VOCALOID © Yamaha Corporation
Original story by Kasuga Rei [春日 レイ]
Sekitar 13 tahun yang lalu...
Malam natal dipenuhi dengan butiran-butiran salju lembut yang turun dari langit malam, seorang gadis yang muram keluar dari pintu rumahnya yang sangat kelam. Gadis itu berjalan sendirian menuju sebuah lampu jalan yang sinarnya mengalahkan sinar bulan saat itu. Berdiri disana, gadis itu mengusap-ngusap kedua tangannya yang kedinginan dan hembusan embun keluar dari mulutnya serta hidungnya mulai memerah karena dinginnya malam itu.
Gadis itu bernama Megurine Luka, dia sebenarnya gadis yang cukup periang, namun sejak kematian ibunya beberapa tahun lalu, dia menjadi gadis yang cukup pendiam. Namun teman-temannya tetap menerima meskipun kepribadian Luka sudah sangat berubah.
Luka yang masih berdiri di bawah lampu jalan melihat sesosok bayangan orang di seberang jalan. Luka menyipitkan mata birunya. Sosok itu menghampiri Luka dengan cara berjalannya yang sempoyongan. Sosok bayangan itu telah berubah menjadi seorang laki-laki tinggi dengan luka-luka yang ada pada wajah tampannya dan rambut violetnya yang terurai. Tatapan mata laki-laki yang berwarna biru terang tajam itu telah membuat badan Luka itu tak bergerak sama sekali.
Luka menganga dan keringat dinginnya terus mencucur pada kulitnya yang putih.
"Si—siapa anda?" Luka bertanya ketakutan.
Laki-laki itu hanya diam dan tatapan tajamnya berubah menjadi sayu, dan akhirnya tubuh laki-laki itu tumbang tepat di depan Luka. Luka yang saat itu tak tahu harus bagaimana, mengguncang-guncang tubuh laki-laki itu, namun laki-laki itu malah mengeluarkan darah dari mulutnya. Darah tersebut mengenai lutut Luka, dan Luka sangat takut melihat darah. Luka melotot dan berteriak sekencangnya.
13 tahun selanjutnya, sekarang...
Alarm berbunyi dengan kerasnya di pinggir telinga Luka. Luka mengerutkan halisnya dan perlahan-lahan membuka matanya lalu membanting keras alarm tersebut.
"Berisik sekali. Aku sudah bangun!" Luka bergumam.
Luka kini tinggal sendiri di sebuah apartemen, dia sudah bisa dibilang cukup dewasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Satu-satunya keluarga Luka, ayahnya, meninggal beberapa bulan yang lalu.
Luka bekerja sebagai penyanyi di sebuah bar milik seorang pengusaha sukses, Sekine Meiko. Dia wanita dewasa yang sangat dermawan dan sangat baik pada karyawannya. Luka bekerja sebagai penyanyi bersama teman dekatnya, Yowane Haku. Jadwal kerja Luka dan Haku berbeda, shift Haku bagian malam pada hari Minggu hingga Rabu. Dan Luka, Kamis hingga Sabtu.
Hari itu, tepatnya hari Sabtu sore, Luka siap-siap pergi bekerja. Dia nampak kurang sehat, jalannya sempoyongan, matanya sayu dan bicara pun kadang tidak nyambung. Tapi dia memaksakan untuk bekerja. Saat masuk ke bar dia bertemu dengan Meiko. Meiko yang melihat keadaan Luka sangat khawatir.
"Luka, kau tampak kurang sehat. Kenapa tidak ijin saja?"
"Ah, tidak apa. Saya hanya sakit kepala, jangan khawatir." Luka tersenyum berat.
"Jangan memaksakan diri begitu!" Meiko agak marah.
"Meiko-san, saya benar-benar tidak apa-apa." Luka tersenyum hangat.
Meiko menghela nafas dan akhirnya menyerah. Luka pun pergi ke ruang rias dengan langkah kaki yang berat. Meiko teringat sesuatu, dia memanggil Luka.
"Ada apa?" Tanya Luka dengan wajahnya yang lurus.
"Hari ini kita ada tamu penting. Ini, aku beri kau vitamin. Agar kau terlihat segar dihadapan tamu kita." Meiko memberi sekotak vitamin.
"Tamu penting? Tidak biasanya ada tamu sepenting itu."
"Yah, bisa dibilang tamu kita kali ini bisa kita jadikan rekan bisnis. Mohon bantuannya ya, Luka." Meiko tersenyum.
Luka mengangguk dan membalas senyum Meiko. Luka masuk kembali ke ruang rias dan segera bersiap-siap. Ketika Luka sedang mengganti bajunya di ruang salin, tiba-tiba pintu ruang rias ada yang membuka. Otomatis Luka sangat kaget dan segera memeluk pakaiannya. Luka diam dan tak bergerak sedikitpun di ruang salin, karena takut orang yang membuka pintu masuk ke ruang salin. Luka merinding dan wajahnya sedikit pucat, dia mendengar suara langkah kaki yang berat menghampiri ruang salin. Luka yang bersandar di pintu ruang salin tiba-tiba kaget karena orang itu mengetuk pintu itu dengan keras. Pelan-pelan tangan Luka menghampiri gagang pintu untuk menguncinya, namun terlambat, orang itu telah membuka pintunya. Luka mendorong pintu tersebut sampai-sampai bajunya yang tadi dia peluk kini berjatuhan di lantai. Luka pun terhentak dan berteriak dengan kencang.
