A/N: Halo, ini tantangan ketigaku di shindanmaker. Dan kali ini aku nekad membuat trilogi! OwO. Dan ketiganya akan langsung kupublish bersamaan. Jadi mohon dukungannya ya, meski ini fail, bukannya angst kayaknya menjorok ke tragedy hehehe.

Chara: Feliciana Vargas (North Italy), Lovina Vargas (South Italy/Romano), Marlene Sachen/Monica Beilschmidt (Germany), Isabel Carriedo (Spain), Julchen Beilschmidt/Griselda Sachen(Prussia)

OC: Agnella Vargas (Ibu dari Italy dan Romano), Bernessa Beilschmidt/ Carla Sachen (Ibu dari Prussia dan Germany)

…*…

Ada tiga hal yang selalu Feliciana Vargas rahasiakan dari orang lain.

Pertama, saat masih kecil ia gemar mengenakan pakaian anak laki-laki dan memanggil dirinya dengan nama laki-laki pula, Feliciano.

Kedua, meskipun telah banyak menjalin hubungan dengan laki-laki, sebenarnya cinta pertamanya adalah makhluk dengan gender yang sama dengannya, wanita.

Dan yang terakhir, walau telah belasan tahun berlalu sejak saat itu, sampai sekarang ia masih terus mengejar bayangan gadis cinta pertamanya itu.

Dan dari tiga rahasia inilah kisah ini dimulai…

…*…

Hetalia is a property of Himaruya Hidekaz, I don't get any material profit from this fanfiction

Warning: AU, OOC, OC, Typos, etc

Happy reading, Minna-san ^_^

…*…

Pagi itu udara dingin yang menggigit tulang dengan sukses membangunkan Feliciana dari mimpi indah tentang kencan bersama Monica di sebuah pulau terpencil yang dipenuhi bunga-bunga.

"Ve~" hanya satu kata tanpa arti itu sajalah yang terucap dari bibirnya saat mendapati jendela kamar kakaknya telah dalam keadaan terbuka, sehingga udara dingin dapat degan bebas masuk dan merasuki tubuh indahnya.

Dan seperti malam-malam lainnya, ia tak menemukan sosok sang kakak di sampingnya. Tentunya Lovina Vargas telah lebih bangun dahulu untuk mengurusi beberapa prospek La Rosa yang diterimanya semalam—atau bisa juga berkencan dengan Isabel Fernandez Carriedo—dan meninggalkan adiknya dengan jendela kamar yang terbuka lebar untuk mengerjainya.

Dengan terhuyung-huyung ia bangkit dari tempat tidurnya dan mengambil beberapa helai pakaian yang ia lepas sebelum tidur. Masih dengan gerakan yang sama ia berjalan menuju kamar mandi milik sang kakak. Sembari sesekali menguap lebar, gadis itu mencoba mengingat apa saja pekerjaan yang harus dilakoninya hari ini.

Beberapa lukisannya telah masuk ke dalam museum galeri, bersanding dengan lukisan hasil karya beberapa pelukis jenius lainnya, dan batas waktu untuk lukisan berikutnya masih sebulan lagi. Jadi ia masih dapat menikmati masa santainya sebagai seorang pelukis muda berbakat asal Italia.

Namun pekerjaannya sebagai putri keluarga Vargas, yang secara turun temurun merupakan pemimpin La margherita, kelompok mafia wanita terbesar di Italia, masih belum selesai.

Tak seperti hari-hari sebelumnya, kali ini dia tak mendapatkan tugas remeh macam memata-matai tiga bersaudara asal Rusia yang diduga merupakan anggota dari salah satu kelompok mafia saingan mereka. Kali ini ia hanya harus mengikuti pelatihan rutin bagi soldato di kelompoknya.

Gadis itu menjerit riang begitu mengingat bahwa hari ini ia akan diberikan pelatihan khusus oleh Monica Beilschmidt, anggota baru berbakat asal Jerman yang telah lebih dari sebulan ia taksir.

"Ve~ Amor selalu menyertaiku, ve~"

…*…

DOR!

Feliciana segera menutup telinganya sebelum mengalami ketulian mendadak pasca mendengar suara ledakan itu. Siapa sangka begitu ia memasuki ruang pelatihan khusus itu suara tembakanlah yang akan menyambutnya.

"Ciao, Monica. Sudah lama menunggu?" sapanya ramah sambil meletakkan tas yang dibawanya di sudut ruangan. Diambilnya Beretta U22 Neos kesayangannya dan disejajarinya gadis bertubuh tinggi besar yang sedang berlatih menembak dengan Sauer 38H klasiknya.

Gadis Jerman itu melirik sedikit pada gadis yang baru saja tiba dan berkata dengan nada dingin, "Tembaklah papan sasaran itu."

Satu hal yang Feliciana ketahui, tampaknya sulit baginya untuk dapat meruntuhkan tembok batu hati gadis itu. Namun janganlah panggil ia Feliciana Vargas, putri kedua sekaligus penerus LaMargherita, jika ia tak memiliki banyak cara untuk mendapatkannya.

Sebuah senyum manis ia berikan untuk gadis dengan alis berkerut di sampingnya, "Monica, kau tampak sangat cantik hari ini, ve~~"

"Hm," Monica hanya menimpali dengan sebuah gumaman tak jelas.

Feliciana menarik nafas panjang, tampaknya cara yang biasa ia lakukan untuk merebut perhatian laki-laki tak berguna untuk wanita. Jangan salahkan ia, ini adalah kali pertama jatuh cinta dengan makhluk sesama jenis semenjak beberapa belas tahun silam. Ia telah lupa bagaimana cara merebut hatinya.

Sambil mengarahkan bidikkannya ke papan yang ada di hadapannya, sesekali gadis bertubuh mungil itu menyempatkan dirinya mencuri pandang pada rekannya yang tampak kesulitan membidik tepat sasaran.

Gadis Italia itu tersenyum sedih mengejek dirinya sendiri. Rambut pirang, mata biru dan tubuh tinggi dan tegap, betapa Monica Beilschmidt sangat sesuai dengan tipenya. Selama inipun mantan-mantan kekasih Feliciana juga tak jauh berbeda dengan kriteria di atas, hanya saja gender mereka semua adalah laki-laki, bukannya perempuan.

