Tittle : CURSE.
Cast : Cho Kyuhyun, Lee Sungmin, and others.
Rating : T
Genre : Romance, drama, fantasy.
Warning : BL (MalexMale) , typo(s), misstypo(s) , dilarang BASH pairing ataupun karakter, jika anda tidak suka silahkan tinggalkan halaman ini dan jangan datang kembali. Jika saya menemukan komentar tidak pantas mengenai masalah pairing ataupun karakter yang saya gunakan, saya simpulkan anda TIDAK BISA MEMBACA—kritik dan saran yang sesuai diterima.
.
.
"Bukankah ini sedikit keterlaluan, Yang Mulia."
Ruang yang di dominasi warna putih itu luas tak bersekat. Sinar menyilaukan berpantul di atas air kolam yang dihiasi bunga teratai. Menyebabkan bias cahaya berbagai warna. Mata itu berbinar cerah. Kontras dengan raut wajahnya yang tak berekspresi.
Sosok yang berucap tadi masih setia membungkukkan badannya. Setelan hitam kontras yang dikenakannya berkibar pelan tampak begitu indah. Rambutnya tampak acak-acakkan namun ia terkesan tampan.
"Kau menaruh simpati padanya?" Sosok yang berbicara duduk persis di hadapannya, di atas sebuah kursi taman kecil, masih setia menikmati bias cahaya yang berwarna-warni.
Sang penanya memalingkan wajahnya. Tak berani beradu kontak mata dengan sosok menakjubkan yang pembawaannya sangat tenang. Wajah dengan pahatan sempurna dengan aura yang terlampau rumit untuk dijelaskan.
"Apakah ada yang ingin kau katakan lagi?" tegurnya dengan suara lembut. Ia menunggu, namun sang penanya tak memberikan respon apapun, maka ia melanjutkan, "Karma itu berlaku pada setiap manusia."
Ia dengan tenang kembali menunggu reaksi dari lelaki berbaju hitam yang setia membungkuk. Selewat beberapa saat bibirnya kembali melengkung, jemari indahnya bergerak pelan seperti ketukkan musik. Tak lama air kolam di depannya beriak, menarik perhatian dari si lelaki berbaju hitam.
"Bukankah dia terlihat menakjubkan?"
"Yang Mulia…"
"Jalankan perintahku untuk membawanya kembali dengan takdirnya. Hingga saatnya dia kembali ke pangkuanku, jagalah ia semampumu. Apakah kau mengerti?" Pada akhir kata-kata itu, ia hanya terkekeh pelan tak membiarkan seseorang di dekatnya menanggapi, "Haruskah aku mengulangi perintahku kepadamu?"
Ia menggeleng pasti. Kepalanya makin tertunduk pada sosok yang yang ia agungkan di hadapannya. "Tidak perlu, Yang Mulia. Sepenuhnya hamba mengerti."
Lengkung bibir tersenyum samar, mata berbinar dalam raut tanpa ekspresi membuat suasana tenang itu kian mencekam. "Apakah kau pernah mendengar sebuah kata-kata?" tanyanya pelan.
Suara pelan itu seakan masih berdengung di telinganya, ia baru saja akan menahan kegidikannya ketika ia sadar harus menanggapi. "Apakah itu, Yang Mulia?" dengan hati-hati ia menanggapi.
"Seorang bernama Aeschylus, dalam bukunya yang berjudul The Libation Bearers Para Pembawa Kurban Tuangan pernah berkata… 'Oh, siksaan yang berkembang dalam perlombaan, kertak jerit kematian dan pukulan yang menimpa nadi, kuncuran darah yang tak dapat dihentikan seorang pun, dukacita, kutukan yang tak dapat ditanggung siapa pun'," ia menghentikan kalimatnya sejenak. Bola mata berwarna ruby itu kian berbinar menatap dua sosok di dekatnya, "tidakkah bulu kudukmu merinding mendengar kalimat ini? Bukankah konyol seorang manusia berkata seperti ini? Tahu apa mereka tendang dukacita maupun pengorbanan yang merusak hati hingga badannya hancur lebur? Apakah dendam dan kutukan itu pernah ia rasakan sendiri?"
