Spring Love
By AnSianner
Lantas mengapa kau takut dengan takdir?
Sementara kau belum mengetahui takdir seperti apa itu ~ Spring Love 2017
.oOo.
Hari ini adalah hari pertama di musim semi. Hamparan salju mulai mencair hingga akhirnya hilang mengembun. Mentari hadir dengan kehangatan yang dirindukan. Menebarkan semangat pada penduduk bumi. Dalam senyapnya tumbuhan memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia bersiap untuk menyapa musim yang telah kembali.
Dibalik sebuah pohon rindang. Duduklah seorang pemuda berpakaian serba putih. Dalam genggamannya ada gitar akustik yang siap untuk dimainkan. Raut wajahnya datar tanpa ekspresi. Kedua bola mata biru mudanya menerawang lurus. Memerhatikan burung cemara yang hinggap dari satu dahan ke dahan pohon lainnya. Detik selanjutnya, jemari pemuda itu mulai memetik senar gitar hingga melantunkan melodi yang terdengar lembut dan penuh emosi.
Pemuda itu mulai memejamkan matanya. Menikmati permainan gitarnya sendiri. Seiring berjalannya waktu, permainan gitar pemuda itu berubah memilu. Setiap petikan gitar terdengar seolah menyiratkan perasaan yang teramat dalam. Seolah mendukung permainan gitarnya, satu tetes air mata akhirnya lolos dari mata pemuda itu. Ia menangis.
Ketenangan semakin menyudutkan keadaan pemuda itu. Kulit wajah putihnya mulai terbasahi oleh tetesan kepiluan. Padahal tak ada yang bertanya apa yang sebenarnya ia rasakan, tapi mengapa rasanya sulit baginya untuk menghentikan air mata itu? Akhirnya permainan gitar yang menyesakkan dada itu terhenti begitu saja. Ia tak sanggup untuk melanjutkannya. Seolah permainan gitarnya sendiri bisa mengundang berjuta kesedihan tanpa kendali. Ia menundukkan kepalanya seraya salah satu tangannya menutup wajahnya sendiri. Bersembunyi dari dunia atas apa yang tengah ia lakukan saat ini. Walaupun itu percuma.
Seorang gadis yang berdiri mengamati bergegas bersembunyi di balik pohon. Jantungnya berdegup kencang ketika melihat pemuda itu menangis. Selama ia mengamati dari belakang, ia tak mendengar sepatah katapun keluar dari bibir pemuda itu. Lantas mengapa pemuda itu bisa menangis begitu saja? Gadis bersurai coklat tua itu menggigit bibir bawahnya antara penasaran dan takut. Ia takut jika pemuda itu bisa saja menyadari keberadaannya saat ini.
Selang beberapa detik kemudian, lamunan sang gadis buyar setelah suara derap langkah terdengar jelas. Ia yakin jika itu suara derap langkah sang pemuda, tapi hendak pergi kemana ia? Sang gadis dengan hati-hati mulai berpindah tempat. Mencari tempat yang setidaknya bisa mempersilahkan ia menatap kemana pemuda itu pergi.
Siluet tubuh tinggi dengan rambut hitam legam itu terus berlalu pergi. Sementara sang gadis hanya bisa memerhatikan dari jauh. Sedikit demi sedikit sosok pemuda itu akhirnya hilang tertelan jarak. Sang gadis merahup napasnya dalam-dalam. Tanpa ia tatap wajah pemuda itu, hatinya selalu berdebar tanpa alasan yang jelas. Dengan luwes gadis itu akhirnya memutuskan untuk duduk dimana pemuda itu duduk tadi. Tangannya bergerak meraba rerumputan yang pernah pemuda itu duduki. Hangat. Namun semuanya kembali terasa hampa.
.oOo.
"Jangan sampai kau anggap mimpi itu bermakna, Hyunnie-yah," Gantung Luhan sembari meneguk pelan Ice Americano pesanannya itu.
Di dalam sebuah kafe bernuansa klasik Baekhyun, Kyungsoo, dan Yixing mengerjapkan matanya berkali-kali. Luhan mendesah singkat. Benar dugaannya jika teman-temannya ini terlalu polos untuk gadis seusianya.
"Maksudku, tak semua mimpi memiliki makna. Kau tahu? Mimpi romantis dan indah seperti itu bisa jadi penggambaran dari suasana hatimu yang kesepian. Dan yang aku dengar, mimpi seperti itu sering terjadi pada gadis seusia kita yang merasa sendiri dalam kehidupan nyatanya."
Ketiga temannya menganggukan kepalanya kecil tanda paham dengan penjelasan singkat Luhan.
