Hawa dingin dari AC yang menyala, membuat ruangan luas nan penuh lemari berisi buku itu menjadi lumayan sejuk, ditambah dengan suasana ruangan yang memang sangat hening, menjadikan ruangan tersebut benar-benar sangat nyaman. Sejak satu jam lalu, proses belajar mengajar di Konoha International High School telah usai untuk hari ini. Dan hampir semua murid sudah pulang ke rumah mereka masing-masing. Terkecuali beberapa guru dan murid yang merasa masih punya keperluan di sekolah.
"Kalau tidak ada yang ingin kau katakan, aku pergi," sebuah suara bernada berat khas remaja baru dewasa itu terdengar menggema di ruangan penuh buku tersebut dengan sedikit emosi. Menjadikan beberapa murid yang masih tersisa menoleh ke arah sang pemuda yang sedang mendengus bosan pada seseorang di depannya.
"Kau terlambat, pemalas," balas wanita berambut pirang disanggul satu di depan sang pemuda sambil memperbaiki kaca mata petak kecilnya yang sedikit miring dan menutup buku yang tengah ia baca dengan tenang.
"Ck, merepotkan!"
Kembali terpikir oleh si pemuda akan usahanya untuk datang menemui guru baru di depannya, betapa ia harus berlari-lari dan sangat berusaha agar sampai tepat waktu di perpustakaan, walaupun hasilnya tetap saja ia terlambat tiga menit. Tapi sungguh, balasan yang ia terima akan usahanya tersebut benar-benar menyulut api emosinya untuk tumpah keluar. Sang guru baru itu bahkan betah mendiamkannya selama hampir setengah jam. Dan ia dengan bodohnya mau berdiam diri menunggu sang guru wanita di depannya berbicara.
Dengan emosi memuncak yang tidak tertahan lagi, pemuda berambut seperti nanas itu segera beranjak dari tempatnya duduk dengan mendengus keras. Terlalu banyak umpatan yang sangat ingin dikeluarkannya dari mulut. Dan dengan segala kerelaan hati ia tahan demi mempertaruhkan harga diri.
Namun, usaha si murid untuk beranjak harus di tunda saat itu juga, karena dalam satu kali hentakan, tangan si pemuda sudah ditangkap dengan mudah oleh sang guru. Wanita berwajah negeri paman sam itu telah berdiri dan menatap pemuda di depannya dengan tajam. "Kau benar-benar tidak punya hormat pada guru..." desisnya dingin.
"Heh, salahkan saja dirimu yang tidak pandai menjadi guru."
"Hmm, aku sangat tersinggung."
Dengan perlahan, guru cantik bertubuh tinggi semampai tersebut sudah melepaskan tangan murid laki-laki yang mempunyai tinggi yang sama dengannya. Tidak dapat dipungkiri, wajahnya memang sedang menyiratkan raut yang sangat tersinggung akan perkataan si murid. Menjadi guru memang bukan cita-citanya, tapi setidaknya, ia bukanlah seorang yang bodoh untuk ukuran seorang guru. Bahkan, setelah satu minggu mengajar, ia sudah mendapat pujian dari berbagai macam pihak atas atensinya menjadi seorang guru.
.
Pemuda berstatus murid itu menyipitkan mata saat guru di depannya sudah kembali pada kegiatannya, duduk dan membaca buku kembali dengan tenang. Rasanya, baru kali ini ada seorang yang telah berhasil membuat emosinya tersulut dengan begitu cepat. Apalagi guru baru itu seusia dengannya. Bibir si murid sudah akan bergerak untuk berkomentar, manakala sang guru muda itu sudah terlebih dahulu membuka suaranya, kembali.
"Baiklah, itu adalah hukumanmu, kau boleh pulang..."
'Benar-benar guru sialan!'
-ShikaTema-
.
.
Disclaimer :
Naruto © Masashi Kishimoto
Alam Nyata © Me
Summary : Bisakah cinta yang berawal dari mimpi akan berlanjut pada kehidupan nyata?
Warning : Typo's, mungkin OOC, AU, dan lainnya.
"bicara"
'dalam hati'
Selamat membaca!
.
"Cih, sialan!"
Pemuda bermata sipit itu membanting tas ransel hijau tuanya ke atas ranjang dengan penuh emosi. Tubuhnya juga ia hempaskan dengan bebas di samping tas. Wajahnya benar-benar menyiratkan amarah terpendam yang sedang meluap-luap. "Temari sialan!" umpatan yang keluar dari mulutnya pun benar-benar sudah sangat jauh dari etika. Bahkan nama sang guru baru dikatakan olehnya dengan tidak hormat.