"Maafkan hamba, Yang Mulia," ujarnya dengan kepala tertunduk penuh. Seakan mengerti arti kata-kata itu, sosok menakjubkan itu membelai pegangan kursi yang dibuat dari kayu terbaik yang aku yakin kalian tak akan pernah ditemukan dimanapun.
Kilatan emas berpendar di atas sosok yang tertunduk itu, menerangi sampai beberapa jarak. Dengan gerakan kepala pelan sang sosok menakjubkan menunjuk ke arah lingkar pusat titik cahaya. "Pergilah, maka satu dari sekian ribu anak manusia akan merasakan apa itu kutukkan yang tak dapat ditanggung siapapun."
Perlahan sosok itu menghilang terhisap dalam pusar cahaya yang semakin lama semakin meredup hingga akhirnya hilang tak berbekas. Jemari kembali terketuk, seakan ada sebuah violin tak berwujud yang sedang memainkan sebuah lagu padanya.
"Aiden…"
Dalam hitungan detik sesosok lelaki berwajah lugu muncul di sampingnya, menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan. "Hamba hadir, Yang Mulia."
"Apakah menurutmu aku ini keterlaluan?" tanyanya tanpa ada perubahan dalam intonasi suara. Namun pembawaannya tak luput untuk mengamati derak kolam yang kembali tenang.
"Tidak ada yang dapat hamba katakan dengan mulut hamba yang hina ini, Yang Mulia."
Kembali… tawa hambar menjadi tanggapan. Ia melirik sebentar ke arah Aiden yang makin menundukkan kepala, tak mampu untuk membalas tatapan dari sang penguasa. "Kurasa Hazel benar, aku sedikit keterlaluan," ujarnya sedikit menimang keputusan. "Tapi karma tetaplah karma. Bahkan aku tak akan membiarkan kutukan itu menunggu semakin lama hanya untuk menerjang hati-hati yang rusak," ujarnya lembut diakhiri dentingan lonceng yang terdengar dari kediamannya.
Riak kolam berangsur menggambarkan segulung kejadian, tentu saja kejadian yang secara langsung terjadi di bumi. Sosok itu kembali menarik lengkung senyum tak berekspresi. "Ah, kurasa sebentar lagi tontonan menarik akan mulai. Aku ingin melihat bagaimana sosok naif itu menerima kenyataan ini… apakah menurutmu ia bisa menghadapinya?" Aiden diam tak bergeming. "Kurasa kau pun tak dapat menjawabnya… benar 'kan?"
.
.
Dengarkanlah cerita ini, ini kisah dimana kau mencari dimana kebahagiaanmu. Berjalan dalam kepedihan, terhembus angin yang menemani setiap gelisah di dadamu. Kadang kala angin itu membuatmu merasakan kesejukkan yang dapat membuatmu melupakan masalah sejenak. Namun kadang pula angin yang begitu kencang membuatmu terhempas jatuh dalam kesakitan. Ikutilah kemana dia membawamu, siapa tahu kau akan menemukannya di titik akhir segala penderitaan yang tersembunyi. Bahkan di balik tirai samar yang menyembunyikan kutukan—hukum karma tak berdasar.
Apakah kau ingin mengikutinya bersamaku?
.
.
.
Chapter 1.
Daun-daun yang tergesek oleh angin menyebabkan bunyi gemerisik yang cukup mengganggu. Namun dibalik pohon-pohon besar tempat bernaungnya daun-daun yang gemerisik itu terpampang seorang lelaki yang sedang duduk di ayunan kecil yang hanya sibuk dengan buku bacaannya ditemani dua orang temannya; seorang lelaki bertubuh jangkung yang berdiri di dudukan ayunan dan seorang gadis berambut hitam yang duduk di atas rerumputan.