"Aku pernah mengalami mimpi yang serupa seperti Hyunnie, tapi aku tak merasa demikian. Aku mendapat kasih sayang yang cukup dari kedua orang tuaku. Bahkan keluarga besarku menyayangiku layaknya seorang anak yang benar-benar berharga." Tukas Yixing yang mendapat tatapan heran dari Baekhyun serta Kyungsoo. Sementara Luhan mengusap wajahnya frustasi.
"Merasa sendiri bisa bermaksud banyak hal. Mungkin kau tak memiliki kekasih, dan itulah sebabnya kau bermimpi, Yixingie!" Sungut Luhan yang tak lagi kuasa menahan emosinya.
"Jika Baekhyunnie atau Kyungsoo, aku memakluminya. Karena mereka masih berusia 15 tahun untuk paham apa yang aku maksud. Tapi itu kau, seharusnya kau sedikitnya menangkap apa yang tengah aku jelaskan. Kau dan aku 18 tahun, Yixingie!"
Mendengar cibiran dari Luhan, Yixing mengerucutkan bibirnya. Ia merajuk.
"Eum.. Hyunnie-yah,"
Tanpa menjawab, Baekhyun dengan senang hati menolehkan pandangannya pada Kyungsoo.
"Apa pemuda itu tampan?" Kyungsoo bertanya dengan rasa penasarannya.
"Entahlah,"
Baekhyun mendesah seraya menopang dagu lalu menyeruput Hot Chocolate-nya dengan sedotan. Kyungsoo, Luhan, serta Yixing diam-diam menanti penjelasan Baekhyun lebih lanjut. Mereka terlalu penasaran dengan mimpi indah Baekhyun malam tadi.
"Aku terlalu malu untuk menampakkan diriku. Maka dari itu, aku bersembunyi di balik pohon, sekedar menikmati alunan nada dari petikan senar gitarnya. Tapi aku yakin, ia pasti pemain musik." Tutur Baekhyun panjang. Sesekali senyuman kagum terpatri di wajah cantiknya.
Setelah mendengar penjelasan Baekhyun, ketiganya kembali sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Mengingat mimpi malam tadi, Baekhyun kembali menyesali pilihannya untuk bersembunyi. Apa yang akan terjadi dengan mimpinya jika ia menampakkan diri dihadapan pemuda itu? Apa mungkin ia bisa berkelana kesana-kemari bersamanya di alam mimpi? Seandainya Baekhyun bisa meminta mengulang ataupun meneruskan mimpi itu, ia pasti akan menikmati sekaligus melakukan apapun yang ia inginkan. Termasuk mengencani pemuda itu. Tunggu, semburat merah muda menjalar di pipi Baekhyun ketika ia sendiri berharap bisa berkencan dengan pemuda itu.
.oOo.
Ketika Baekhyun dalam perjalanan pulang, senja menyapa. Jalanan kala itu terasa sangat hangat dan indah. Bunga-bunga cantik kembali bermekaran, mempercantik ibu kota dengan caranya sendiri. Baekhyun tersenyum bahagia. Sejak kecil, ia sangat menyukai musim semi.
Baginya musim semi itu bukanlah sekedar musim terindah sepanjang masa. Akan tetapi, musim semi adalah musim yang penuh makna. Musim semi seolah menggambarkan "Biarkan hal yang telah terjadi berlalu, sambutlah harapan baru dengan kehangatan dan semangat baru". Dan itulah alasan mengapa Baekhyun selalu merangkai kenangan-kenangan baik selama musim semi.
Tiba-tiba Baekhyun menghentikkan langkahnya. Tatapannya tertuju pada sebuah taman yang masih tertimbun tumpukan salju, walau hanya sedikit. Pepohonan berdiri tegak, dan lenggang. Keadaan taman itu mengingatkan Baekhyun dengan mimpinya lagi. Entah mengapa, rasanya disinilah mimpinya berasal. Bedanya keadaan taman saat ini tak asri oleh rerumputan. Dan juga, tak ada pemuda itu. Baekhyun tersenyum. Rasanya cukup aneh berharap lebih dari sebuah mimpi. Sampai kapanpun, itu hanyalah kenyataan dalam alam bawah sadarnya.
Setelah dirasanya cukup puas mengamati, Baekhyun melanjutkan perjalanannya. Untuk sekali lagi, Baekhyun tersenyum.
Drrt. Drrt.
Ponsel Baekhyun bergetar. Tanpa menghentikkan langkahnya, Baekhyun merogoh benda pipih itu dari saku jaketnya. Sebuah panggilan masuk dari Ibunya. Tanpa berpikir panjang, Baekhyun segera menjawab panggilan itu.
"Eomma? Aku dalam perjalanan pulang,"
Baekhyun mendengarkan pesan Nyonya Byun diseberang panggilan dengan baik-baik. Sesekali Baekhyun menganggukan kepalanya kecil, tanda memahami apa yang tengah dikatakan Ibunya itu.
