Summary: Motivasi perang selalu cinta, meski kerap melibatkan orang-orang yang tidak ingin. AU perang, Daun dan Halilintar POV. Elemental bersaudara dan KaiFang. Untuk event #lovember. Oneshot.

.

.

BoBoiBoy milik Animonsta Studios

.

.

Pintu besar berat itu dibuka dengan keras, bunyi ribut kayu berderak-derak. Tampak seorang remaja berumur 18 tahun memakai jubah cokelat keemasan masuk. Wajah manisnya berkerut-kerut dalam amarah besar.

"Kenapa kau biarkan Ayah memasukkan Daun ke barisan prajurit?!" bentak Gempa tanpa basa-basi. "Sampai hati kau Halilintar! Kau tahu Daun itu―"

Gempa memutus kalimatnya sendiri. Ia kemudian menghembuskan nafas, mencoba mengontrol perasaannya―ia benci membentak saudaranya, itu bukan sifatnya. Mendengar teriakan Gempa, Halilintar hanya diam sambil menatap sebuah peta raksasa di ruangan mereka. Jubah hitam dan merah darahnya tertiup angin dingin, pertanda musim gugur akan segera berganti ke musim salju.

"...kenapa kau diam saja?" tanya Gempa dengan nada lebih tenang. Halilintar membalikkan badan dan menatap adiknya.

"Aku tidak ada kuasa merubah Ayah. Jika aku memiliki kuasa seperti itu, aku takkan izinkan kalian semua berperang esok nanti," jawab Halilintar dengan nada datar, pertanda ia sudah marah melalui batas normal namun berusaha tidak hanyut dalam perasaannya.

Mendengar itu, Gempa kembali naik darah.

"Tapi mengapa Daun?! Daun yang tak pernah memegang pedang seumur hidupnya dan memilih menjadi penyembuh? Aku bisa paham jika Ayah memilih Taufan dan Blaze karena mereka mahir bertarung atau Ice yang jitu sebagai pemanah dan Solar sebagai ahli strategi, tapi Daun? Tidak seperti kita, dia tak pernah menyentuh senjata!" ujar Gempa, frustasi. "Satu-satunya benda tajam yang ia pegang hanyalah pisau kecil untuk memotong tanaman obatnya."

Gempa duduk di kursi dan membenamkan wajahnya di kedua tangannya. Tangannya gemetar menahan rasa marah. Halilintar tak biasa melihatnya seperti ini karena sifat Gempa yang sangat ramah dan sopan. Gempa yang Halilintar kenal adalah pribadi yang membenci amarah dan tak senang membentak orang lain, apalagi saudaranya sendiri. Gempa yang Halilintar kenal adalah orang yang sabar dan penyayang. Bagi Halilintar sekarang, Gempa seperti orang asing.

Setelah ujaran keras Gempa barusan, hening sejenak dalam kamar itu. Halilintar membiarkan adiknya melampiaskan kekecewaannya. Tak mendapat jawaban apapun dari Halilintar, Gempa lantas melempar pandangannya ke arah jendela, iris amber-nya terselubung murka.

"Aku telah menghadap Ayah dan marah padanya. Dia menamparku di hadapan sang raja dan menteri. Ayah berkata aku bukan anaknya karena telah mempermalukannya," gumam Gempa. "Aku juga tak ingin memiliki ayah yang mengirimkan orang yang tak bisa bertarung ke medan perang, sama saja membunuhnya."

Gempa rasanya ingin memukul sesuatu karena ia menganggap situasi ini tidak adil dan membuatnya takut dengan segala kemungkinan terburuk. Ia awalnya marah juga dengan Halilintar, si kakak tertua, karena Halilintar sebagai anak pertama dekat dengan ayah mereka, seharusnya ia bisa membujuk ayahnya. Tapi ayah mereka memang telah bersikeras dan kakaknya itu tak bisa berbuat apapun lagi. Begitu sibuk dengan pikiran cemasnya membuat Gempa tak menyadari Halilintar mendekatinya dan kemudian meremas bahu adiknya.

