Disclaimer : Masashi Kishimoto

Pairing : Sasuke - Sakura

Warn : Kata-kata kasar

S A K U R A

Aku ingin sekali menendang selangkangan si bodoh didepanku ini. Dia nyaris membuatku melakukan aksi nekat seperti melayangkan kursi atau sejenisnya dari depan kelas dengan diawasi oleh Kurenai-sensei dan Tsunade-hime pada perkenalan pertamaku, hari pertamaku di sekolah baruku. Naruto benar-benar tak punya otak. Coba kalian bayangkan, apa yang akan kalian lakukan jika seorang laki-laki bertanya tentang ukuran bra kalian pada saat kalian berkenalan didepan kelas sebagai murid baru? Menjijikkan.

Setelah melayangkan pertanyaan tak pantas itu, ia sukses mendapat jitakan manja dari Tsunade-hime serta bentakannya untuk ke ruang BK pada jam istirahat pertama. Yang dibalas dengan cengiran khasnya, membuatku tak habis pikir karena kebodohannya.

"Sakura, kau berhutang satu kaleng bir padaku."

Celetukan itu membuatku mendelik sangar pada Naruto. Pria yang sudah menjadi temanku sejak aku dalam kandungan itu akan membuatku gila jika kelakuannya masih seperti ini tiap harinya nanti. "Ambil semua kaleng birku kalau itu bisa mengusirmu dari hidupku, Pirang."

Naruto mendengus kasar, sebelum merebut buku catatanku dari hadapanku dan menyalin materi sebelumnya sembali sesekali berkomat-kamit. "Dasar tidak tahu terimakasih. Aku tadi 'kan hanya menyuarakan apa yang menjadi isi pikiran sebagian besar laki-laki ditempat ini. Aku hanya sedikit berbuat baik."

Secara reflek aku menendang kakinya dari bawah meja keras-keras, membuat cowok itu meringis dan menatapku sebal. "Dasar brutal." makinya.

Aku mengacuhkannya. Berdebat dengan Naruto hanya akan membuatku muak karena cowok itu akan selalu menang dariku. Dengan cara kotor seperti mengancamku, atau dengan ucapannya yang berhasil membuatku kehilangan kata-kata. Selalu berakhir dengan pipi pemuda itu yang membiru karena kutonjok. Walau begitu, Naruto tak pernah jera dan selalu mengulangi kesalahannya, hingga menbuatku lelah dan hanya menamparnya. Jujur saja, aku lebih suka berteman dengan si blonde bodoh ini daripada dengan seorang yang bergender sama denganku. Aku benci pengkhianatan. Aku menghabiskan sebagian besar waktu hidupku yang sudah kujalani bersama tunggal Uzumaki ini. Sejak bayi sudah disandingkan dalam satu boks bayi besar, bersebelahan. Belajar berjalan dan terjatuh, lalu menangis bersamaan. Belajar membaca dan menghitung bersama, dikelas yang sama, semeja. Belajar saling memaki bersama. Makian pertamaku kutujukan pada pria ini, saat ia tak sengaja menyalakan kipas angin dibelakang tubuhku hingga rok selututku tersingkap, menampakkan dalamanku pada kelas lima SD.

Saat itu, aku menangis seharian dan tak mau menemuinya selama sebulan. Benar-benar sebulan atau mungkin lebih satu hari aku tak bertemu apalagi menyapanya. Tempat dudukku dipindah ke paling depan, tempat dimana cowok itu paling anti menempatinya karena dianggap kursi listrik oleh sebagian besar murid laki-laki. Tempat dimana aku bisa tak mengalihkan pandangku secara sengaja ataupun tidak padanya, di kursi barisan belakang. Setelah kejadian itu, entah bagaimana kami kembali dekat. Kembali berangkat sekolah bersama, kembali bermain bersama, dan yang baru adalah; mulai saling terbuka melontarkan makian satu sama lain. Kehidupan kami sampai saat ini lucu. Lucu rasanya saat mendengar cowok sialan ini memiliki kekasih dan sudah tidur dengan wanita malang itu, dan dengan gamblang menceritakan padaku bagaimana prosesnya. Tentu saja aku langsung melotot dan meninggalkan tempat kejadian. Lucu rasanya mendengar kalau wanita itu ternyata seorang gadis populer yang pendiam dan tampak pemalu. Sangat cantik dan tampak kalem dengan rambut indigo sepunggungnya dengan mata sejernih bulan.

Sekali dalam seribu kesempatan, aku pernah merasa takut kehilangan Naruto. Ini bukan tentang cinta. Ini tentang rasa sayang seorang kepada sahabatnya. Sejak kecil, aku selalu bersamanya. Dia yang menjadi tamengku, menjadi pelindungku, menjadi seseorang terdepan yang siap mengulurkan tangan ketika aku jatuh. Mungkin aku yang berpikir terlalu jauh. Namun rasanya menakutkan ketika berpikir kalau suatu saat nanti Naruto akan pergi menjauh dariku. Takkan ada lagi yang mengulurkan tangannya saat aku jatuh, karena aku pribadi introvert yang tak memiliki satu temanpun selain dirinya. Dilain sisi aku juga tahu diri. Aku juga tidak bisa egois dengan memonopolinya hanya untukku sendiri yang hanya berstatus sahabat dekatnya. Dia butuh seorang pendamping hidupnya, dan tentu saja aku tak bisa melakukannya.

Malam itu, aku menangis. Di dalam kamar Naruto, aku menangis sambil menghadap tembok, dengan pria itu yang tidur disampingku. Saat itu, kami kelas tiga SMP. Masih sering tidur bersama walaupun intensitasnya berkurang. Kami tidur saling membelakangi, walau aku yakin kalau ia belum tidur.

