Halo, readers yang baik… perkenalkan, nama saya Okuni Mikku.

Sebenarnya saya bukan member baru di FFn, tapi cerita ini yang baru.

Bukan karena saya ga ada waktu buat bikin fic + publish,

Tapi karena ga ada ide…

Ini fic pertama saya yang abal =_="…

Maaf kalau ceritanya gak bagus, saya kan masih pemula.. ^^"

Saya mulai tertarik membuat fic, sejak saya mengenal De-chan atau yang terkenal dengan nama Kira Desuke.

Saya suka semua ficnya, dan setiap saya baca… saya pasti dapat ide baru.

Warning: jelek, abal, typo, dll yang jelek-jelek pokoknya

Disclaimer: Selamanya, Naruto tetap punya Bang Masashi! –_–-

#ya iyalah, masa ya iya dong#

Tapi cerita ini belongs to Okuni

:P

Okelah, daripada saya kebanyakan ngomong ga penting mendingan readers langsung baca aja, tapi jangan lupa kasih repyu ya.

I DON'T ACCEPT FLAME!

ENJOY THIS FIC… IF YOU THINK DON'T LIKE THIS,

JUST QUIT RIGHT NOW…

NOTE ::

DON'T LIKE DON'T READ :P

COOKIES FOR SENSEI CHAPTER 1 : Fall in Love

Sakura's POV

WUUUUUSSSSHH.

Angin bertiup kencang, membuat rambut dan syalku melambai-lambai. 'Urrh… sial!' rutukku.

Kau tahu, saat ini aku sedang labil, entah karena apa… semua hal, termasuk yang kecil sekalipun bisa memancing emosiku. Kalau di rumah, aku suka sekali mengurung diri di kamar dan… err, menangis. Kebiasaan yang buruk. Bukan begitu? Panggil saja aku 'si kuper yang suka nangis', karena itu memang cocok untukku. Aku adalah makhluk antisosial. Mmm, tentang pernyataan 'manusia adalah makhluk sosial' itu… aku akan menepisnya kuat-kuat. Menurutku, teman itu tidak selalu dibutuhkan. Aku punya prinsip: satu sahabat lebih berarti daripada punya banyak teman tapi tidak ada yang mengerti aku.

Aku tidak mengerti mengapa teman-temanku bisa saling akrab satu sama lain, sementara aku tidak bisa. Benar-benar tidak bisa! Aku selalu merasa canggung bicara dengan siapapun. Aku sudah berusaha menghilangkan sifat ini namun sia-sia saja… tetap saja, mulut ini serasa terkunci dan tidak bisa dibuka. Tuhan, seperti inikah Engkau menyuratkan kehidupanku? Tolong aku, Tuhan…berilah petunjukMu, supaya aku tidak salah melangkah. Aku merasa hidup ini tak berguna lagi.

"Sakura!" sebuah suara mengejutkanku. "Kau dengar atau tidak, sih?"

"Ah. I-Ino… m-maaf, akk-ku tidak dengar," ujarku.

Gadis berambut pirang itu mengerucutkan bibirnya. "Dasar, kau ini ya… tidak pernah berubah," tegurnya, dan aku hanya tersenyum tipis.

Kami berjalan lagi di jalanan kota Konoha. Berjalan dibawah pepohonan yang daunnya berwarna kuning kemerahan. Kau tentu tahu sekarang ini musim apa, kan? Gugur. Tepat sekali.

Ino adalah satu-satunya orang di dunia ini yang mau menjadi temanku. Ia bersedia mencurahkan isi hatinya padaku, walau aku hanya menanggapinya dengan kata yang pendek atau bahkan senyum yang tipis sekalipun. Ku akui ia orang yang menyenangkan, dan aku tidak keberatan ia selalu ada disampingku. Ino selalu mengajariku bagaimana caranya bergaul, tapi sia-sia saja karena aku tidak mau berteman dengan siapapun selain dia.

"Sakura, aku pulang dulu, ya!" pamitnya sambil menepuk pundakku, kemudian berbelok ke sebuah jalan dan sosoknya menghilang dibalik sebuah pagar besi berwarna hitam. Aku sendiri lagi.

WUUUSSSHHHHH. Angin yang menerpa wajahku membuat hatiku semakin terasa pedih. Tiap kali aku bernafas, terasa ada yang sesak didalam dadaku ini. Angin ini … membuatku semakin merasa bahwa aku tidak dibutuhkan di dunia ini. Aku selalu terperosok dalam sebuah jurang bernama 'kesepian'. "Kenapa … tidak ada yang mau berteman denganku?" bisikku pelan, bahkan hanya aku yang bisa mendengarnya.