"Syukurlah jika ia berkenan untuk mengajarku," Kedua bola mata coklat terang Baekhyun tertuju pada kaki-kaki pendeknya yang tanpa lelah melangkah, "ku harap ia akan cocok denganku. "
Baekhyun kembali terdiam, menyimak kembali tanggapan dari Ibunya.
"Tidak usahlah, Eomma. Aku tidak mau melewatkan pemandangan musim semi hari ini. Lagipula, aku bisa cepat menyesuaikan diri di hari pertama belajar nanti,"
Sepertinya Nyonya Byun menekankan hal yang bertolak belakang dengan kemauan Baekhyun. Pasalnya raut wajah Baekhyun seketika memuram.
"Baiklah. Akan lebih baik jika aku bersekolah formal saja."
Baekhyun mendesah panjang. Wajahnya menyuram, seolah terpaksa mengatakan selamat tinggal pada semua pemandangan indah ini. Terlebih ketika halte bus sudah berada di depan mata. Mengapa keindahan selalu bergulir cepat? Sedangkan keburukan seolah berjalan begitu lamban.
.oOo.
"Aku pulang,"
Dengan lesu, Baekhyun membuka kedua sepatunya di ambang pintu rumah. Tak beberapa lama kemudian, Nyonya Byun menghampiri Baekhyun dengan wajah kesal yang dibuat-buat. Tangannya berpangku diatas dada sembari memerhatikan gerak-gerik anak gadisnya itu.
"Kenapa Eomma disini? Saem akan merasa tidak nyaman jika ditinggal oleh pemilik rumah,"
Baekhyun membawa sepatunya dan bergegas masuk ke dalam rumah.
Nyonya Byun menggelengkan kepalanya heran dengan tingkah gadis kecilnya itu. Tanpa rasa lelah, Nyonya Byun membuntuti anak gadisnya. Masih membungkam dengan pertanyaan Baekhyun.
"Dimana Saem?" Tanya Baekhyun saat melihat ruang tamu dalam keadaan kosong.
Dua cangkir kosong dengan piring yang berisi sisa cemilan masih tersaji di atas meja. Bisa Baekhyun yakini jika Guru musiknya benar-benar datang dan menunggunya hari ini. Karena rasa penasarannya, Baekhyun mengalihkan perhatiannya pada Ibunya, menuntut penjelasan.
"Gurumu tadi sempat menunggu setengah jam lamanya, dan dia baru saja pulang. Tepat saat kau masuk ke dalam rumah ini. Mungkin ia masih berada di luar untuk memarkir mobilnya?" Tutur Nyonya Byun sembari membersihkan meja.
Mendengar penuturan Ibunya, Baekhyun melangkah menuju jendela terdekat. Berharap ia bisa melihat Guru musik barunya walaupun dari jauh.
Dan benar apa yang dikatakan oleh Nyonya Byun. Guru musik Baekhyun masih sibuk memarkir mobilnya di pekarangan rumah. Merasa kurang jelas, akhirnya Baekhyun membuka jendela tersebut lalu menyipitkan matanya. Guru musiknya berada di dalam mobil, sukar bagi Baekhyun untuk melihat wajahnya dengan jelas.
"Seharusnya kau datang lebih awal," Komentar Nyonya Byun setelah membereskan meja, "kau harus memanggilnya Oppa, karena usianya masih 19 tahun. Dan ia saat ini tengah duduk di bangku kuliah semester genap."
Baekhyun mendengar penjelasan Ibunya dengan pandangan yang tak luput dari mobil Guru musiknya itu.
"Ia berharap bisa bertemu denganmu sebelum hari pertama pembelajaran. Ia penasaran dengan gadis yang pandai bernyanyi, menari, membuat aransemen musik, bahkan mengarang lagu," Nyonya Byun tersenyum pada Baekhyun, "untuk beberapa hari ke depan, ia tak akan berada di Seoul, karena ia sedang meneliti kebudayaan-kebudayaan tradisional di Indonesia."
Akhirnya mobil Guru musiknya berhasil keluar dari pekarangan rumah, melesat pergi menjauh.
"Ah dan ya! Eomma rasa kau harus mengetahui ini, dia sangat tampan!"
Baekhyun menutup kembali jendelanya dan beralih menatap Ibunya.
"Menurut penjelasannya, ia keturunan Korea-USA. Eomma benar-benar menyukai Guru musikmu itu. Kau memang tak salah memilih, Hyunnie." Nyonya Byun mengelus surai lembut Baekhyun penuh kasih sayang. Ia benar-benar bersyukur bisa dititipi anak secantik dan secerdas Byun Baekhyun.
"Oh ya? Sesempurna itukah Saem? Aku memilihnya karena spesifikasinya patut diancungi jempol. Seperti yang Eomma tahu, aku tak pernah bermain-main dalam dunia musik," Baekhyun terkekeh di akhir kalimatnya.
