.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Gotta Run
YoonMin ~
Other Cast: VKook, NamJin, Hoseok, and other.
Genre: Romance, Friendship, Drama
Warning! Boys Love! Crime! M-Preg! Typo bertabur bagai bunga mawar merah.
by : beeyoungjee
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Min Jiwoong adalah Perdana Menteri Korea Selatan yang sangat disegani oleh semua orang. Perawakannya yang tegas, disiplin dan berani membuat banyak orang terkagum-kagum dengan sosok pria berumur yang sudah memasuki kepala lima namun masih terlihat tampan dan penuh wibawa. Selain seorang perdana menteri, Min Jiwoong juga seorang pengusaha yang berkecimpung di dunia perhotelan. Ia sendiri sudah memiliki beberapa hotel bintang lima di setiap kota metropolitan di Korea Selatan, membuat segala catatan profil biografinya berisi penuh-penuh pujian atas kesuksesannya.
Meskipun menjadi sosok yang disegani seantero Korea Selatan, Min Jiwoong juga seperti laki-laki pada umumnya yang memiliki istri yang sangat cantik, yang merupakan mantan aktris sekaligus penyanyi ternama yang bernama Kim Yoona, menjadi Min setelah menikah dengannya. Usia pernikahan mereka pun terbilang cukup lama dengan angka '25' yang menjadi umur pernikahan mereka tahun ini. Sepasang suami-istri yang sempurna ini dikarunia dua orang putra yang tumbuh tampan seperti ayahnya.
Anak pertama, bernama Min Yoongi. Bisa dikatakan, jika anak pertama dari pasangan Min Jiwoong dan Min Yoona ini, adalah Jiwoong muda. Karena seluruh sifat dan sikap yang melekat pada diri Yoongi sama persis seperti sang ayah. Wajahnya yang tegas, dingin, kedua mata sipit dan kulitnya yang putih pucat sama persis seperti milik ayahnya, membuat mereka berdua tampak seperti saudara kembar yang tampan dan rupawan. Terlebih sifat Yoongi yang irit bicara dan keras kepala membuat Yoona harus dibuat pusing untuk menghadapi dua orang yang sangat menyebalkan jika sedang berseteru. Karena yah, meskipun ayah dan anak ini memiliki banyak kesamaan tapi bukan berarti mereka akur setiap bertemu. Justru sebaliknya.
Anak kedua, sekaligus bungsu di keluarga ini bernama Min Jungkook. Jungkook hanya berpaut tiga tahun dari sang kakak, tapi berbeda dengan Yoongi yang memiliki gen sepenuhnya dari sang ayah. Jungkook justru mendapat gen dari kedua orang tuanya, bahkan sedikit dari kakaknya. Jungkook yang memiliki wajah manis dan tampan secara bersamaan, serta dua gigi kelinci yang membuat wajah manis lebih mendominasi dalam dirinya. Jungkook terbilang sangat manja, terutama pada kakaknya dan ibunya bahkan pada ayahnya sekalipun. Itu mungkin karena Jungkook adalah anak bungsu yang membuatnya selalu mendapat perhatian penuh dari seluruh anggota keluarganya bahkan para pekerja di rumahnya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Tok! Tok! Tok!
"Tuan muda!" panggil bibi Lee mengetuk pintu si bungsu untuk membangunkan tuan mudanya.
Tok! Tok! Tok!
"Tu—"
Cklek!
"Aku sudah bangun bi." balas Jungkook tepat ia membuka pintu, penampilannya yang sudah rapi dan siap untuk berangkat kuliah bersama dengan kakaknya.
"aigoo~ tampannya tuan muda bibi. Jja, turunlah tuan muda. Tuan dan nyonya besar sudah menunggu." Jungkook mengangguk dan ia menoleh kearah kamar berpintu hitam yang berada di samping kamarnya di lantai dua.
"Yoongi hyung belum bangun?" tanya Jungkook. Bibi Lee menarik nafas dan memasang wajah frustasi.
"Kau tahu betul bagaimana kakakmu itu tuan muda, dia sangat menyeramkan jika dibangunkan." Jungkook terkekeh dan mengangguk membenarkan. Kakak kesayangannya itu benar-benar seorang pecinta tidur, dan hal yang paling tidak ia sukai adalah ketika ada yang berani membangunkan tidurnya.
"Semangat bibi!" Jungkook mengangkat tangannya dan memberikan kepalan di depan bibi Lee untuk menyemangati. "Aku ke bawah dulu, katakan pada Yoongi hyung, kami semua menunggu." bibi Lee mengangguk dan tersenyum.
"nde tuan muda." balas bibi Lee yang kemudian membiarkan si bungsu Min menuruni tangga dengan riang.
"Pagi ma, pagi pa!" seru Jungkook ia merangkul ayah dan ibunya serta mengecup sebelah pipi mereka saat ia sampai di meja makan, dan turut tersenyum pada para maid yang berdiri mengitari meja makan mereka ketika para maid menunduk menyapanya.
"Pagi anak mama," balas Yoona seraya mengecup kening si bungsu dengan sayang.
"Kakakmu belum bangun?" tanya Jiwoong, setelah Jungkook duduk di samping ibunya.
"Sepertinya belum pa, bibi Lee sedang membangunkannya—"
"KELUAR DARI KAMARKU!"
Jungkook, Yoona, dan beberapa maid terkikik geli mendengar seruan kesal dari si sulung yang memenuhi seluruh rumah mewah ini. Sementara, Jiwoong hanya menggelengkan kepalanya, terlalu hafal dengan kebiasaan putra sulungnya yang paling tidak suka dibangunkan dan berakhir dengan teriakan marah setiap pagi.
