Temaram lentera menyinari geladak kapal dengan sinar pias yang tidak terlalu kentara. Puas dengan perak yang didapat, Harry memainkan kepingan dingin itu dengan menjentikkannya di tiga jemari tangannya. Jangkar ditambatkan beradu dengan dasar batu karang besar yang berada di sisi selatan pantai—tertutup oleh tebing gelap yang menyembunyikan kapal mereka dengan apik. Cahaya bulan menyinari tiang layar yang bergerak pelan sesuai dengan tiupan angin.
Ron dan Hermione sedang pergi ke kota untuk menjarah beberapa pedagang di daerah pesisir bagian dalam—sementara para awak sudah tidur di dek karena terlalu banyak meminum persediaan anggur mereka. Harry memandang riak air yang tenang kemudian, ditemani dengan sebotol wiski yang menghangatkan tubuhnya dari hembusan liar angin malam.
Rasa pening merambat merasuk ke dalam kepalanya—akibat pengaruh alkohol, mungkin. Terkekeh, Harry bernyanyi pelan. Bekas luka mengilap tertimpa cahaya lentera, digosok pelan. Angin kembali berhembus meniup helai rambut sewarna kayu eboni. Tegukan wiski terakhir dihabiskan, bersama dengan suara nyanyian yang dibawa pergi bersama deburan ombak kecil.
"Yo-ho houl together, hoist the colors high. Heave-ho thieves and begards, never shall we die."
(=)
Where Our Hearts Will Well Roam Together
(c) Ulilil Olala
Harry Potter (c) J. K. Rowling
Pirates of the Caribbean (c) Walt Disney Studio
(=)
Samar-samar, dia bisa mendengar bunyi jangkar ditarik di kejauhan. Mungkin saja itu kapal perompak, tetapi dia sudah tidak peduli lagi. Dia sungguh sudah muak berurusan dengan perompak dan EIC. Persetan dengan ayah bodohnya yang memaksanya untuk mengikuti jejaknya—menangkapi satu-satu perompak, dan dihadiahi gelar ini-itu. Draco sudah benar-benar lelah. Belum lagi pertunangannya dengan putri bungsu Ducthes Greengass yang sudah tersebar kemana-mana. Sebentar lagi, mungkin saja dia akan mecapai titik batas kewajarannya sedikit lagi. Tidakkah ayahnya mengerti, bahwa dia lebih memilih mengurus administrasi negara, dibanding menangkapi perompak satu-satu? Tidakkah ayahnya mengerti jika dia tidak ingin menikah dengan siapapun dan hidup secara selibat bersama buku-buku sejarah? Draco benci ayahnya. Tetapi dia takut untuk membantahnya. Masih terasa sangat perih, bekas luka melintang di sepanjang punggungnya yang masih sering terbuka, jika dia berendam terlalu lama—yang dia dapatkan ketika dia menolak memasuki organisasi Pelahap Maut untuk membasmi bajak laut secara satu-satu.
Langit berwarna biru cerah, tetapi perasaan Draco yang tidak keruan membuat semuanya terasa seperti badai. Draco tahu sebenarnya alasan ayahnya sangat membenci perompak adalah karena salah satu dari mereka pernah menjarah harta ayahnya secara gila-gilaan, dan merompak kapal dagang miliknya. Secara tidak sadar, Draco merasakan kebencian yang serupa pada gerombolan yang mengaku bahwa mereka menguasai lautan itu. Jika saja tidak ada perompak, maka dia tidak akan ditumbalkan untuk menangkapi mereka secara satu persatu, seperti anjing kesetanan yang menyalaki setiap tupai yang ada di pohon.
Kemudian Draco melongok ke bawah. Hamparan air laut terlihat telalu menggoda seolah mengajaknya untuk terjun dan masuk kedalamnya. Dia berdiri di atas tebing karang sejauh tiga puluh empat kaki dari atas laut sendiri. Mengingat dia tidak bisa berenang, mungkin saja jika Drcao melompat, dalam waktu kurang dari tiga puluh jam, dia akan terseret ombak, kemudian dimakan kraken di tengah laut. Sebuah ide yang sangat gila, tetapi dia benar tergoda untuk melakukannya.