Apa? Kalian ingin tahu siapa lelaki yang sedang membaca buku itu? Baiklah akan aku deskripsikan sedikit tentang dia. Dia memiliki rambut cokelat sedikit ikal dengan kulit putih bersih bagai porselen dengan lengkung bibir yang jika sebuah seringai tercipta di sana akan menghasilkan aura yang sangat mengerikan. Penampilan luarnya sangat memesona, begitu pula dengan daya tariknya; otaknya pintar, dia memiliki kecerdasan yang mampu membuat dia meloncati dua semester di jurusannya, dia juga kaya dan disukai semua orang. Bukankah dia adalah anak yang sangat beruntung?
"Hoi, hoi, Kyuhyun-ah~"
Lelaki yang sedang membaca buku itu menutup bukunya ketika merasa namanya dipanggil, menoleh kepada temannya yang sedang menyenggol-nyenggol bahunya dengan gemas. "Ada apa?" sahutnya dingin.
Ya, inilah satu kekurangan yang dimiliki oleh Kyuhyun. Perangainya terlampau dingin dan tertutup, padahal dulunya dia adalah seorang lelaki yang sangat ceria dan penyayang. Kurasa sifat pendiamnya muncul sekitar tujuh tahun yang lalu. Kenapa? Kalian bertanya kenapa? Kenapa aku harus memberitahu kalian sekarang?
"Kau mendengarkan ceritaku atau tidak, heh?"
Kyuhyun tersenyum tipis. "Menurutmu aku harus mendengarkan cerita yang sama berulang-ulang hari demi hari? Aku mungkin hafal dengan setiap perkataanmu itu," lanjutnya dengan sinis.
Mungkin jika orang baru yang mendengar perkataan barusan akan langsung sakit hati dan mengumpat kasar kearah Kyuhyun. Namun tidak dengan dua orang ini, Shim Changmin dan Song Qian. Lelaki dan gadis yang sudah bertahun-tahun hidup bersama Kyuhyun, bukannya marah Changmin justru tersenyum layaknya orang idiot.
"Kau ini sinis sekali, ah bukan, kau bodoh sekali."
"Hei, apa maksudmu?"
"Bahkan sudah setengah jam kau tidak membalik halaman buku itu dan lihatlah!" Changmin menunjuk buku di pangkuan Kyuhyun, "siapa yang membaca buku dengan keadaan terbalik? Kau pikir aku bodoh? Jangan-jangan kau masih memikirkan mantan kekasihmu itu?"
Kyuhyun mengernyitkan keningnya, "Shim Changmin, adakah bagian badanmu yang suka rela untuk dijadikan sasak tinjuku? Sudah lama sekali rasanya tidak berlatih."
"Kalian ini seperti bocah saja," sahut satu-satunya gadis yang sedang terduduk di rerumputan yang ada di depan mereka. Gadis berambut hitam panjang lurus itu menatap tak suka dengan kelakuan dua sahabatnya. "Jika kalian terus bergerak-gerak di atas ayunan seperti itu, nanti kalian akan—"
"STOP!" Changmin segera turun dari ayunannya. "Jangan katakan apapun, Noona. Aku tak mau nasib buruk menimpaku," sahut Changmin dengan ekspresi horror. Song Qian atau akrab disapa Victoria adalah satu-satunya gadis yang dapat bergaul dengan mudah dengan dua iblis di depannya ini. Changmin tidak tahu pasti bagaimana mereka bertiga berkumpul dan menjadi sahabat seperti sekarang ini. Jujur saja dia merasa kagum dengan Victoria yang dapat tak ambil pusing dengan tingkah Kyuhyun yang sangat benci berdekatan dengan perempuan.
Tentu saja ada lagi yang membuat Changmin bertekuk lutut dengan Victoria, hei, jangan menatapku sinis seperti itu, mereka berdua single jika kalian ingin tahu. Faktanya Changmin paling benci karena tidak bisa melawan Victoria karena Victoria seakan dapat membaca masa depan, dan apapun itu, sebut saja dia cenayang. Itu bukan kelebihan yang Changmin sukai, karena yang Changmin dapatkan hanya nasib sial yang berulang kali menimpanya.