"Kita masih bisa melakukan sesuatu. Kita bisa lindungi Daun bersama-sama. Kita lindungi satu sama lain."

Gempa menghembuskan nafas dan hanya mengenggam kembali tangan Halilintar di pundaknya, tanpa berkata apapun lagi.

.

.

.

Mereka bertujuh adalah anak dari seorang jenderal prajurit tangan kanan raja. Halilintar, yang paling tua adalah anak kesayangan ayah mereka karena ia yang paling hebat bertarung dan sangat cepat serangannya. Setahun lebih muda dari Halilintar, lahirlah kembar Taufan dan Gempa―Taufan kakaknya dan bersifat riang gembira, seorang petarung cerdik dengan banyak trik kotor. Gempa meski gerakannya lebih lamban daripada Halilintar dan Taufan, tenaganya jauh lebih besar. Daun pernah melihat Gempa meninju seorang perampok sampai mati seketika. Gempa menyesalinya hingga saat ini dan bersumpah takkan menggunakan kekuatan fisiknya lagi.

Setahun lebih muda daripada kembar Taufan dan Gempa, ada kembar aneh Blaze dan Ice. Daun mengagumi Blaze yang bertarung dengan senjata tak biasa yakni cakram berapi―Daun senang menonton kakaknya berlatih dengan itu.

Sementara Ice yang tenang adalah pemanah jitu, Daun terpana saat melihat Ice bisa memanah seekor ulat yang berada di puncak pohon apel di halaman kastil. Kembar Blaze dan Ice ini begitu dekat dan akur, sampai-sampai mereka dianggap satu kesatuan. Mereka memiliki banyak serangan gabungan yang Daun tak mengerti apa maksudnya. Dan jika Daun pikirkan lagi, banyak sekali hal yang Daun tidak paham di dunia ini. Taufan pernah berkata itu hanya menandakan Daun adalah pribadi yang sederhana, tapi Daun pikir itu hanya cara lembut Taufan untuk mengatakan Daun itu agak bodoh.

Setahun lebih muda dari Blaze dan Ice ada kembar terakhir yakni Daun dan Solar. Solar yang termuda dari tujuh bersaudara tapi ia paling pandai dan begitu jeli beranalisa. Kelihaian berstrategi dan luasnya pengetahuannya juga membuatnya kerap dibanggakan ayah mereka. Selain itu Solar juga petarung yang dapat menyaingi kecepatan dan kekuatan Halilintar, menciptakan sedikit persaingan di antara mereka meski mereka sadar mereka bersaudara dan tak mau bermusuhan. Sekarang dengan perang di depan mata, Solar sering mendampingi ayah mereka untuk berunding dengan raja.

Sementara keenam saudaranya hebat-hebat, hanya Daun satu-satunya yang tak bisa bertarung dan terlalu ceroboh untuk mengayunkan pedang. Daun dianggap paling mengecewakan di antara saudara-saudaranya.

Besok adalah hari yang dijanjikan. Pasukan dari Timur akan datang dan pasukan tentara kerajaan mereka juga sedang berkemah. Besok kedua pasukan berlawanan akan bertemu di Padang Sunyi dan berperang di sana. Daun awalnya ikut karena ia adalah tabib dan peramu obat―ia berharap akan mengobati luka-luka saudaranya. Namun malam itu, saat Daun berada di tendanya dan tengah meracik obat, ayahnya tiba-tiba masuk dan melemparkan baju zirah serta pedang sambil berkata.

"Anakku tidak akan bersembunyi dalam tenda perawat seperti pecundang. Contoh kakak-kakakmu dan adikmu yang membanggakan nama keluarga kita. Buatlah dirimu berguna dan pergilah ke medan perang. Bagus juga bila kau mati di sana."

Setelah mengatakan itu, ayahnya langsung pergi dari tenda itu.

Daun hampir menangis saat mendengar kalimat tersebut tapi ia tahan karena ia tak mau terkena tamparan ayahnya. Maka dengan tangan gemetar, Daun meraih satu stel baju zirah tersebut, hendak memakainya. Lebih baik ia turuti saja kemauan ayahnya daripada hampir dibunuh seperti hari itu. Halilintar, Taufan, Blaze dan Ice sampai harus melawan sang ayah agar tidak mencabut pedangnya dan menebas Daun di tempat―sementara Gempa dan Solar menyembunyikan Daun.