Terkadang ia merasa bersalah pada mantan kekasihnya yang tak pernah ia coba lagi tuk hitung berapa jumlahnya. Betapa ia mengejar dan berusaha mencintai mereka hanya karena mengejar sosok cinta pertamanya saja. Yang ia cintai hanyalah fisik mereka yang menyerupai orang yang ia sayangi. Kasih yang ia berikan adalah semu, sementara mereka memberikannya sebuah cinta yang murni.

Tidakkah ia menjijikkan?

DOR!

Ia menembakkan timah panasnya untuk menghilangkan perasaan yang berkecamuk di dadanya.

"Tepat di tengah sasaran," gumam Monica tak percaya sambil mengamati hasil kerja Feliciana. Hanya dengan satu tembakan gadis itu mampu mengenai tepat di pusat sasaran. Benar-benar kemampuan yang mengagumkan.

Feliciana tertawa ringan mendengarnya. "Nono yang mengajarkannya padaku saat usiaku sepuluh tahun dulu," dia memberikan informasi sambil mengedipkan mata, menggoda gadis pirang di sampingnya.

Di luar dugaan, sebuah senyum tipis terkembang di wajah serius gadis asal Jerman itu. "Kau memang pantas menjadi penerus keluarga Vargas."

Semburat merah mewarnai pipi putih Feliciana, gadis itu membalas pujian Monica dengan sebuah senyum riang dan kata 'Grazie,'.

Dalam hati ia bertanya-tanya, apakah debaran aneh yang memenuhi dadanya adalah tanda cinta? Apakah ia telah mampu melupakan sosok cinta pertamanya dan mulai mengenal lagi cinta yang sebenarnya, ataukah jangan-jangan… perasaan ini hanyalah sebuah obsesi ambigunya yang terus saja mengejar gadis cinta pertamanya?

…*…

Dengan tatapan kosong Feliciana Daisy Vargas menatap hujan yang mulai turun perlahan ke bumi. Untuk kelima kalinya dalam dua menit terakhir gadis itu melihat jam tangannya. Masih tetap dua jam sebelum Lovina menyelesaikan rapatnya dengan pimpinan mafia La Rosa, kelompok mafia wanita Amerika yang dipimpin oleh Amelia F. Jones. Dan selama itu juga dia harus terperangkap di ruang tunggu gedung samaran ini.

"Kau belum pulang?" sebuah suara mengintrupsi lamunan Feliciana. Tanpa menolehpun gadis itu telah mengetahui siapa sang pemilik suara itu.

"Belum, aku masih menunggu Sorella. Jika tidak aku harus berjalan kaki, ve~~" jawabnya sambil tersenyum lembut pada pemilik suara yang baru menyapanya. "Kau sendiri belum pulang, Monica?"

Dia menunjukkan kunci motor di tangan kanannya sebagai tanda jika ia baru akan pulang.

"Oh, jika begitu hati-hati di jalan. Ciao!" kata Feliciana riang.

Hening beberapa saat. Bukannya meninggalkan ruangan itu dan segera pulang, Monica justru mengamati Feliciana yang dengan wajah bosan mengambil majalah yang diletakkan di atas meja dan membuka-bukanya tanpa minat.

Dia menghela nafas panjang. "Kalau kau mau, aku bisa mengantarmu pulang. Kau tinggal kirim pesan pada kakakmu saja," tawarnya sambil memalingkan wajah yang sedikit memerah.

Lovina menoleh dengan ekspresi tidak percaya mendengar tawaran gadis yang selama ini selalu bersikap dingin kepadanya. "Grazie, Monica!" teriaknya riang sambil memeluk tubuh gadis yang kini wajahnya sudah berwarna senada dengan bunga mawar.

"Le…lepaskan!"

Feliciana hanya tertawa kecil melihat reaksi Monica yang di matanya tampak sangat imut. Dilepaskannya pelukan mautnya pada gadis itu. Ah ya, raut wajahnya yang malu-malu itu. Rasanya ia pernah melihat hal yang serupa.

"Ja…jangan peluk-peluk aku! Lepaskan!"

Senyum di wajahnya seketika menghilang ketika sebuah memori menghantam otaknya. Ditatapnya wajah Monica dengan pandangan sedih, mata ceruleannya, surai yang bagaikan cahaya mataharinya, kulit putihnya yang sedikit terbakar sinar mataharinya, dan tubuh tingginya. Ah, ya. mereka sangat serupa.

Melihat gadis ceria di hadapannya tiba-tiba berubah suram, Monica langsung menggenggam tangan Feliciana dan menariknya menuju tempat ia memarkir motornya. Ia bukanlah pribadi yang mampu menggunakan kata-kata lembut untuk menghibur hati seseorang, apalagi orang yang murung tanpa alasan yang jelas. Jadi, ia memutuskan untuk mengalihkan perhatian sang gadis Italia saja.

"Cepatlah!"

Merasakan genggaman tangan yang hangat pada telapak tangannya membuat Feliciana merasa tenang. Dibalasnya genggaman tangan itu dengan sebuah genggaman yang tak kalah protektifnya. "Si," lirihnya.

…*…

Sambil mewarnai kukunya agar senada dengan warna mata gadis yang dipujanya, Feliciana duduk di atas sofa. Sesekali matanya mencuri pandang pada sang kakak yang tengah menelepon sambil memaki orang di seberang sana.

Feliciana tersenyum kecil melihat kakak perempuannya yang jelita namun beringas itu memerah sambil mengucapkan sumpah serapah dalam Bahasa Spanyol yang tak Feliciana kuasai. Gadis manis itu tahu dengan pasti siapakah orang yang rela mengorbankan telinganya di tengah malam hanya untuk mengucapkan selamat tidur pada Lovina—dan dibalas dengan makian tentunya.

"Isabel Carriedo kah?" tanyanya tepat setelah Lovina membanting telefon dan menjatuhkan pantatnya di samping adiknya.

Lovina mengangguk singkat sambil mengambil baretta kesayangannya dan membukanya dengan hati-hati. "Bastardo Tomato itu masih saja berkeras mengajakku berkencan! Harus kukatakan berapa kali jika aku sibuk, hah?"