Kyuhyun mendengus sebal melihat keributan yang terjadi diantara Victoria dan Changmin. "Bisakah kalian diam?"
Sunyi, seketika dua orang itu tidak bicara lagi. Dengan lirikan tajam Changmin dan Victoria beradu dalam ketegangan. Rupanya mereka belum menyerah untuk beragumentasi satu sama lain. Kyuhyun yang melihat itu menghela napas berat. "Baru saja kau menasehatiku, tapi kenapa kau juga masih ribut dengan si bodoh ini, Noona?"
Changmin merengut tak suka. Apa Kyuhyun bilang tadi? Bodoh? Bukankah dia salah satu mahasiswa yang dapat melompati dua semester sama seperti Kyuhyun?
"Kau mau menyangkalnya, heh?" tegur Victoria. Changmin segera melempar bungkus permen yang ada di genggamannya. "Berhenti membaca pikiranku, Noona!"
Melihat dua orang di depannya akan memulai pertengkaran lagi Kyuhyun akhirnya menyerah. Namun dia teringat akan perkataan Changmin. Kepalanya mengadah ke atas, menatap langit biru yang cerah. Sepoian angin lembut menghempas kulitnya.
"Lagipula aku tak akan mengingatnya lagi…" ujar Kyuhyun tiba-tiba.
Changmin dan Victoria saling menatap, tentu saja mereka paham siapa yang dibahas oleh Kyuhyun. Beberapa tahun ini hanya orang itu yang terus dibahasnya.
"Kurasa dia juga merindukanmu, Kyu."
Kyuhyun tersentak. Dia menatap Victoria tak suka. Beberapa saat kemudian lelaki jangkung itu mengemas bukunya dan melangkah pergi. Changmin yang melihat kepergian Kyuhyun dengan cepat berdiri untuk mengejarnya. Sebelum itu dia menatap horror ke arah Victoria, sedangkan gadis yang ditatap membulatkan mata lucu, seakan tak mengerti apa yang Changmin khawatirkan.
"Apa?"
"Ish, berhentilah mengungkit'nya' di depan Kyuhyun. Kau hanya membuka luka lamanya, Noona!" jelas Changmin. "Dia itu sudah mati! Kenapa kau menyebutnya lagi? Ish, kau ini…" geramnya sebelum membalikkan badan dan mengejar Kyuhyun.
"Hei, aku tak melakukan apapun! Kau yang menyebutnya duluan!" seru Victoria merasa tidak terima. Victoria terdiam melihat kedua sahabatnya berjalan semakin menjauh. Victoria membuka telapak tangan dan merasakan sepoian angin yang semakin kencang. Membuat gemerisik daun terdengar jelas. Gadis keturunan Cina itu tersenyum getir. "…mati?" gumamnya lalu disertai seringaian. "Tapi angin mengatakan mereka akan kembali bersama…" Suara itu terdengar lirih dibalik seringaiannya..
"Vic noona apa yang kau lakukan di sana? Jam kuliah baru akan segera dimulai, cepatlah!" seru Changmin dari jauh. Victoria yang tersadar langsung berdiri lalu berjalan santai untuk mengikuti keterlambatannya.
.
.
.
"Kau yakin akan pergi ke Korea?"
Lelaki muda berambut hitam legam itu masih setia berjongkok di depan kopernya. Sibuk memasukkan beberapa barang yang terlihat tak habis-habis. Mendengar seseorang bertanya, ia hanya menanggapi seadanya, "Tentu saja, kurasa aku harus mengejar impianku di negara itu."
Yang bertanya diam dan memutuskan untuk tidak bertanya lagi. Dia terduduk dengan satu kaki tertekuk, membuat lututnya menjadi sandaran kedua lengan yang bertumpu sebagai alas dagu. Matanya tak dapat mengalihkan pandangannya dari lelaki imut itu. Namun jelas sorot mata itu tidak menampakkan keceriaan, terlihat kosong namun seakan menutupi sesuatu. Kediamannya pun tak urung membuat lelaki bertubuh mungil itu heran karena yang ia kenal orang ini adalah seseorang yang banyak bicara.