Sudah saatnya Daun berhenti bersembunyi dan tidak terus bergantung pada perlindungan kakaknya.

Menyingkirkan peralatan membuat ramuan, Daun mulai memasang baju zirah itu. Ia tak pernah memakai baju besi seperti ini―zirah ini juga sangat berat dan terlalu besar. Semua kakak-kakaknya bertubuh lebih tinggi dan besar daripada Daun karena mereka menjalani latihan fisik pertarungan. Bahkan Solar, adiknya, lebih tinggi darinya. Daun sudah terbiasa di-"selamatkan" oleh kewajiban berlatih perang karena semua kakak-kakaknya itu tahu ia lemah dan ceroboh namun hebat dalam meracik obat-obatan. Karenanya ia hanya menjadi tabib di istana dan menanam tanaman obat.

Daun pikir ia akan langsung mati saat di medan perang tapi kata ayahnya itu adalah takdir lebih baik untuknya. Jika Daun pikir, keenam saudaranya sangat hebat dan mengagumkan, terutama Halilintar dan Solar. Memang benar perkataan ayahnya―Daun-lah yang paling lemah dan paling tidak berguna.

Matanya terasa basah saat mengingat kata-kata ayahnya. Ia menunduk dalam-dalam, berusaha menahan kesedihannya namun ia tak tahan lagi. Ayahnya selalu memperlakukan Daun berbeda daripada semua saudara-saudaranya karena ia tidak berbakat menjadi petarung. Ayahnya bahkan meniadakan nama Daun dari daftar penerus keluarga dan terang-terangan berkata di depan sang raja ia hanya memiliki 6 putera. Daun tidak suka berwajah muram dan menunjukkan kesedihan hatinya di depan saudara-saudaranya, karena itu dalam kesunyian di tenda miliknya ini Daun bebas meneteskan air matanya di sana sambil memandangi baju besi yang terlalu berat itu.

"Daun."

Daun terlonjak kaget dan menoleh―ia melihat Solar memasuki tendanya. Tubuhnya berbalut jubah putih keemasan. Daun cepat-cepat menghapus air matanya tapi Solar terlanjur melihatnya.

"Solar ada apa? Aku sedang mencoba memakai ini tapi susah juga ya," kata Daun dengan nada seriang mungkin. Solar hanya tersenyum samar. Ia mendekati kakaknya dan kemudian mengikat baju zirah tersebut lebih kencang.

"Zirah ini terlalu besar untukmu," gumam Solar.

"Hmm, ini saja yang paling kecil," jawab Daun sambil tersenyum. Solar tak menjawab, sibuk memakaikan baju zirah itu. Jemari Solar dengan lincah memasang baju zirah itu pada kakaknya karena telah terbiasa. Daun mengagumi ketangkasannya.

"Jika di medan perang nanti, jangan terlalu jauh dari Gempa dan Blaze, mengerti?" pesan Solar. "Ice dan aku dari kubu pemanah juga akan selalu melindungimu. Halilintar akan melindungimu. Kami semua akan melindungimu," janji Solar. Daun tersenyum haru.

"Terimakasih, aku akan patuhi saranmu agar tidak mengkhawatirkan kalian."

Solar memandang saudaranya dengan intens, ia kemudian menangkup kedua sisi wajah Daun dan menyatukan dahi mereka. Karena perbedaan tinggi diantara mereka, Solar harus agak menunduk. Usia mereka terpaut hanya beberapa menit, namun Solar sering merasa mereka seperti terpaut 10 tahun.

Ia takkan tega menyaksikan Daun di arena nanti, berdiri ketakutan di antara ribuan ayunan pedang dan hujan anak panah meluncur deras.

Dia sudah bertekad. Dengan dahi masih bersentuhan, Solar lalu berkata.