"Sakura, maaf hari ini ibu ada rapat penting di Suna. Mungkin nanti ibu akan pulang jam 1 malam," pamit seorang wanita paruh baya berambut pink panjang dan ikal, ibuku sambil beranjak dari kursinya, meninggalkan sepiring nasi goreng yang belum dihabiskannya.

Ibu berjalan mendekatiku dan mencium keningku. "Jaga dirimu baik-baik, ya, sayang," bisik ibu.

Aku masih diam, tak bergeming walau ibu sudah berjalan keluar rumah dan dapat terdengar olehku kalau ibu mulai menyalakan mesin mobil. "Iya, Bu…" jawabku tiba-tiba, tapi terlambat karena ibu sudah tak mendengarnya.

Begitulah kehidupanku, jauh dari kata menyenangkan. Belum pernah sekalipun aku merasa bahagia dalam hidupku. Kalaupun pernah, paling hanya sesaat. Hatiku terasa bergemuruh, dan aku menangis. "Tuhan, untuk apakah ak-kku dilahirr-kkan ddi dunnni-a inn-ii?"

TOK TOK TOK. "Sakuraaaaaaaaaa…!" panggil seseorang dari luar sana. Aku kenal suara cempreng itu.

"Masuk!" balasku sambil agak berteriak. Berteriak adalah kejadian langka dari seorang Sakura Haruno.

Ino masuk ke dalam rumahku yang tidak terkunci. Ia berjalan menuju ruang makan, tempat aku berada. Aku tak perlu menatapnya, karena aku tahu ia sedang terkejut melihatku dalam keadaan begini. Setelah inipun, aku tahu yang akan diucapkannya.

"S-Sakura, ka-kau kenapa?"

Sudah ku duga. Ia akan bertanya seperti itu. "Ino, a-aku… s-sedih."

Ia berjalan mendekatiku, kemudian menyandarkan kepalaku di bahunya. "Ada apa, Sakura? Kalau kau mau, kau bisa bercerita padaku. Aku janji, kalau aku bisa, aku akan membantumu dan menghiburmu," kata Ino, membuat hatiku lebih tenang.

"I-Ino, aku sedih k-karena…ibu-kku meninggalkank-ku lagi," jawabku sambil terisak. Dadaku sungguh perih.

Entah sudah ke berapa kalinya aku bercerita hal yang sama pada Ino, mengenai ibuku yang sering pergi ke luar kota. Dan untuk ke sekian kalinya, Ino tak bertanya padaku kemana ibuku pergi. "Sudahlah, Sakura. Kau tidak usah menangis. Kau tahu, untuk siapa ibumu bekerja?" hibur Ino sambil memberikan senyumnya yang manis.

Aku menggeleng, masih terisak. Lagi-lagi Ino mengulum senyum lembutnya. "Ibumu bekerja untukmu, Sakura. Kau putri semata wayang ibumu yang sangat disayanginya. Kau tidak perlu menangis… oke?" kata Ino menyemangatiku. Aku tersenyum.

"Menurutmu… ibuku sayang padd-daku?" tanyaku.

Ino mengangguk. "Kalau ibumu tidak menyayangimu, kenapa ia harus bekerja siang-malam? Siapa yang membiayai sekolahmu? Ibumu, kan?"

Aku tersenyum, dan air mataku mengalir lagi. Tapi kali ini adalah air mata haru. Aku memeluk Ino, dan Ino balas memelukku. "Ter-rima k-kasih, Ino. Aku… aku… ssa-yyang padamu," bisikku didekat telinganya.

"Ya, aku juga," balas Ino, lalu kami berangkat sekolah.

TEEEEEEETTT… Bel masuk berbunyi. Semua murid langsung berbondong masuk ke kelas masing-masing, termasuk aku dan Ino yang masuk ke kelas XI.3.

Dan rupanya, di kelas sudah ada kepala sekolah. Ngomong-ngomong, ngapain Tsunade-sama, kepala sekolah kami masuk ke kelasku yaa?

"Ehm, pagi anak-anakku," sapa Tsunade-sama dengan wajah gembira.

"Pagi Tsunade-sama!" balasku dan teman-temanku.

"Anak-anak, mulai hari ini… guru matematika kalian, Kurenai-sensei sudah tidak bisa mengajar kalian lagi, karena beliau pindah tugas ke Konoha High School 2. Jadi beliau digantikan oleh guru baru bernama Kakashi Hatake-sensei."

