color of serene, sama seperti sabtu-sabtu sebelumnya. Setiap hari sabtu aku akan selalu meluangkan waktu-ku untuk berkunjung dan menghabiskan waktu-ku di café ini. Bukan karena suasananya yang memang sangat nyaman, atau sajian makanannya.
Aku selalu datang kemari hanya untuk melihat seseorang. Alasan yang bodoh, sangat bodoh, tapi sebodoh apa pun aku akan tetap datang ke sini, menunggunya datang dan menghabiskan waktu dengan memesan secangkir coklat panas dengan perhatian penuh tertuju padanya.
Dia selalu datang setiap hari sabtu di jam yang sama, di tempat duduk yang sama, dan setiap dia datang –aku bersyukur dengan fakta ini- dia selalu sendirian. Terkadang dia hanya akan duduk dan terlihat memikirkan sesuatu tanpa melakukan suatu hal yang spesifik, terkadang juga dia membawa novel dan membacanya sambil menikmati minuman yang dia pesan atau membawa setumpuk kecil map dan laptop, mengerjakan sesuatu –yang setelah secara disengaja aku mencari tahu- yang berupa tugas kuliahnya. Dan dari fakta terakhir aku bisa tahu dia lebih muda dariku sekitar 6-8 tahun, mengingat saat ini umur-ku sudah menginjak 29 tahun.
'kring'
Sudah banyak pelanggan yang keluar masuk sejak aku duduk di dalam café ini, tapi kali ini berbeda, karena saat ini aku bisa merasakan perasaan yang berbeda saat lonceng itu berbunyi. Dan hanya untuk memastikan dugaanku dengan melihat ke arah pintu masuk –yang sebenarnya tidak perlu karena aku sudah sangat yakin- dan ternyata benar, dia sudah datang, tepat jam 2 lebih 30 menit, seperti sabtu-sabtu sebelumnya.
Aku memperhatikan cara berjalannya, dia berjalan lurus ke meja tempat biasa dia duduk, hari ini dia tidak membawa apa pun bersamanya. Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari penampilannya –hari ini dia hanya mengenakan jeans dengan kaos V-neck putih polos-, tapi setiap melihatnya maka perhatianku tidak akan bisa terpecahkan dan sepenuhnya akan tercurah padanya.
Aku selalu tertarik terhadap segala hal yang dia miliki, aku tertarik pada caranya berjalan aku tertarik pada caranya menarik kursi sebelum akhirnya dia duduk di kursi itu, aku tertarik pada caranya memberi kode pada pelayan dan memesan secangkir jus strawberry, aku tertarik pada kebiasannya yang suka memerhatikan keadaan di sekitarnya dengan urutan yang sama.
Hal pertama yang akan dia perhatikan adalah kasir, dia akan memperhatikan orang-orang yang membayar makanan atau minumannya sampai akhirnya pesanan dia datang dan perhatianya teralihkan pada pesanannya, dia hanya akan meminum sedikit jusnya sebelum mulai memerhatikan hal lainnya dan selanjutnya dia akan memperhatikan para pelayan yang sibuk melayani para pelanggan atau sedang istirahat menunggu ada pelanggan yang memanggil mereka.
Setelah cukup lama memperhatikan para pelayan, dia akan mulai memperhatikan para pelanggan. Di mulai dari pelanggan di ujung terjauh dari kursi tempat dia duduk, dia akan dengan cepat beralih jika tidak ada yang bisa dia perhatikan lagi ke pelanggan lainnya, dan dia selalu memakan waktu lebih lama pada pelanggan yang membawa keluarganya.
Dari cara dia memperhatikan keluarga itu aku bisa memastikan, dia sangat menyukai anak kecil. Aku tahu kebiasaannya yang satu ini bukan suatu kebiasaan baik, tapi aku tidak bisa mencegah diriku sendiri untuk tidak menyukai hal itu.
Dan saat aku melihat dia akan melihat ke arah meja-ku aku segera mengalihkan tatapan-ku ke gelas coklat panas-ku -yang aku yakin sudah menjadi dingin-. Aku bisa merasakan dengan jelas kalau saat ini dia sedang mengamati-ku dan menyadari fakta ini, aku berusaha sebaik mungkin untuk terlihat relaks dan tidak menyadari keberadaannya.
Tepat setelah aku merasa dia sudah tidak menatap ke arah-ku aku kembali mengangkat kepalaku dan kembali mengamatinya yang kini ternyata sedang mengamati arus lalu lintas dari kaca café. Mungkin alasan kenapa dia selalu duduk di samping kaca karena dia suka memperhatikan hal-hal di sekitarnya.
Setelah beberapa saat aku melihat dia hanya terus melamun sambil melihat jalanan, akhirnya dia memberi kode pada pelayan untuk datang ke mejanya dan hanya beberapa saat setelah dia membayar pesanannya, dia berjalan keluar dari café. Setelah aku sudah tidak bisa lagi melihat bayanganya dari tempat aku duduk aku mengalihkan perhatian-ku ke jam yang melingkar di tanganku, dan sama sekali tidak terkejut saat melihat jam yang menunjukan pukul 4 sore –yang artinya sudah satu jam tiga puluh menit aku memperhatikan pria itu, walaupun aku merasa baru beberapa menit yang lalu dia memasuki café ini- hal ini sudah terjadi berulang kali.
Aku masih belum ada niatan untuk keluar dari café ini walaupun satu-satunya alasan aku datang ke café ini sudah pergi. Dan aku yakin kalau waktu pulangku akan semakin tertunda saat aku melihat Yoochun –manajer di café ini yang juga merupakan sahabat terbaikku- datang menghampiriku dan duduk di hadanku tanpa izin dariku sama sekali.
