I Hate (Love) You
WINNER fiction
Pairing: MinYoon (Minho and Seungyoon)
Characters: all WINNER member, others
Warning: BL
Rate: T-M
Halo tiba-tiba mendapat inspirasi cerita aneh MinYoon, happy reading ya
Bab Satu Cinta Monyet yang Menyakitkan
Musim panas 2005
"Aku menyukaimu."
Di usianya yang masih menginjak sebelas tahun Seungyoon sudah merasakan, pengalaman pertama merasakan getar-getar cinta. Kemudian dengan mengumpulkan segenap tenaga ditambah tidak tidur semalam suntuk, berangkat paling pagi, menghadang sang pujaan hati untuk mengutarakan dua kata yang membentuk kalimat paling sulit di dunia. "Tidak, aku mencintaimu Song Minho."
"Apa kau gila? Kau sama sekali bukan tipeku."
"Kenapa aku bukan tipemu?" ujar anak laki-laki kecil dengan potongan rambut mangkuk dan berkacama bulat, lebar, tapi tak sekeren Harry Potter.
"Karena kau jelek, tak populer, tidak memiliki apa-apa yang bisa dibanggakan." Ucap anak laki-laki manis dengan potongan rambut pendek dan tas ransel berwarna merah, si anak laki-laki berkacamata sudah hampir kehilangan setengah nyawanya namun si anak laki-laki beransel merah itu justru pergi, tak acuh.
Anak laki-laki berkacamata pemilik nama Kang Seungyoon itu, telah mendapat pelajaran berharga. Pertama, jatuh cinta itu sangat indah, kedua mengutarakan cinta itu lebih menegangkan daripada dikejar anjing, ketiga cinta ditolak itu menyakitkan, keempat dicela oleh orang yang kau cintai bisa menimbulkan perasaan lain yaitu… dendam.
Kedua telapak tangan Seungyoon mengepal erat, dan detik itu pula dia berjanji akan membuat seorang Song Minho menarik semua ucapannya dan menyesal. "Karena aku jelek, tak populer, tidak memiliki apa-apa yang bisa dibanggakan, hah! Kita lihat saja nanti Song Minho!" geram Seungyoon.
Kedua kakinya yang berukuran pendek dibanding teman-teman seumurannya berlari menyusuri lorong kelas yang sepi, menaiki anak tangga dengan tergesa menuju ke lantai dua. "Taehyun!" pekik Seungyoon dengan lantang.
Satu-satunya anak yang ada di dalam kelas, yang sedang terkulai malas di atas meja bertumpukan buku-buku tebal mata pelajaran yang selalu membuatnya terkena sindrom aneh, yaitu, mengantuk. Bereaksi akan panggilan lantang itu. "Hmmm," gumam Taehyun tangan kanannya bergerak pelan mengisyaratkan Seungyoon untuk mendekat.
Seungyoon memasuki kelas dengan langkah menghentak-hentak, kesal. Ia tarik salah satu kursi dengan jarak terdekat, kemudian duduk di hadapan Taehyun. "Aku butuh bantuanmu." Ucapnya tegas.
Taehyun yang tadinya terkulai lemas tiba-tiba meneggakkan badannya, tertarik dengan kalimat kliennya, ya, selain murid pemalas dan suka tidur di kelas, Nam Taehyun bercita-cita menjadi polisi atau detektif jadi dia bisa memberi bermacam-macam bantuan, seperti surat ijin palsu, masalah selidik-menyelidiki, tanda tangan guru palsu, dan berbagai macam tindakan tercela yang sebenarnya sama sekali tak mencerminkan cita-cita di masa dewasanya kelak. "Apa?" tanyanya sok keren dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
"Aku ingin kau menyelidiki…,"
"Tunggu!" cegah Taehyun sambil mengangkat tangan kanannya ke hadapan Seungyoon. Seungyoon menurut saja dihentikan dengan cara kasar seperti itu, toh dia yang butuh.
Taehyun langsung menarik salah satu bukunya dari bawah laci meja, buku dengan sampul salah satu gambar anime terkenal itu bertuliskan Matematika di luar, namun saat dibuka coretan di dalamnya tentu saja bukan pelajaran Matematika. Taehyun juga mengambil bolpoin, membuka buku tulisnya dengan cekatan, menampilkan lembar baru, menulis tanggal, bulan, tahun, jam, serta musim apa sekarang di pojok kanan.