"Yunho?" Sosok itu sengaja mengibaskan tangannya di depan wajah Yunho yang sedang melamun. Lelaki yang dipanggil Yunho itu tersentak, "Huh?"
Lelaki yang berperawakan manis di depannya menggeleng tak percaya. Ia menghela napas berat sebelum menutup kasar kopernya yang penuh sesak. "Kau terlihat tak rela aku pergi."
"Mana mungkin aku tak rela…"
"Lalu kenapa kau terlihat khawatir sekali? Aku ini bukan gadis perawan yang harus kau jaga terus menerus, percayalah pada sepupumu ini."
"Tapi aku hanya ingin melindungimu, tak bisakah?" tanyanya dengan suara teredam.
"Hei… bertahun-tahun kau melindungiku, kenapa panik sekali? Aku hanya ingin mengejar impianku, jangan seperti itu. Lagipula sudah sejak lama aku memulai kehidupan baru, aku merasa ada sesuatu yang bisa aku temukan di Korea."
Yunho memegang kedua bahu lelaki di depannya, sorot matanya terlihat serius. "Tapi kau harus berjanji untuk tidak melupakanku."
"Melupakan? Kenapa aku harus melupakanmu, Yunho? Sejak aku kehilangan ingatanku tiga tahun lalu kau yang terus merawatku, mana mungkin aku melupakanmu."
"Aku hanya takut kehilanganmu…"
Suasana langsung berubah: keheningan dan kebingungan menyergap mereka berdua. Hanya terdengar denting jarum jam yang beradu dengan suara gemerisik angin di luar jendela apartemen mereka yang tertutup rapat. Mereka saling pandang. Di depannya lelaki berpipi tembam. Itu tak dapat memahami sepenuhnya apa yang sedang mereka bicarakan.
Menyadari kecanggungan yang Yunho ciptakan, ia buru-buru mengalihkan perhatian. Dia tertawa canggung. Menggaruk belakang lehernya sendiri dengan ekspresi kikuk. "Aku menyiapkan makan malam, ya? Haha… jangan pasang ekspresi seperti itu, kau terlihat menggemaskan." Yunho mengacak puncak kepala lelaki itu. Dia berdiri dan berjalan cepat keluar dari kamar yang penuh sesak dengan baju yang bertebaran.
Sedang lelaki yang sedari tadi masih terduduk di lantai dingin mengerutkan kening bingung dengan tingkah aneh Yunho. "Kenapa orang itu?" Dia menghela napas, memandang sekeliling. Kepalanya mendadak pusing melihat kekacauan yang dengan sukses dia buat. Dia menghela menggumam, "Huffttt… Lee Sungmin cepat bereskan semua kekacauan ini…"
Tiba-tiba seekor kucing hitam peliharaannya yang sudah terbangun dari tidur siang dan sekarang sibuk menggeliat menaiki pahanya.
"Meooong…"
Sungmin tersenyum ketika kuncing hitam itu bermanja-manjaan di pangkuannya. Ia tersenyum, "Kau ini tahu saja aku sedang pusing," ujarnya sembari mengelus kucingnya dengan sayang. "Kau terbangun, ya?" Segera saja kepala kucing itu menggesek-gesek paha dan perutnya dengan nyaman. Sungmin kembali mengangkat tubuh kucingnya, membuat tatapan mereka bertemu. Sungmin memiringkan kepalanya tatkala kucing di depannya makin bersemangat menatap matanya, "Sebenarnya kau ini siapa? Aku merasa kau bukan hanya seekor kucing."
"Meooong~" kucing hitam itu mengusap wajahnya dengan kakinya, menjulurkan lidah kecilnya untuk menjilat atas bibirnya—kebiasaan seekor kucing.