"Aku akan malu bertemu ibu kita di nirwana jika aku membiarkan kau mati duluan."

Daun tiba-tiba ingat perkataan ayah mereka barusan jika ia lebih baik musnah di medan perang―Daun pikir perkataan Solar tidak tepat tapi ia hanya diam tidak membantah. Membaca raut wajah kakaknya, Solar hanya tersenyum tipis dan kemudian memisahkan sentuhan dahi mereka.

"Jangan memandang rendah dirimu. Kau pikir siapa yang selama ini menyembuhkan sakit kami semua?" ucap Solar. "Meski tanpa tebasan pedang, kau yang paling banyak menyelamatkan orang. Kau yang paling hebat di antara kami, Daun."

Daun tersenyum mendengar kata-kata Solar. Ia tahu Solar bukan tipe orang yang berdusta demi menghibur orang lain, karenanya kata-kata Solar sedikit menawarkan kesedihannya.

"Terimakasih."

.

.

.

Ketika pertempuran akhirnya pecah, Halilintar menemukan fakta pahit jika perang tidak seperti latihan bertarung yang selama ini ia jalani. Perang begitu cepat dan ganas, jika ragu maka akan tewas seketika... dan harga manusia begitu murah hari itu.

Berada dalam suasana genting hidup-mati, Halilintar bahkan tidak ingat mengapa mereka berperang. Semuanya tampak begitu sepele saat menghadapi kebuasan kolektif. Masing-masing dari mereka tak pernah terjun ke medan perang dan ini akan merubah mereka selama-lamanya, mendewasakan mereka beberapa dekade lebih awal.

Terutama yang naif seperti Daun.

Siang itu ribuan prajurit saling membunuh layaknya kawanan serigala lapar―bunyi pedang, perisai dan baju besi berdentingan ribut di Padang Sunyi. Tanah sekarang merah basah, potongan tubuh tampak berserakan dimana-mana dan jeritan kesakitan menggema tanpa terdengar. Yang terluka hanya dapat terkapar menikmati penderitaan mereka dan yang hidup masih terus memperjuangkan ideologi samar yang mereka sendiripun tak paham.

Halilintar dan Taufan bertarung saling memunggungi―dengan begitu mereka bisa menutupi titik buta satu sama lain. Dua orang prajurit musuh berseru seraya menghunuskan pedang ke arah Halilintar―si sulung menendang yang sebelah kiri hingga jatuh dan menikam di sebelah kanan dengan pedangnya. Halilintar melihat yang satunya bangkit dan hendak menusuknya lagi, maka ia segera membunuhnya.

"Dimana Daun?" jerit Taufan seraya menahan serangan lawannya. Halilintar menyapu pandangan ke seluruh medan sekeliling―tak lama kemudian ia menemukan wajah ketakutan adiknya di antara Gempa dan Blaze. Solar dan Ice berada di atas bukit agar bisa memanah semua musuh di sekeliling saudara-saudara mereka.

"Daun aman! Jaga konsentrasimu!" balas Halilintar. Tiba-tiba ia di serang oleh seorang pemuda dengan zirah bergaris ungu. Wajahnya di tutupi oleh helm besi, ia mengayunkan pedang kembar berwarna keperakan. Halilintar menangkis serangannya, namun dengan lincah lawannya kembali melancarkan serangannya.

Halilintar agak kewalahan menghadapi lawan ini―lawannya tidak seperti prajurit kebanyakan dan mahir bela diri khas Timur, Halilintar tidak terbiasa dengan teknik Timur. Tak dipungkiri Halilintar sedang berhadapan bukan prajurit sembarangan, ia harus cepat mengelak dan cepat membaca kelemahannya.

Pedang kembar itu membentuk formasi seperti gunting dan hampir memutus leher Halilintar, namun dengan cepat Halilintar merunduk. Ia lalu memukulkan pedangnya ke arah helm si prajurit. Helm itu berbunyi sangat keras dan terbelah sebagian, lawan Halilintar segera mundur dan melepaskan helmnya yang sudah pecah.

Halilintar kenal wajah itu, dia adalah...