"Kasus Kang Seungyoon," gumam Seungyoon membaca tulisan yang Taehyun goreskan. Taehyun mengangguk-angguk puas.
"Baiklah, sekarang katakan apa masalahmu? Dan bantuan seperti apa yang kau inginkan?"
"Aku dendam pada Song Minho." Ucap Seungyoon berapi-api.
"Oh, itu, masalah klasik kau pasti salah satu orang yang ditolak Mino. hmmm, baiklah, baiklah lanjutkan."
"Aku ingin balas dendam."
"Wow! Tunggu, tunggu, Man. Aku tak menerima pesanan pemukulan atau kekerasan yang lain, cari saja orang lain. Mungkin, Dongwook di SMP bisa membantumu kalau masalah itu, aku akan bantu mengatakan padanya." Terang Taehyun panjang lebar.
"Tidak!" pekik Seungyoon mencegah Taehyun mencoret namanya dalam buku kasus. "Aku tidak memintamu memukul Minho. Aku memintamu menyelidiki sesuatu."
"Oh menyelidiki? Yah, aku suka itu. Lanjutkan."
"Aku ingin tahu dalam pelajaran apa Mino unggul dan lemah, lalu cita-citanya di masa depan, orang yang dia sukai, dan orang yang menyukainya, latar belakang keluarganya juga."
Taehyun mengangguk-angguk sementara tangan kanannya menulis dengan cepat, menyalin kalimat Seungyoon. "Tunggu, kau ingin tahu latar belakang keluarganya? Sungguh, balas dendam yang sedikit nyentrik."
"Bisa tidak itu kau lakukan?"
"Jangan meremahkan aku Man, aku pasti bisa melakukan tugas mudah ini. Kapan kau ingin tahu semua informasi ini?"
"Secepatnya."
"Harus ditentukan, karena itu berpengaruh dengan tarif penyelidikan."
"Tiga hari."
"Baiklah, untuk semua informasi ini dan waktu tiga hari tarifnya adalah…, berikan semua koleksi kelerengmu dan uang saku satu minggumu, kau setuju?"
"Setuju." Balas Seungyoon mantap. Keduanya berjabat tangan dan saling melempar senyuman ramah. Taehyun tersenyum karena uang jajan dan koleksi kelerengnya bertambah sedangkan Seungyoon tersenyum karena rencana balas dendamnya akan segera terwujud.
Pelajaran moral hari ini adalah, jangan meremehkan tekad kuat orang yang sedang patah hati. Mulai detik itu Seungyoon berjanji akan menyaingi Mino dalam segala hal atau lebih baiknya lagi mengalahkan Mino, supaya anak laki-laki sok tampan itu hancur.
.
.
.
Sepanjang jalan pulang Seungyoon bersiul-siul pelan, ranselnya sudah berpindah tempat dari punggung ke depan tubuhnya. Pandangan matanya tertuju pada rimbunnnya pohon apel di sisi kanan jalan, sayang mereka belum berbunga apalagi berbuah.
"Seungyoon!" suara cempreng itu langsung menarik perhatian Seungyoon, ia menoleh dan melihat satu-satunya sahabat yang ia miliki. Hanbyul dengan sepeda berwarna hitam miliknya. "Mau aku bonceng?"
"Tidak, terima kasih aku mau jalan kaki saja."
"Kenapa? Kan lebih enak naik sepeda."
"Tidak, aku ingin pulang terlambat."
Hyanbul turun dari sepeda, sehingga dia berakhir dengan berjalan mendampingi Seungyoon dengan menuntun sepedanya pula. "Heh? Pulang terlambat? Ada masalah di rumahmu?"
"Tidak ada." Tentu saja tidak ada, pulang telat artinya lebih banyak waktu menyusun strategi balas dendam.
"Kenapa dengan matamu?"
"Memang mataku kenapa?" Seungyoon menatap bingung pada Hanbyul.
"Lirikanmu terlihat licik."
"Oh, itu, ah yang benar? Tidak juga lirikanku memang seperti ini dari dulu."