"Kau sangat mencintainya, Yunho-ah." Ternyata dia sadar dengan perasaanku, apakah aku menunjukan perasaanku sejelas itu?
"Kau sudah tahu?" Jawabku dengan nada datar yang biasa aku gunakan.
"Ck, tanpa menjadi sahabatmu pun semua orang sudah tahu. Kau menatapnya seakan dia adalah dunia-mu. Seakan dia adalah hal terpenting yang pernah kau punya, walaupun aku tahu dengan pasti dia belum sah menjadi milikmu."
Kali ini aku tidak menjawab pertanyaannya, biasanya aku tidak akan suka ada orang yang mengomentarinya bahkan jika itu adalah sahabatnya sendiri. Tapi, kali ini aku sama sekali tidak merasa keberatan dengan komentar Yoochun. Dan aku sangat sadar hal itu dikarenakan aku sangat setuju dengan Yoochun, dan secara otomatis senyum tipis tersungging di bibir-ku saat sebuah pemikiran muncul di kepalaku.
'Ya dia dunia-ku, dan dia hal terpenting yang pasti akan aku miliki.'
Pemikiran itu dibenarkan oleh seluruh sel dalam tubuh-ku, aku tahu kalau aku tidak hanya sekedar jatuh cinta. Aku sudah terjerat dan terjebak padanya dan kenyataan itu membuat kebahagiaan membuncah di dalam diriku dan senyum merekah dengan jelas di wajahku -tidak perduli dengan Yoochun yang sedang menatapku dengan mata yang hampir saja jatuh ke tanah-.
"Ck, kau tahu, 15 tahun aku mengenalmu, baru kali ini aku melihat senyummu sejelas itu. Kalau kau mau, aku bisa memberikan informasi lengkap padamu tentang dia." Ucap Yoochun dengan semangat berlebihan yang aku tidak mengerti datangnya dari mana.
"Tidak perlu."
"Ya sudah kalau kau tidak mau. Tapi biar ku beritahu satu hal saja, namanya-"
"Jangan beritahu aku apa pun, aku akan mengetahui semuanya secara langsung tanpa bantuan siapa pun."
"Arra, Arra!" Aku tahu Yoochun sangat kesal karena aku menolak bantuanya, tapi aku tidak peduli. Aku ingin mendapatkan dia dengan kemampuan-ku sendiri, tanpa bantuan siapa pun.
.
.
.
.
Aku menatap bosan pada Appa, hari itu saat aku baru saja pulang dari kantor cabang yang aku tangani. Appa tiba-tiba menghubungiku dan menyuruhku pulang ke rumah, membuat aku batal untuk tidur lebih awal di atas kasur empuk di apartementku.
"Jadi tujuan Appa memanggilku untuk apa?" Aku harap apa pun yang ingin dibicarakan oleh Appa ini cepat selesai, sehingga aku bisa bertemu dengan kasur-ku lebih cepat.
"Appa mendapat tawaran untuk mengisi materi manajemen dan bisnis di Universitas teman Appa, dan karena dia teman Appa, jadi Appa menerima tawarannya. Lagi pula saat itu Appa belum ada kesibukan tapi ternyata sekarang Appa harus ke jepang karena ada masalah di sana. Jadi Appa ingin kau mengisi materi itu. Dan untuk sementara cabang perusahaan bisa di handel oleh Hyunjoong. Kau mau, kan?" Aku mengernyit kesal, aku tidak suka ide itu.
"Kenapa tidak Hyunjoong Ahjusshi yang mengisi materinya?" Jawabku kesal, jujur aku tidak begitu suka mengajar.
"Kan tadi Appa sudah bilang dia teman Appa akan jadi tidak nyaman untuk Appa jika yang datang adalah Hyunjoong. Lagi pula Universitas itu Universitas yang sama dengan tempat Ah Ra kuliah, setidaknya kau bisa melepas rindu-mu kan? Anggap saja kau sedang liburan tapi tetap bisa berkerja! Bagaimana?"
Aku berpikir sesaat, jadi Ahra juga kuliah di sana?! Kalau dipikir-pikir sudah cukup lama sejak terakhir kali aku bertemu dengannya. Aku pikir ide Appa sekarang terdengar tidak terlalu buruk.
"Baiklah, berapa lama?"
"Hanya satu bulan sampai Appa bisa kembali ke Korea, dan kau bisa langsung mulai mengajar di sana besok." Aku mengangguk mengerti sebagai balasan.
"Kalau begitu aku pulang ke apartement-ku." Setelah mendapat anggukan dari Appa aku segera bangkit dari dudukku dan pulang menuju apartement pribadi-ku.
.
.
.
Hari ini berbeda, aku tetap bangun di pagi hari dan menggunakan stelan yang sama dengan hari-hari lainnya, tapi yang membuat hari ini berbeda adalah aku tidak akan pergi ke kantor dan menyelesaikan tumpukan dokumen di sana. Alih-alih, aku pergi ke Seoul University untuk mengisi jam pagi di sana. Sekali lagi aku menge-ceck barang bawaanku, setelah yakin tidak ada yang tertinggal, aku segera keluar dan mengendarai mobilku menuju Seoul University.
Apa kalian berpikir aku gugup? Jawabannya tidak, saat di kuliah, aku sempat menjadi assisten dosen –dengan sedikit paksaan dan ancaman dari Appa-, jadi bisa dibilang mengajar bukanlah sesuatu yang baru. Walaupun sudah cukup lama sejak terakhir aku mengajar, tapi aku bisa merasakan diriku sendiri yang dipenuhi oleh rasa percaya diri.