"Ve~~ sebaiknya kau katakan saja kalau kau memajang fotonya di samping tempat tidur, Sorella."

Sebuah tarikan keras di ikal uniknya sukses membuat Feliciana menyesali kata-kata yang terucap tanpa sempat ia pikirkan dahulu itu. Tampaknya ia melupakan fakta jika kakaknya adalah salah satu pengidap Tsundere kronis.

"Cih, jangan bahas lagi masalah Bastardo Tomato keras kepala itu lagi sekarang!" bentak Lovina dengan wajah yang sudah sulit dibedakan dengan buah menjadi nama julukan Isabel itu. Sambil melanjutkan pekerjaan membersihkan pistolnya, sulung Vargas itu membuka sebuah topik percakapan baru. "Ngomong-ngomong bagaimana sesi latihanmu dengan Monica Beilschmidt tadi?"

Sebuah senyum gembira terukir di wajah Feliciana. "Sangat menyenangkan, ve~. Dia mengajariku cara menembak dan menggunakan beberapa senjata lainnya! Dia sangat hebat, ve~~. Aku juga tak menyangka kalau Monica punya otot-otot yang mengagumkan!"

Sebenarnya Lovina tak terlalu menyukai gadis asal Jerman itu. Namun jika sang adik menyukainya, apa boleh buat, ia akan menekan perasaan bencinya dan membiarkan adiknya menghabiskan lebih banyak waktu dengan Monica. "Menurutku tembakanmu jauh lebih baik daripada dia."

"Yah, namun gayanya jauh lebih keren," balas Feliciana membela gadis yang sedang ditaksirnya itu.

Lovina menghela nafas panjang. Sudah ia duga jika adiknya itu menaruh hati pada bungsu Beilschmidt. "Jangan bilang jika kau sudah berpindah halauan, Feliciana," katanya pelan sambil mengelap bagian-bagian baretta-nya dengan lap yang telah diberi pelumas khusus.

"Bukankah kau juga sama saja, Sorella?"

"Cih! Kau salah paham soal hubunganku dengan Bastardo Tomato itu, bodoh!" gerutu sang kakak. Tiba-tiba rona di wajah ayu sulung Vargas itu berubah menjadi ekspresi yang belum terdefinisi namanya. Ditatapnya sang adik lekat-lekat. "Mata biru. Rambut pirang. Berotot. Aku tahu jika dia mirip dengan Marlene, namun dia bukanlah Marlene, Feliciana."

"Aku tahu, Sorella. Aku tahu," bisik Feliciana sambil menghentikan gerakan tangannya yang tengah memberi warna pada kuku kakinya. Dipandanginya botol kaca cat kuku berwarna biru indah itu dan dikenangnya kembali sosok gadis di masa lalunya yang memiliki mata dengan warna yang serupa. "Namun tiap kali aku memandangnya dan berusaha meyakinkan diriku jika dia bukanlah Marlene, aku semakin dihantam oleh kenyataan jika dia sangat identik dengannya."

"Lalu apa yang kau harapkan darinya? Kau berharap dia akan memberikanmu setangkai bunga daisy, melukis wajah tidurmu dan mengecup bibirmu seperti yang Merlene lakukan padamu?" tanya gadis itu dengan nada meremehkan. Dirangkainya kembali baretta-nya menjadi satu kesatuan utuh dan ditatapnya mata sang adik dalam-dalam. "Jika kau terus mengharapkannya melakukan hal itu, maka aku yakin dia akan segera meninggalkanmu, Fel."

"A..aku…aku hanya…," kali ini Feliciana Vargas tak lagi dapat menemukan suaranya. Membandingkan Monica dengan Marlene membuat dirinya merasa brengsek. Tanpa sadar air matanya menetes.

Namun air mata adiknya bukannya membuat hati Lovina luluh, justru dia makin geram dengan sifat Feliciana yang tak jelas apa maunya itu. "Hentikan sifat cengengmu itu, Feliciana!" bentak Lovina sembari bangkit dari duduknya dan berkacak pinggang. "Berhentilah mengejar bayangan Marlene, dan mulailah hidup baru!"

Feliciana merasakan firasat buruk di balik kemarahan sang kakak. "Hentikan…"

"Kau harus belajar menerima kenyataan!"

"Kumohon…hentikan…," lirih Feliciana sembari menutup telinganya.

"Karena Marlene…"

"Jangan lanjutlan…"

"…Marlene sudah mati!"

…*…

"Feliciano…,"

Anak kecil dengan kaus dan celana pendek itu menoleh dan tersenyum pada gadis pirang bertubuh tinggi yang menyapanya. "Marlene! Aku sudah lama menunggumu, ve~~"

Gadis manis itu berjalan mendekat dan duduk di samping sang anak bersurai coklat gelap itu dengan tangan tersembunyi di balik pinggangnya. Rona merah tampak jelas di pipinya. "Kau… kau tidak lari lagi, Feliciano? Biasanya kau akan langsung kabur begitu melihatku…"

"Soalnya ternyata kau berbeda dengan bayanganku selama ini. Dulu aku salah menilaimu karena pandangan matamu tajam. Tapi ternyata… kau sangat manis, ve~~"

"Ma…manis?!" tanyanya tak pertama kali ada orang yang mengatakan dirinya manis.

"I…iya…," jawab Feliciano dengan suara sedikit bergetar. Tampaknya ia salah mengatikan tatapan tak percaya Marlene pelototan kesal. "Kau… kau tak suka?"

Gadis pirang dengan mata biru itu menggeleng pelan, kulitnya yang sedikit kecoklatan tampak dihiasi oleh rona merah yang menggemaskan. "Tidak. Em, aku… aku senang jika kau menganggapku begitu," katanya malu-malu. Tangannya yang tersembunyi di balik punggungnya semakin erat mencengkram barang yang ia bawa.

"Ve~~, mengapa kau menyembunyikan tanganmu, Marlene? Apa yang kau bawa?" akhirnya Feliciano memperhatikan jika gadis sejak tadi sama sekali tak menunjukkan tangannya.