Bunyi dan getaran yang berasal dari ponsel hitam miliknya juga tidak dipedulikan. Bibir si pemuda berdarah Jepang itu masih sibuk mengumpat pada guru baru di sekolah yang tadi menghukumnya dengan seenak hati.
"Shikamaru, bisa tolong Kaa-san ke warung sebentar? Pamanmu akan datang. Persediaan di rumah sudah habis, Kaa-san belum ke pasar, Kaa-san kurang enak badan. Ayo, cepat sana! Ini uangnya!"
Dengan gerakan sangat bosan dan malas, Pemuda bernama Shikamaru itu bangkit menerima uang dan sebuah kertas yang disodorkan sang Ibu. Setelahnya, ia berlalu untuk membeli pesanan ibunya tanpa menukar baju sekolah terlebih dahulu. Pemalas tidak berarti harus pembangkang, bukan? Ibunya sedang tidak enak badan.
Batu-batu kerikil yang berada di tepi jalan kini berubah menjadi luapan kekesalannya. Dengan tidak tanggung-tanggung, batu-batu kecil tersebut sudah melayang berhamburan akibat tendangan keras dari kaki berbalut sepatu hitam Shikamaru. Sepertinya, pemuda tersebut benar-benar bingung dalam mengungkapkan amarahnya yang selama ini selalu berhasil ia tahan.
"Guru sialan, cih!"
.
"Kyaa, Kaa-san! Kepalaku sakit...!" sebuah pekikan keras yang berasal dari seorang anak kecil perempuan, berhasil membuat Shikamaru kelabakan. Tidak menyangka kalau batu yang ia tendang telah berhasil mengenai orang lain yang melintas.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Shikamaru sambil mendekati anak kecil yang sedang menangis tersebut. Ia berusaha menenangkan si gadis kecil dengan mengusap-ngusap kepala si anak.
Tapi memang sepertinya nasib pemuda tersebut sedang tidak baik. Niat baiknya menenangkan si gadis malah berhadiah sebuah pukulan keras dari ibu sang gadis kecil. Ibu-ibu berwajah sangar dan bertubuh gemuk telah berdiri di belakangnya sambil memberikan tatapan tajam ala monster.
'Sialan!'
.
"Tomat, telur, ikan, abon, sayur, susu, mayonese, kentang, saos, gula, kecap, daging sapi, garam, cabe merah, tepung terigu, dan ..." tampang horor seketika bertengger di wajah tampan pemuda asal Jepang tersebut saat melihat daftar belanja terakhir titipan sang ibu. '... lipstik?' batin Shikamaru heran. 'Sejak kapan aku menjadi tukang beli lipstik?'
"Sialan!" dan untuk kesekian kalinya kata-kata sialan kembali mengudara dari bibirnya.
.
.
Seorang gadis berambut pirang disanggul satu berjalan dengan tenang di lorong swalayan. Tangan kanannya sesekali bergerak mengambil barang-barang yang ia perlukan. Beberapa bungkus makanan ringan tampak memenuhi troly belanja yang sedang ia dorong. Sementara itu, tangan kiri ia gunakan untuk memegang telepon genggam sambil berbicara dengan seseorang.
"Hmm, tenang saja, Kaa-san. Aku sangat senang tinggal di Jepang," ujar si gadis tenang sambil tersenyum sekilas. Beberapa bungkus susu kotak ia masukkan ke dalam troly.
"Aku akan berusaha."
Terkadang raut wajah sang gadis berubah-ubah mengikuti alur pembicaraan orang yang sedang berbicara dengannya. Sedih, senang, kecewa, cemas, dan semacamnya. Namun semua ekspresi itu akan berakhir dengan nada ceria. Bahkan sampai ia menutup telepon pun, wajahnya masih dipenuhi oleh senyum menawan.
"Hmm, apa lagi ya?" gumamnya sambil mengedarkan pandangan.
Tepat saat ia menghentikan pandangannya pada koleksi berbagai macam alat kecantikan, ia sempat melihat seorang pemuda sebayanya yang tampak sedang kebingungan. Seorang pemuda berstatus sebagai muridnya yang tadi ia marahi (baca:jahili) di sekolah. Sebuah senyuman lebar ia tujukan pada sang pemuda yang belum menyadari keberadaannya.
"Ehm, mau beli apa, Shikamaru-kun?" tanya gadis yang dikenal sebagai guru baru bagi pemuda tersebut sambil berdehem tanpa menoleh ke arah si murid. Sengaja menyibukkan diri memilih-milih barang yang ada di rak depannya.
Shikamaru menatap muram durja pada guru di depannya. Tidak menyangka akan bertemu dengan guru yang paling ia benci saat ini, di tempat yang ia benci pula. Malu dan sangat malu. Rasanya wajah tampan miliknya sangat tidak berguna. Helaan napas bosan kembali menguar dari bibirnya. Betapa pun ia melawan, si guru baru tersebut selalu punya seribu satu cara dalam mengeluarkan segala emosinya.