Setelah mengendarai mobil selama beberapa saat aku akhirnya sampai di Seoul University, tempat ini adalah tempat yang sama di mana aku menuntut ilmu dulu, jadi aku tahu dengan pasti di mana letak kelas yang perlu aku datangi sekarang ini. Berusaha mengabaikan tatapan penuh kekaguman dari beberapa mahasiswi, aku tetap berjalan dengan tenang.
Aku tersenyum puas saat memasuki kelas-ku dan melihat murid di kelas yang aku masuki sudah membuka bukunya, siap untuk menerima pelajaran. Dan lagi, aku bisa melihat Ahra duduk di tengah-tengah ruangan dan melempar senyum ke arah-ku.
Hanya dengan sekedar perkenalan nama, aku langsung memberikan materi yang sudah aku siapkan sebelumnya.
Aku sedang menjelaskan beberapa hal, saat aku mendengar suara pintu yang dibuka cukup keras. Aku sudah siap untuk meluapkan kekesalanku pada orang itu saat itu juga. Tapi, saat aku berbalik, kekesalanku menghilang begitu saja, dan dengan pengendalian diri yang baik, aku memasang wajah datar-ku dan berpura-pura tidak mengenali orang yang sudah menginterupsi waktu-ku.
"Mianhamnida, Sonsaengnim. Saya terlambat." Ucap sosok itu sambil menbungkuk sembilan puluh derajat di hadapanku.
"Hm, sebutkan namamu. Dan duduk di bangku yang kosong."
"Saya Kim Jaejoong. Terima kasih Sonsaengnim." Dan tanpa menunggu perintah kedua, dia berjalan ke bangku kosong di belakang kelas. Dan sisa jam mengajarku hari ini aku habiskan dengan menahan senyum dibibir-ku.
Aku membereskan barang-barang-ku, aku sudah selesai memberi materi beberapa saat yang lalu, dan setelah semua barang-barang-ku selesai aku bereskan aku menatap langsung ke arah Kim Jaejoong yang terlihat masih sibuk dengan bukunya.
"Kim Jaejoong-" Aku melihat dia tersentak dan mengangkat kepalanya, menatap langsung ke arahku.
"Ne, Sonsaengnim?"
"Siang ini temui aku di ruanganku." Well, sebenarnya ruangan teman Appa yang untuk sementara waktu aku gunakan.
"Ne. Aku mengerti."
.
.
.
Aku mengalihkan perhatianku dari buku yang sedang aku baca saat mendengar pintu ruanganku diketuk oleh seseorang. Dan aku tahu dengan pasti siapa orang itu.
"Masuk." Dan tepat sesuai dengan dugaan-ku, Kim Jaejoong memasuki ruangan-ku, dan sekali lagi aku menemukan diriku memperhatikan cara dia melangkah.
"Duduk, kau tahu alasan kau ada di sini kan?"
"Ne, Sonsaengnim, saya di sini untuk mendapat hukuman karena sudah datang terlambat tadi pagi."
"Bagus kalau kau tahu kesalahanm8, hukumanmu adalah buat essay 30 lembar tentang materi yang saya ajarkan tadi pagi."
"Ne, Son-" Aku tidak tahu apa alasannya, tapi yang jelas ucapannya terpotong saat dia menatapku, sedangkan aku sendiri tidak bisa berkomentar apa pun tentang hal itu, karena sekali lagi, aku terpesona dan kali ini karena bola mata bulatnya yang menatapku terkejut.
"Pengunjung tampan!" Aku mengernyitkan dahi-ku dan tersenyum geli mendengar ucapannya. Apa dia akhirnya mengenaliku sebagai pengunjung tetap café yang biasa dia kunjungi? Sungguh saat ini dia sangat imut dengan wajah terkejutnya dan telapak tangan yang menutupi mulutnya, dia pasti kaget karena sudah berkata kurang sopan padaku.
"Hm, Pengunjung tampan?" ucapku dengan menahan geli dengan dagu yang aku tumpukan pada tangan kananku, masih menatap lurus ke wajahnya. Aku bisa melihat rona merah merebak di pipinya -yang menjadikan dia menjadi semakin cantik dan manis di saat yang sama.
"Mianhe, Sonsaengnim. Apakah anda pengunjung di café the collor of serene?"
"Kau benar. Dari julukanmu padaku kau sepertinya pengunjung di sana juga." Ucapku pura-pura bodoh, seakan-akan aku di sana bukan untuk melihat kedatangannya.
"Mianhe, aku tidak sopan." Aku yakin jika aku terus menggodanya, dia pasti akan pingsan karena seluruh darahnya berkumpul di wajahnya yang sudah sangat merah itu.
"Gweanchana. Aku tidak tersinggung." Ucapku sambil membelai rambutnya, dan tersenyum senang saat merasakan rambutnya sangat lembut, selembut yang aku bayangkan selama ini. Senyum di bibir-ku semakin merekah lebar saat melihat dia yang sepertinya terpesona oleh senyum-ku dan merasa nyaman karena sentuhanku.
"Kalau boleh tahu, Sonsaengnim. Apa yang kau sukai dari café the collor of serene? Aku sering melihat anda di sana. Mianhe, kalau aku lancang."
"Tak apa, lagi pula sekarang kita tidak sedang di dalam kelas, kau bisa mengaggapku teman dan memanggilku hyung-" untuk saat ini, aku pikir lebih baik aku memulainya dengan teman, aku tidak ingin dia menghindariku karena aku terlalu agresif.