"Kau… kau akan pulang ke Venezia hari ini bukan?" tanya gadis itu pelan. Matanya tampak tak ingin memandang sepasang netra coklat indah anak di sampingnya. "A… aku mencoba mencari hadiah perpisahan yang cocok untukmu. Tapi aku tak bisa mendapatkannya, jadi… jadi…"

Sebuah bunga daisy tiba-tiba berada tepat di depan hidung Feliciano.

Dengan muka yang telah senada dengan kepiting rebus, gadis itu mengeluarkan benda yang sedari tadi disembunyikannya. "Untukmu… bunga daisy…ja-jadi…," lidahnya terasa kelu. Dalam hati ia merutuk, mengapa rencananya untuk meminta Felicino datang kembali ke Roma liburan musim dingin esok jadi kacau seperti ini?

CUP!

Kecupan ringan mendarat di pipi Marlene. Otomatis wajahnya memerah lebih hebat lagi.

"Grazia, Marlene," bisik Feliciano yang baru saja mengecup pipi menggemaskan sahabatnya di Roma, tempat pilihan orang tuanya untuk dia dan kakaknya menghabiskan libur musim panas sementara mereka menangani perdagangan senjata, itu. "Aku akan ke sini lagi saat Natal nanti. Aku akan membawakanmu boneka beruang sebagai hadiah natal, ve~~" bisik anak itu seolah mengerti apa yang dipikirkan sahabatnya.

"Sedang apa kau di sana?!" sebuah jeritan bernada cempreng terdengar dari arah vila yang disewa keluarga Vargas. Seorang gadis bergaun merah muda dengan rambut coklat bergelombang tampak sedang berkacak pinggang di sana. "Cepat! Kita harus pulang, bodoh!"

"Sì, Sorella!" jawab Feliciano dengan suara keras. Dia menoleh pada sosok Marlene yang tampak sedih. Dikecupnya kembali pipi putih gadis itu, ciuman kecil itu terus merembet hingga mencapai bibir merah muda si pirang. Feliciano tersenyum, "Jangan bersedih. Kita akan bertemu lagi."

"Si."

...*...

Musim panas berganti dengan musim gugur, dan akhirnya salju pertama jatuh menandakan musim dingin telah tiba. Kali ini Feliciano datang ke Roma hanya dengan ditemani oleh kakaknya saja. Bahagia karena di musim dingin kali ini, tepatnya di malam Natal, ia akan mengatakan perasaannya pada Marlene.

Namun kenyataan berbeda dengan apa yang ia bayangkan.

Rumah tua dengan halaman padang bunga tempat tinggal sang gadis pemilik mata samudra itu telah tiada. Sebagai gantinya hanya ada puing-puing bangunan yang hangus terbakar di tengah hamparan salju yang putih.

Matanya terbelalak.

"A...ahahaha, pasti... pasti aku salah alamat," katanya sambil menoleh ke kanan kiri, tak seberapa jauh dari tempat itu dilihatnya vila tempat ia menginap musim panas lalu. Tanda bahwa itu memang tempat yang ia cari. "Tak mungkin...tak mungkin..."

Gadis mungil yang berdiri di belakang anak itu hanya dapat diam. Mungkin keputusannya untuk tak mengatakan berita tentang kebakaran di Venezia yang mengakibatkan satu keluarga meninggal adalah kesalahan. Melihat reaksi adiknya, dia jadi menyesal tak mengatakannya sejak awal saja.

"Keluarga Sachen meninggal dalam musibah kebakaran."

Feliciano, ah tidak, maksudku Feliciana Vargas menoleh menatap kakaknya dengan pandangan tak percaya. "Katakan jika kau bergurau, Sorella. Itu hanya candaaan kan? Ha…hahahaha, lucu… lucu… sangat lucu… hahahahaha….ha…"

"Maaf, Feliciana, maaf."

Sambil menyeret boneka beruang yang seharusnya menjadi hadiah untuk Marlene, Feliciana berjalan pelan mendekati rumah berjelaga itu. Langkahnya terhenti beberapa meter di muka rumah tatkala melihat sebuah kanvas berjelaga yang mulai tertimbun salju.

Tangannya terjulur menyentuh benda yang sebenarnya merupakan lukisan itu. Air matanya tak dapat lagi terhenti saat dilihatnya obyek yang tergambar di atas kanvas itu adalah seorang anak laki-laki yang tertidur di padang bunga daisy.

Ah, bukan. Bukan anak laki-laki, hanya anak perempuan yang berpakaian menyerupai laki-laki.

Dirinya.

Di sudut lukisan itu terdapat kata-kata…

'Ti amo, Feliciano.

Marlene'

Hanya kata-kata singkat. Namun sanggup mengoyak hati Feliciana, tangis tak lagi hanya sekedar menetes, kini tangis itu kian menderas dan berpadu dengan isak jeritan yang terdengar menyakitkan.

"Ti amo, Marlene… ti amo… TI AMO!" jeritnya putus asa.

Tanpa terasa, air mata ikut jatuh dari sepasang netra milik Lovina. Didekapnya sang adik agar kepedihan itu tak hanya dirasakan oleh anak itu, namun juga olehnya.

Di padang es itu, dengan rumah yang hangus di hadapannya, berpelukanlah dua orang gadis kecil. Salah satunya tampak menangis dengan suara keras, seolah ia telah kehilangan setengah hatinya. Dan memang itulah yang terjadi.

Sebuah boneka beruang berwarna putih tergeletak tak berdaya di antara kaki-kaki mungil mereka. Tampak harmonis dengan salju yang terus jatuh.

'Maaf, Feliciana…, maaf. Namun kami harus melakukan hal ini demi dirinya. Dan juga demi dirimu.'

…*…

"Maaf, aku terlambat," seorang gadis dengan rambut coklat kemerahan memasuki ruangan yang telah diisi oleh tiga gadis lainnya.

"Schwester sudah lama tertidur, bosan menunggumu," seorang gadis bersurai pirang cepak menginformasikan sambil menunjuk gadis albino yang mabuk sambil berbaring di atas sofa.

Lovina mendengus pelan. "Cih, aku juga tak membutuhkannya untuk diskusi kali ini," dengusnya sambil menutup pintu ruangan itu.