Min Yoongi, si sulung tampan berjalan menuruni tangga dengan rambut acak-acakan dan masih mengenakan piyama tidurnya. Jauh berbeda dengan si bungsu yang sudah rapi dan wangi.
"hyung, kau terlihat seksi!" goda Jungkook pada sang kakak yang datang ke meja makan dan duduk di depan sang ibu dan adiknya dengan wajah datar, persis seperti ayahnya.
"aigoo~ anak mama yang tampan, kenapa kau marah pagi-pagi seperti ini nak?" Yoongi mendengus dan menatap ibunya sebal.
"Bibi Lee, mengganggu tidurku!" adu Yoongi masih kesal.
"Kau memang sudah harus bangun, hyung. Dasar pemalas!" ejek sang adik yang membuat Yoongi langsung menatap adiknya tajam.
"yak!"
"aish—sudah-sudah cepat makan sarapannya, dan kalian berdua juga harus bersiap pergi kuliah." lerai Jiwoong yang kemudian hanya terdengar suara dentingan sendok-garpu yang beradu dengan piring yang menambah khidmat sarapan rutin keluarga Min.
..
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
..
Ckiiit!
Blam!
Pemuda manis bermata sipit dan berbibir tebal itu menutup pintu mobil klasik Amerika (muscle) kesayangannya yang bermerk 1970 Buick GSX, warnanya yang kuning mencolok dengan garis hitam di bagian kap mesin dan garis lurus juga berada di bagian samping kiri-kanan badan mobil, membuat mobil keluaran Amerika itu tampak mencolok jika berkeliaran di kota seramai dan sepadat Seoul.
Pemuda manis itu berjalan memasuki sebuah bengkel mobil yang bernama "Kim's Workshop", dimana satu-satunya bengkel yang ia percaya untuk menyentuh mobil kesayangannya jika mengalami sedikit kerusakan mesin atau lecet di beberapa body kinclongnya.
"ouh~ Jiminie... kau datang!" sapa salah satu pekerja menyapa si pemuda manis yang bernama lengkap Park Jimin. Jimin tersenyum manis dan berjalan mendekati orang yang menyapa kedatangannya.
"hi hyung," balas Jimin ramah.
"Cari siapa? Taehyungie atau Seokjinie?" tanya si pekerja yang merangkap sebagai salah satu montir di bengkel milik keluarga Kim yang sudah lima tahun ini dikelola oleh kedua anaknya, Kim Seokjin anak pertama dan si bungsu Kim Taehyung. Kedua orang tua mereka sudah meninggal karena kecelakaan lima tahun yang lalu, itulah membuat kedua kakak-beradik Kim ini harus hidup mandiri dan saling menjaga satu sama lain.
Sementara, montir yang menyambut Jimin bernama Choi Minho, ia sendiri sudah bekerja selama delapan tahun di bengkel keluarga Kim dan menjadi pekerja paling lama di bengkel itu. Sebenarnya, ada dua lagi montir lain di Kim's Workshop, yang pertama bernama Jin Hyosang yang sudah bekerja di bengkel itu selama enam tahun. Hyosang sendiri adalah teman Seokjin sejak kecil dan sangat mengenal keluarga Kim dengan baik karena secara kebetulan rumahnya satu perumahan dengan Seokjin, bahkan tidak hanya itu mereka berdua juga pernah satu sekolah di sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama. Dan pekerja yang terakhir bernama Yoo Youngjae, dia montir yang bekerja di bengkel keluarga Kim baru selama tiga tahun, yang sekaligus termuda diantara Minho dan Hyosang.
"Aku kebetulan hanya mampir." jawab Jimin ia mengedarkan pandangannya pada seisi garasi bengkel.
"hm, baiklah kalau begitu. Aku tinggal masuk-nde." Jimin mengangguk dan membiarkan Minho melanjutkan pekerjaannya.
"Jiminie?" Jimin mendongak mendengar suara familiar yang menyapa dari lantai atas. Jimin melambai bersamaan dengan si cantik sulung Kim yang langsung melesat turun untuk menyambut sahabat adiknya.
"Kau tidak kuliah?" tanya Seokjin setelah menyempatkan untuk memberikan pelukan hangat pada Jimin. Jimin berjalan kearah sebuah mobil yang tampaknya sedang dimodifikasi tanpa berniat untuk menjawab pertanyaan membosankan dari Seokjin.
"Apa Taehyung yang mengerjakan mobil ini?" tanya Jimin mengalihkan perhatian Seokjin, dan benar saja Seokjin turut menoleh kearah mobil Nissan Skyline GT-R berwarna silver. "Dia masih saja ceroboh." gumam Jimin sedikit mengotak-atik mesin mobil yang hal itu membuat helaan nafas terdengar dari Seokjin. Sahabat adiknya ini, terlalu kentara jika ingin menghindari sesuatu.
"hm, kau benar dia memang selalu ceroboh. Tapi, kau salah! Mobil itu—bukan Taehyung yang mengerjakannya." tutur Seokjin. Jimin segera menjauhkan tangannya dari mesin mobil dan menghela nafas.
"Baiklah, hyung. Kau menang kali ini, aku masuk pagi. Kau puas?" jawab Jimin kesal. Seokjin mengulum senyum.
"Jika kau masuk pagi, kenapa kau disini?" Jimin berdecak ia meraih serbet yang tersampir diatas kap mobil untuk membersihkan tangannya yang terkena oli.