"TIDAK!"
Terdengar suara tawa di balik pintu ruang salin, Luka heran lalu menengok keluar, ternyata itu Gumi, pemain piano di bar. Luka keluar dan marah-marah pada Gumi.
"Kau pikir itu lucu?! Aku hampir saja mati ketakutan! Kukira kau perampok!" Luka murka.
"Hahahahaha, aku ingin ketawa melihat wajah Luka!" Gumi masih tertawa keras.
"Tidak lucu tahu! Tidak!" Luka lebih murka.
"Iya, iya maaf. Aku salah, salah." Gumi meminta maaf namun masih tertawa.
"Ada apa kesini? Bukannya kau harus sudah bermain duluan?" Luka bertanya tiba-tiba.
"Hng... Meiko-san bilang lebih baik aku kesini dulu. Dia mau berbicara dengan tamu pentingnya secara rahasia. Pantas saja bar belum dibuka, ternyata mau rapat dulu ya~?"
"Serahasia itukah?" Luka penasaran.
Gumi mengangkat kedua bahunya, clueless. Luka melanjutkan mengganti pakaiannya, Gumi tiduran di sofa.
Sekitar 30 menit terlewat, Luka dan Gumi masih ada di ruang ganti, Gumi yang sudah bosan diam saja mencoba mengintip keluar. Dia penasaran dengan obrolan rahasianya Meiko dan tamu pentingnya. Luka sama sekali tidak menghentikannya, karena sudah sama-sama bosan menunggu. Gumi mengendap-ngendap keluar dan dia melihat sosok Meiko sedang duduk dikelilingi oleh bodygurad berbadan besar dan menakutkan. Gumi kaget dan keringat dinginnnya keluar. Gumi tidak bisa mendengar pembicaraan mereka, dia mencoba mengendap-ngendap lebih dekat. Luka yang sedang di ruang ganti pun akhirnya khawatir pada Gumi, dia menyusul dan melihat Gumi yang sedang membungkuk mencoba mendengar pembiacaraan. Luka menepuk pundak Gumi. Gumi kaget.
"Luka-san! Aku kira siapa." Gumi menghela nafas.
"Maaf, bagaimana? Sudah selesai? Aku sudah bosan."
"Hng... Aku tidak bisa mendengar pembicaraan mereka." Gumi mengeluh.
Luka menyipitkan matanya dan melihat sesosok laki-laki yang sedang berbicara dengan Meiko. Laki-laki itu berbadan tinggi indah, berambut ungu dan diikat, matanya biru terang dan tatapannya seakan membuat yang disekitarnya menjadi es. Luka tersentak.
"Itu... Itu..."
Mata Luka terbelalak, mulutnya berkomat-kamit, wajahnya tiba-tiba pucat.
"Lu—Luka-san?" Gumi heran.
Mata laki-laki itu menyadari akan kehadiran Luka. Perlahan-lahan, dia memalingkan pandangannya pada Luka yang sedang kaget setengah mati. Luka yang membatu, sekali lagi menatap mata biru terang laki-laki itu dengan perasaan bahwa dia akan dibunuh.
"Hoo..."
Satu kata dari laki-laki itu, seakan-akan seperti serangan beribu-ribu pedang di telinga Luka. Luka pun tumbang karena dia merasa jiwanya telah terambil oleh kata "Hoo..." dari laki-laki itu. Gumi kaget dan lalu berteriak.
"Aaah! Luka-san! Luka-san!"
Meiko terhentak dan segera menghampiri mereka. Meiko sangat kaget pula karena melihat Luka tergeletak di lantai dengan matanya yang terbelalak ketakutan. Laki-laki itu menghampiri mereka. Suara langkah demi langkah laki-laki itu terdengar oleh Luka, Luka ingin lari namun dia tidak bisa berbuat apa-apa. Laki-laki itu menyuruh Meiko dan Gumi menepi. Laki-laki itu meraih tangan Luka yang dingin. Luka sangat kaget karena tangannya dipegang oleh laki-laki itu. Dia masih ingat saat dulu mereka bertemu dan laki-laki itu menyentuh tangan es-nya pada pipi Luka.
"Si—siapa kau?
"Apa urusanmu, bocah?"
"Kau dingin. Apa kau tidak punya rumah untuk mengahangatkan diri?"
"Aku hanya ingin satu hal saja."
"A—apa? Apa maumu? Tidak! Jangan! Jangan! TIDAK!"
Luka tersadar dari flashback-nya dan tersentak. Luka tiba-tiba berdiri. Darah rendah, Luka yang tiba-tiba berdiri merasa sangat pusing dan pingsan di tempat. Semua kaget, lalu menghampiri Luka. Laki-laki itu diam saja dan dia tersenyum sinis.