Terdengar suara desah kecewa dari teman-temanku. Dalam hati aku juga merasa kecewa, karena aku menyukai Kurenai-sensei yang baik hati dan metode ajarannya juga berbeda dari guru lainnya. Aku membayangkan seperti apa Kakashi Hatake-sensei itu… ah, paling-paling dia pria tua yang berkacamata tebal dan membawa buku-buku yang tebal pula…

"Kakashi-sensei akan masuk sebentar lagi. Aku akan mengawasi kelas kalian, oke?" kata Tsunade-sama, lalu duduk di bangku guru.

Cih, tidak profesional. Harusnya ia datang tepat waktu, apalagi ini hari pertamanya mengajar! Aku bisa pastikan Kakashi adalah guru dengan penampilan yang aneh, cara mengajarnya tidak seru, dan aku tidak akan menyukai guru yang satu ini.

Lima menit, dua puluh menit, enam puluh menit alias satu jam. Semua anak menguap bosan. "Anak-anak, tunggu yah… Kakashi pasti akan datang sebentar lagi!" hibur Tsunade-sama yang mulai lesu.

Shit! Dasar Kakashi-sensei jelek! Kemana dia? Apa dia sudah tua dan saat ini sedang berjalan tertatih-tatih menuju kemari? Ah, emosiku jadi meledak-ledak begini. "Tidak, Sakura. Kau tidak boleh marah-marah tidak jelas begitu!" kata innerku.

Ya, benar juga. Aku tidak boleh marah. Ayo, Sakura Haruno. Kau pasti bisa mengendalikan emosimu!

Oh, iya. Kakashi-sensei itu cukup membuatku penasaran dan yakin kalau dia itu orang yang aneh, walau aku belum pernah bertemu dengannya. Pertama, nama KAKASHI memiliki arti orang-orangan sawah dan yang kedua… aku ingin tahu apa yang membuatnya terlambat. Apa benar dia itu sudah tua? Dalam hati, aku terkikik geli.

Sepuluh menit kemudian, pintu kelas kami tiba-tiba terbuka. 'Siapa dia? Apa ibunya tidak pernah mengajari sopan-santun?' pikirku.

Di hadapan kami, sekarang berdiri seorang pria yang err~~… tampan. Ia juga keren. Tsunade-sama beranjak dari bangku guru. "Nah, anak-anak… bapak ini yang akan menggantikan Kurenai-sensei. Perkenalkan, namanya Kakashi Hatake. Aku permisi dulu," ujar Tsunade-sama lalu keluar dari kelas.

Kakashi Hatake seakan tak berdosa sudah membuat kami menunggu selama satu jam. Eh, tunggu dulu. Ia tak seperti tadi yang ku pikirkan, dan satu hal lagi. Ia masih … muda. Ia juga keren dengan kemeja biru kotak-kotaknya. Ia memakai celana berwarna hitam, dan yang keren lagi… Rambut peraknya itu berdiri melawan gravitasi. Aku sangat terpesona.

'Mata onyxnya…'

'Bentuk wajahnya yang sempurna…'

'Dan bibir itu …'

'Kecil, tipis, dan basah…'

'Ia benar-benar sempurna.'

"Sakura Haruno, apa yang kau pikirkan?" bisikku sambil meremas rambutku perlahan.

Kakashi-sensei mulai bicara. "Hmm. Namaku Kakashi Hatake."

Ia berjalan menuju papan tulis dan menuliskan namanya dengan spidol berwarna merah. "Ada pertanyaan, murid-muridku yang baru?" tanyanya dengan mengulum sebuah senyum yang sukses menggetarkan hatiku.

Semua anak perempuan langsung histeris dan berebut mengajukan pertanyaan. "Nomor hapenya berapa?"

"Sudah punya pacar belum?"

"Alamat emailnya apa?"

"Punya facebook tidak?"

Kakashi-sensei hanya memberi tanggapan berupa sebuah senyum yang tidak dapat ku mengerti maksudnya. "Rahasia," jawabnya singkat, padat, dan jelas. Jawaban pendek itu cukup untuk mewakili pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan teman-temanku.

Aku melirik Ino. Ia biasa saja, tidak seperti Ino yang biasanya histeris kalau melihat cowok yang ganteng. Ino balas memperhatikanku. Aku harap Ino mengerti maksud tatapanku ini. "Tidak, Sakura-chan. Ia bukan tipeku, dan aku juga tidak mau mengkhianati Sai-kun," ujarnya. Aku menarik nafas lega, ia mengerti maksud tatapanku.

Bel pulang berbunyi. Aku dan Ino pulang bersama-sama (seperti biasanya). "I… Ino," panggilku.