"Aku malas bertemu dengan kakak-kakakku." jawab Jimin menyandarkan tubuhnya pada mobil itu. Ia melempar serbet itu asal dan melipat tangannya di depan dada dengan kepala tertunduk.
"Kau bertengkar lagi dengan ayahmu?" tebak Seokjin. Jimin tersenyum miring dan mengangkat wajahnya untuk menatap Seokjin yang sedang memberikan tatapan prihatin padanya, dan Jimin—benar-benar sangat membenci tatapan iba dari siapapun.
"yah~ seperti yang kau tahu hyung. Aku selalu merasa asing berada diantara mereka. Aku merasa tidak seharusnya tempatku disana."
"Jiminie—"
"Aku rasa, aku harus berangkat sekarang. Sampaikan pada Taetae, jangan lupa untuk balapan nanti malam." pesan Jimin yang hanya di balas diam oleh Seokjin. "Aku pergi!" pamit Jimin berjalan keluar meninggalkan Seokjin yang memberikan tatapan maaf pada kepergian Jimin dari bengkelnya.
..
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
..
Dua mobil berbeda merk itu saling melaju cepat membelah salah satu jalanan sempit di Seoul, dengan Nissan 300ZX yang memimpin sementara Maserati Ghibli tepat berada di belakangnya.
Si pengemudi Nissan melirik ke spion mobilnya dan tersenyum menang ketika mobil sang kakak selalu gagal menyalip yang membuatnya berada di atas awan.
"Kali ini, aku yang akan menang hyung~" gumamnya dengan senyum jenaka dan penuh kepuasan.
Ia menambah laju kecepatan mobilnya, tak peduli jika jalan yang ia lewati bukanlah jalan utama melainkan jalan alternatif yang salah satunya ia gunakan untuk adu kecepatan dengan sang kakak. Jalan sempit yang jauh dari kepadatan jalan ibukota.
Sementara si pengemudi Nissan yang tersenyum penuh kemenangan berbeda dengan pengemudi Maserati Ghibli yang harus menahan kekesal karena sang adik semakin mahir untuk menghalanginya menyalip.
"Sial! Aku tidak bisa kalah seperti ini!" geramnya memukul stir kemudinya. Ia memutar otak, ia tidak mau kalah untuk pertama kalinya. Tapi, adiknya itu semakin hari semakin cerdik terlebih jalan yang mereka pilih kali ini hanya muat untuk satu mobil, bagaimana caranya agar ia menyalip dan mengalahkan adiknya?
Melihat adiknya yang menambah kecepatan, sang kakak tak mau kalah dan berusaha untuk mendempetkan bemper depan mobilnya pada bemper belakang mobil sang adik.
"ck! Trik lama! Kau tidak akan berhasil, hyung. Kali ini, aku yang akan menang!" ujarnya ketika ia melihat mobil sang kakak yang mengunci pada bemper belakang mobilnya membuat kedua mobil itu menyatu.
Sang kakak menyeringai melihat mobil sang adik yang tak mencoba untuk melepaskan diri dari penyatuannya.
"Dasar bocah! Dia bodoh atau apa? Dia memberi peluang untukku!" gumam sang kakak tersenyum puas.
"Jangan menganggapku bocah lagi, hyung. Ingat, ini hari kemenanganku!" seringai sang adik, kedua matanya menatap intens pada spion mobilnya untuk mematai gerak-gerik mobil sang kakak.
Si pengemudi Nissan tersenyum miring saat melihat jalan raya yang tembus hingga gang menuju kampusnya berada.
"Aku tidak akan melakukan kesalahan yang sama!" gumamnya, ia yakin sang kakak siap akan melemparnya tepat ban depan mobilnya menginjak jalan raya, tapi tidak—ia tidak akan membiarkan kakaknya menang hari ini. Hari ini, harinya. Dan hari ini, adalah hari kesialan kakaknya.
"are you ready, hyungnim?" gumamnya memberi aba-aba pada dirinya sendiri. Si adik tersenyum lebar hingga memperlihatkan kedua gigi kelinci yang membuat kesan imut dan manis dalam wajahnya.
Setelah menghitung waktu mundur, si pengemudi Nissan itu tiba-tiba saja menginjak pedal remnya yang membuat mobil sang kakak terbentur keras beradu dengan bemper belakang mobilnya.
"Oh shit! Are you crazy, Min Jungkook?!" seru sang kakak yang dibalas tawa keras dari sang adik yang kini melambaikan jari tengah di udara setelah berhasil membuat bemper depan mobil mahal kakaknya penyok dan kemenangan otomatis menjadi miliknya.
Ckiit!
Ckiit!
Dua mobil itu terparkir berjajar rapi di halaman parkir sebuah universitas elit yang bernama "Seoul National University (SNU)". Mengabaikan pekikan para mahasiswa ketika dua mobil yang seluruh penghuni kampus tahu siapa pemilik dari dua mobil mewah itu.
Blam!
Blam!
Kakak-adik itu keluar dari mobil mereka masing-masing secara bersamaan. Sang adik yang menatap remeh pada sang kakak sementara sang kakak menatap malas sang adik yang pasti akan mengejeknya sebentar lagi.
"Kau lihat 'kan hyung, aku sudah lebih baik darimu!" sang kakak memutar kedua bola matanya malas. Ia sudah menduga, hal ini pasti terjadi.
"Kau hanya sedang beruntung bocah!"
"hyung, sudah berapa kali aku katakan padamu?! Jangan panggil aku 'bocah' disini!" sang adik mempoutkan bibirnya kesal.