Sekali lagi hembusan angin membelai pipi pucatnya dengan lembut. Kemudian sambil menengadahkan kepalanya ke langit, Draco merentangkan tangannya. Dan tanpa keraguan, dia melompat ke bawah. Samar-samar di kejauhan terdengar suara pekikan kawanan camar yang sedang berebut ikan.
(=)
Ketika air laut memasuki seluruh paru-parunya, Draco tidak merasakan apapun selain pandangannya yang menggelap dan rasa sesak di dalam tubuhnya. Tetapi, saat Draco memutuskan untuk melepaskan semuanya—dia merasakan ada seseorang yang menariknya. Mungkin saja itu hanya imajinasinya belaka, siapa tahu itu adalah tangan kematian yang siap menyambutnya atau apapun sejenisnya. Dan sekali lagi, dia tidak merasakan apa-apa selain kegelapan yang mencekamnya.
Tetapi saat Draco membuka matanya, tidak ada surga atau loker Davy Jones yang menantinya. Aroma asin laut masih terasa di sekitarnya, dan kehangatan pasir pantai terasa di bahunya. Setelah kedua netranya membiasakan diri dengan terangnya cahanya. Dia menyadari ada seseorang di sekitarnya.
Sebelum Draco sempat mengatakan apapun, orang itu sudah berteriak padanya. "APA KAU SUDAH GILA!"
Dia adalah seorang pemuda yang tampaknya sebaya dengan Draco. Draco memperhatikan dia memiliki rambut hitam legam yang tampak sepenuhnya basah. Dia cukup tampan untuk seukuran pria Inggris, dan di tangannya terikat sebuah kain merah bergambar kepala singa yang cukup besar.
Ketika pemahaman datang begitu saja dalam kepalanya, Draco tiba-tiba merasa sangat marah. Rencana awalnya untuk melompat ke dalam air dan hanyut bersama lautan, digagalkan oleh orang tidak jelas yang berada di depannya. Maka, tanpa disadarinya dia juga balas berteriak, "KAU YANG SUDAH GILA! MEMANGNYA AKU MINTA DISELAMATKAN OLEHMU APA?"
Tanpa disangka, pemuda yang ada dihadapannya ini malah tertawa. "Percuma saja kalau mau bunuh diri disekitar sini, bodoh! Bahkan kuli panggul juga tahu jika daerah ini terlalu dangkal. Badai saja mustahil mengusik tempat ini."
Dengan rasa malu dan kesal yang berlebihan, Draco tidak memerdulikan pemuda itu dan berajalan kembali ke tepian karang. Pemuda itu tertawa lagi, tetapi Draco tidak berniat untuk melongokkan kepalanya ke belakang.
"OI TIDAK BERNIAT MENGUCAPKAN TERIMA KASIH KEPADAKU? RASANYA KURA-KURA LAUT SAJA LEBIH TAHU TERIMA KASIH DIBANDINGKAN DENGANMU." Teriak pemuda itu sambil tertawa. "AKU HARRY POTTER, SIAPA TAHU KAU PERLU TAHU, BANGSAWAN."
Dan Draco tetap tidak mengacuhkan pemuda itu, terus berjalan pergi meninggalkannya.
(=)
Harry tergelak, sebelah tangannya memegangi perutnya. Ekor matanya masih menangkap sosok bangsawan pirang pucat yang nekat katanya mau bunuh diri. Untung saja ada dia yang menyelamatkan si pirang. Percuma. Harry tergelak lagi. Bahkan kraken di laut karibia saja akan berbaik hati padamu—jika kau tentunya bukan Jack Sparrow.