"Ya, ada apa?"

"Mmm… Ka-kakashi senss-sei ittu… tam-pan ya?" kataku, dan rasanya wajahku memanas.

Ino tersenyum lebar, membuatku gugup. "Hayo, Sakura-chan suka dia, ya?" godanya.

Aku tersipu dan aku yakin pipiku sudah memerah. Mungkin ini pertama kalinya Ino melihatku begini. Jujur, ini pertama kalinya aku tertarik dengan lawan jenis, tidak seperti Ino yang sudah gonta-ganti pacar.

"Ino, apa mung-kin akk-ku biss-sa mem-milikk-kinya?" tanyaku.

Aku sebal pada penyakit gagapku ini.

Ino tampak terkejut, terlihat dari matanya yang terbelalak. "Ah, i-iya, mungkin. Kenapa tidak kau coba dekati dia?" usulnya.

Aku berpikir sejenak. 'Tidak mungkin, Ino! Cowok sekeren dia mana mungkin mau dengan cewek seperti aku…?' pikirku.

Kakashi-sensei selalu memenuhi pikiranku saat ini. Tiap kali mataku tertutup, aku tetap bisa melihat wajahnya yang sedang tersenyum. Dan senyum itu sangat manis! Aku… baru kali ini merasakan perasaan yang indah seperti ini. "Sensei, aku … su-."

Wajahku memanas, dan aku tersenyum sendiri. "…ka padamu."

Aku menyentuh dadaku sendiri, jantungku berdegup kencang. "Kakashi-sensei, b-bolehkah aku memilikimu?" tanyaku, sambil menatap cermin dan mengulum sebuah senyum sipu.

Dan dari cermin, bisa ku lihat sebuah semburat merah di pipiku. Tiba-tiba, tanganku bergerak ke lemari buku dan mengambil sebuah buku resep. "Buku resep? Apa-apaan aku!"

Entah disengaja atau tidak, aku membuka satu per satu halaman buku resep ini. Ekor mataku menangkap sebuah resep 'choco chooc'. "Ah, kue cokelat untuk sensei. Hmmmmm…" ujarku.

Entah aku sadar atau tidak, malam itu aku membuat kue choco chooc yang ingin ku berikan pada Kakashi-sensei. Kau tahu choco chooc itu apa? Kau pasti tahu… biskuit cokelat…? Tepat. Aku membuat sepuluh butir untuk sensei.

TING. Suara dari microwave itu menandakan kalau biskuit yang ku panggang sudah matang. Setelah memakai sarung tangan, dengan hati-hati aku mengangkat loyang berisi biskuit itu dari microwave. Wangi khas roti menyeruak ke dalam hidungku, membuatku tergoda untuk mencicipinya. "Ingat Sakura. Kue ini untuk SEN-SEI-mu!" kata innerku memperingatkan, dengan memberi penekanan pada kata SENSEI.

Aku tersenyum, dan memasukkan kue-kueku pada sekantung plastik, lalu mengikatnya dengan pita berwarna merah. Sempurna. Sekarang saatnya aku tidur supaya pagi cepat datang **ya kan?**

Pagi ini aku merasa sangat bersemangat. Aku tidak sabar untuk segera memberikan kue ini pada Kakashi-sensei, dan melihat senyumnya yang manis. Ia pasti akan menyukai kueku ini. Kakashi-sensei merubah segalanya pada diriku. Aku yang sebelumnya seorang pemurung, sekarang menjadi lebih ceria. Lalu, … ah lupakan saja! Menurutku hanya satu hal itu yang paling penting.

"Sakuraaa, ohayoooo!" seru seseorang di belakang sana. Aku kenal baik suara ini.

Aku menoleh. Si gadis pirang ekor kuda —siapa lagi kalau bukan Ino, sedang melambaikan tangannya padaku. Aku membalas lambaian itu, tapi tak membalas sapaannya. Tahu kenapa? Ya, karena itu memang sifatku…

Ino tiba di sebelahku dengan nafas yang tidak beraturan. "Hosh… hosh… hosh… Sakura, ken-napa hosh… kkau t-tidak hosh… menungg-guku?" tanyanya.

Aku tersenyum, lalu mata Ino melirik ke arah tas kecil berwarna pink di tangan kananku. "Apa itu, Sakura?" tanya Ino lagi.

Aku meletakkan jari telunjukku di bibir. "Emm… kalau ku tebak, untuk Kakashi-sensei ya?" tebak Ino.