"Dimataku kau tetaplah 'bocah' untukku!" balas sang kakak bersamaan dengan lima orang pemuda tampan yang berjalan menghampiri mereka.
"wah~ Jungkook-ah, akhirnya kau berhasil mengalahkan kakakmu!" sahut salah satu dari enam pemuda yang merupakan teman dari sang kakak, Yoo Kihyun.
"Aku memang harus mengalahkannya, hyungnim!" balas si adik, Min Jungkook melirik pada kakaknya, Min Yoongi dengan tatapan remeh membuat Yoongi berdecak kesal.
"Sudah masuk sana, bocah! Ketiga teman bocahmu sudah menunggumu di depan toko mainan!" ejek Yoongi yang lagi-lagi dibalas delikan kesal dari Jungkook.
"HYUNGNIM! Kau hutang kemenangan hari ini padaku!" Yoongi mengibaskan tangannya tak peduli dan mengisyaratkan Jungkook, sang adik untuk segera pergi dari hadapannya.
Sepergian Jungkook, kini kelima teman Yoongi yang bernama Kim Namjoon, Yoo Kihyun, Yoon Doojoon, Kim Myungsoo, dan Park Jinyoung, keenamnya memasang wajah serius kearah Yoongi yang membuat Yoongi mengeryit tak mengerti.
"waeyo? Ada masalah?" tanya Yoongi acuh.
"Kau tanya ada masalah, kau lupa hari ini?" tanya Doojoon mengingatkan. Yoongi mengingat sebentar kemudian gumaman 'ah' keluar dari belah bibirnya.
"Jadi, karena itu?" tanya Yoongi remeh yang hal itu membuat kerutan di dahi keenam temannya, tak menyangka dengan respon Yoongi yang kelewat santai.
"Karena itu?! Yoon, apa kau bercanda? Ini bukan masalah sepele!" balas Myungsoo. Yoongi menarik nafas.
"Sudahlah, jangan memperpanjang masalah, kalian tahu sendiri mereka tidak akan berhenti meskipun kita berhenti. Jadi, sia-sia saja jika kita meladeni mereka hari ini. toh, kita bisa membalasnya lusa nanti!" ujar Yoongi dengan seringai menyeramkan yang membuat kelima temannya semakin tak mengerti dengan jalan pikir Yoongi. oh, mungkin tidak semua karena selain Yoongi, Namjoon juga tampaknya paham dengan apa maksud dari ucapan pemuda yang selalu memasang wajah datar dan pucat itu. Perlu dicatat, diantara kelima teman Yoongi, Namjoon adalah satu-satunya teman seperjuangan Yoongi sejak kecil. Mereka berdua tumbuh bersama dan berbagi hal yang sama, tautan umur Namjoon yang satu tahun lebih muda dari Yoongi membuatnya begitu menyegani sosok yang sudah ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Selain itu, Namjoon juga adalah satu-satunya yang mengenal keluarga Yoongi luar dan dalam bahkan Jungkook sendiri sudah menganggap Namjoon sebagai kakak keduanya.
"Kalian tenang saja, kami sudah menyiapkan rencana untuk membalas mereka." balas Namjoon tersenyum miring.
"Jadi, kalian berdua sudah merencanakan sesuatu tanpa mengatakan apapun pada kami?" tanya Myungsoo.
"oh come on, kami akan membicarakannya tapi tidak disini. Lagi pula—" Yoongi menunjuk dengan dagunya ke depan yang membuat kelima temannya yang menghadap padanya berbalik badan. "—si perusuh sudah menyerahkan diri!" lanjut Yoongi tersenyum remeh ketika musuh bebuyutannya datang bersama pasukannya.
"Ada perlu apa kalian kemari?" tanya Doojoon mematai ketujuh orang yang datang menghampirinya dan teman-temannya.
"Kami hanya ingin mengingatkan untuk tidak menjadi pecundang dua hari ke depan!" remeh seseorang yang bernama Park Taekwoon yang diiringi tawa dari keenam teman-temannya yang turut mengekor.
"Aku justru berdoa, semoga kau tidak kalah setelah melakukan kecurangan. Bukankah itu sangat memalukan?" sarkas Namjoon yang membuat Taekwoon mengepalkan kedua tangannya menahan amarah. "Kau tidak akan menang jika yang kau lakukan hanyalah menyabotase lawanmu. Itu sangat rendahan!"
"Sial! Ini terlalu dini Kim Namjoon!" geram Taekwoon tak bisa lagi menahan emosinya dan mencekeram kerah baju Namjoon yang hal itu membuat teman-teman Taekwoon serta teman-teman Yoongi mencoba untuk memisahkan mereka. Sebenarnya tidak semua, hanya Yoongi yang tetap berdiri bersandar di kap mobilnya dengan kedua matanya yang bergulir jengah melihat pertengkaran tak penting di depannya.
Namjoon mendecih, bahkan jika bisa dengan senang hati pemuda tampan berdimple itu meludahi wajah angkuh Taekwoon.
"Terlalu dini kah? Jadi, kau akan memukulku disini? Apa sekarang kau juga sudah tidak punya otak? Pukullah! Aku akan dengan senang hati menerimanya!" tantang Namjoon yang membuat Taekwoon semakin mengeratkan cekeramannya pada kerah baju Namjoon sampai membuat Namjoon tercekik dengan warna mukanya yang sudah memerah.
Bersamaan dengan perseturuan pagi antar dua kelompok populer se-SNU yang mengabaikan semua pasang mata mahasiswa yang menjadi saksi, muncullah sebuah mobil muscle berwarna kuning mencolok dengan corak hitam di atas kap mesinnya, membuat semua perhatian berubah pada mobil yang jarang para mahasiswa lihat di area kampus mereka.