"Pangeran Fang, tak kusangka kau akan terjun ke medan perang dan tidak sembunyi dalam istana," ujar Halilintar. Ia melihat sisi wajah Fang tampak cedera akibat benturan pedang Halilintar barusan, untung saja ia memakai helm tadi.

"Kau akan mati bersama semua prajurit Utara-mu, Halilintar. Timur akan menang," tukas Fang seraya menyorokkan pedang perak kembarnya. Halilintar menghindar, namun Fang memutar pergelangan tangannya dan menebas lengan Halilintar. Darah segar mengucur ke bawah, namun tidak ia hiraukan. Halilintar balas mengayunkan pedangnya dan Fang menahannya dengan senjatanya.

Derit dua logam terdengar sengit masing-masing tak mau kalah. Halilintar melepaskan pagutan pedang mereka lalu menghindar ke belakang―Fang langsung melemparkan pisau kecil ke arah lawannya. Halilintar menangkisnya dengan pedang dan kembali menyerbu menggunakan kekuatan penuh, namun Fang menghindar dan malah kembali melukai Halilintar, ia berhasil menggores keningnya.

Halilintar mundur ke belakang seraya menahan laju darah yang keluar dari luka di kepalanya. Ia agak sulit menemukan celah Fang karena dia pandai ilmu berpedang Timur yang mirip tarian, ia tak familiar dengan gerakannya. Maka Halilintar memutuskan untuk memakai trik kotor yang kerap diajarkan Taufan. Ia lalu membuang pedangnya, membuat Fang agak terkejut.

Fang menghunuskan pedangnya ke wajah Halilintar, tapi Halilintar mengelak dan menangkap pergelangan tangannya. Belum sempat Fang bereaksi, Halilintar kemudian memukul trakea Fang dengan keras.

Fang tersedak dan terbatuk-batuk akibat kesulitan bernafas, trakeanya telah lebam habis dipukul Halilintar. Ia berusaha menghirup udara namun sulit sekali, wajahnya memerah. Fang berusaha menghindar dari Halilintar, namun gerakannya terlampau lamban. Memanfaatkan kelengahan lawannya, Halilintar lalu menusuk leher Fang dengan pedang kembar milik Fang sendiri. Sang pangeran terkejut saat sebuah pedang menancap di arterinya. Halilintar menyeringai penuh kemenangan, ia lalu menarik pedang perak tersebut.

Darah begitu deras mengucur dari lubang, Fang berusaha menekan lukanya serapat mungkin untuk menghentikan laju darah. Halilintar tidak membiarkannya, ia segera menendang Fang hingga sang pangeran tersungkur. Darah dari leher Fang mengucur deras lagi seperti aliran sungai, membasahi tanah kering di Padang Sunyi. Halilintar menyaksikan wajah Fang memucat, sekarat karena lemas kehabisan darah dan tak bisa bernafas.

Halilintar memungut lagi pedang miliknya dan kembali bertarung melawan prajurit Timur yang lain. Saat itu ia melihat seorang tinggi tanpa memakai baju zirah dan helm kepala―Halilintar pikir ia bodoh dan terlalu percaya diri―tengah berlari kearahnya. Pedang bernuansa biru di tangan si pemuda tersebut membuat Halilintar ingat siapa dia.

Ia adalah kakak dari sang pangeran yang barusan ia bunuh tadi, namanya Putera Mahkota Kaizo. Kemahiran bela diri dan seni berpedangnya begitu mahsyur hingga ia dikabarkan tak pernah memakai baju zirah untuk melindunginya karena ia tak perlu perlindungan. Halilintar segera waspada dan menyiapkan diri dengan pedangnya.

Tanpa banyak basa-basi, Kaizo menghantam Halilintar dengan pedangnya namun berhasil ditahan oleh si sulung. Halilintar terkejut dengan betapa besarnya kekuatan dibalik sambaran pedang tersebut―ia hendak menepisnya namun tekanannya terlalu kuat hingga Halilintar tak bisa beranjak. Ia dapat melihat wajah Kaizo yang dingin namun penuh amarah.