Aku mengangguk sambil tersenyum lebar. Mungkin, ini senyum paling lebar yang pernah ku buat. Ia mengacak-acak rambutku. "Kau ini… benar-benar deh!" bisiknya.

"Aapa, Ino?" tanyaku, sambil berusaha agar tidak gagap.

"Kau pemberani!" jawabnya.

"Terrima kassihh!"

Sesampainya di sekolah, aku tidak langsung ke kelas. Aku pergi ke ruang guru. Disana banyak sekali siswi-siswi berkerumun. Aku bertanya pada Hinata, yang sama gagapnya denganku. "Hinnatta, adda appa?" tanyaku.

"A-anu, Sa-kkura-san… me-mereka ingg-in mel-lihat w-wajah guru baru berr-namma Ka-kashi Hatt-take," jawab Hinata grogi, sambil memainkan kedua ujung jari telunjuknya.

Aku terkejut. Mereka berkerumun hanya untuk melihat wajah Kakashi-sensei? Kalau begitu, sainganku sebanyak ini, dong… aku menghela nafas panjang, dan di dadaku ini terasa begitu berat. Apa aku harus melanjutkan langkahku ke dalam sana dan memberikan kue-kue ini padanya? Aku rasa tidak perlu…

"Sakuraa Harunno, mana semangatmu? Kau suka dia, kan? Ayo bakar semangatmu!" bisik innerku yang tiba-tiba jadi berlawanan sifat denganku.

Aku terdiam. "Kalau kau tidak berani, biar aku yang maju!" tambah innerku, dan aku mengangguk.

Inner di dalam tubuh kita memang terkadang punya dua sifat, yaitu sifat kita yang asli… entah yang baik atau tidak dan yang kedua, sifat yang berlawanan dari sifat kita yang asli. Seperti saat ini, secara ajaib innerku yang punya sifat berlawanan denganku merasuki aku. Masuk ke aliran darah, jantung, dan nadi… sehingga menyebarlah sifat itu.

Sakura Haruno, yaitu aku, gadis paling lemah lembut setelah Hinata, menabrak semua gadis di hadapanku. Dengan gagah berani {?} aku masuk ke dalam ruang guru, tidak peduli dikatai lancang atau tidak. Rupanya, di meja Kakashi juga dikelilingi banyak siswi-siswi centil.

Aku langsung mendorong mereka satu per satu, sehingga di hadapan Kakashi kini hanya ada aku. Aku menatap Kakashi tajam ( background api: ON). Ia terlihat salah tingkah, tapi tetap tenang supaya tidak kehilangan imagenya sebagai guru yang cool. "Halo, bisa saya bantu?" sapa Kakashi-sensei ramah seperti biasa.

Aku meletakkan tas kecil berisi kue itu diatas mejanya. "Apa ini? Untukku?" tanyanya, dan aku hanya mengangguk.

"Terima kasih. Lumayan untuk makan siang nanti."

Masa aktif sifat pemberaniku hilang seketika. Rasanya wajahku memanas. Pipiku pasti sudah memerah saat ini. "Se-semoga sensei su-suka ya…" ujarku penuh harap.

"Tentu!" sambutnya, dengan memberikanku sebuah anggukan mantap dan senyum yang manis. Senyum yang sama di setiap bayanganku tentangnya.

Aku keluar dari ruang guru dan sepertinya semua guru sedang memperhatikanku. Aku merasa sangat malu. Ketika aku tiba diluar ruang guru, rupanya Ino ada disana. "Bagaimana, Sakura?" tanya Ino.

Aku tersenyum tipis dan mengacungkan jempol didepan wajahnya. Ia tersenyum lebar. "Okelah, semoga berhasil, ya!"

Aku mengangguk, lalu kami berdua masuk ke dalam kelas setelah bel berbunyi.

~TBC~

Yaa, dan itulah chapter 1 untuk fic gaje dan abal ini…

Sekali lagi maaf ya, bagi para readers…

Ceritanya memang tidak begitu bagus dan Okuni akui kalimatnya kurang rapi.

Okelah, semuanya...

Okuni minta repyu ya! (Ngarep) *puppy eyes* *gepraked*

Sampai jumpa di chapter 2…

Sayonara! ^_^/

I'll waiting for the review…

:*

Next chapter:

Sakura melihat Kakashi membuang kue pemberiannya, dan itulah pertama kalinya Sakura merasakan sakit hati.

Lalu, Sakura harus menerima kenyataan yang begitu pahit tentang Kakashi. Kenyataan apa itu?

Tunggu kelanjutannya di chapter 2. Thanks, for readers and reviewers…

Salam manis,

*:

Author

Okuni Mikku