Hanbyul menggeleng pelan. "Kau tidak pernah berwajah licik sebelumnya." Seungyoon mengerucutkan bibirnya sebal. Dulu, dia tidak pernah berwajah licik? Sayang sekali, mulai detik ini Hanbyul harus terbiasa dengan wajah licik yang ia miliki. "Apa ada sesuatu yang aku lewatkan?"
"Tidak ada. Memang kau melewatkan apa, rumah kita kan masih jauh dari sini." Balas Seungyoon polos.
"Duh!" Hanbyul menepuk jidatnya dramatis. "Aku mendengar kabar burung jika kau menyatakan cintamu pada Mino."
Seungyoon hampir tersedak ludahnya sendiri beruntung dia masih bisa menampakkan wajah santai. "Burung yang mana yang mengatakan hal itu?"
Hanbyul mengendikkan kedua bahu mungilnya. "Tidak jelas juga, tapi berita seperti itu pasti cepat menyebar karena Mino itu kan populer."
"Terserah." Balas Seungyoon malas, ia sudah kehilangan simpatinya terhadap bocah laki-laki sok sempurna itu.
"Kau pasti bisa melewati cobaan ini, sahabatku tersayang." Ucap Hanbyul sok dewasa sembari menepuk-nepuk pelan punggung Seungyoon.
"Cobaan apa?!" Seungyoon memekik jengkel.
"Ditolak Minho."
"Jung Hanbyul sialan! Tidak ada namanya ditolak Mino atau apalah! Jangan membicarakan bocah dekil sepertia dia lagi di depanku!" Seungyoon berteriak marah-marah beruntung jalanan yang mereka lewati adalah jalanan desa yang diapit oleh kebun apel dan aliran sungai kecil, sepi, sehingga tak ada orang yang menganggap Seungyoon tak beres.
"Baiklah, baiklah, maafkan aku. Kita kan sahabat apa kau akan merahasiakan sesuatu dari sahabatmu?"
Seungyoon melirik tajam Hanbyul dari ekor matanya, betul, mereka memang bersahabat tapi tak jarang Hanbyul mengkhianatinya. Saat mereka berencana mencuri buah aple, Hanbyul justru melaporkan rencana itu pada si pemilik kebun yang berakibat Seungyoon dihukum tidak boleh keluar rumah selama tiga hari, Neraka. "Ya, aku akan merahasiakan semua rahasiaku darimu!" tegas Seungyoon.
"Ih! Payah," gerutu Hanbyul.
"Jadi rencanamu apa?"
"Rencana apa? Hanbyul cukup omongan anehmu itu. Mari membicarakan topik lain."
"Ini topik lain, aku bertanya tentang masa depan, apa rencana masa depanmu?"
"Oh masa depan bicara yang jelas. Heh?! Masa depan?" Hanbyul mengangguk pelan, membenarkan pertanyaan Seungyoon. "Apa tidak terlalu cepat membicarakan hal itu, usia kita masih sebelas tahun."
"Tentu saja tidak, aku akan jadi aktor bulan depan aku ikut audisi JYP. Aku dengar Mino ikut training di salah satu agensi."
"Oh, benarkah?!" pekik Seungyoon tiba-tiba tertarik.
"Ya, kalau tidak salah YG dia masuk tahun kemarin. Kenapa kau tiba-tiba tertarik dengan topik Mino?"
"Oh itu—ah, ah, tidak ada hanya terkejut saja ada anak dari sekolah kita yang menjadi training YG." Hanbyul melempar tatapan tak percaya. "Sungguh! Aku tidak bohong, memang ada anak lain?"
"Masuk akal," gumam Hanbyul, di dalam hati Seungyoon tertawa lega tak harus menjawab interogasi Hanbyul yang biasanya sangat merepotkan itu. "Jadi rencana masa depanmu apa?"
"Oh aku, aku mungkin mau jadi trainee juga."
"Kau?! Mau jadi apa?!" pekik Hanbyul geli menahan tawa.
"Apa saja!" dengus Seungyoon jengkel, kemudian ia melangkah panjang-panjang meninggalkan Hanbyul yang kini sudah tertawa terbahak-bahak. Langkah panjang-panjang Seungyoon berubah menjadi lari cepat meninggalkan Hanbyul jauh di belakang.