"Tak biasanya kau terlambat, Lovina. Apa sesuatu telah terjadi?" tanya seorang gadis berusia dua puluh lima yang sedang membaca majalah fashion terbaru di sudut ruangan. Sebuah senyum yang tak pernah absen dari bibirnya tampak sedikit memudar tatkala melihat raut wajah tak bersahabat kekasihnya. "Bertengkar dengan Feliciana lagi?"

"Anak bodoh itu masih saja terus mengungkit masa lalu! Dan itu membuatku geram. Dia harus dapat melupakannya jika ingin maju," gerutu gadis itu sambil menjatuhkan dirinya di samping sang kekasih. "Dan ini semua salahmu, Monica!"

Gadis yang disebut namanya hanya menoleh malas pada Lovina, sebuah senyum sinis tersungging di wajahnya. "Salahkan saja kakekmu jika begitu, Lovina Vargas. Dialah yang memanggilku dan Julchen kembali ke Italia," jawabnya ala kadarnya sembari menenggak bir di tangannya. "Lagipula, jujur saja, aku sedikit terkejut mengetahui kalau Feliciano yang dulu kupuja-puja ternyata memang seorang gadis."

"Apa maksudmu dengan 'memang' potato bastardo?!"

Gadis bertubuh besar itu menjatuhkan dirinya di samping kakaknya yang telah lebih dahulu mabuk. "Yah, aku memang bodoh karena menganggapnya laki-laki hanya karena dia mengenakan pakaian laki-laki. Tapi wajah manisnya itu… ya, dia terlalu manis untuk seorang laki-laki. Terkejut aku melihat betapa anggunnya dia saat ini."

"Cih, ternyata bukan hanya Feliciana saja. Namun kau juga sama!"

"Tampaknya hanya tinggal menunggu waktu saja untuk Feliciana menyadari jika Marlene Sachen dan Monica Beilschmidt adalah orang yang sama," gumam Isabel sambil mengalungkan lengannya pada pundak sang kekasih yang menggerutukan keberadaannya.

Lovina menghela nafas panjang. Kembali diingatnya ketika usianya masih belia, saat di mana rasa ingin tahunya adalah bumerang terbesar baginya, meskipun tak menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana orang tuanya mati ditikam pedang, tetap saja itu adalah salah satu kenangan terburuknya. Dan di hadapannya, seorang gadis yang sebaya dengannya masih terus berjuang dengan senapan di tangannya.

"Cih, sudah waktunya mengulang kembali sejarah rupanya," gumam Lovina sambil menyesap caviar yang ada di meja, entah milik siapa minuman itu. "Kupikir aku akan dapat menjaga Feliciana lebih lama lagi, ternyata aku salah. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Putri mafia akan selalu menjadi mafia."

"Jadi kau sudah sampai pada kata sepakat dengan Amelia rupanya?" Isabel merangkul sang kekasih dengan lembut. "Tak ada yang perlu kau takuti, Lovina. Sekali lagi kita pasti akan mampu menghalau mereka sekali lagi. Pasti."

Gadis itu mengangguk pelan. "Ya," gumamnya lirih. Dalam hati ia bertanya, 'Kita akan mampu untuk menghalaunya, namun… berapa banyak lagi korban yang akan jatuh kali ini? Berapa?'

…*…

Feliciana menyapukan kuasnya perlahan ke atas kanvas putih yang kini telah didominasi oleh warna biru dan kuning. Lovina mendengus melihatnya. Demi apa adiknya yang sedang kasmaran itu menjadikan wajah Monica Beilschmidt sebagai obyek untuk lomba melukis yang akan diikutinya?!

Namun kali ini dia memutuskan untuk menahan kata-kata kasarnya, ia tak ingin pertengkaran dua hari lalu terulang kembali. Tidak hari ini, tidak di malam ia akan menghabisi pembunuh ibuya.

"Kau sudah selesai, Feli? Kita harus secepatnya bersiap. Malam ini kita akan melakukan misi penting."

Gadis itu menoleh dari kanvas yang telah dilukisinya dan tersenyum pada kakaknya. "Hanya tugas remeh untukku. Pasti lagi-lagi tak akan lebih dari bersuit saat musuh datang bukan?" tanyanya riang.

"Tidak kali ini. Aku berhasil meyakinkan Nono, maksudku Bos, untuk memasukkanmu dalam tim inti," balas Lovina sambil merapikan jas hitam yang ia kenakan di atas kemeja putihnya. Pin berbentuk bunga daisy warna putih yang menjadi simbol dari LaMargherita, kelompok mereka, tersemat di dada kirinya. Tanda pangkatnya sebagai seorang caporegime. "Khusus hari ini, aku mengizinkanmu untuk terus berada di sampingku."

"Tak biasanya," gumam Feliciana tak mengerti dilepaskannya apron melukisnya dan disampirkannya benda itu ke kursi dan ditatapnya belakang kepala sang kakak erat-erat, seolah ingin menelanjangi isi kepala kembarannya itu. "Memangnya apa yang akan terjadi malam ini?"

"Hm, katakan saja aku ingin menunjukkan kematian pembunuh Mama padamu."

Mundur selangkah, Feliciana menabrak peralatan melukisnya hingga jatuh berantakan. Namun ia tak memperdulikannya sekarang.

"Ta…tapi, kau kata Mama dan Papa meninggal di perjalanan pulang setelah dari Amerika saat akhir musim gugur saat itu!" teriaknya tak percaya. Melihat ekspresi datar sang kakak kembar yang tak berubah, Feliciana mendesah panjang. "Kau membohongiku, Sorella. Kau membohongiku selama ini…"

Lovina sudah siap jika suatu hari ia akan mengalami hal ini. Dan dia sudah menyiapkan jawabannya. "Demi kepentinganmu sendiri," jawabnya. Kembali dilepaskannya jas dan kemeja yang membalut tubuhnya. "Aku tak ingin kau seperti ini."

Feliciana terpekik melihat sebegitu banyaknya bekas luka yang menghiasi tubuh kakaknya. Sabetan, tusukan, lebam, dan entah luka apa lagi tampak menghiasi bagian leher hingga perut kakaknya. Tak heran jika gadis itu selama ini selalu mengenakan pakaian tertutup.