Si pirang bonbon tentu saja tidak tahu mana laut yang dalam mana yang tidak. Tentu saja. Jarang sekali bangsawan mau tahu-menahu urusan lautan dan perompak—kecuali para Pelahap Maut—karena yang mereka urus adalah bagaimana bersikap baik dan memimpin tanah jajahan Karibia. Jadi Harry merasa geli karena perairan karibia memanglah tidak dalam. Kalau mau menumbalkan nyawamu sendiri, Harry sarankan menelan racun atau bergabung dengan perompak. Akan lebih cepat daripada menunggu tenggelam.
Harry tahu pasti si pirang tidak menyadari jika Harry sedang menimang sekantung perak di telapak tangan kirinya. Harry tertawa lagi. Untung juga Harry menyelamatkan si bonbon, karena sudah pasti dia tak akan sadar jika kantung uang perak miliknya sudah berpindah kepunyaan menjadi milik Harry.
Setelah si pirang pergi dan tak terlihat lagi, Harry beranjak pergi ke pesisir dalam—siapa tahu ada Ron dan Hermione disana. Sekeping perak dijentikkan ke atas, Harry dengan sigap menangkapnya kembali. Baju kemeja dan celananya sudah mulai kering. Sambil bersiul, Harry membulatkan tekad. Jika dia tak bertemu Ron dan Hermione, tak apa. seharusnya dia bisa membawa sekantung perak dari lagi pasar.
(=)
Draco menendang pasir halus pantai dengan baju dan rambut basah kuyup. Tetesan air masih meninggalkan jejak basah di pasir belakangnya. Sialan. Draco mengumpat dalam hati. Entah pada siapa.
Draco sendiri mengakui jika dirinya memang bodoh, tapi Draco hanya sudah muak dengan semua kelakuan ayahnya. Draco bersikap abai pada orang-orang yang menatapnya heran. Dia tahu benar, pasti kelihatan konyol berpegian dengan baju basah di hari yang sangat cerah. Percayalah. Bahkan bocah dungu juga pasti akan berpikir jika kau mau berenang ke laut—setidaknya lepas bajumu.
Sekarang Draco merasa bimbang. Apakah dia harus pulang sekarang? Bertemu ayahnya hanya akan membuat dirinya marah dan menderita, tetapi jika dia harus pergi—tepatnya akan pergi kemanakah dia? Tidak mungkin kabur dari rumah sekarang, mengingat Draco hanya membawa sekantung uang perak, yang bahkan tidak cukup untuk menyewa penginapan yang layak untuknya.
Tunggu sebentar.
Tangan Draco menjelajah ke ikat pinggang di celananya. Rasa-rasanya Draco ingat jika dia mengikat kantung uang di ikat pinggangnya tadi siang. Tapi hasilnya nihil. Tak ada apa-apa disana.
Apakah kantung uangnya jatuh? Tidak mungkin. Draco percaya jika dia mengikatnya dengan kuat.
Mungkin ada yang mencopetnya. Tapi lucu mengingat Draco tidak bertabrakan dengan siapapun sejak pagi.
Pemahaman datang menyerbu kepala Draco bagai burung camar yang menukik mengambil ikan. Si sialan itu. Pasti dia!
Ya! Pasti terjadi ketika orang gila itu menyelamatkannya ketika Draco mau mencoba bunuh diri. Pasti dia dengan licik mengambil kantung uang miliknya.
Sialan. Sialan. Sialan. Sialan.
Draco mengumpat lagi. Suasana hatinya tidak pernah seburuk ini sebelumnya. Jika begini kondisinya, mau tak mau Draco harus kembali ke manor. Sedikit lirikan, dia tahu ini mulai petang. Angin laut mengenai sebelah pipinya, dengan baju yang masih agak basah Draco mulai merasa kedinginan.
Dengan perasaan yang enggan, Draco menjauhi pesisir pantai dan kembali menuju jalan utama. Dalam hati, Draco masih mengumpat. Sayang sekali, padahal tinggal sedikit lagi akan membuatnya bisa melihat matahari yang perlahan tenggelam.
