"Berjanjilah padaku...kau...akan...mencintaiku" rintih pria itu. Ia terkapar dengan kondisi mengenaskan dan memanggil-manggil namaku. Aku terkejut, tapi yang lebih herannya lagi, aku menangis, seolah tak ingin kehilangan pria itu.
"Don't...leave..." ratapku serak dari kejauhan. Aku ingin berlari dan memeluknya, tapi seakan-akan ada sesuatu yang menghalangiku. Aku mencoba berlari dan berlari, tapi aku selalu terjatuh dan takkan pernah sampai. Wajah pria itu tidak terlalu jelas dari kejauhan karena diselimuti kabut putih, tapi entah kenapa aku sangat familiar dengan suaranya. Suara rintihan itu terus menggaung di kepalaku.
"Don't..."
"Leave..."
"Me...alone..."
Aku berusaha berlari dan jatuh lagi. Terus...dan terus begitu. Sampai aku tak kuat berlari dan harus merangkak untuk menggapai tangannya. Air mataku menetes saat aku bisa menggenggam tangannya. Tangan yang penuh luka itu terlihat sangat mengenaskan.
"Berjanjilah padaku...kau...kau akan...mencintaiku..." itulah kata-kata terakhir yang diucapkan oleh pria itu, lalu tangannya terkulai di genggamanku. Dadanya yang tadi masih naik turun perlahan-lahan berhenti, lalu diam.
"TIDAAAAAAAAAAKKK!"
True Love Never Dies
A Penguins of Madagascar Fanfict
Disclaimer: all characters owned by Dreamworks & Nickelodeon
Warning: OOC, humanized chara, gaje, lebay, dll
A/N: this is Marlene's POV
Chapter 1
The Beginning
"Morning, Marlene!" sapa Private ceria sambil sibuk menyiapkan sarapan saat aku terhuyung-huyung masuk ke ruang makan. Aku hanya tersenyum sekenanya sambil mengingat-ingat mimpi barusan. Rasanya mimpi itu seperti nyata...
"Did you sleep well, Marlene? You're...so...noisy, you know" sindir Skipper dengan sinis tanpa mengalihkan perhatiannya dari koran yang dibacanya. Aku melengos tanpa bekomentar apapun. Pria bermata ruby ini memang terkenal dengan slashing tongue-nya yang super tajam. Pisau dapur kalah deh tajamnya kalau sudah adu mulut dengannya.
Di sampingnya terdapat seorang pria berambut gondrong dan acak-acakan sibuk dengan laptop di pangkuannya. Sesekali ia membetulkan letak kacamatanya. Lalu di sebelahnya lagi ada pria berambut jabrik ala Harajuku yang asyik memamah sarapannya, cuek dengan keadaan sekitar.
"Ada order baru lagi, Kowalski?"
Pria yang sibuk dengan laptopnya itu mengangguk. Dengan perlahan ia men-scroll e-mail yang baru saja dibukanya. Mata onyx-nya bergerak-gerak dan berkonsentrasi penuh dengan apa yang dibacanya. Tiba-tiba...
"WOIII! SARAPAN DULU!" jerit seorang pria blonde sambil membawa nampan. Semua orang –termasuk aku sendiri –terkejut mendengarnya. Ya iyalah, siapa juga yang tidak kaget mendengarnya?
"Iya, iya..." gerutu Skipper sambil membanting korannya ke meja makan. Tapi ia hanya mengunyah beberapa gigit saja, lalu ia melanjutkan membacanya. Pria yang dipanggil Kowalski itu tenang-tenang saja, tidak seperti Skipper yang emosional. Ia mengambil segelas kopi di hadapannya dan menyeruputnya sebentar, lalu melanjutkan membaca e-mailnya lagi. Sementara pria berambut jabrik itu telah menyelesaikan makanannya dan bersendawa keras. Benar-benar khas laki-laki.
"KALIAN INI SERIUS SARAPAN NGGAK SIIIIIHHHH?" jerit pria blonde itulagi, merasa diacuhkan. Akhirnya dengan ogah-ogahan, Skipper dan Kowalski mau memakan sandwich itu, sementara Rico–pria jabrik itu–sudah membawa piringnya ke dapur. Aku terkikik geli melihat pemandangan yang sudah biasa terjadi itu.
"Ayo sarapan dulu, Marlene. Enak banget loh, kan aku yang mbuat" celoteh Private a.k.a pria blonde yang dari tadi jerit-jerit mulu tiba-tiba nada suaranya berubah 180 derajat saat mengajakku sarapan. Aku mengangguk dan duduk di sebuah kursi kosong.
"Sorry, seat's taken" kata Skipper dingin.