"Jika kau mendengar yang sesungguhnya, maka kau pasti akan ingin membalaskan dendam bukan?" tanya gadis itu sambil mengenakan pakaian kembali. Menghalau tatapan mata Feliciano yang menelanjangi parutnya. "Dan untuk itu. Inilah harga yang harus dibayar," tambahnya sambil berbalik dan merapikan surai coklatnya. "Aku tak ingin kau mengalami hal yang sama."

Feliciana terdiam, dialihkannya pandangan pada langit malam yang tampak dari jendela kamar mereka. Entah mengapa ia merasa sedikit kesepian. Dilihatnya bayangan sang kakak dari kaca jendela. "Sorella, apakah ada hal lain yang kau sembunyikan dariku?"

Lovino menghentikan gerakannya mengancingkan baju. Sebuah senyum aneh tersungging di wajahnya. "Ada. Namun kau akan mengetahuinya segera. Ayo bergegas."

…*…

Gadis mungil bersurai coklat itu menyembunyikan tubuhnya di dalam bagasi mobil sambil mengeratkan jaket yang membungkus tubuhnya erat.

Tak habis pikir dirinya mengapa orang tuanya pergi di tengah malam seperti ini dan membohonginya. Pergi bekerja ke Amerika huh? Pembohong! Buktinya mereka bukannya pergi ke bandara dan naik pesawat, keduanya justru terus berkendara hingga Roma. Setidaknya itulah yang ia duga, hasil menguping pembicaraan pasangan Vargas itu.

Sebenarnya gadis itu tak mengira jika ia akan terbawa hingga sejauh ini. Ia hanya ingin mengagetkan orang tuanya dengan muncul di bandara dan berkata 'Arrivederci!' selanjutnya ia akan kembali ke rumah dengan taxi.

Dan kebohongan orang tuanya membuat ia kembali terdampar ke kota yang menjadi tempatnya menghabiskan liburan musim panas.

Ia melepaskan jepit rambut yang menghiasi kepalanya dan mengutak-atik sedikit bagian pengunci bagasi dari dalam. Sedikit gerutuan kasar menguap dari bibir mungilnya saat menyadari jika benda itu tak bisa dibobol semudah bayangannya.

Setelah beberapa menit berkutat dengan lubang yang amat halus itu, akhirnya Lovina dapat menghirup nafas lega.

Gelap adalah faktor pertama yang membuatnya tak dapat dengan mudah mengidentifikasi di manakah ia berada saat ini. Namun yang jelas bukan di pusat kota Roma, sedikit ke tepi kota, di tempat di mana hanya ada vila-vila megah dengan jarak yang tak terlalu rapat di setiapnya. Vila yang hanya dapat disewa oleh kalangan atas.

Dan ia mengenali salah satunya sebagai vila tempatnya berlibur dulu.

Namun bangunan tua itu tampak kosong. Lampunya padam dan hanya terdengar suara hembusan angin yang menyela di antara rapatnya pohon saja dari sana.

Dari kejauhan dilihatnya dua sosok manusia berjalan menuju rumah tua yang ada di tengah padang bunga daisy yang mulai tertidur. Diasumsikannya bahwa dua bayangan yang bergerak dalam kegelapan itu adalah orang tuanya.

Dengan langkah perlahan, gadis mungil itu mengikuti sosok orang tuanya, tak ingin tertinggal terlalu jauh. Dua bayangan gelap itu memasuki wilayah terang rumah tua di tengah padang daisy, baru saat itulah Lovina yakin jika mereka memang benar orang tuanya.

Dicepatkannya langkah kakinya, kegelapan pekat tempatnya berada membuatnya merasa tak nyaman, seolah ada tangan-tangan yang tak kasat mata yang berusaha menggapainya dan menyeretnya ke dalam dunia yang menyeramkan.

"Kau sudah ungsikan anak-anak?" sayup-sayup ia mendengar suara ibunya dari dalam rumah tua itu.

"Julchen dan Monica ada di ruang bawah tanah bersama satu orang caporegime muda dan dua calon soldano muda yang diutus oleh Bos siang tadi. Tapi aku berani bertaruh jika saat ini mereka pasti sudah bebas berkeliaran," sebuah suara anggun balas menimpali kata-kata ibunya. Ia mengenalinya sebagai suara Signora Carla Sachen. "Mereka masih terlalu muda untuk menyaksikan bagaimana cara kita membuat seseorang bicara, Agnella."

Kening Lovina mengernyit. 'Julchen? Monica? Siapa mereka? Bukankah nama dua putri keluarga Sachen adalah Marlene dan Griselda?' ia bertanya pada diri sendiri.

"Lucu sekali, Bernessa. Seharusnya mereka memang mendapatkan pengajaran seperti ini bukan?" balas ibunya sambil tertawa aneh.

Mendengar nama yang diucapkan, rasa penasaran Lovina semakin memuncak. Dengan perlahan ia menyembunyikan dirinya di antara semak-semak yang menjulang dan memberanikan diri mengintip dari jendela.

Di ruangan itu MEMANG ada Signora Sachen dan ibunya, serta ayahnya yang siaga menodongkan baretta-nya kepada seorang wanita mungil bersurai coklat gelap yang terikat di sudut ruangan.

"Kita bisa membahas itu nanti, Agny," balas Signora Sachen, atau mungkin Signora Barnessa, entahlah. "Masalah kita sekarang adalah dia," Lovina melihat wanita yang biasanya tampak anggun itu berubah sadis seketika saat menunjuk wanita mungil di sudut ruangan.

Wajah wanita mungil yang terikat dan terintimidasi itu tampak tenang, bahkan ceria. "Ni hao, senang berjumpa denganmu, Signora Vargas," katanya ramah. Wajah khas masyarakat Mongolia itu tampak ceria.

"Kau tampak tenang Wang Chun-Yan, tampaknya kau tak takut menghadapi kematianmu sendiri," suara dingin yang tak pernah Lovina kira akan ia dengar dari bibir ibunya balas menyapa sang wanita Asia.

"Hihihi," tawa aneh terdengar dari bibir wanita yang tampak tak berusia lebih dari tiga puluh tahun itu. "Kau salah, aru. Aku tak akan menghadapi mautku di sini. di hadapanmu. Di tanganmu."