Angin berhembus semakin kencang. Draco terlalu tidak perduli dengan keadaan sekitarnya. Di belakangnya selembar perkamen pencarian buron tertiup lepas dari dinding batu. Tertulis disitu:
DICARI: HIDUP ATAU MATI
HARRY POTTER
HADIAH: 1000 KEPING EMAS
Draco berjalan lurus menuju manornya, sementara perkamen tadi tertiup angin entah kemana. Samar-samar terdengar orang bersiul di kejauhan. Nadanya terlalu samar untuk dikenali. Gerbang manor terbuka dan Draco melihat ayahnya memandangnya di depan pintu dengan pandangan murka.
"Anak sialan. Darimana saja kau?" Lucius berdiri dengan tangan bersedekap. Alisnya menukik dengan tatapan yang tajam. Rahangnya mengeras. Draco tahu, ayahnya pasti marah besar.
"Kau pikir apa yang kau lakukan! Hari ini aku sudah memberitahumu jika Ducthes Greengrass datang berkunjung untuk makan malam. Lihat keparat mereka baru saja datang dan kau tidak ada! Sekarang mau taruh dimana lagi wajahmu karena kelakuanmu! Dasar anak sialan! Aku tidak ingat pernah membesarkanmu menjadi anak tak tahu malu seperti ini!"
Bersamaan dengan makian yang dilontarkan ayahnya, Draco mendapat satu tempelengan di kepala.
"Sekarang jawab aku darimana saja kau dengan baju yang tampak seperti pengemis ini?"
Draco tidak menjawabnya. Sulit menahan emosi yang sedang meluap. Dia sendiri sedang keras berupaya agar tidak meledak marah.
Tapi hal itu nampaknya pilihan yang buruk. Ayahnya menempelengnya lagi.
"JAWAB AKU, KEPARAT!"
Dengan dahi yang sedikit lebam, Draco mendongak. Tekad untuk tidak menjawab mendadak ciut. Dia akui memang nyalinya kecut—apalagi terhadap ayahnya. "Dari laut." Pelan sekali jawabnya.
Draco memejamkan mata. Tak lama sebuah pukulan datang lagi mengenai kepalanya. "Bagus sekali." Dia mendengar ayahnya berbicara. Suaranya bergetar, dan Draco menyadari tidak ada bedanya dia menjawab pertanyaan ayahnya atau tetap diam. Pilihan manapun sama saja. Ujung-ujungnya dia tetap mendapat murka ayahnya.
"Aku diam disini memikirkan berbagai cara agar hubungan keluarga kita tetap baik dengan keluarga Greengrass dan kau seharian main ke laut untuk berenang. Bagus sekali Draco. Bellatrix benar—kau memang harus masuk ke Pelahap Maut untuk melatih disiplinmu."
Jantung Draco terasa bagai berhenti. Hampir saja dia limbung ke belakang. Ini adalah keputusan akhir paling buruk yang tak mau didengarnya sekarang. "...ayah...kumohon...jangan..." Draco berbisik lirih. Semua perasaan murkanya mendadak hilang diganti rasa takut. Draco memohon dalam hati. Apapun selain Pelahap Maut, kumohon.
"Jangan panggil aku ayah!" Hardik ayahnya keras. "Aku sudah tidak mau dengar rengekan apapun lagi darimu! Persetan dengan ibumu yang menangis memohon-mohon! Aku melalukan ini untuk kebaikanmu. Aku tidak mau mengakuimu sebagai anakku sebelum kau diterima secara resmi oleh Pangeran Kegelapan. Beliau akan berhasil membuat pikiranmu jernih dan membuatmu menjadi anak yang bisa diatur. Tidak ada tugas yang lebih mulia daripada menangkap para perompak sialan itu—bahkan jika aku harus mengorbankan nyawa anakku sendiri!"