Sungmin terkekeh pelan. "Kawaiiiiii…" ujar Sungmin sembari mengelus-eluskan pipinya dengan pipi si kucing. "Kita akan punya rumah baru di Korea nanti, Yesung sayang~"
Ya! Kenapa kalian memandangku dan Sungmin seperti itu? Dia memberinya nama Yesung karena menurutnya suara kucing itu sangat merdu. Jadi jangan salahkan aku!
"Sungmin-niisan cepat keluar untuk makan malam! Jangan bermain dengan kucing pemalas itu terus!" teriak Yunho yang diyakini Sungmin berasal dari dapur. Mungkin si kucing tidak terima dengan perkataan Yunho, ia mengeong kesal. Sungmin kembali tertawa."Jangan tersinggung seperti itu, aku akan segera kembali dan membawakanmu sekaleng ikan tuna."
Sungmin menurunkan Yesung dari pangkuannya lalu pergi dari kamarnya. Bertepatan dengan suara ditutupnya pintu kamar Sungmin. Si kucing menatap pintu itu lekat-lekat, tak lama tubuh kucingnya berubah perlahan. Membentuk gumpalan daging yang lebih besar lalu membentuk tubuh manusia yang sempurna. Rambutnya hitam legam berkilau, kulitnya putih pucat dengan bibir merah yang terkatup rapat.
Yesung berdiri, merenggangkan badannya yang terasa pegal. "Kenapa dia suka sekali memberiku ikan tuna? Makanan di bumi tidak ada yang enak," gerutunya dengan wajah polos. Lalu mata sipitnya tak tampak mengandung ekspresi memandang ke arah jendela, menatap hamparan langit. Ekspresinya semakin menjadi datar.
"Sebentar lagi… Yang Mulia akan mengamuk jika semua ini terus tertunda," gumamnya, Yesung menggaruk belakang kepalanya malas.
.
.
.
"Aku akan sangat merindukanmu, Min."
Sungmin tertawa pelan. Hari ini adalah hari yang paling ia nantikan. Walau bukan sesuatu yang sangat hebat dipandang orang. Hari ini ia untuk pertama kalinya akan meninggalkan rumah tercintanya, untuk belajar di negara yang ia dambakan sejak dulu—Korea Selatan. Aneh memang, karena dilihat dari segi manapun Jepang adalah negara yang unggul dalam pendidikannya, entahlah apa yang mendorong pemuda manis itu.
Yunho menatap khawatir pada Sungmin. Matanya menatap lekat tubuh mungil namja berambut hitam itu dari atas sampai bawah. Berulang kali seperti itu, memastikan untuk mengingat setiap detail yang ada pada tubuh Sungmin.
"Hoo, Yunho-kun, kenapa kau memandangiku seperti itu? Ekspresimu lucu sekali." Sungmin melipat kedua tangannya di depan dada. Tampilan pemuda itu sangat tampan sekaligus manis pagi ini, bermodal kaus tanpa lengan berwarna putih dan celana jeans dilengkapi dengan topi, earphone dan kacamata hitam, gaya Sungmin tak jarang membuat beberapa pasang mata melirik ke arahnya.
"Aku hanya khawatir denganmu, Hyung."
"Aahh~ aku sangat suka ketika kau memanggilku dengan sebutan 'hyung' membuatku merasa sudah berada di Korea saja," canda Sungmin. Yunho kembali tersenyum simpul, "Kurasa dengan kemampuan bahasa Koreamu itu, kau dapat bertahan hidup di sana, tenang saja," balas Yunho dengan candaan pula. Sungmin memukul lengan Yunho pelan, lalu keduanya tertawa bersama.
"Hanya saja, aku terlampau iri dengan kucing jelek itu," gerutu Yunho. Menunjuk ke arah kandang Yesung yang diletakkan di samping koper Sungmin.