"Sebegitu percaya dirikah dirimu, Bos dari Yīnghuā?" sindir Agnella Vargas sambil mendekati wanita tersebut dan mengangkat dagunya perlahan. "Kau menghianati kepercayaan kami, Whan Chun-Yan. Berniat membodohi kami dan menghancurkan La Margeherita. Bos telah memberi perintah langsung padaku untuk mengeksekusimu."

Wanita asal China itu tertawa lebar mendengar kata-kata wanita Vargas itu. Tawanya yang melengking dan penuh rasa percaya diri membuat bulu kuduk Lovina merinding. Wanita Asia itu tak lagi tampak cantik di matanya. Wanita itu bagaikan nenek sihir! Nenek sihir yang terdapat dalam buku dongeng miliknya dan Feliciana. Kejam dan sadis.

"Mengapa kau tertawa!" teriak Agnella sembari meraih bagian kerah wanita itu dan menariknya hingga wajah keduanya saling tatap dalam jarak dekat.

"Kau lah yang akan mati Agnella Vargas."

GRAP!

Lovina pastilah akan menjerit andai saja sebuah tangan halus tak membungkam mulutnya dan memaksa gadis itu untuk tiarap ke tanah. Dari sudut matanya dia melihat seorang gadis yang tampak hanya beberapa tahun lebih tua darinya sedang menahan tubuhnya agar tak banyak bergerak.

Sebuah cengiran konyol disunggingkan gadis cantik itu pada Lovina. "Kau nakal sekali sampai mengikuti ibumu ke sini, manis," katanya pelan sambil mengecup pipi Lovina pelan. "Diam dan tenanglah, manis. Biarkan kami mengatasi keadaan."

Lovina mengangguk kecil ketika melihat bagde daisy tersemat di dada gadis itu. Ah, dia pastilah salah satu caporegime muda yang sedang dilatih oleh Nono-nya.

Gadis itu melepaskan bungkamannya pada mulut Lovina dan menariknya pelan menuju bagian belakang rumah tempat empat gadis lain tengah berkumpul. Lovina mengenali dua orang diantaranya, kakak beradik Sachen. Marlene dan Griselda.

"Wow, Izzy, kau hebat sekali dapat membawa Vargas muda itu kemari tanpa membuat keributan!" Griselda memekik pelan sambil merangkul pundak gadis yang dipanggilnya Izzy itu akrab. "Aku akan menraktirmu jika misalkan kita masih selamat malam ini."

"Geez, kau pasti bertaruh lagi dengan Françoise ya, Julchen?" tebak sang gadis bermata sehijau hutan itu kesal. "Bicara soal Françoise, dia masih belum kembali juga?"

"Belum. Atau bisa juga tertanggap musuh."

Lovina mengernyitkan alis lagi, sungguh, ia tak mengerti apa yang dibicarakan oleh dua gadis itu. Namun satu hal yang ia tahu, tak ada yang bernama Griselda Sachen di sini. yang ada hanyalah Julchen.

Gadis albino itu akhirnya menyadari arah pandangan Lovina padanya. Dengan senyum meremehkan dia menyapa gadis itu. "Kaget juga melihatmu bisa berada di sini, Lovina. Dan lebih kaget lagi aku ketika kau bisa tenang dibawa Izzy, maksudku Isabel, ke mari."

"Julchen…," desis Lovina tajam menyebut nama asli gadis albino itu.

"Tak kusangka kau dapat menyimpulkannya lebih cepat dari dugaanku, Lovina,' gadis itu tertawa pelan mendengar kata-katanya sendiri, walau Lovina sama sekali tak mengerti di bagian mana kata itu terdengar lucu. "Tampaknya aku harus memperkenalkan ulang diriku padamu ya? Hm, baiklah. Namaku—dan kali ini adalah nama asliku tentunya—Julchen, lebih lengkapnya Julchen Beilschmidt."

"Well, kupikir ini bukan saat yang tepat untuk berkenalan," potong seorang gadis dengan sinis. Gadis yang baru muncul dari balik kegelapan itu tampak sedikit kotor, surai pirang panjangnya yang diikat twintail tampak dihiasi beberapa daun dan ranting pohon. "Keadaan genting, pasukan penjaga yang berjaga lima ratus meter dari sini telah dilumpuhkan. Kantor pusat telah dihubungi, status gawat darurat dinaikkan ke level A."

"Bagaimanau untuk masalah bantuan, Alice?" tanya Isabel sambil menatap gadis pirang itu intens.

Alice mengangkat bahunya. "Mereka bilang akan segera mengirimkan bala bantuan, namun pasti akan makan beberapa jam untuk mencapai wilayah ini."

"Mana Françoise?" Julchen ikut bertanya.

"Sedang memata-matai jarak dekat untuk mencari tahu berapa jumlah musuh yang datang ke sini," jawabnya.

Derap langkah kaki yang terdengar terburu-buru terdengar dari dalam rumah. Seorang gadis tinggi bersurai pirang dengan piyama hitam membalut tubuhnya tampak kelelahan. "Sudah kuperingatkan mereka, namun mereka memasrahkannya pada kita," katanya cepat.

Tak butuh waktu lama bagi Lovina untuk mengenali gadis itu sebagai Marlene Sachen, atau mungkin sebentar lagi akan diperkenalkan padanya sebagai Monica Beilschmidt.

Isabel terlihat berpikir keras. "Alice, katakan padaku berapa perkiraan waktu sampainya bantuan dari pusat ke sini."

"Aku tak bisa mengkalkulasinya dengan tepat di saat segala informasi sedang gelap seperti ini…," sebuah tatapan tajam diperlihatkan Isabel sebagai tanda jika gadis pirang itu untuk langsung menjawab pertanyaannya saja. "Oh, shit! Dua jam. Atau paling lambat tiga jam, tergantung seberapa banyak musuh yang berjaga di luar sana."

Isabel menghela nafas panjang. "Jadi kita harus menahan mereka selama dua atau tiga jam ke depan. Enam orang gadis di bawah umur melawan… entah berapa orang mafia kelas atas China bersenjata lengkap. Bukan keadaan yang bagus. Namun aku juga tak dapat berkata jika ini misi yang mustahil."

"Oh, God! Tampaknya aku tak akan pernah bisa mentraktirmu, Izzy."

Dan Lovina setuju dengannya.