"-dan alasan-ku adalah karena aku bisa merasakan rasa nyaman dan tenang di sana. Dan aku selalu bisa menemukan sesuatu yang membuat aku bahagia saat aku berada di sana." –Dan hal itu adalah kau.
"Ah, kau memiliki pendapat yang sama denganku. Appa memang daebak!" aku mengankat alis-ku heran mendengar ucapanya.
"Appa?"
"Ah, café itu milik Appa-ku, dari semua café milik Appa café itu adalah café yang paling aku suka. Café paling sederhana dan paling nyaman dibanding café-cafenya yang lain. Bukan berarti café yang lainnya tidak nyaman, hanya saja café yang ternyaman adalah café itu." Aku tersenyum senang saat ini. Aku suka cara dia berbicara.
Jaejoong berhenti berbicara, dia seakan baru menyadari suatu kesalahan dan terkejut akan hal itu.
"Ah, mianhe Sonsaengnim. Saya terlalu banyak bicara." Jaejoong menunduk lagi, menghindari tatapanku yang masih tertuju padanya sejak dia datang di ruangan ini.
"Tak apa, aku suka mendengar kau berbicara. Dan seperti yang aku bilang, kau bisa memanggilku hyung, aku masih pantas kau panggil hyung." Dan rona merah yang sebelumnya sudah menghilang dari wajahnya kini kembali tergambar dengan jelas di wajahnya.
"Bagaimana jika sabtu ini kita makan bersama?" Aku bisa melihat antusiasme yang sangat besar terpancar dari bola matanya saat dia mendengar tawaran-ku.
"Ne, aku mau hyung!"
Kim Jaejoong, sekali lagi, kau membuat aku semakin jatuh cinta padamu.
.
.
.
Sesuai dengan yang direncanakan, aku duduk menunggu kedatangan jaejoong di café the collor of serene di hari sabtu, coklat panas pesananku baru saja datang saat aku melihat Jaejoong memasuki café dan berjalan ke arah-ku.
"Mianhe, Hyung. Apa kau sudah menunggu lama?"
"Tidak, pesanan-ku bahkan baru datang." Ya, pesanan-ku memang baru datang, tapi aku sudah datang sejak setengah jam lalu, bukan karena Jaejoong datang terlambat. Tapi, aku memang datang lebih awal dari jam yang kami janjikan. Aku tidak ingin Jaejoong datang lebih dulu dan menungguku, ego-ku menolak dengan sangat keras hal itu.
Aku melihat kali ini Jaejoong membawa sebuah map cukup besar dan sebuah buku yang cukup tebal di pelukannya, aku sedikit terkejut saat melihat map itu berisi tugas essay dariku. Yang membuatku terkejut bukan karena dia mengerjakan tugas-ku, tapi-
"Kau mengerjakan tugas dariku dengan menulis tangan langsung?"
"Ah, iya! Tenang saja Hyung, aku akan mengetiknya lebih dahulu baru akan mengumpulkannya padamu nanti. Jadi kau tidak perlu membaca tulisanku yang acak-acakan ini."
Aku menggeleng tidak percaya mendengar ucapannya. Aku terkejut bukan karena menolak untuk membaca tulisan tangannya, -hell, tulisan tangan dia bahkan sangat rapih, hampir serapih ketikan komputer- di jaman seperti ini aku belum pernah melihat orang mengerjakan langsung tugas essay atau makalah dengan menulis tangan, mereka akan menggunakan cara praktis dengan mencontek dari internet atau setidaknya dari buku tapi langsung mengetiknya di komputer.
"Kebanyakan temanmu lebih memilih mengerjakan essay dengan meng-copy langsung dari internet. Dan kau harus membawa referensi dan tetap mencari bahan di internet tapi menuliskannya di buku sebelum akhirnya diketik lagi?" Ucapku dengan nada heran dan kagum di saat yang sama.
"Dengar Hyung! Ini cara singkat untuk belajar, dengan begini aku akan membaca referensi berkali-kali dan kembali mengulangnya saat mengetik. Ini memang cukup merepotkan tapi juga akan sangat berguna saat aku ujian!"
Aku menggeleng takjub mendengar penuturannya. Dan aku dengan senang hati berterima kasih pada Appa yang memberi kesempatan padaku untuk mengajar di Seoul University dan memiliki kesempatan untuk menjadi teman dari orang yang aku cintai dan mengetahui banyak hal yang sebelumnya tidak aku ketahui.
"Kau orang yang hebat, aku kagum padamu." Ucapku sambil mengusap rambut halusnya, membuat wajah Kim Jaejoong menjadi memerah, semerah buah apel.
Kim Jaejoong, kau memiliki cukup banyak sisi yang tidak terduga. Dan aku akan membuat kau menunjukan semua sisi yang kau punya padaku, semuanya.
.
.
.
.
.
#Kim Jaejoong POV
Aku berjalan dengan sedikit terburu-buru dengan membawa sebuah map berisi tugas essay dari Yunho Songsaenim karena keterlambatanku minggu lalu. Aku teringat saat pertama kali aku melihatnya sudah beberapa bulan yang lalu, dia selalu ada di café milik Appa dan sejak pertama kali aku melihatnya, aku sudah jatuh cinta padanya.
Aku bisa merasakan wajah-ku terbakar, aku yakin saat ini wajah-ku pasti sangat merah sekarang. Saat aku pertama kali melihatnya saat itu dia sedang meminum segelas coklat panas, dan mengenakan kemeja berwarna biru dengan jeans. Aku mengingat saat itu kami bertatapan cukup lama, dan membuat wajah-ku cukup merah karena ketampanannya. Dan sejak saat itu aku selalu bisa melihatnya di café di hari sabtu.