"By who?" balasku tak kalah sengit. Aku benar-benar kesal dengan sikapnya. Selalu saja ia berusaha untuk mencari gara-gara denganku.
"Private"
"It's okay. Private, kau bisa kan duduk di sebelah Rico?" kataku manis sambil melayangkan pandanganku ke Private yang keluar dari dapur. Private hanya tersenyum tipis, tapi kuanggap itu sebagai 'iya'
"Kenapa nggak kamu aja yang disebelahnya Rico? Ganjen banget sih!" gerutu Skipper lagi. Tapi ia tak tahu kalau kata-katanya yang terakhir itu sangat menyulutkan emosiku.
"Jaga mulut kamu, Skipper! Di rumahku ini, AKULAH yang berkuasa, bukan kamu! Jadi kau tidak bisa seenaknya saja padaku!" bentakku. Skipper tidak membantah, karena itu benar. Aku telah menyewakan rumah ini dan ruangan bawah tanahnya untuk keperluan mata-mata mereka. Aku masih ingat saat pertama kali aku bertemu mereka...
.
.
.
.
.
"Gawat, Skipper! Misi kita ketahuan!" kata Kowalski saat melihat seorang gadis brunette ikal sepunggung sedang melihat aksi mereka yang mirip di film-film laga. Gadis itu adalah aku. Aku penasaran dengan seorang pria bermata ruby yang –harus kuakui –sangat luar biasa tampan dan gagah. Diam-diam aku mengikutinya. Dan semakin terkejutnya aku, tenyata mereka berempat adalah sekelompok agen rahasia! Aku terus bersembunyi sambil mengintip. Saat itu mereka sedang berbicara dengan seorang pria yang kelihatannya seperti direktur perusahaan. Di sekelilingnya terdapat banyak bodyguard berbodi sangar. Tato-tato di lengannya yang berotot mengindikasikan mereka bukan sembarang bodyguard biasa, tapi mereka adalah bodyguard khusus untuk melindungi bosnya. Jangan harap bisa pulang dengan selamat kalau sudah mencari urusan dengan para bodyguard itu.
Direktur itu tersenyum sinis ke pria bermata ruby itu dan menyuruh para bodyguardnya untuk menyerang mereka. Aku semakin merapatkan diriku ke dinding, berharap tidak ada yang tahu. Pertarungan semakin heboh. Pria bermata ruby itu dan ketiga temannya harus melawan puluhan bodyguard yang kemampuannya sudah diatas rata-rata, sementara direktur jahat itu kabur dengan mobil mewahnya. Kusangka mereka akan mati mengenaskan. Tapi yang membuatku terkejut, keempat pria itu telah mengalahkan puluhan bodyguard itu dengan kemenangan telak hanya dengan beberapa menit saja. Aku sangat kagum saat mereka menggunakan kombinasi jurus-jurus yang tidak kuketahui seperti kungfu, gulat, dan lain-lain. Tapi aku melihat mereka sedikit kecewa saat melihat direktur yang diincarnya itu sudah pergi. Saat mereka mulai bersiap pulang, seseorang berambut gondrong dan berkacamata itu menangkap kehadiranku. Aku langsung tergugup.
"Tenang Kowalski, dia hanyalah gadis SMA biasa. Hapus saja ingatannya"
"Tapi tidak semudah itu, Skipper"
"Baiklah, baik. Private, cepat kesana dan interogasi dia" perintah pria bermata ruby itu yang tadi dipanggil 'Skipper' oleh temannya. Aku terpaku di tempatku sampai seorang pria blonde –yang sumpah cute bangeeeet!–itu mendekatiku.
"Uhm...Mbak, maaf mau tanya, Mbak namanya siapa ya?" tanya pria blonde itu ramah. Aku tetap diam. Tubuhku bergetar ketakutan.
"Sudahlah Private, jangan berbasa-basi lagi" suara dari belakang itu mengejutkanku. Pria blonde yang dipanggil 'Private' itu buru-buru mengganti pertanyaannya.
"Oh, sorry Mbak, jadi gini, apa Mbak melihat kejadian barusan?" tanya Private. Aku mengangguk.
"Apa Mbak melihat cara kami bertarung?" tanyanya lagi. Aku mengangguk lagi.
"Apa Mbak melihat saat kami sedang bersama Direktur itu?"
"Iya" jawabku sambil ketakutan.
"Skipper, kurasa gadis ini terlalu banyak tahu. Kita harus benar-benar melenyapkan ingatannya" kata pria gondrong yang dipanggil 'Kowalski' itu sambil membetulkan letak kacamatanya. Aku benar-benar takut saat dia bilang 'mengapus ingatan'. Aku langsung bersujud di depan mereka.