*…

Lovina berjongkok di antara semak-semak sembari mencengkram baretta yang dipinjamkan Isabel padanya. Di sampingnya, Marlene—yang telah mengaku jika nama sesungguhnya adalah Monica—mengambil posisi yang sama sembari mengecek berapa ranjau yang ada di balik piyama hitamnya.

"Feliciano tak datang kemari kan?" tanya gadis itu entah untuk keberapa kalinya.

Lovina mendengus kesal. "Sudah kukatakan untuk kesekian kalinya. TIDAK. Lagipula namanya bukan Feliciano, tapi Feliciana."

Gadis pirang itu tampak tak gusar menerima bentakan Lovina. Atau mungkin sebenarnya dia merasakannya, hanya saja wajahnya menghianatinya dan mengatakan sebaliknya dengan tetap berekspresi datar. "Aku masih tak bisa mempercayai kalau Feliciano adalah seorang gadis sampai aku memastikannya sendiri."

"Dasar keras kepala!"

Mereka kembali terdiam. Lovina menyibukkan dirinya untuk mengira-ngira apa yang dipikirkan oleh kedua orang tuanya hingga membiarkannya ikut dalam misi tidak resmi dengan level A seperti ini.

Sialan! Dia memang sudah mempelajari dasar-dasar mafia sejak belia untuk persiapan sebagai penerus keluarga Vargas, namun tetap saja, yang selama ini dipelajarinya hanyalah teori dan praktik kecil-kecilan dalam gedung latihan khusus. Bukan misi semacam ini.

Dan menurutnya, misi ini lebih cocok disebut sebagai misi bunuh diri.

Brengsek! Ia tak mau mati di misi pertamanya! Ia belum sempat membalas Feliciana yang menghabiskan cake wortel kesukaannya bulan lalu!

"Hei, Lovina."

Gadis mungil itu menoleh pada satu-satunya entitas yang mungkin menyebut namanya. "Apa?!" tanyanya dengan wajah kesal.

"Malam ini, baik aku masih hidup ataupun tidak, aku tak bisa memenuhi janjiku dengan Feliciano."

Kali ini Lovina menolehkan wajahnya, mencoba melihat kesedihan yang tersembunyi di balik kegelapan malam yang menyelimuti mereka. Belum sempat ia menanyakan alasannya, Monica telah kembali berkata.

"Karena apapun yang terjadi malam ini, aku telah memutuskan untuk kembali ke Jerman dan memulai kembali hidupku sebagai Monica Beilschmidt."

Mereka kembali terdiam, Lovina memainkan baretta di tangannya dengan gelisah. "Tidak bisakah kau melakukannya setelah Natal saja? Bukan berarti aku mendukungmu dengan Feliciana ya! Hanya saja, aku tak ingin melihat Feliciana menangis lagi."

"Aku tak bisa melakukannya. Maaf."

Gadis pirang itu tampak tak ingin melanjutkan pembicaraan ini, dan Lovina pun enggan melakukan hal yang sama. Mereka sibuk dengan urusannya masing-masing, yang bagi Lovina mengamati kegelapan yang seolah tak berbatas. Di sampingnya Monica tampak mengangguk-angguk dalam diam dengan handy talky menempel di sisi telinganya, tampaknya ia sedang bicara pada salah satu dari soldano muda lainnya.

"Entah ini keberuntungan atau kesialan kita. Namun hanya empat orang saja yang dikirim ke sini."

*…

Feliciana tampaknya masih tak memahami apa yang akan terjadi. Buktinya gadis itu tampak tenang menunggu kakaknya mengeluarkan mobil di beranda rumah.

Namun tak seperti kelihatannya, sebenarnya gadis itu sedang merasa risau. Ia tak yakin akan mampu mengikuti dan menyelesaikan misi ini tanpa lepas kendali.

Deru mobil yang keluar dari bagasi membuat gadis itu sedikit terkejut. Entah sudah berapa lama ia melamun sehingga ia tak menyadari jika sorella-nya telah membawa mobil berkaca gelap yang biasa mereka gunakan untuk menjalankan misi.

Kaca gelapnya sedikit terbuka, menampilkan sosok Lovina yang tengah duduk di kursi pengemudi. "Malam ini kau tak boleh ikut mobilku. Terlalu beresiko jika membawamu," katanya sambil merapikan helai rambutnya yang jatuh menutupi mata. "Aku akan mencoba mengalihkan perhatian para pecundang dari kita. Kau pergi duluan ke tempat berkumpul kita, mengerti?"

"Kau bisa bicara seperti itu, Sorella. Tapi kau bahkan tak mengatakan padaku di mana tempat kita akan berkumpul!" gerutu Feliciana.

Lovina memutar matanya malas. "Sebentar lagi jemputanmu datang."

BRUM! BRUM! BRUM!

"Ah, baru saja dikatakan."

Deru motor terdengar menggema di halaman luas rumah keluarga Vargas. Seorang gadis berpakaian hitam ketat khas pengendara sepeda motor melesat cepat menjejeri mobil Lovina. Ia membuka helm yang digunakannya. "Semua telah siap, yang lain telah berkumpul di tempat yang kita setujui. Hanya saja… tampaknya akan sulit bagimu untuk menyusul, Lovina."

"Tentu saja," kata Lovina sambil mengangguk singkat pada gadis yang tak lain dan tak bukan adalah Monica Beilschmidt. "Baiklah, kita tak punya banyak waktu untuk berbasa basi di sini. Monica, kupasrahkan Feliciana padamu. Akan kupastikan kau mati di tanganku jika sampai terjadi sesuatu padanya. Mengerti?"

Tanpa menunggu jawaban, Lovina menutup kaca jendela mobilnya dan menginjak gas sedalam mungkin. Mobil hitam gelap itu langsung meluncur pergi. Membawa pergi seluruh misteri yang belum ia katakan.

…TBC…

Huf, Chap pertama selesai, siap update, nunggu chap keduanya nggak akan lama kok Cuma beberapa jam saja. Dari tantangan Hime Hoshina writes Shojo-ai, M, Angst, in 13 days. [Carrot, Cat, Merchant.] Di chapter ini aku pakai kata wortel! Ada yang lihat?

RnR maybe? If you tink my FF is ugly, please give me some concrit OK?