Hal itu membuat aku bahagia dan kecewa di saat bersamaan. Bahagia karena aku bisa tetap melihatnya setiap minggu sekali, dan kecewa karena dia tidak pernah lagi menunjukan jika dia tertarik padaku sejak saat itu. Tapi hal itu berubah sejak minggu lalu, tepatnya sejak dia menjadi dosen-ku.
Sejak saat itu kami menjadi sangat dekat, dan hampir setiap hari, sejak hari sabtu kemarin, aku selalu mendapatkan pesan singkat darinya setelah aku memberikan nomer ponsel-ku padanya. Dan lagi dari cara dia tersenyum saat bersamaku, 'mungkinkah Yunho Sonsaengnim menyukaiku?'
Aku berhenti melangkah, karena terlalu banyak melamun aku hampir saja melewati kantor Yunho Sonsaengnim, aku harus menghabiskan waktu beberapa saat untuk menetralkan wajahku dan menghilangkan senyum bodohku, aku tidak ingin Yunho Sonsaengnim menganggap aku adalah orang aneh karena terus-terusan tersenyum tanpa sebab yang jelas.
Setelah yakin kalau wajah-ku sudah cukup normal, aku berniat mengetuk pintu kantor Yunho Sonsaengnim, tapi sebelum aku bisa mengetuknya pintu bertiup dan membuat pintu di hadapanku terbuka.
'eh?'
Aku melihat dengan kedua bola mataku Yunho Sonsaengnim sedang duduk dan tersenyum sangat lebar, senyum yang biasa dia tunjukan padaku, tapi kali ini senyum itu dia arahkan pada Go Ahra, salah satu temanku, bukan aku.
"Jadi aku benar, kan Oppa?" Go Ahra bertanya sambil meletakan kedua telapak tangannya di atas tangan Yunho Sonsaengnim yang saat itu sedang ada di atas meja.
"Ne, kau benar. Aku sedang jatuh cinta." Dan tatapan Yunho Sonsaengnim terlihat sangat tulus saat mengatakannya dengan senyum yang masih merekah di bibirnya.
'Kau bodoh Kim Jaejoong, kau terlalu percaya diri.'
Sekali lagi, aku menarik nafas cukup dalam untuk menenangkan diriku, memberanikan diri untuk tetap mengetuk pintu.
"Annyeonghasaeyo, mianhe kalau aku mengganggu, aku ingin mengumpulkan tugasku Sonsaengnim." Aku bisa melihat keterkejutan di mata Yunho Sonsaengnim dan Go Ahra saat melihat aku sedang berada di ambang pintu, dan tepat setelah aku selesai berbicara, Go Ahra menarik tangannya. Ck, kau pasti mengganggu mereka Kim Jaejoong.
"Ah, silahkan Jaejoong-ah."
"Mianhe, Sonsaengnim. Aku harus meletakan tugasku di mana." Aku sangat sadar suaraku sangat monoton dan menyimpan kemarahan, kau tidak bisa begini Kim Jaejoong, ini semua salahmu, kau yang terlalu percaya diri. Jadi kau sama sekali tidak berhak marah.
Aku bisa melihat wajah Yunho Sonsaengnim yang berkerut bingung mendengar nada suara-ku.
"Kau bisa meletakannya di meja-ku. Apa ada seseorang yang mengganggumu atau membuatmu marah, Jaejoong-ah?"
"Animnida, Sonsaengnim. Saya tidak apa-apa. Ini tugasnya Sonsaengnim." Dan tanpa menunggu balasan, aku langsung melangkah keluar dari kantor Yunho Sonsaengnim, sudah cukup hebat bagiku menahan tangis-ku sampai saat ini, dan aku tidak yakin bisa bertahan lebih lama jika harus melihat wajahnya.
.
.
.
#Jung Yunho POV
Otak-ku saat ini dipenuhi dengan banyak sekali pertanyaan yang masih belum terjawab. Sebenarnya tadi itu apa? Kenapa tiba-tiba Jaejoong terlihat marah padaku? Aku sungguh tidak mengerti.
"Aku tidak mengerti." Aku mengalihkan perhatianku dari pintu saat mendengar suara decakan dari hadapanku, dan mengernyitkan dahiku saat melihat Ahra menatap kesal ke arah-ku.
"Oppa, kau tidak mengerti? Aku bingung, kau sangat pintar dalam hal mempelajari hal-hal rumit seperti matematika, fisika dan sejenisnya, tapi kenapa kau menjadi sangat bodoh dalam urusan percintaan?" aku menatap bingung ke arah Ahra.
"Jaejoong-ah cemburu pada kita, Oppa! Dia salah sangka saat melihat kedekatan kita. Itu artinya perasaanmu terbalas!" Mataku membulat saat mendengar ucapan Ahra.
"Tidak perlu kaget, semua muridmu tahu kalau kau jatuh cinta pada Kim Jaejoong."
"Jae-"
"Dia tidak tahu, satu-satunya yang tidak tahu. Kalian berdua adalah pasangan paling bodoh yang pernah aku tahu…," Aku menghela napas lega mendengar ucapan Ahra, aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika Jaejoong mengetahui aku memiliki perasaan padanya dan membuat dia menjauh dariku karena hal itu.
Tapi, bukankah tadi Ahra bilang perasaanku terbalas?
"Ahra-yah, kau bilang perasaanku terbalas, apa itu artinya Jae juga menyukaiku?"
"HAH! Aku heran kenapa bisa memiliki saudara sepertimu, Oppa! Kau harus cepat menjelaskan hubungan kita pada Jaejoong-ah secepatnya!" Tak perlu penjelasan lebih lanjut, aku mengerti maksud Ahra.