"Tolong, jangan sakiti aku! Jangan hapus ingatanku! Aku bersedia melakukan apa saja, aku akan memberikan kalian apa saja...tapi tolong, jangan hapus ingatanku..." kataku sambil terisak. Keempat pria itu saling pandang.
"O-oke, kami tidak akan menghapus ingatan anda. Tapi anda harus berjanji tidak akan memberitahu kejadian ini kepada SIAPAPUN, termasuk keluarga dan teman-teman anda. Mengerti?" kata Skipper tegas sambil mengangkat tubuhku. Aku mengangguk sambil sesenggukan.
"Hey, Skipper, kita bisa memanfaatkan dia, dia bilang dia bisa memberikan kita apa saja. Bukankah kita sekarang butuh markas baru?" bisik Kowalski.
"Tentu saja. Markas kita yang berada ruang bawah tanah para penguin di New York Zoo itu kan sudah ketahuan, jadi kita pindah kemari sambil mencari markas baru" balas Skipper. Aku yang mendengar semua bisik-bisik mereka itu berusaha menyela,
"Iya! Iya! Aku bisa menyewakan markas untuk kalian! Aku punya sebuah rumah di dekat sini, ayahku seorang pengusaha! Tapi tolong, jangan hapus ingatanku!"
"Be-benarkah itu?" kali ini yang bertanya adalah Private. Aku mengangguk cepat, yang penting aku bisa bebas dari semua ini. Sebenarnya sih memang ada sebuah rumah di Jakarta. Tidak terlalu besar sih, karena itu hanya rumah untuk tempat tinggal sementara ayahku yang suka keluar negeri untuk bisnisnya. Dan kebetulan akhir-akhir ini dia lebih sering ke Jakarta, jadi ia tak mau mengeluarkan banyak uang untuk membayar hotel.
"Baiklah, perjanjian berubah. Kita akan tinggal di rumahmu, tapi kau harus tutup mulut mengenai keberadaan kita. Paham?" kata Skipper. Aku menggangguk lagi.
"Ta-tapi Skippah" sela Private –dengan aksen Britishnya yang kental –cemas "Kasihan kita kalau kita hanya menyewa rumahnya gratis. Kita harus membayar supaya tidak menimbulkan kecurigaan orang-orang. Pasti gadis ini tidak keberatan, iya kan?"
"Okelah kalau begitu. Tadi siapa namamu?" tanya Skipper. Bola matanya yang berwarna ruby itu menatapku. Auranya yang berkharisma seolah memerangkapku. Tiba-tiba dadaku berdebar kncang, entah kenapa.
"Ma-Marlene...namaku Marlene Smith"
"Baiklah, Marlene. Sekarang antar kami ke rumahmu. Kita tidak ingin dianggap tersangka atas pengeroyokan orang-orang berotot itu" kata Skipper sekenanya. Aku berusaha menahan tawa atas perkataan Skipper barusan, kan memang mereka yang mengeroyoki para bodyguard itu!
"Baiklah. Kita naik taksi dulu"
.
.
.
.
.
Aku tersenyum mengingat semua itu. Sudah lebih dari empat tahun sejak mereka menempati rumah ini, beserta aku di dalamnya tentu saja. Sebenarnya aku tinggal di Washington D.C, tapi ayahku bilang aku harus menjaga rumah itu saat ditinggali oleh temanku (aku memang memperkenalkan keempat pria itu sebagai temanku, jadi ayahku tidak bertanya macam-macam lagi). Jadi aku kuliah dan bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan ternama di Jakarta. Tenang saja, mereka tidak akan berbuat macam-macam denganku. Karena kalau mereka sampai berani melakukannya, aku akan membeberkan semua rahasia mereka.
"Hoi, cewek jelek" Skipper yang melihatku sedang bernostalgia ria membuyarkan lamunanku. Tentu saja aku jadi ilang mood saat dipanggil seperti itu.
"Enak aja! Kamu tuh, yang jelek!"
"Biarin! Yang penting aku masih banyak yang nge-fans!" kata Skipper dengan pedenya yang tinggi. Aku langsung membuat suara muntah.
"Huweeeek! Didalam mimpi pun aku ogah!"
"Shut up, both of you!" teriak Kowalski. Kita berdua diam seketika. "Lihat ini!" Kowalski menunjuk layar laptopnya. Semua orang mengerumuni Kowalski.
"Ada apa, Kowalski?"
"Kita dapat order baru..."
.
.
.
.
.
A/N: hore~~~ akhirnya selesai juga :D. Format yang biasanya kupakai juga berubah, supaya lebih enak mbacanya. Dari awal aku sudah nargetin buat nulis fandom yang lebih dari 6000 kata dengan chapter lebih dari 6 (soalnya selama ini aku selalu buat fandomnya sekita 3000an kata dan chapter selalu mentok di 3). Wish me luck!