Blam!
"Jimin?" pekik pemuda yang berdiri dibelakang Taekwoon, yang tak lain adalah adik dari Park Taekwoon, Park Chanyeol setelah melihat sosok si pengemudi mucle yang bermerk Buick keluar dari mobil nyentrik itu. Pekikannya pun sontak membuat Taekwoon dan lainnya menoleh dan mengeryit ketika Chanyeol menyebut nama pemuda asing itu, kecuali Taekwoon tentu saja.
Dan tampaknya tak hanya Chanyeol, Taekwoon serta musuh-musuhnya bahkan Yoongi sendiri juga mengalihkan pandangannya pada pemuda manis yang cukup asing di mata semua orang. 'Apa dia mahasiswa baru?' Pikir beberapa orang yang tak pernah bertemu dengan pemuda manis, bermata sipit, berbibir tebal, pipinya yang agak cubby menambah kesan gemas bagi semua orang yang melihatnya dan ditambah lagi rambutnya yang berwarna merah muda yang membuat beberapa orang tersenyum melihat bagaimana manisnya sosok yang seperti arum manis itu.
Pemuda manis itu menghentikan langkahnya sejenak dan menoleh kearah Taekwoon yang masih mencekeram kerah baju Namjoon yang mana semua pasang mata masih menatap kearahnya karena tak hanya mobilnya yang cukup mencolok, penampilan keseluruhan pada dirinya memang pantas untuk menjadi pusat perhatian sejenak.
Kedua mata sipitnya mengarah lurus pada sosok dua orang yang juga menatapnya dengan tatapan seperti terkejut dengan kedatangannya yang seolah seperti tak pernah diharapkan membuat seulas senyum miring tercetak di bibir tebalnya yang kemudian pergi dan memasuki gedung kampus begitu saja.
"hyung, Jimin datang. Urungkan niatmu untuk membuat onar!" bisik Chanyeol. Taekwoon menarik nafas dan menatap Namjoon memperingati.
"Kau selamat hari ini!" geramnya menghempaskan tubuh Namjoon kasar dan berlari masuk ke gedung kampus diikuti Chanyeol dan kelima temannya yang lain.
"Siapa pemuda manis itu? Aku baru melihatnya?" tanya Jinyoung memecah keheningan.
"Aku rasa, Taekwoon dan Chanyeol mengenalnya. Chanyeol menyebutnya dengan nama 'Jimin', aku yakin mereka berdua memiliki hubungan dengan pemuda itu!" sahut Doojoon.
"Lebih baik, kita juga masuk sekarang. Tak penting mengurusi orang asing!" Yoongi menengahi, ia berjalan lebih dulu meninggalkan kelima temannya yang tak lama juga turut mengekor masuk menuju gedung kampus mereka.
.
.
.
.
.
.
.
"hah! Mereka bilang aku berandal, sekarang siapa yang berandal? Mereka bahkan seperti preman! Jadi, apa bedanya aku dan mereka?" gumam pemuda manis yang memang adalah Park Jimin. Sebenarnya Jimin bukanlah mahasiswa baru di SNU, ia adalah mahasiswa semester empat di jurusan Seni. Satu-satunya mahasiswa yang mungkin keberadaannya tidak diketahui banyak orang karena memang Jimin jarang sekali datang, sekalipun datang ia hanya absen dan langsung pergi begitu saja atau datang ketika ada tugas mendadak dari dosennya atau ketika ujian semester. Dan, jika ia terlalu keterlaluan karena terlalu sering membolos bahkan pernah sampai di drop out ia tak perlu merasa cemas karena secara otomatis ibunya atau kedua kakaknya pasti akan mengurus semuanya.
"Jimin!" panggil seseorang menghentikan langkah Jimin. Jimin yang tahu betul siapa pemilik suara itu memutar kedua bola matanya malas, dan dengan terpaksa ia berbalik badan untuk menghadapi kedua hyung-nya yang menatapnya penuh kasih dan sungguh, Jimin muak untuk melihat eskpresi dua pemuda yang memang adalah kakak kandungnya, Park Taekwoon kakak pertama dan Park Chanyeol kakak kedua.
"Kau pergi tanpa sarapan, mama mencemaskanmu." ujar Chanyeol lembut. Jimin mendesis.
"Sejak kapan kalian peduli padaku?" sarkasnya.
"Ji—"
"Sudalah, hyung. Aku mohon, jangan menarik perhatian di depan umum seperti ini. Aku baik-baik saja, dan kalian tak perlu mencemaskanku!" potong Jimin yang setelahnya melengos pergi begitu saja.
Jimin menekuk wajahnya sepanjang jalan menuju kelasnya. Ia sudah malas datang ke kampus dan lebih malas setelah bertemu dengan kedua kakaknya. Ia hanya tidak mau memulai pertengkaran lagi dengan kedua kakaknya terutama di tempat umum seperti ini.
"Park Jimin?" panggil teman sekelas Jimin setelah Jimin masuk ke kelasnya dan duduk di bangku paling belakang dekat jendela. Jimin tersenyum kecil membalas sapaan teman sekelasnya, Kim Jongin yang biasa dipanggil dengan sapaan Kai.
"wah, mimpi apa semalam, pagi-pagi begini aku sudah melihat makhluk manis di kelas," goda Jongin duduk di depan Jimin. Jimin terkekeh kecil.