"Sesegera mungkin Ahra-yah."
.
.
.
#Kim Jaejoong POV
'Huft!'
Sudah tiga hari berlalu sejak hari itu, dan tidak banyak yang berubah. Hubungan antara aku dan Yunho Hyung juga tidak terlalu berubah, kami masih sering bertemu di café seperti biasa, walaupun aku masih belum minta maaf secara langsung atas sikap kurang ajar-ku saat itu. Jangan berfikir kalau aku akan marah atau ngambek, hell!
Kejadian aku bersikap ketus dan pergi begitu saja dari kantor Yunho hyung tiga hari yang lalu saja masih membuatku malu sampai sekarang apa lagi kalau aku melakukan hal-hal seperti itu? Membayangkanya saja sudah membuatku merasa ingin bunuh diri.
Aku masih ingat dengan wajah bingung dan tidak mengerti yang ditunjukan oleh Yunho-hyung saat itu. Dia pasti sangat kaget dengan sikap-ku. Aku harus bersyukur Yunho-hyung masih bersikap biasa, tidak marah padaku, bahkan dia juga belum mengungkit hal itu.
'Aku pasti sangat aneh sampai Yunho Hyung berekspresi seperti itu.'
'Sudahlah, jangan dipikirkan lagi!'
Setelah berpikir seperti itu, akhirnya aku sampai di kelas tujuanku, kelas Yunho Hyung. Aku melangkah dengan malas, dan memilih tempat duduk secara acak.
"Hei Ahra-yah! Aku dengar Yunho Sonsaengnim akan menyatakan perasannya secepatnya?"
'Menyatakan perasaan?' Jangan salah sangka kalau aku menguping, bahkan jika aku mengambil bangku terpojok-pun aku rasa aku tetap bisa mendengar omongan mereka dengan sangat jelas.
"Jaejoong-ah!"
Aku sedikit tersentak kaget saat namaku diteriakkan. "Ada apa?" Tanyaku ke orang yang sama dengan yang sebelumnya bertanya pada Ahra.
"Bagaimana perasaanmu? Akhirnya Yunho Sonsaengnim akan menyatakan perasaannya!"
"Hah? Apa hubungannya denganku?" saat orang itu, yang aku kenal bernama Eun Ji akan menjawab pertanyaanku, mulutnya di bekap oleh Ahra, sebelum akhirnya Ahra berkata, "Tidak apa, Jae, kau kan cukup dekat dengan Yunho Oppa."
Aku hanya mengeluarkan gumaman pelan dan memutuskan untuk tidak peduli dengan apa pun yang diributkan oleh para wanita di dalam kelasku, berfikir kapan kelas akan dimulai.
Tapi, ternyata aku tidak bisa untuk tidak peduli, dan seharian itu aku habiskan dengan bertanya-tanya Yunho Hyung akan menyatakan perasannya pada siapa, apa pada Ahra? Tapi bukankah dia sudah menyatakan perasaannya waktu itu?
.
.
.
Sudah satu minggu sejak gosip tentang Yunho Hyung akan menyatakan perasaanya pada seorang gadis, dan sampai sekarang aku masih belum tahu siapa gadis itu, dan melihat gosip yang tiap hari tidak ada selesainya, sepertinya Yunho Hyung belum menyatakan perasaannya pada gadis itu, dan membuat aku semakin bertanya-tanya, apa saat itu Yunho-hyung tidak sedang menyatakan perasaanya pada Ahra? Atau saat itu Yunho hyung akan menyatakan perasaannya pada Ahra tapi gagal karena aku mengganggu?.
'-kiss B-'
Aku melirik sekilas ke arah ponsel-ku, ternyata Yunho Hyung yang menelpon. Aku berpikir sebentar apakah lebih baik aku angkat atau tidak, dan akhirnya aku memutuskan untuk mengangkatnya. Lagi pula aku tidak punya alasan untuk mengacuhkan telpon dari Yunho hyung
'Yeoboseoyo.'
"Ne, Hyung. Ada apa?"
'Sudah lama kita tidak makan bersama.'
"Itu karena akhir-akhir ini kau sangat sibuk, Hyung."
'Aku tahu, maka dari itu aku menelponmu. Bagaimana kalau kita makan di restourant Appa-mu akhir minggu ini?'
"Hm, Baiklah, jam berapa Hyung?"
'Jam tujuh malam. Aku akan menunggumu.' Dan sebelum aku membalas ucapannya aku sudah bisa mendengar suara sambungan yang terputus.
.
.
.
Hari sabtu datang dengan cepat, dan sesuai dengan janji yang aku buat aku sudah berada di restourant Appa.
"Mianhe, apa kau sudah lama di sini?" Aku mengalihkan pandanganku dari secangkir coklat panas yang masih mengepulkan asap dihadapanku, dan aku bisa melihat Yunho Hyung datang dengan pakaian resmi.
"Tidak, coklat-ku bahkan baru saja datang. Dan hyung, apa kau habis dari suatu acara resmi?"
"Anio, wae?" Jawab Yunho hyung dengan wajah polos sambil mendudukan dirinya di kursi di hadapanku, membuat aku memutar kedua bola mata-ku.
"Ani, tidak ada apa-apa."
"Jae, apa kau sudah dengan rumor tentang aku?" Aku menatapnya dan menaikkan sebelah alis-ku.
"Kalau itu rumor tentang Hyung yang akan menyatakan perasaan Hyung pada seorang gadis, aku tahu. Aku harap kau diterima dan cepat mendapat pacar, Hyung!" Ucapku sambil terenyum mengejek. Aku berusaha tidak bertingkah laku terlalu mencolok, akan sangat memalukan jika Yunho hyung tahu aku sempat menyukainya dan berharap kalau dia juga menyukaiku.