Lima menit kemudian Seungyoon sampai di depan pagar rumahnya, pagar rumahnya adalah semak mawar putih tak berduri yang dipangkas rapi. Dengan peluh membasahi dahi serta punggung seragamnya, Seungyoon menghambur memasuki rumah dengan berisik.
"Selamat datang…," sambut wanita cantik berambut pirang. Benar, berambut pirang, Seungyoon diadopsi oleh keluarga Amerika-Korea sejak usianya dua minggu.
"Ibu…," rengek Seungyoon kecil.
"Hei, kenapa bibirmu maju seperti itu?"
"Apa aku sangat payah?"
"Tidak kau sama sekali tidak payah."
Seungyoon melepas ranselnya dan menyerahkannya pada sang Ibu, ia berjalan gontai menuju dapur. "Ibu jangan bohong, aku pasti sangat payah sampai-sampai tak ada seorangpun yang menyukaiku, bahkan teman yang aku miliki hanya si keriting Hanbyul. Menyedihkan."
Carly hanya bisa tersenyum dan mengusap pelan kepala belakang Seungyoon. "Apa terjadi sesuatu di sekolah?"
"Hmm," bisik Seungyoon.
"Apa? Mau bercerita pada Ibu?"
"Haah…," desah Seungyoon frustasi. "Hanya ada seseorang yang mengataiku payah, itu saja."
Carly menarik kursi di samping sang putra. "Hei, tidak ada yang payah darimu Seungyoon."
"Tapi Ibu, aku tidak pernah juara satu!" pekik Seungyoon bersikeras.
"Jadi kau ingin menjadi juara satu?"
"Ya, menjadi juara satu terbaik di semua bidang supaya orang yang menjulukiku payah, malu." Ucap Seungyoon berapi-api.
"Wow, itu baru semangat!" pekik Carly girang. "Sekarang ganti bajumu—Ibu pikir sebaiknya kau mandi, makan siang lalu tidur. Setuju?"
"Setuju, Ibu aku ingin guru les atau ikut les, bagaimana?"
"Kau benar-benar menginginkannya?" Seungyoon mengangguk yakin. "Baiklah akan Ibu atur semuanya, sudah sana pergi, baumu tidak enak!" Seungyoon hanya cekikikan diledek seperti itu, ia ambil ranselnya dari tangan Carly kemudian melompat turun dari kursi dan melesat cepat menuju kamarnya.
Seungyoon menutup pintu kamarnya sedikit lebih kasar dari hari biasa, ia lemparkan ranselnya ke atas single bed dan ia lepas semua pakaian seragam yang melekat di tubuhnya. Seungyoon kemudian mendekati kaca setinggi orang dewasa. Memperhatikan setiap jengkal tubuhnya dengan tulang menonjol alias kurus kering, terbalut kulit putih pucat yang tak eskotis. "Payah," gerutu Seungyoon.
Seungyoon berdiri di bawah pancuran, sambil membersihkan tubuhnya dia berpikir keras mencari sesuatu di dalam dirinya yang bisa menarik semua ucapan Mino. Dirinya tidak payah, tidak! Ya meski sampai detik inipun dirinya sendiri masih meragukan hal itu.
Lelah Seungyoonpun mulai bersenandung tak jelas sementara kedua tangannya mulai meratakan busa sabun ke seluruh tubuh. Kedua mata Seungyoon terbelalak, kegiatan meratakan busa ke seluruh tubuh terhenti seketika. "Suaraku lumayan, aku bisa jadi penyanyi! Oi Minho sialan, tunggu aku juga akan jadi trainee, kau pasti kalah telak!" pekik Seungyoon sekuat tenaga, ini kan kamar mandi jadi tak akan ada yang menganggapnya gila, kecuali ibunya. Paling-paling ibunya itu hanya berpikir ini fase remaja.
Dengan semangat membawa Seungyoon mempercepat ritual mandinya, ia keluar dari kamar mandi dengan tubuh setengah basah dan hampir saja terpeleset. Tak masalah yang penting dia sudah menemukan amunisi pertama untuk mengalahkan Mino. Membongkar lemari pakaian dan memakai baju seenak jidatnya, juga tak masalah.