Dengan berusaha menahan gejolak amarah yang meledak-ledak dan memasang muka tebal yang menantang, sedetik setelahnya, bibir Shikamaru telah bergerak menyeringai (baca: berusaha menyeringai) sambil menatap ke arah sang guru. "Eh, ada Temari..." ujarnya santai. Seakan-akan menjawab sapaan sinis dari sang guru yang tidak dianganggapnya guru sama sekali.
Keadaan pun semakin tegang setelah keduanya saling adu deathglare dengan backround listrik yang menyambar dari keduanya. Sama-sama emosi dan menahan amarah yang bisa meledak kapan saja.
Benar-benar dua orang idiot yang mau bertengkar di atas status guru dan murid yang tengah disandang keduanya.
.
.
"Hey Gaara, ada apa dengan wajah datarmu?"
Seorang pemuda berambut raven membuka helm yang menutupi kepala dan wajahnya. Ia menatap pemuda berambut merah bata yang baru saja ia sapa dengan alis terangkat. Terlihat heran dengan keadaan sahabat terdekatnya yang memang selalu berwajah datar itu, namun kini telah berubah menjadi lebih datar.
"Kau terlambat, Sasuke. Dia sedang mengalami penyakit pada saraf-sarafnya..." jawab seorang pemuda lain yang berambut hitam sambil tersenyum tidak jelas. Matanya sampai menyipit untuk memperlihatkan sebuah senyuman.
Sasuke terkekeh pelan saat mendengar komentar sahabatnya yang lain. Ia mengerling geli sambil mendengus, "Kau berlebihan, Sai. Punggungmu bisa-bisa retak karena ucapanmu. Ingat, mulutmu harimau Gaara, heh!"
"Hahaha, tenang saja. Dia bahkan tidak sanggup untuk menendang," balas Sai terbahak. Mata hitamnya kemudia beralih pada pemuda berambut panjang ikat satu yang berada di samping kirinya. "Dan kau tahu, orang ini juga sama, hehe..." sambungnya santai dengan meletakkan ujung telunjuknya tepat di hidung Shikamaru.
"Ck, merepotkan..." gumam pemuda malas tersebut sambil menyingkirkan telunjuk Sai yang menempel di hidungnya. "Aku sedang malas."
"Hey, kau memang pemalas!" sahut Sasuke dan ikut bergabung duduk di sisi meja kafe tempat keempat remaja itu sering berkumpul.
.
"Tadi, aku dan Karin putus..." ujar Sasuke membuka pembicaraan setelah makanan yang mereka pesan datang. Helaan napas berat meluncur dengan mulus dari mulut sang pemuda Uchiha. Mengungkapkan kalau ia menyesal dengan keputusan tersebut. "Ini ceritaku, apa ceritamu?" tanya Sasuke sambil memasang wajah datar, sedatar tembok.
Tiga pemuda tampan lain yang berada di sekitar meja, langsung berubah ekspresi saat mendengar kalimat terakhir dari Sasuke. Mulut menganga dan mata tidak berkedip dalam tiga menit. Bagai ikan tidak makan beberapa hari. 'Sejak kapan anak ini jadi lebay?' batin semuanya serentak.
Sementara itu, Sasuke yang mendapat pandangan seperti itu dari para sahabatnya, tidak berkomentar apa-apa. Dengan santai ia meneguk jus tomat yang tadi ia pesan. "Apa aku salah bicara?" tanyanya datar.
"Oh, haha. Kau tidak salah!" ujar Sai sedikit kikuk. Menyaksikan ke-OOC-an Sasuke di depan mata memang sungguh sangat menakjubkan. "Haha, ceritamu sangat menyedihkan kawan. Bersabarlah..." nasehat Sai sambil menepuk-nepuk pundak Sasuke masih dengan kikuk.
"Hn, sabarlah..." ujar Gaara ikut memberi nasehat.
Selanjutnya, ketiga pemuda tampan itu menoleh ke arah pemuda lain yang menjadi peserta terakhir mereka, Shikamaru. Menunggu, kira-kira apa gerangan komentar yang akan diucapkan oleh si Jenius Pemalas tersebut.
"Cih, merepotkan! Aku lebih buruk darimu."
"HAH?"
Kini keadaan berbalik, tadi Sasuke yang telah menjadi pusat perhatian, kini berganti dengan Shikamaru. Ia menguap saat mendapati pandangan penasaran dari ketiga sahabatnya. "Ceritaku lebih buruk dari ceritamu, Sasuke..."