"Yap! Kau benar, rumor yang itu. Tapi kau tahu, ada beberapa hal yang salah dari rumor itu. Pertama dia bukan seorang gadis, tapi pria. Kedua aku tidak sedang mencari pacar."
"Maksud hyung?" Ucapku tidak mengerti, kalau bukan untuk tidak jadi pacar lalu apa? Apa mungkin…,
"Jadi, aku tidak akan memintanya menjadi pacarku, tapi aku akan memintanya menjadi istriku atau bisa dibilang melamarnya. Dan aku tidak akan melamar seorang gadis, tapi aku akan melamar Kim Jaejoong, oleh karena itu aku merasa perlu menggunakan pakaian resmi." Aku mengangguk-angguk pelan mendengar perkataan Yunho hyung. Jadi dia ingin melamar Kim Jaejoong, Kim Jae-
"MWO?" Kekagetan menguasaiku dan membuat aku berdiri dan berteriak begitu kencang.
"Ah, aku tiba-tiba ingin jalan-jalan. Bagaimana jika kita jalan-jalan ke taman di dekat sini, Jae?" Ucapan Yunho hyung membuat aku sadar kalau aku sedang berada di café Appa. Dan aku sudah melakukan hal yang sangat melakukan. Aku kembali duduk dan menganggukan kepalaku sebagai respon dari tawaran Yunho hyung.
.
.
.
"Jadi, apa jawaban-mu, Jae?" Aku hanya terus bermain ayunan tanpa ada niatan untuk menatap Yunho hyung yang sekarang sedang menduduki ayunan di sampingku, aku tidak tahu harus berbicara apa, aku bisa merasakan tatapan Yunho hyung yang sangat tajam dan menusuk ke arahku tanpa perlu melihatnya.
"Hyung…, tapi Ahra?" Ucapku dengan nada bingung. Sungguh ada banyak pertanyaan yang terlintas di kepalaku saat ini.
"Huft-"
"Kau tertawa?" Ucapku dengan nada tersinggung, aku sama sekali tidak merasa ada hal yang pantas di tertawakan saat ini.
"Mianhe. Aku menertawakan diriku sendiri, aku dikalahkan oleh sepupuku dalam mengerti dirimu."
Aku mengerutkan alis-ku, tidak mengerti.
"Saat kau marah kemarin aku tidak mengerti kenapa kau bisa marah, tapi Ahra bilang jika kau salah sangka dengan hubunganku dengan Ahra. Dan dia benar."
"Apa maksudmu?"
"Ahra hanyalah sepupu-ku yang sudah aku anggap adik kandung-ku."
"Tapi pernyataan cintamu pada Ahra?" Aku bisa melihat ekspresi Yunho hyung yang berubah menjadi bingung, dan aku membiarkan dia mengingat-ingat kejadian yang aku maksudkan.
"Ah! Saat aku mengatakan aku sedang jatuh cinta? Kau pikir itu pernyataan cinta-ku untuk Ahra? Kau benar-benar polos."
Aku diam, tidak menjawab, dan hanya memproses maksud dari setiap kata-kata yang dikeluarkan Yunho-hyung.
"Saat itu Ahra hanya bertanya apa aku sedang jatuh cinta pada seseorang, dan aku menjawab aku sedang jatuh cinta, tapi bukan pada Ahra melainkan padamu."
Aku kembali tidak menjawab, tidak ada yang bisa aku katakan di saat seperti ini. Sampai akhirnya satu pertanyaan yang sangat mengejutkan, bahkan untuk diriku sendiri keluar begitu saja dari mulut-ku.
"Hyung, apa kau tidak berpikir aku terlalu muda untukmu?"
"Apa kau pikir Hyung sudah sangat tua dan tidak lagi cocok untukmu?"
"Tentu saja tidak Hyung! Maksudku apa kau yakin ingin memilihku? Aku merasa kau terlalu tinggi, terlalu besar untuk-ku Hyung, sedangkan aku bukanlah apa-apa, aku merasa tidak pantas, Hyung." Aku berhenti bermain ayunan dan menatap mata Yunho hyung yang saat ini juga sedang menatap mataku.
"Jae, aku tidak menanyakan posisi kita di dunia sosial. Aku hanya membutuhkan perasaanmu yang sebenarnya. Kau tidak perlu memikirkan apa pun, cukup pikirkan perasaanmu."
"Tapi ini terlalu mengejutkan untukku, Hyung."
Yunho hyung tidak membalas ucapanku, dia terlihat sedang memikirkan sesuatu, dan aku sendiri sekarang sangat bingung dengan semua keadaan ini. Dengan pernyataa Yunho hyung yang tiba-tiba.
"Aku akan memberimu waktu tiga hari. Aku rasa tiga hari cukup untuk membaca perasaanmu sendiri, Jaejoongie. Dan satu lagi, apa bila tiga hari lagi kau menolakku padahal sebenarnya kau menyukaiku aku tidak akan menyerah." Aku hanya mengangguk pelan, aku bisa melihat tekad yang sangat kuat dari matanya, dan dari situ aku tahu, Yunho hyung bersungguh-sungguh dengan semua yang dia ucapkan hari ini.
"Baiklah, kalau begitu biar aku antar kau pulang hari ini." Aku hanya diam dan mengikuti langkah Yunho hyung dan membiarkannya mengantarku pulang.