"Seungyoon!" pekik Carly melihat putranya berlari dengan kecepatan membahayakan keluar kamar.
"Ibu! Ibu! Ibu!" pekik Seungyoon mirip cara memanggil orang di tepi laut. "Aku ingin les menyanyi, aku mau daftar audisi YG!"
"Sayang, apa kepalamu terbentur saat mandi?!" pekik Carly cemas. Seungyoon menggeleng cepat.
"Tidak Ibu, anggap saja aku baru menemukan jalan masa depanku yang cerah." Jelas Seungyoon kemudian tersenyum lebar.
"Oh, baiklah, baiklah, Ibu paham."
"Oh ya satu lagi, apa Ibu punya nasihat tentang penampilanku?"
"Penampilanmu baik-baik saja Seungyoon. Seungyoon dengar." Carly sedikit merendahkan tubuhnya, memegang kedua pundak Seungyoon menatap kedua mata hitam itu dengan penuh kasih sayang. "Ibu akan mendukung semua hal yang membuatmu bahagia, tapi Ibu tidak ingin kau berubah karena orang lain."
"Ibu, ini adalah rencana terbaik yang bisa aku pikirkan. Berkelahi tak akan menyelesaikan masalah jadi cara ini akan membuat si sombong itu berubah pikiran."
"Kau ingin mendapat pengakuan?"
"Ya." Balas Seungyoon tegas.
"Hah, baiklah asal kau senang. Sekarang waktunya makan siang lalu kau bisa tidur. Itu saran dari Ibu untukmu, naikkan berat badanmu sedikit kau sudah sangat kurus."
"Aku juga berpikir sama…," gumam Seungyoon. "Kalau berat badanku naik, apa aku tak perlu memakai kacamata lagi?"
"Sayang, bersabarlah jika waktunya tiba nanti kau akan mendapatkan semua keinginanmu."
Seungyoon mengerutkan dahinya. "Maksud Ibu dengan operasi plastik?"
"Bukan, tentu saja bukan, kau sudah tampan Seungyoon tentu saja dengan usaha kerasmu. Apa yang kau inginkan perjuangkan dengan sekuat tenaga, jangan mudah menyerah!" pekik Carly memberi selamat.
"Oh melegakan, aku pikir Ibu memberi saran untuk operasi plastik."
"Tidak, tidak, duduk di meja makan dan makan siang sekarang."
"Kapan Ayah pulang?"
"Seperti biasa."
"Tidak lembur kan?"
"Ibu rasa tidak." Seungyoon mengangguk-angguk puas.
"Punya sesuatu untuk dibicarakan dengan ayahmu?"
"Tidak ada, hanya saja Ayah jarang makan bersama dengan kita." Carly hanya tersenyum simpul mendengar protes Seungyoon.
.
.
.
Sebelum tidur siang, Seungyoon menyempatkan diri untuk memikirkan Mino, bukan karena tertarik atau apa, perasaan itu meguap begitu saja setelah penghinaan kejam tadi pagi. "Jadi dia trainee," gumamnya. "Trainee apa? Aktor atau penyanyi? Dia bisa menyanyi?" Seungyoon mengerutkan keningnya, bingung, mencoba mengingat-ingat kapan pertama kali dirinya mulai tertarik dengan Mino. "Aku rasa saat dia lari di lapangan. Ya, itu. berarti aku sama sekali tak mengenalnya. Beda kelas lagi." Racau Seungyoon tak jelas,
"Seungyoon Ibu boleh masuk?"
"Ya, aku belum tidur." Balas Seungyoon. Pintu kamar bercat putih itupun terbuka pelan dan Ibunya bergegas melangkah masuk.
"Ibu baru tahu ini, jika kau ingin mengikuti audisi masuk YG tahun ini waktu yang tersisa kurang dari dua bulan."
"Kurang dari dua bulan?!" pekik Seungyoon tak percaya hingga membuat kedua telinga Carly berdenging saking kerasnya suara pekikan Seungyoon.
"Iya, caranya gampang kau bisa langsung datang atau mengirim video penawaran. Pilhlah salah satu." Seungyoon menggaruk tengkuknya, sepertinya audisi YG terdengar mustahil.
"Tidak ada yang mustahil, asal kau yakin dan berusaha sekuat tenaga." Ucap Carly bijaksana.