"Jangan berlebihan. Aku hanya absen, setelah itu aku harus pergi!"
"lagi?" pekik Jongin tak percaya.
"mian Kai, kau tahu aku banyak urusan diluar sana." Jongin hanya menggeleng heran.
"arra arra, terserah kau saja." jengah Jongin memutar kedua bola matanya malas. Jimin tersenyum kecil. "ah-ya, kau sudah dengar?" tanya Jongin memecah keheningan.
"Apa?" Jimin balik bertanya dan Jongin refleks memukul jidatnya.
"ah~ kau jarang masuk, pantas saja kau tak tahu." tutur Jongin dan pemuda tan itu mendekatkan tubuhnya pada Jimin. "Kau tahu? Aku dengar dua kubu itu lagi-lagi akan berperang." Jimin mengangkat sebelah alisnya tak mengerti dan mengerjapkan kedua matanya lucu.
"dua kubu? Berperang? Maksudmu?" tanya Jimin. Jongin tertawa keras yang membuat beberapa teman sekelas mereka menoleh tak suka kearahnya yang selanjutnya disusul ekspresi terkejut ketika melihat Jimin dengan style barunya lagi duduk manis di pojok kelas.
"aish, kau ini benar-benar kuper, aku jadi penasaran apa yang kau lakukan diluar sana, sampai-sampai kau nyaris di DO!"
"Kau itu bermaksud untuk memberitahuku atau menginterogasiku?" tanya Jimin. Jongin terkekeh.
"kau pasti penasaran 'kan?" Jimin mencibir, ia tak suka dengan orang yang berbasa-basi.
"Aku pergi jika kau tak jadi bicara!" ancam Jimin hendak berdiri namun langsung ditahan oleh Jongin membuat Jimin berfikir apakah penting memberitahunya tentang dua kubu yang berperang?
"Dengarkan aku dulu, jarang-jarang juga aku bertemu denganmu. Aku merindukanmu, Chim~" Jimin mengeryit geli namun ia tertawa kecil.
"arra arra, aku dengarkan!" balas Jimin menuruti kemauan Jongin. "Jadi, apa maksudmu dari dua kubu itu?"
"Kau tidak tahu? Padahal kau bertemu mereka di parkiran tadi." Jimin mengangkat sebelah alisnya dan baru menyadari jika yang dimaksud Jongin adalah teman-teman kakaknya dan musuh-musuhnya. Oh, jangan heran jika Jongin tidak tahu jika Jimin adalah adik dari Taekwoon dan Chanyeol. Tidak hanya Jongin, seluruh mahasiswa SNU tidak mengetahui jika Jimin adalah adik bungsu dari salah dua mahasiswa populer di kampusnya itu.
"Lalu?" tanya Jimin masih tak paham. Jongin menarik nafas sabar.
"Jadi, mereka akan bertanding lagi."
"lagi? Memangnya apa yang akan mereka tandingkan? Dan kenapa mereka harus bertanding?"
"Tentu saja karena popularitas. Selain itu mereka juga harus membuktikan siapa yang terhebat."
"hm, lalu?" tanya Jimin tanpa minat.
"Dan, kau tahu apa yang akan mereka tandingkan kali ini?" Jimin menggeleng polos tanpa bertanya 'apa' Jongin dengan cekatan menjawab pertanyaan yang tidak Jimin tanyakan. "Aku dengar mereka akan balapan di JmT-13 Sircuit, lusa mendatang." Jimin membulatkan kedua matanya terkejut. Benar-benar terkejut dengan pemberitahuan dari Jongin.
"Apa kau bilang?"
"hm, mereka akan balapan. Woah, aku jadi tidak sabar untuk menjadi saksi pertarungan baru mereka kali ini."
"Apa seluruh mahasiswa menonton?"
"Tentu saja, bahkan tidak hanya mahasiswa dari SNU, kau tahu pertarungan mereka akan selalu menjadi pusat perhatian." Jimin tak bisa berkata-kata lagi. Bukan, bukan karena yang bertanding adalah kakak-kakaknya tapi karena ada hal lain yang Jimin khawatirkan lebih dari apapun.
Jimin bangkit dari duduknya dan menyambar tas dan jaketnya asal membuat kerutan di dahi Jongin yang melihat pergerakan Jimin yang tiba-tiba.
"Chim, kau mau kemana?"
"oh, aku lupa jika aku ada urusan penting. Sampai nanti, Kai!" pamit Jimin bergegas keluar dari kelasnya mengabaikan tatapan heran dari beberapa orang.
"oh shit! Matilah aku, kenapa tidak ada yang memberitahuku soal ini?" gumam Jimin benar-benar cemas. Ia berjalan cepat, seraya memainkan ponselnya membuatnya tak begitu memperhatikan jalan.
BRUK!
Dan berakhir dengan menabrak orang yang berjalan berlawanan arah dengannya. Buku-buku yang dibawa oleh orang yang tak sengaja Jimin tabrak berserakan di lantai, dan dengan tergesa Jimin pun ikut membantu membereskan buku-buku milik seseorang yang belum ia lihat wajahnya.
"Maafkan aku, aku sedang buru-buru." sesal Jimin seraya menyerahkan buku-buku yang ia ambil kepada pemuda manis bergigi kelinci yang memberikan senyum maklum padanya.
"nde, gwenchana—"
"Kalau begitu aku permisi. Maafkan aku sekali lagi." Jimin berdiri begitu pula dengan pemuda manis itu. Keduanya bertatap muka tak lama, karena Jimin yang langsung melesat begitu saja dan kembali sibuk dengan ponselnya.