Sai yang memang paling suka memperlihatkan ekspresi paling bodoh di antara keempatnya pun mulai membuka buku hariannya dan alat tulis. "Ini adalah hari yang sangat bersejarah," gumamnya mengabaikan tatapan illfiel yang ditujukan padanya. "Jadi, bagaimana ceritamu?" tanya Sai sambil melirik Shikamaru.
Sebelum bercerita, pemuda bermata sipit itu menghela napas berkali-kali terlebih dahulu. Membuat ketiga pemuda yang siap mendengar ceritanya pun jadi ter-ikut oleh tarikan napas Shikamaru. Tarik ... hembuskan ... tarik ... hembuskan ... tarik lagi. Begitulah seterusnya.
"Hey, kapan kau mau bercerita?" dengus Sasuke yang mendapat anggukan serentak dari Sasi dan Gaara.
"Ck, merepotkan! Tadi aku dihukum si Guru Sialan itu!" ujar Shikamaru sambil mengeluarkan napasnya dengan mendengus.
"Lalu?" tanya Sasuke tidak paham. Menurutnya, kalimat mendapat hukuman itu tidaklah membuat kaget dan tidak terlalu buruk. Bukannya itu merupakan suatu hal yang sangat biasa? Sai dan Gaara lagi-lagi ikut mengangguk menanggapi pertanyaan Sasuke.
"Hukumannya..."
"Hn?" Sasuke dan Gaara berujar dengan serempak. Mereka seakan tertarik dengan kata-kata selanjutnya yang akan diucapkan si pemuda Nara. Sementara Sai telah mempersiapkan alat tulisnya di atas buku.
"Dia mendiamkanku sampai setengah jam, dan mengatakan kalau itu adalah hukumannya," jelas Shikamaru dengan wajah memerah menahan malu dan amarah yang kembali menyerangnya.
Sedetik dua detik setelahnya, tidak ada suara yang menyahut. Ketiga pemuda di depannya hanya diam dengan wajah yang sulit dimengerti. Membuat Shikamaru yang merasa tidak mendapat respon apapun mendengus bosan.
Tapi, beberapa detik setelahnya, ketiga pemuda tampan tersebut sama-sama mengeluarkan tawa mereka serempak dengan terbahak. Apalagi jika membayangkan, betapa merananya wajah Shikamaru saat mendapat hukuman itu. Tawa ketiganya semakin kencang manakala wajah merana Shikamaru telah terbayang dengan versi berbeda untuk ketiganya.
"Hahaha, kau sangat lucu, Shikamaru!" ujar Sai masih sambil terbahak.
"Hahaha, benar sekali. Dia benar-benar lucu!" ujar Sasuke pula yang benar-benar terlihat sangat OOC. Tidak tahan dengan cerita Shikamaru.
"Heh, itu sangat bagus untukmu. Tapi itu belum seberapa. Dia bahkan lebih gila dari itu," ujar Gaara mencemooh. Walau tidak dipungkiri wajahnya menyiratkan kegelian akan cerita Shikamaru.
"Apa maksudmu?" heran Shikamaru sambil mengerutkan dahinya. "Kau berbicara seakan-akan kau telah mengenalnya bertahun-tahun."
"Hn..."
"Hey Gaara! Apa maksudmu?" tanya Sai pula. Tentu ia juga penasaran akan komentar Gaara yang terlihat sudah terbiasa dengan kejadian Shikamaru.
"Ceh, Tentu saja aku mengenalnya."
"Kau ... pacarnya?" tanya Sasuke ngawur, Sai mengangguk-angguk, dan Shikamaru menguap.
Gaara mendelik mendengar pertanyaan Sasuke. Ia menyeruput green tea di tangannya dengan wajah sedikit emosi, entah pada siapa. "Dia kakakku..." gumam Gaara sambil memperhatikan reaksi dari tiga orang di depannya sesaat. Namun, ia tidak berhasil menemukan ekspresi apapun pada ketiga sahabatnya yang tampak sedang loading dalam menyerap kata-kata. "Datang ke sini untuk mengawasiku, sekaligus mencari pacar baru yang ke seratus satu."
Sama seperti sebelumnya, keempat pemuda tampan itu kembali terdiam bersama.
Satu menit
Dua menit
Tiga menit
Empat menit
Li-
"APAA?"
.
.
To
Be continue~
.
Hehe, dengan segala kerendahan hati, saya mempublish fic baru, XD alias sekuel dari fic 'Antara Dua Alam'. Sangat spesial untuk para readers yang udah riques agar di buat sekuel. Hmm, yang minta sekuel kemarin, tanggung jawab, harus review! :P
Tidak banyak yang saya harapkan. Saya hanya mengaharapkan review, conkrit, dan semisalnya dari siapa saja yang membaca dan menginginkan kelanjutan fic ini. #karena saya adalah maniak yang selalu mengambil pelajaran dari komentar pembaca, -,-