Sungmin melirik ke arah binatang peliharannya. Tak dapat menyembunyikan rona gelinya melihat kecemburuan di mata Yunho. "Mungkin jika kau mau ikut denganku ke Korea kita bisa menghabiskan waktu bersama lebih banyak lagi, bagaimana?" tawar Sungmin menggoda. Ia sangat tahu bahwa Yunho tidak akan mengikutinya.
"Lalu meninggalkan Jepang? Hanya untuk ke Korea? Hei~ aku masih cinta Jepang, Hyung."
Sungmin memukul bahu Yunho lebih keras kali ini, "Ya! Korea itu tanah kelahiranmu, jangan menjadi kacang lupa pada kulitnya!"
"Auh, auh, kenapa kau memukulku, Min? Ini sakit sekali, tck…" Yunho mengusap bahunya, tak lupa memasang ekspresi sedih yang mungkin berhasil untuk meluluhkan Sungmin. Tetapi Sungmin malah mencubit pipi Yunho gemas, "Ayolaaah~ kita masih bisa berhubungan lewat apa saja. Aku tak akan melupakanmu."
"Mana mungkin kau melupakanku, Min? Itu sangat tidak mungkin." Yunho kali ini tak banyak menjawab, ia hanya tersenyum melihat kebahagiaan Sungmin yang memuncak. Ia masih memikirkannya, apakah ia rela melepas Sungmin untuk kali ini? Terlalu banyak hal yang tidak Sungmin ketahui.
"Hyung…"
"Ya?"
Tepat saat Yunho ingin mengatakan sesuatu. Suara operator wanita yang mengingatkan keberangkatan menghentikannya. Ekspresi Sungmin berubah cerah, berbeda dengan Yunho yang tampak masam.
"Sepertinya kau dipanggil."
"Haha, sepertinya begitu. Kalau begitu aku pamit dulu, jaga dirimu baik-baik. Aku akan merindukanmu."
Yunho terkekeh. Ia mengusap puncak kepala Sungmin yang memang lebih pendek darinya, "Seharusnya aku yang bicara begitu. Jaga dirimu baik-baik, akan kupastikan adikku menjagamu dengan baik." Satu pelukkan dari Sungmin menjadi tanda perpisahan keduanya.
"Sampai jumpa!" Sungmin menarik kopernya dan berlari kecil. Yunho melambaikan tangannya dengan senyum yang sedikit dipaksakan. Tubuh itu semakin mengecil dalam pandanganya. Yunho tak dapat menolak keinginan Sungmin, tentu saja. Sungmin mengatakan akan selalu ada hal baru yang ingin ia rasakan, emosi-emosi baru yang membuat jantungnya berdegup lebih cepat dan membuatnya merasa hidup.
Ya... Sungmin selalu mengatakan ia merasa hidup dengan kenangan yang ia miliki. Pengalaman dan perasaan orang-orang di dekatnya. Sungmin hanya ingin hal itu...
"Semoga kau baik-baik saja, Min."
Hanya hembusan angin yang menjawab bisikkannya. Menerpa kulitya dengan perasaan aneh. Sesuatu di dalam dadanya mengatakan akan ada sesuatu yang datang. Seuatau yang tidak pernah ia rasakan dan tak tahu maknanya. Hanya saja semua itu hanya mengingatkannya kepada satu orang, satu wajah... Lee Sungmin.
.
TBC
.
A/N: Annyeong~ Kira datang lagi membawa seonggok FF aneh bin ajaib lagi~ (_ _")
Ini pindahan dari Wordpress namun ada yang akan Kira rubah di bagian alur maupun adegan, jika kalian ingin FF ini dilanjutkan silahkan review ya... secepat mungkin Kira akan mengupdatenya.
Adakah yang bingung dengan cerita ini? Jika ia, Kira juga bingung kok #plak!
Oh iya, jika ada yang 'ngeh'… lirik yang Kira cantumkan diatas dari adalah potongan dari kata-kata pembuka di novel Harry Potter and the Deathly Hallows, sudah sekian lama novel ini teronggok di kamar author dan baru sadar ada kalimat yang pas buat FF, fuhuhuhu….
Pai… Pai…