Sepanjang jalan menuju tempat parkir yang Jimin rapalkan sedari tadi hanyalah umpatan pada orang yang sedang ia hubungi saat ini. Jimin menarik nafas, menahan emosi ketika orang yang ia hubungi tak juga menjawab panggilannya.
"Aku pastikan kau mati setelah ini, Kim Taehyung!" desis Jimin menyeramkan seraya menendang ban belakang mobilnya ketika ia sudah berada di area parkir. Dan tak lama, ia langsung memasuki Buick kesayangannya dan melajukannya keluar dari area parkir universitasnya.
.
.
.
.
.
.
.
Min Yoongi duduk di kursi di dekat jendela di kelasnya. Pandangannya keluar mengarah pada tempat parkir yang kebetulan bisa tertangkap dari tempat kelasnya yang berada di lantai dua. Yoongi yang menompang wajah tampannya dengan tangan kanannya, tampak tengah menikmati pemandangan yang ada dibawah sana. Tepatnya pada seorang pemuda manis bersurai layaknya arom manis yang entah kenapa terlihat kesal karena baru saja menendang ban belakang mobilnya dengan kaki mungilnya. Tanpa sadar, Yoongi tersenyum. Senyuman yang jarang sekali ia perlihatkan bahkan pada adiknya sendiri.
"omo! Aku baru tahu, jika seorang Min Yoongi bisa tersenyum!" pekik Kihyun yang duduk di samping Yoongi dengan heboh, membuat Namjoon yang juga satu kelas dengan Yoongi dan Kihyun menoleh kebelakang sementara Yoongi masih asik di dunianya sendiri. Jangan tanyakan dimana tiga teman Yoongi yang lain karena jawabannya tentu saja mereka mengambil kelas yang berbeda.
"oh~ hyungnim... apa kau baik-baik saja?" tanya Namjoon mengerutkan keningnya curiga. Yoongi berdecak, menarik senyum minimalisnya dan kembali memasang wajah datar.
"Enyahlah, kalian berdua!" desis Yoongi kesal yang menghasilkan gelak tawa dari Kihyun dan Namjoon.
"Lagi pula, apa yang sedang kau lihat?" tanya Kihyun melongokkan kepalanya kearah tempat parkir yang sekarang tak ada siapapun selain mobil-mobil yang berjajar rapi. Dalam hati, Yoongi mendesah lega karena ketika Kihyun memergokinya pemuda yang menjadi alasan dirinya tersenyum sudah hilang secepat kilat bersama dengan mobil nyentrik-nya.
"Tidak ada apa-apa." Namjoon yang berujar yang kemudian menatapi Yoongi curiga.
"hyung, kau bukan tersenyum dengan makhluk dunia lain 'kan?"
Plak!
Namjoon mengelus kepalanya setelah tangan besar Yoongi mendarat mulus di kepala yang berisi otak jeniusnya.
"Jangan asal bicara. Pikirkan saja, bagaimana proses rencana yang sudah kita susun sebelumnya untuk mengalahkan mereka!" balas Yoongi jengah.
"Proses rencana? Kalian berdua saja belum memberitahuku, Doojoon, Jinyoung, dan Myungsoo. Jadi, darimana kami tahu?" tanya Kihyun membuat gelak Namjoon terdengar di seluruh penjuru kelas yang belum juga kedatangan dosen mereka.
"Makanya, hyungnim. Jangan terlalu banyak membooking tante-tante di hotel!"
"Yak! Kim Namjoon!" desis Kihyun kesal dan lagi kepala jenius Namjoon menjadi objek kekerasan yang kali ini tersangkanya adalah Yoo Kihyun.
.
.
.
.
.
.
.
Blam!
Jimin membanting pintu mobilnya dengan keras. Ia berjalan tergesa masuk ke bengkel yang tadi pagi sempat ia kunjungi. Warna mukanya memerah ketika ia melewati pintu masuk bengkel milik keluarga Kim.
"KIM TAEHYUNG!" seru Jimin suaranya menggelegar diseluruh bengkel yang membuat tiga pekerja menatap heran kearah pemuda manis yang kembali datang dengan ekspresi wajah yang jarang sekali Jimin tunjukan, dan sungguh Jimin terlihat benar-benar menyeramkan.
"yak! Kim Taehyung, keluar kau bangsat!" seru Jimin benar-benar kesal. Minho, Hyosang, Younjae bergidik ngeri mendengar umpatan Jimin.
"astaga, Park Jimin~ kau kenapa? Kenapa kau terlihat marah seperti itu?" tanya Seokjin yang baru saja muncul dari bagian belakang bengkel yang menyatu dengan rumahnya.
"hyung, dimana Kim saekkya Taehyung itu?!" tanya Jimin. Seokjin mengeryit.
"waeyo? Ada masalah apa?" tanya Seokjin benar-benar tak mengerti.
"hyung, adikmu itu benar-benar brengsek! Dimana dia sembunyi? Katakan padaku, hyung! Aku akan membunuhnya!" geram Jimin mengepalkan kedua tangannya penuh amarah.
"Tenang dulu, Jiminie. Katakan padaku, apa yang dilakukan Taetae sampai membuatmu marah seperti ini?"
"Bagaimana aku tidak marah jika—"
Brrm~
Ckiit!
Jimin menoleh saat mendengar suara mobil yang ia kenal berhenti tepat di samping mobilnya. Jimin menghela nafas berat dan berjalan mendekati si pemilik mobil yang sudah ia cari keberadaannya diikuti Seokjin, Minho, Hyosang, dan Youngjae. Dengan gerakan cepat, Jimin membuka pintu mobil Ford Mustang berwarna hitam dan menarik si pengemudi dengan kasar.