"Tapi Ibu aku bahkan belum memulai latihan vokal."
"Suaramu bagus, Ibu yakin YG pasti tertarik. Tak apa, tunjukkan kemampuan aslimu yang belum dipoles. Ibu rasa itu akan memudahkan pihak YG untuk memutuskan apa kau layak masuk atau tidak."
"Maksud Ibu?"
Carly tersenyum menanggapi tatapan kedua mata bulat putranya yang tampak sangat polos. "Bakat alami lebih menakjubkan daripada polesan," bisik Carly kemudian ia tarik pelan hidung Seungyoon.
"Ibu..," rengek Seungyoon sambil memegangi hidungnya yang memerah akibat tarikan jahil sang Ibu.
"Tidurlah jangan berpikir macam-macam, kau sudah membulatkan tekad. Ibu yakin semua akan berjalan dengan lancar." Carly mengecup pelan dahi Seungyoon yang tertutup poni.
"Aku sayang Ibu."
"Ibu juga, selamat tidur siang semoga tinggimu bertambah."
"Ibu!" pekik Seungyoon jengkel, tak tahu apa harus bersyukur atau bagaimana memiliki Ibu yang selalu menggodanya. Seungyoon berbaring memandangi langit-langit kamar tidurnya. "Kurang dari satu bulan, apa mungkin? Ah sudahlah! Cukup Seungyoon! Jangan dipikirkan lagi, bisa tambah kurus nanti." Seungyoon menarik selimutnya kasar kemudian mengganti posisi tidurnya agar lebih nyaman.
.
.
.
"Seungyoon, ada temanmu datang, Seungyoon."
"Hmmm…,"
"Seungyoon temanmu datang, dia menunggumu di luar."
"Siapa?" dengan malas Seungyoon membuka kedua kelopak matanya yang terasa berat.
"Ibu tidak tahu."
"Hah?!" Seungyoon langsung tersentak kaget dan duduk. Satu-satunya temannya di dunia hanya Hanbyul, jika ibunya tidak tahu…, "Baik akan aku temui." Ucap Seungyoon yakin meski benaknya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan.
Seungyoon menyingkirkan selimutnya dan melompat turun, ia langsung beralari ke pintu depan untuk melihat siapa orang yang sedang mencarinya. "Astaga!" pekik Seungyoon tertahan.
"Halo, Ibumu cantik tapi kau tidak mirip."
"Apa yang kau lakukan di sini Taehyun?" bisik Seungyoon sambil sesekali menoleh ke belakang untuk memeriksa apakah Ibunya ada dalam zona bahaya untuk mendengarkan pembicaraan.
"Oh itu, aku kebetulan lewat rumahmu setelah pulang les."
"Kau ikut les? Kau tahu rumahku darimana?"
"Pertama ya aku ikut les, aku cukup pintar sebagai tambahan informasi, kedua tentu saja ini jalanan yang biasa aku lewati dan kenapa aku bisa tahu ini rumahmu karena aku sering melihatmu menyiram tomat dan bunga di sini, jika ini bukan rumahmu lalu kau apa? Pembantu, aku sempat berpikir seperti itu sih karena ibumu berbeda sekali denganmu." Racau Taehyun panjang lebar.
"Baiklah cukup, jadi ada urusan apa kau kemari?"
"Hmapir lupa!" pekik Taehyun, dengan cepat ia melepas salah satu tali ransel dari bahunya kemudian membukanya dan menarik sebuah buku kecil dari sana. "Semua informasi yang kau butuhkan tentang Mino ada di sana."
"Wow, ini cepat sekali."
"Anggap saja aku sedang tak banyak pekerjaan. Urusan lain kita selesaikan besok, aku harus pergi."
"Kemana?"
"Pulang, bodoh." Maki Taehyun, ia berbalik tanpa salam tanpa lambaian tangan, tanpa sopan santun, melenggang pergi.
"Semua ada di sini…," gumam Seungyoon sembari membuka lembar buku pertama. "Wow, menakjubkan, sekarang yang harus aku lakukan adalah menyaingi dia atau mungkin lebih baik dari dia." Tekad Seungyoon. "Jangan menganggapku remeh Song Minho."
TBC