Luka dibaringkan di sofa ruang kerja Meiko. Mereka berdua nampak khawatir, laki-laki itu berdiri tepat di hadapan Luka. Perlahan-lahan mata Luka terbuka, dia terus-terusa memegang kepalanya karena pusing. Matanya masih blur, saat bola mata Luka normal, dia melihat kembali sosok laki-laki itu dihadapannya. Luka sangat kaget dan memeluk Meiko yang tepat berada disampingnya. Meiko sangt penasaran kenapa Luka bertingkah seaneh ini. Luka yang memeluk Meiko, berbisik ke telinganya.
"Dia... Dia... Dia bukan manusia biasa."
"Hah? Apa maksudmu?" Meiko membalas berbisik.
"Perkenalkan, aku Kamui Gakupo, rekan dari Meiko." Tiba-tiba, laki-laki itu memperkenalkan dirinya pada Luka.
Luka memandang ketakutan, Meiko hanya terheran-heran. Melihat kondisi seperti ini, Meiko tidak akan membuka bar hari ini. Meiko membubarkan semua karyawannya, akhirnya semua pulang. Luka diantar oleh Gumi dengan motornya. Gumi berhenti di depan sebuah konbini (mini-market).
"Tunggu sebentar ya, aku mau membeli onigiri dulu." kata Gumi.
Luka mengangguk dan menunggu Gumi di luar. Saat menunggu, tiba-tiba sebuah mobil Porsche hitam pekat menghampiri Luka. Luka penasaran, dan dia membungkukkan badannya menuju jendela mobil itu. Jendela terbuka, dia melihat wajah Gakupo. Otomatis Luka kaget dan mencoba lari masuk ke konbini menyusul Gumi, namun Gakupo keluar dengan cepat dan meraih tangan Luka. Dia menarik tanga Luka dan mendorongnya masuk ke mobil milinya. Luka sama sekali tidak bisa berteriak saat itu. Mobil Gakupo pun akhirnya tancap gas. Gumi keluar dari konbini dan bingung karena Luka tidak ada.
Di mobil Gakupo, Luka menunduk ketakutan dan tidak berani melakukan kontak apapun dengan Gakupo. Gakupo melirik Luka dan tersenyum.
"Hmm... Kau merindinging begitu, kau sedang sakit?"
Luka tidak menjawab sama sekali. Gakupo yang tersenyum biasa, melihat kelakuan Luka yang seperti ini membuat senyum sinis dan mengejek Gakupo semakin melebar. Lampu merah. Luka melirik ke luar jendela. Tangan Gakupo dengan cepat meraih kapala Luka. Dia awalnya mengusap-ngusap kepala Luka, namun akhirnya kepala Luka di tarik ke hadapan wajah Gakupo. Berhadapan sangat dekat, hingga Luka bisa merasakan nafas dingin Gakupo.
"Mau seperti saat itu lagi?"
Luka melotot kaget dan mendorong wajah Gakupo. Gakupo melepas tangannya dari kepala Luka. Senyum licik Gakupo semakin melebar saja. Luka akhirnya memberanikan diri berbicara dengan Gakupo.
"Kau... Tidak menua."
"Hmm... Kau penasaran?" nada Gakupo mengejek.
"Aku masih ingat, perawakanmu dan semuanya sama seperti 13 tahun yang lalu." Luka mulai merinding.
Gakupo diam dan menarik kopling. Lampu hijau. Luka lanjut berbicara pada Gakupo.
"Apa yang sebenarnya kau lakukan padaku saat itu? Kau mendekatiku dan semua tiba-tiba hitam di mataku, lalu saat aku bangun, aku sudah terbaring di rumah sakit dengan wajah pucat dan tubuh melemah. Dokter bilang, aku hampir mati saat itu. Aku hampir tidak merasakan tubuhku sendiri."
Gakupo masih tersenyum dan tidak menjawab. Luka kini berani memandang wajah Gakupo. Tak sadar terus berbicara dan memandang Gakupo, Luka tidak sadar kalau jalan yang Gakupo lewati sama sekali tidak ada siapa-siapa. Luka mengingat masa lalu kembali. Dia memegang erat sabuk pengaman. Gakupo melepas sabuk pengamannya. Gakupo menarik sabuk pengaman Luka, tubuh Luka pun tertarik. Gakupo perlahan-lahan berbisik pada telinga kanan Luka.
"Aku memakan setengah jiwamu, nona kecil." Gakupo tersenyum.
Luka kaget dan mendorong tubuh Gakupo. Tapi Gakupo sama sekali tidak bergerak, Gakupo menahan dirinya. Gakupo tersenyum licik dan membuka paksa sabuk pengaman Luka. Luka hampir meneteskan air matanya, Gakupo perlahan-lahan mendekatkan mulutnya ke arah leher kiri Luka.
"Hmm... Lihat, bekasnya masih ada." Gakupo tiba-tiba berbicara.
"Apa-? Ada apa?" Luka kaget dan memegang leher sebelah kirinya.
"Tinggal satu langkah lagi." Gakupo tersenyum.
To be continued...