"Jimin, ada apa denganmu?" tanya si pengemudi, Kim Taehyung. Adik dari Kim Seokjin yang merupakan sahabat seperjuangan Park Jimin.
"Seharusnya, aku yang tanya padamu brengsek!" umpat Jimin kedua matanya berkilat marah. Sementara Taehyung bertanya-tanya apa kesalahannya hingga membuat sahabat manisnya ini terlihat murka seperti ini. "Kenapa kau tidak mengatakan padaku jika lusa, ada mahasiswa SNU yang menyewa sirkuit kita?" Taehyung membulatkan kedua matanya terkejut. Bagaimana Jimin bisa tahu?
"i-itu..."
"Kau tidak mengatakan padaku karena salah satu orang yang menyewa adalah kakakku?!"
"Jimin, dengarkan aku. Aku bisa menjelaskan semuanya. Aku tidak berniat untuk menyembunyikan semua ini darimu. Tapi, aku tahu jika kau tahu yang menyewa salah satunya adalah kakakmu, aku tahu kau pasti menolaknya. Sementara kita sedang membutuhkan uang." jelas Taehyung mengharapkan perhatian dari Jimin. "Kau baru saja mengeluarkan semua tim dan yang tersisa hanyalah aku, Seokjin hyung, Hobi hyung, Minho hyung, Hyosang hyung, dan Youngjae hyung. Aku mohon Jiminie, maafkan aku. Aku melakukan ini untuk kita semua. Aku tahu, kau akan marah. Tapi, aku mohon pengertianmu." Jimin berdecak.
"Terserah apa katamu!" desis Jimin, ia melengos pergi memasuki mobilnya dan melajukannya untuk meninggalkan area bengkel Kim.
..
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
..
Semilir angin terasa begitu menenangkan bagi pemuda manis yang tengah duduk di pinggiran atap gedung yang tingginya menjulang dari permukaan jalan di Seoul. Tanpa rasa takut akan ketinggian, pemuda bersurai merah muda itu memandang lurus pada layar videotron yang tengah menampilkan iklan minuman isotonik.
Park Jimin, duduk melamun memikirkan segala hal berkecamuk yang selalu mengganggunya sejak kecil. Jimin menundukkan kepalanya menatap jalan bawah sana yang jaraknya sangat jauh dari kakinya yang mengambang di pinggir atap gedung.
"Aku harap kau sedang tidak memikirkan rencana untuk bunuh diri." seketika Jimin mendongak dan mendapati seorang pemuda tampan yang sedang tersenyum padanya dan duduk di sampingnya. Pemuda itu menawarkan minuman kaleng pada Jimin yang langsung Jimin terima tanpa mengatakan apapun. Jimin menatap kaleng soda yang ada ditangannya tanpa minat. "Kau baik?" Jimin menarik nafas berat.
"Entahlah, hyung. Jika kau tanya aku memiliki rencana untuk bunuh diri atau tidak. Jawabannya adalah selalu. Aku selalu ingin menyusul Minji." pemuda di samping Jimin mengulas senyum.
"Kau tahu, Minji tidak akan senang mendengarnya." Jimin tersenyum kecil, ia menoleh kearah seseorang yang sebelumnya ia panggil hyung itu.
"Seharusnya Minji senang aku mau menemaninya."
"yak, kau menyakiti banyak orang dengan perkataanmu itu, termasuk Minji bahkan keluargamu." Jimin mendecih mendengar perkataan terakhir dari pemuda yang sudah ia kenali sejak kecil.
"Hobi hyung." panggil Jimin. "Kau tahu, keluargaku sudah tidak menganggapku lagi semenjak Minji meninggal. Aku dan Minji sudah seperti paket. Tidak ada gunanya jika salah satu dari kami tidak ada." lanjut Jimin. "Tapi, sayangnya itu hanya berlaku untukku tidak dengan Minji. Kenapa? Kenapa bukan aku yang tiada? Kenapa harus Minji? Setidaknya jika dia masih hidup, aku tidak merasa asing dan kebencian di keluargaku sendiri. Setidaknya, aku masih bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi anak bungsu. Tapi, sayang inilah takdirku. Mereka tidak akan menerimaku jika tidak bersama dengan Minji. Seharusnya, Minji tiada, akupun begitu. Tapi, bagaimana dengan aku yang tiada? Apa mereka akan membenci Minji? akurasatidak." racau Jimin ia memalingkan wajahnya dari pemuda di sampingnya untuk menyembunyikan air mata yang menetes begitu saja.
Jung Hoseok, pemuda tampan yang sudah mengenal Jimin dan keluarganya sejak ia kanak yang sekaligus sahabat dari kedua kakak Jimin, turut merasakan apa yang Jimin rasakan. Karena hanya dia, satu-satunya orang terdekat Jimin yang selalu mendengarkan keluh-kesah pemuda yang terlihat tegar di luar tapi sangat rapuh di dalam. Hoseok membuang nafas berat. Ia hanya berdoa, jika penderitaan yang dialami sosok yang sudah ia anggap sebagai adiknya segera terhenti. Atau justru akan semakin berantakan karena tanpa semua orang sadari, tanpa keluarga Jimin sadari, hidup seorang Park Jimin memang sudah mati semenjak saudara kembarnya, Park Minji meninggal sepuluh tahun yang lalu.
tbc
Next? Ada yang tertarik kah?
.
.
See you in next chapter...