"Kau akan bayar dengan nyawamu karena telah membunuh satu dari kami," bisik Kaizo dengan nada berjanji. Kaizo kembali mengangkat pedangnya bersiap menebas tapi Halilintar segera melompat ke belakang sebelum Kaizo menyerangnya.

Kaizo dengan cepat melakukan tusukan-tusukan meski berhasil di tahan Halilintar namun ia sangat kewalahan. Halilintar hanya bisa bertahan dari hujaman-hujaman tanpa bisa membalikkan serangan karena tangan Kaizo terlampau cepat melancarkan tebasan pedang, tidak memberikan kesempatan baginya untuk menyerang. Halilintar kian terdesak dan mundur ke belakang, Kaizo hampir saja melayangkan pedang membelah kepalanya hingga tiba-tiba Taufan melemparkan pisau ke arah Kaizo. Pisau itu meleset dan hanya menggores pipi Kaizo.

"Jangan sakiti saudaraku!" seru Taufan, marah. Kaizo tertawa mengejek.

"Aku bisa mengatakan hal yang sama padanya."

Taufan berlari menuju Kaizo seraya mengenggam sebuah rantai―Kaizo menghindar dan ia sadar Halilintar tengah menyerangnya pula. Dua bersaudara itu mengepung Kaizo, Taufan melemparkan rantai dengan bandul pemberat ke arah Kaizo. Rantai itu membelit pedang Kaizo dan Taufan menahan ikatannya agar Kaizo tak bisa menggunakan senjata, sementara Halilintar menghunuskan pedangnya hendak menikam dada Kaizo. Kaizo lalu membuang pedangnya dan menerjang Taufan, sekaligus menghindari tikaman Halilintar.

Taufan terkejut Kaizo malah mengincarnya namun sudah terlambat. Kepalanya dihantam kuat oleh Kaizo hingga ia pingsan. Halilintar tersentak.

"Taufan!"

Halilintar yang lengah segera menjadi incaran Kaizo―sang putera mahkota menendang lengan Halilintar hingga ia menjatuhkan pedangnya. Secepat angin Kaizo segera menyambar leher Halilintar dan mencekiknya.

"Kirimkan salamku untuk adikku di alam barzah," ujar Kaizo. Cengkraman jemarinya begitu erat, Halilintar merasakan kesadarannya kian menghilang dan pandangannya mengabur. Ia meronta-ronta, kukunya mencakari lengan Kaizo namun sang putera mahkota tak bergeming. Ia malah mengencangkan cengkramannya.

Taufan sadar dari pingsannya dan melihat kakaknya sedang berada dalam genggaman Kaizo. Ia berusaha bangkit berdiri namun sulit sekali. Kepalanya terasa berputar dan perih, namun ia paksakan dirinya untuk berdiri karena kakaknya memerlukan pertolongannya. Taufan berjalan terhuyung-huyung menuju Halilintar.

"Kak Halilintar," panggil Taufan.

Kaizo mencengkram leher Halilintar tanpa ampun. Jemarinya seperti menekan paksa ruhnya keluar. Kekurangan oksigen, Halilintar mulai kehilangan kesadaran dan tak bisa berontak lagi―ia pikir ia akan mati kehabisan nafas namun Kaizo tiba-tiba melonggarkan cengkramannya.

Halilintar dapat bernafas lagi meski sedikit, ia melihat dua buah anak panah menancap di pundak dan tangan Kaizo. Itu pasti panah Ice dari atas sana, membuat Kaizo melonggarkan cekikannya. Anak-anak panah milik Ice berikutnya meluncur cepat, Kaizo terpaksa melepaskan cekikannya pada Halilintar untuk menghindari bidikan Ice. Dengan gesit Kaizo melompat menghindari hujan anak panah dan memungut sebuah pedang milik Fang serta sebuah perisai untuk melindungi dari sasaran panah.

Dengan perisai sebagai pelindung bidikan Ice, Kaizo berderap menuju Halilintar. Halilintar masih berusaha berdiri dengan kepayahan, nafasnya tersengal-sengal akibat cekikan keras Kaizo barusan. Menyadari rencana Kaizo, Taufan berteriak memperingatkan.