Tidak butuh waktu lama sampai kami mencapai rumah-ku, karena rumah-ku memang tidak terlalu jauh dari café. Aku sudah akan membuka pintu mobil Yunho hyung saat aku merasakan tarikan di lengan-ku dan selanjutnya yang aku rasakan adalah kecupan hangat di dahi-ku.
"Tidurlah yang nyenyak. Tiga hari lagi Hyung akan datang melamar ke rumah-mu dan kau bisa memberi Hyung jawaban saat itu juga. Dan ingat, jawablah berdasarkan apa yang kau rasakan, bukan apa yang kau pikirkan." Mataku membulat mendengar ucapan Yunho hyung. Tapi aku tidak bisa mengatakan apa pun, aku hanya mengangguk dan keluar dari mobil Yunho hyung, berjalan cepat memasuki rumah, dan berusaha tidak mempedulikan kenyataan jika aku tidak mendengar suara mobil pergi.
Mengabaikan sapaan dari Appa dan Omma yang sedang menonton TV, aku berjalan cepat memasuki kamar dan mengunci diriku di dalamnya. Aku sudah berbaring di atas kasur dan bersembunyi di balik selimut saat aku mendengar pintu kamarku diketuk seseorang.
"Jae, apa kau baik-baik saja?"
"Ne, omma. Aku baik-baik saja."
"Apa kau ingin makan malam?"
"Anio, aku sudah makan malam, Omma!"
.
.
.
Tiga hari terlewati begitu saja, pagi hari setelah Yunho hyung mengatakan akan melamarku aku menemukan jika waktu Yunho hyung sebagai dosen pengganti sudah selesai dan dosen yang seharusnya mengajar sejak awal sudah mulai mengajar di kelasku. Dan kenyataan itu membuat aku ragu bahwa Yunho hyung akan benar-benar datang hari ini.
Selain itu aku juga ragu, apakah aku harus menerima Yunho hyung? Hal yang membuat aku ragu bukanlah perasaanku pada Yunho hyung, aku sadar aku menyukainya, tidak, aku mencintainya. Tapi aku ragu, apa menerima Yunho hyung adalah hal yang benar? Yunho hyung adalah orang yang terpandang, sedangkan aku hanya orang biasa.
"Jae, kalau kau tidak ingin menonton TV, sebaiknya berikan remotenya pada eomma." Aku menengok pada eomma-ku yang saat ini sedang duduk di sebelahku da menatap bosan pada-ku.
Aku menghela nafas sesaat sebelum akhirnya mengulurkan tanganku dan memberikan remote yang sejak tadi aku mainkan. Aku melihat eomma tersenyum dan langsung memindahkan chanel dengan semangat, aku menghela nafas saat ingat kalau sekarang waktu tayangnya drama kesukaan eomma.
"Eomma, aku pergi ke kamar." Dan tanpa menunggu balasan dari eomma, aku langsung berjalan menuju kamarku.
Begitu memasuki kamar aku langsung mengambil acak salah satu koleksi novel yang aku punya dan duduk di atas kasurku dan mulai membaca novel. Cara ini biasanya selalu bisa mengalihkan perhatianku.
.
Halaman pertama…,
.
.
'Apa dia akan datang?'
.
.
Halaman ke 2…,
.
.
'Kenapa dia datang lama sekali? Apa dia tidak akan datang?'
.
.
Halaman ke 3…,
.
.
'Apa yang akan aku lakukan saat dia datang? Tapi sekarang dia belum datang, sepertinya dia tidak akan datang…,'
Dan selanjutnya aku sama sekali tidak bisa konsentrasi membaca novel yang sedang aku pegang, pikiran aku sedang tidak pada tempatnya. Menyerah, aku kembali meletakkan novel-ku ke lemari.
'Jika Yunho hyung datang, apakah tak apa jika aku menerimanya? Apa tak apa jika aku ingin menjadi orang egois?'
Banyak pertanyaan seperti itu yang terus menerus keluar masuk di kepalaku selama 3 hari ini, aku ingin bahagia bersama orang yang aku cintai. Tapi itu akan menjadi hal paling egois yang aku lakukan, dan aku merasa itu adalah hal yang kejam.
'Bagaimana jika orang tua Yunho hyung tidak menyetujui hubungan kami? Dan jika mereka setuju, apa yang akan dikatakan oleh semua orang jika orang terhormat seperti keluarga Jung ternyata gay?'
Aku ingin bersama dengan Yunho hyung, tapi aku tidak ingin hal itu menjadi beban dan membuat kehidupan yunho hyung menjadi rumit.
'Tok tok tok.'
"Jae, ini Umma."
"Ah, iya Umma, masuk saja." Ucap-ku sambil menatap pintu kamar, dan saat pintu kamar-ku terbuka aku mengernyitkan kedua alis-ku. Umma terlihat bingung.
"Ada apa Umma?"
"Di bawah ada tamu bernama Yunho, dia datang bersama orang tuanya. Dia mencarimu."
Aku tersentak kaget. Jadi Yunho hyung sungguh-sungguh datang?!
.
.
.
End
a/n: tanpa ada yang ngasih tahu, Vi tahu ini gantung #plak. Mianhe, Vi dah pusing mikirin endingnya, dan ff ini ada di laptop vi hampir 7 bulan (dari bulan januari), atau dah setengah tahun lebih, padahal ini niatnya mau jadi ff di bulan februari…, jadi deh di tamatin begini aja, kalau gak, vi gak yakin tahun depan nih ff selesai apa belum…,
Dan lagi, awalnya vi gak sadar, tapi setelah di baca ulang ternyata ada scene yang seharusnya mustahil ada, tapi malah vi buat…, jadi maaf kalau alurnya ada yang sangat gak masuk akal…,
Terima kasih buat semua yang dah baca.