Nyonya Byun berdecak. Baekhyun memang gadis yang pintar berdalih ketika keadaan menyudutkannya.
"Sudahlah, lebih baik kau segera berganti baju, setelah itu makan siang," Titah Nyonya Byun seraya pergi meninggalkan Baekhyun.
Tiba-tiba rasa kantuk menyerang Baekhyun. Setelah menguap kecil, gadis itu melangkah pergi menuju kamarnya di lantai atas.
.oOo.
Kisah itu masih berlanjut. Hingga malam menjelang.
Sang gadis masih dengan gaun pendek putihnya kini tengah berjongkok di tepi kolam. Seulas senyuman bahagia terpatri di wajahnya, tatkala seekor burung Cemara mencipratkan air pada wajahnya. Tangan lentik itu masih sibuk memainkan air. Membuat suasana lebih tenang sekaligus menyenangkan.
Dibawah cahaya temaram rembulan, pesona sang gadis terlihat lebih sempurna dan menarik. Kecantikannya bukan berasal dari paras, melainkan sebuah senyuman hangat dan tulus yang tak kunjung luput. Keanggunannya bukan berasal dari seberapa lembut ia memainkan air, melainkan bagaimana ia menyikapi tetesan air yang terjatuh dari tangannya. Terasa sangat hangat dan memikat.
Diam-diam, dalam persembunyiannya yang entah dari sejak kapan, sang pemuda memerhatikan gadis itu. Surai panjang coklatnya, mata yang berbentuk sepasang bulan sapit, iris mata coklat terangnya, bibir tipis baby pink itu menjerat perhatian sang pemuda. Seiring berjalannya waktu, pemuda itu tersenyum bahagia. Entah untuk alasan apa.
"Apa yang tengah kau saksikan, Chanyeol-ah?"
Pemuda itu seketika terperanjat kaget. Sosok gadis lain tiba-tiba saja hadir disebelah pemuda itu.
"Apa yang kau lakukan disini, Irene-ah?"
Mendengar kebisingan di belakangnya, sang gadis sontak memutar tubuhnya, hingga bisa ditatapnya dengan baik pemuda itu dengan sosok gadis lain. Jantungnya berdegup kencang. Pada akhirnya ia akan berjumpa pandang dengan sosok pemuda itu. Tapi, siapa gadis itu? Baru kali ini sang gadis melihatnya.
"Aku ingin kembali padamu, Chanyeol-ah," Sosok gadis yang berdiri di sebelah pemuda itu mulai terisak, "Aku.. aku tak mau disini.. aku ingin bersamamu.."
"Sudah cukup Irene-ah. Abeonim dan Eomeonim tidak pernah merestui hubungan kita. Cukup sampai disini kau melukaiku. Mungkin kau masih memiliki pria-pria lain diluar sana. Jangan kembali padaku, kumohon.. Aku tak mau tersiksa untuk kesekian kalinya." Sang pemuda memohon dengan kedua matanya yang berkaca-kaca.
"Tidak!" Tolak gadis itu mentah-mentah, "Apa mungkin ia yang membuatmu jatuh hati? Iya?!"
Sang gadis yang sedari tadi diam menyimak, kini harus terkena imbasnya. Padahal ia tak tahu apa-apa, tapi gadis itu kemudian menuduhnya secara tiba-tiba.
"Jika memang iya, lantas apa yang akan kau lakukan, eoh?! Kumohon, berhentilah kekanakan Irene-ah. Kau dan aku, bukan pasangan yang ditakdirkan bersama.."
Sang gadis akhirnya paham apa yang sebenarnya terjadi. Ternyata, gadis itu adalah kekasih dari pemuda yang ia sukai. Mereka adalah sepasang kekasih yang terlibat pertikaian. Perlahan jantungnya berdenyut nyeri. Matanya tak luput berkaca-kaca. Ia baru saja jatuh cinta, tapi mengapa harus berakhir bahkan sebelum ia mengawalinya?
Untuk detik selanjutnya, pemuda itu kembali mengalihkan pandangannya pada sang gadis. Memberikan sebuah pukulan telak pada hati yang berbunga. Tangan mungilnya meremas dadanya sendiri, membuat sebuah kesakitan lain untuk menyembunyikan luka utamanya.
Sepertinya ia tak pernah memiliki takdir dengan pemuda itu. Sudah cukup pertemuan perih ini. Sang gadis berlari sekencang mungkin demi menghindari pertikaian sepasang kekasih itu. Ia tak boleh merusak hubungan sepasang kekasih, sekalipun mereka dalam keadaan yang tidak baik.
"Hey..!"
Itulah kalimat terakhir yang selalu mengiang-ngiang dalam benak sang gadis, sebelum semuanya lenyap tersapu air mata kekecewaan terhadap dirinya sendiri.
.TBC.
#Based On TRUE STORY