Bersamaan dengan itu lutut Draco lemas dan dia kehilangan kemampuannya untuk berdiri. Draco memejamkan mata, membayangkan nasib apa yang akan menimpanya—jika saja tadi dia berhasil menenggelamkan dirinya ke laut.
"Kau diam disitu. Jangan masuk! Ini hukuman karena telah mempermalukan nama keluarga Malfoy hari ini." Ayahnya membanting pintu manor dengan keras. Draco terduduk lemas. Air mata sudah menggenangi netra miliknya. Semua salah orang itu. Jika saja dia tidak menyelamatkan Draco tadi, pasti sekarang tubuhnya sudah dingin membiru karena air laut—dan Draco tidak usah bertemu ayahnya hari ini.
(=)
Botol wiski beradu menghasilkan bunyi bertenting yang cukup keras. Harry tergelak bersama Ron. Pipi Ron sudah memerah sempurna karena mabuk. Para awak sudah tertidur di lambung kapal sementara Hermione di sebelah mereka menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia personal menganggap jika wiski bukanlah hal yang baik untuk selebrasi. Hari ini mereka mendapat banyak kantong uang—dan lolos dari kejaran EIC dan para Pelahap Maut.
Seperti biasa, tebing karang yang besar dan kokoh berhasil menyembunyikan kapal mereka. Bendera di tiang kapal bergoyang pelan tertiup angin. Tawa mereka bergema dipantulkan dinding tebing. Hermione sempat berdecak pelan sebelum mengambil sebuah buku tebal dan membacanya. Dia sendiri sebenarnya berharap dalam hati agar malam-malam seperti ini terus berlanjut tanpa ada gangguan perompak lain dan tentara Inggris.
Awan bergerak pelan menutupi bulan—membuat sinarnya makin redup. Harry dan Ron teler karena menenggak banyak wiski. Samar-samar di kejauhan Hemione merasa ada badai besar yang akan datang ke laut Karibia.
(=)
To Be Continued
(=)
Catatan:
. Lagu yang dinyanyikan Harry adalah penggalan Dangerous Song yang muncul di film Pirates of Caribbean: at World's End. Konon katanya, siapapun yang menyanyikan lagu itu dipastikan memiliki hubungan dengan perompak.
. EIC (East India Company) adalah perusahaan dagang asal Inggris yang didirikan sekitar abad ke-17. Para perompak di abad pertengahan memiliki hubungan yang buruk dengan EIC karena Jack Sparrow pernah membelot terhadap EIC. EIC sendiri memburu para perompak untuk menangkap Jack Sparrow, tapi pernah juga beberapa kali bekerja sama dengan para perompak untuk bersama-sama menangkap Jack. Lucius Malfoy diceritakan dalam fanfiksi ini sebagai bangsawan yang terlibat dalam organisasi EIC.
. Timeline fanfiksi ini berkisar setelah masa kejayaan Jack Sparrow. Jack sendiri diceritakan sebagai salah satu legenda para perompak, sekitar tahun 1800-an atau abad ke-19.
. Pelahap Maut diceritakan sebagai organisasi non-resmi yang bertugas menangkapi para perompak untuk ditukarkan dengan sejumlah uang kepada kerajaan Inggris.
(=)
a/n: ceritanya fanfiksi ini mau diikutsertakan untuk Festival Fandom Barat III tapi tidak selesai dan malah berdebu di laptop. Karena plot ceritanya sudah selesai jadi sayang kalau tidak di publish. Rencananya mau one-shoot—tapi nampaknya ulil tidak sanggup ngetik panjang-panjang, jadi dijadikan multi-chapter, sekaligus untuk jadi pelepas penat karena ulil terkena webe lagi. Mohon maaf sebesar-besarnya kepada readers sekalian yang menunggu update-tan Bad Luck, sebisa mungkin ulil akan menyelesaikan chapter berikutnya. Sekian dan terimakasih bagi yang sudah mampir!!! XD