"Kak Hali awaaas!"

Halilintar baru sadar namun terlambat. Kaizo berhasil menancapkan pedang yang sama pada leher Halilintar―Taufan terdiam tak percaya itu Halilintar yang tertusuk. Selepas menusuknya, Kaizo mencabut lagi pedang pendek tersebut dengan maksud agar Halilintar tewas kehabisan darah. Halilintar ambruk di tanah dengan guyuran darah membasahi baju zirahnya.

Melihat itu, Ice menjerit dari kubu pemanah, Solar terhenyak dalam sunyi tak percaya.

Halilintar berusaha menahan lukanya namun genggamannya terlalu lemah. Ia hanya mendesah kecil saat melihat Taufan juga ikut menjadi mangsa pedang Kaizo―Taufan ikut ambruk tak jauh dari Halilintar. Hal terakhir yang Halilintar ingat adalah jemari Taufan yang penuh darah berusaha meraih tangan Halilintar.

Belum usai keterkejutan Solar yang baru saja menyaksikan kejadian Halilintar dan Taufan, matanya yang jeli melihat sepasukan prajurit membawa bendera aliansi Timur datang dalam jumlah yang lebih banyak. Barisan-barisan prajurit tampak menghampar dari kejauhan, tombak-tombak tinggi menjulang tajam. Waspada, Solar segera turun bersama Ice dan berlari mendatangi Gempa. Tak ada waktu lagi sekarang.

"Gempa! Kita harus mundur! Sebentar lagi Padang Sunyi akan dipenuhi oleh tentara Timur!" teriak Solar sambil berlari mendatangi kakaknya.

"Ada bala bantuan?! Dari arah mana?" tanya Gempa. Ice menjawab sambil memanah seorang musuh yang hendak menyerangnya.

"Kita melihatnya dari arah tenggara. Kita harus lari kalau tak mau menjadi tawanan perang. Kau tahu bagaimana nasib para tawanan," kata Ice seraya menembakkan dua anak panah lagi. Solar membidik seorang musuh yang hendak menikam Blaze dan melempar pisau kecilnya. Tepat sasaran.

Gempa menoleh ke arah Blaze dan Daun. Blaze masih terus bertarung dengan sengit, cakram berapinya masih setia di tangannya dan menebas musuh-musuhnya. Daun masih berdiri ketakutan dalam lindungan Gempa dan Blaze, tangannya gemetar memegang perisai. Gempa lalu memutuskan.

"Kalian semua pergilah! Biar aku saja yang mencari Kak Halilintar dan Kak Taufan!"

"Tapi-"

"Jangan membantah, Blaze! Cepat lari!" bentak Gempa seraya meninju seorang musuh. Ice menatap kakaknya tersebut.

"Aku tak bisa lari! Aku sudah gagal menyelamatkan Kak Hali dan Kak Taufan,Kak Gempa takkan bisa merubah keputusanku," kata Ice bersikeras. Gempa menghela nafas, ia juga memang perlu bantuan.

"Baiklah, kau bantu aku," ujar Gempa. Ia lalu menoleh kearah Solar, Daun dan Blaze. "Aku dan Ice akan mencari Kak Hali dan Kak Taufan, kalian semua lari! Kita akan bertemu lagi saat semua sudah selamat," putus Gempa.

"Kalian dengar bukan? Ayo!" seru Solar pada Blaze dan Daun. Raut wajah Blaze tampak tidak puas, tapi dari semua kakaknya memang Gempa yang sangat Blaze hormati, maka ia pun mengikutinya meski enggan. Ia percaya dengan rencana Gempa yang selama ini belum pernah salah. Sementara itu, mata Daun berkaca-kaca saat tahu ia akan berpisah dengan kakak-kakaknya. Daun lalu memeluk Gempa sambil menangis.

"Selamat tinggal Kak Gempa," ucap Daun, sedih. Gempa mencium puncak kepala adiknya.