Dan ya. Dia belum tidur. Langsung terduduk ketika isakanku tak bisa kutahan lagi. Ia membalikkan badanku perlahan hingga aku terlentang menghadapnya. Dengan pandangan buram, aku masih bisa melihat dia menatapku khawatir.

"Kau baik-baik saja? Apa ada yang menyakitimu, Sakura?"

Isakanku kian keras, membuatnya panik. Untung saja, saat itu orang tuanya sedang tidak dirumah. Naruto bisa dituduh macam-macam kalau orang tuanya mendengar suara tangisanku.

"Ah-kuh tah-kut, Naru-toh.. Ja-jah-ngan tinggalkan ah-kuh. Jah-ngan per-gih, Na-naru-toh.."

Malam itu, Naruto memelukku erat dan berkata bahwa ia takkan meninggalkanku. Kami tidur berpelukan sampai pagi dan bangun dengan tangan kram. Saat itu, aku tahu kalau satu-satunya orang yang takkan meninggalkanku selain orang tuaku adalah ia. Si tunggal Uzumaki.

Seberapapun dekatnya kami, aku tak pernah berpikir bahwa aku bisa mencintainya. Kami ditakdirkan hanya sebagai sahabat, begitu seterusnya. Sampai saat ini, di usiaku yang ke tujuh belas, tujuh belas tahunku di dunia, tujuh belas tahun yang kujalani bersama Naruto, kami sama sekali tak pernah melibatkan perasaan.

"Kau dan teme sama saja. Kalian sama-sama suka menyiksaku."

Mau tak mau, seluruh atensiku teralih saat Naruto menyebut tentang temannya itu. Orang yang sukses membuatku merasa penasaran karena tatapan datarnya yang sama sekali tidak menyiratkan perasaan. Pada oniks sehitam malamnya yang sukses membuat para gadis menjerit histeris kala manik tajamnya menyorot mereka. Pada senyumnya, yang hanya menjadi mimpi para gadis yang menyukainya.

Pada aura mengintimidasinya yang terasa sangat nyata, bahkan saat ia berada lima puluh meter dariku. Pada aura sensualitasnya yang selalu membuat pusat tubuhku berdenyut tak nyaman ketika manik sehitam jelaga itu menelisik menatapku.

Uchiha Sasuke benar-benar seorang pria sensual yang tampak dingin, nakal, liar, dan berbahaya.

S A S U K E

Aku hanya menatap lurus-lurus kedepan, ke tempat dimana teman terbodohku yang sedang nyengir selebar-lebarnya itu duduk dengan seorang gadis berambut bubble gum yang tampak mengaduk-aduk jus tomatnya dengan tak tertarik. Ada kerutan yang tampak jelas di dahinya, dengan bibir yang digigit. Menampilkan dengan jelas ekspresinya ketika berpikir keras. Aku harus mengepalkan kuat-kuat tanganku didalam saku celana saat melihat manik klorofil itu menatapku tertegun sesaat, walau gadis itu langsung mengalihkan pandang kearah lain dengan bibir yang masih digigit.Aku menarik kursi dan duduk didepan Sakura, nama gadis musim semi itu.

"Aku tak punya banyak waktu, Dobe." ujarku datar, melirik tanpa minat pada Naruto yang menatapku memelas. Berusaha keras mengacuhkan manik klorofil yang tengah menatapku penasaran.

"Aku hanya ingin mengatakan sesuatu padamu, Teme. Dasar tidak sabaran." Naruto berdecak sebal, membuatku melengos dan memilih diam tanpa menjawab.

"Aku mau kau menjaga Sakura selama masa liburan ini. Aku ada urusan dengan--"

"APA MAKSUDMU?!!!" otakku yang selalu nyantol terhadap soal logaritma yang panjangnya bergaris-garis itu pun kali ini tak ada artinya. Aku masih terdiam dengan wajah tak percaya, masih memproses apa yang Naruto ucapkan. Bahkan agak terkejut saat mendengar respon Sakura diiringi dengan gebrakan meja dan tatapan nyalangnya yang ia lontarkan untuk Naruto. Si bodoh ini benar-benar.

"Aku tidak mau. Jangan bodoh Naruto." aku mengernyit tidak suka saat pria itu menyorotku memohon, menghiraukan tonjokan Sakura yang sebentar lagi mungkin akan menembus jantungnya.

"Aku tidak bisa meninggalkannya sendiri, Sasuke. Dia bisa menghancurkan seisi rumah jika ia sendiri disana. Wanita ini bahkan tidak bisa merebus air dengan benar, dan dia bahkan tak bisa meniriskan mi instan dengan sempurna," Naruto setengah menggerutu saat mengatakannya, membuat Sakura reflek menonjok lengannya keras-keras dengan wajah merah padam yang menurutku menggemaskan.

Aku jadi ingin memakannya.

Dasar bodoh. Bisa-bisanya aku memikirkan hal lain disaat genting seperti ini.

Bagaimana bisa aku menjaga wanita merah muda ini? Bagaimana bisa aku menjaganya kalau dengan tatapannya saja aku sulit mengalihkan pandang? Bagaimana bisa aku menjaganya kalau dengan bibirnya yang tergigit saja sudah membuatku nyaris lepas kendali?

Boleh saya minta reviewnya? Kadang, review dari kalian yang ngebuat saya up lagi setelah merasa cukup down karena merasa kalau cerita saya sudah terlalu mainstream.

Sankyuu.