"Jaga diri kau dan ikuti saran Solar, oke?" pesan Gempa seraya melepaskan pelukannya. "Kita akan bertemu lagi suatu hari nanti," janji Gempa seraya tersenyum. Daun mengangguk dan menghapus air matanya, ia lalu ganti memeluk Ice. Ice balas memeluk sambil membisikkan kata selamat tinggal pada adiknya.

Ganti Blaze yang memeluk Gempa sambil berusaha menahan air mata meski gagal―Gempa mengelus kepala Blaze dan berpesan jangan bertengkar dengan Solar serta lindungi Daun, adiknya. Blaze mengangguk sambil menghapus air matanya, ia melepaskan rangkulan Gempa dengan berat hati.

"Jumpa lagi, Kak Blaze," kata Ice sambil tersenyum sedih. Blaze tak menjawab, ia ganti memeluk saudara kembarnya erat-erat. Perpisahannya dengan Ice adalah yang terberat, mereka tak pernah berpisah sebelumnya. Rasanya sakit sekali. Sayangnya Blaze harus dewasa sekarang dan patuhi rencana kakaknya, tak ada waktu untuk merajuk dan berdebat panjang. Berkelahi hanya akan membuat mereka semua binasa dilumat Timur.

"Cepat kita harus pergi!" seru Solar dari atas kudanya, membuyarkan pikiran mereka semua. Daun dan Blaze segera menaiki kuda-kuda mereka atas desakan Gempa. Mereka bertiga memacu kencang hewan tersebut, meninggalkan Gempa dan Ice yang memutuskan tinggal di sana untuk menyelamatkan Halilintar dan Taufan.

Daun, Blaze dan Solar terus berkuda tanpa henti, tanpa menoleh lagi.

.

.

.

Bala tentara bantuan telah tiba dan memenangkan Timur, mereka berhasil menaklukan Utara. Timur adalah penguasa baru di Utara sekarang.

Harta rampasan perang dikumpulkan. Para tawanan perang yang terdiri dari orang-orang Utara diikat dan dikumpulkan untuk diadili nasib mereka kelak. Mayat-mayat ditumpuk untuk dibakar bersama kayu kering, burung-burung gagak terbang berkerumun di langit. Segerombol dari mereka mematuki jasad-jasad dan memakannya dengan penuh suka cita. Bagi para gagak, hari itu adalah hari menggembirakan yang disyukuri. Mereka mendapat makanan berlimpah tiada tara.

Dalam diam, Kaizo menyusuri jasad-jasad tentaranya dan menemukan seonggok zirah bergaris ungu yang ia kenal. Ia melihat Fang terbaring pucat, matanya lurus menatap langit petang. Kaizo tahu Fang sangat membenci perang ini namun karena ayah mereka, sang kaisar, memerintahkan kedua puteranya untuk ikut maka Fang hanya bisa menurut. Akhirnya ia malah mati disini karena mematuhi ego ayah mereka.

Motivasi perang selalu cinta, meski kerap melibatkan orang-orang yang tidak ingin. Para prajurit ini hanya pion dari raja-raja egois mereka yang menganggap perang seperti papan permainan, bila kalah terus coba hingga puas sendiri.

Kaizo berlutut dan menutup mata adiknya sambil menggumamkan doa pemakaman. Selesai berdoa, ia kemudian melepaskan jubahnya dan menyelimuti jenazah adiknya. Perlahan, ia mengangkat tubuh dingin Fang dan berjalan menjauh dari sana, diiringi teriakan burung-burung gagak dari atas pohon.

.

.

Fin.

.

.

Ini hanya draft. Maaf banget masih berantakan!

Saya gak yakin mau lanjut apa enggak dan kalau lanjut chap 2 bakalan ambil sudut beda. Karena ragu, saya flag ini sebagai completed. Dan saya balik dari hiatus~ fanbook dah under control sekarang. Sayangnya update ff saya yang lain gak bisa seminggu sekali seperti dulu tapi yang penting saya ada buat progress bisa update lagi. Saya gak tahan sama hal yang belum selesai... berasa ditodong haha.

Jika ada saran, concrit dan pertanyaan, silahkan beritahu saya~