Disclaimer: Naruto sepenuhnya kepunyaan Masashi Kishimoto

.

.

.

Sakura tidak pernah menyangka pernikahan adalah sesuatu yang sangat sulit untuk dijalani. Ketika kecil, gadis berambut merah muda itu selalu membayangkan mempunyai suami yang perhatian, memiliki posisi yang cukup tinggi hingga ia tak perlu bekerja untuk mencukupi kehidupannya, tidak manja dan gagah.

Namun kenyataannya semua meleset dari mimpi-mimpi indahnya tentang pernikahan.

Setelah menikah beberapa bulan baru ia sadari kalau sang suami tidaklah segagah suami-suami lain.

Ketika Sakura menjerit ketakutan melihat binatang-binatang menjijikkan seperti kecoak, ulat, atau laba-laba, sang suami juga kelihatan takut. Laki-laki itu hanya akan mengambil sapu dan dengan ekspresi jijik, pelan-pelan menyapunya ke luar rumah, bukan membunuh binatang itu.

Saat menyalakan kompor, sang suami selalu meminta bantuan Sakura untuk menyalakannya. Lalu masalah mengganti gas yang sudah kosong pun ia limpahkan pada Sakura. Tak terbayangkan bagaimana gadis itu menyeret tabung gas berukuran besar dan merunduk di bawah kompor demi menyambungkan selang.

Belum lagi saat mengendarai mobil. Sang suami hanya berani memacu mobil dengan kecepatan 30 kilometer per jam. Jika Sakura mempunyai janji atau pertemuan, dengan terpaksa ia harus berangkat dua sampai tiga jam sebelumnya.

Pernikahannya akhirnya membuahkan anak. Perhatian Sakura kini terbelah dua. Menghadapi suami manja dan selalu ingin diutamakan sangatlah membuat frustrasi.

Jika sang suami menghubunginya melalui SMS dan Sakura tidak bisa langsung menjawab karena sibuk memberi makan atau memandikan anaknya, maka sang suami akan marah dan sewot. Kata-kata yang sang suami ketik di SMS seringkali menyakiti perasaannya. Dari kata-kata "kamu tidak perhatian sama suami ya", "seharusnya kamu bisa membagi waktu" sampai memberi ayat-ayat mengenai istri terlaknat karena tidak mengikuti perintah suami.

Sungguh tenaga, pikiran dan airmata Sakura selalu terkuras setiap harinya.

Sang suami hanya pulang satu kali dalam satu minggu karena bekerja di kota yang cukup jauh. Hari minggu seharusnya menjadi hari keluarga. Namun sang suami selalu pergi pada sore hari untuk berolahraga bersama teman-temannya dan pulang larut malam.

Ketika Sakura menyuarakan keberatannya, sang suami langsung membentaknya dan beralasan bersilahturahmi itu perlu. Tetapi jika posisinya dibalik, sang suami juga tak segan memarahinya dengan alasan tidak becus mengurus rumah tangga.

Sakura tak mempunyai teman bicara atau teman berbagi. Sakura hanya ingin ada yang memeluknya dan menepuk pundaknya. Mengatakan semuanya akan baik-baik saja.

Siksaan batin melenyapkan cintanya pada sang suami. Sakura tak lagi merasakan getaran-getaran saat bersama sang suami. Ia takut berkata-kata karena seringkali sang suami salah paham dengan ucapannya. Ia mulai menjauh walaupun tetap berpura-pura mencintainya dengan sepenuh hati. Tak lagi ia berikan tubuhnya pada sang suami. Kebenciannya pada suami menghalangi napsu birahinya.

Sakura bosan menangis. Sakura bosan meminta maaf untuk sesuatu yang tidak ia lakukan karena sang suami sangat lihai memutarbalikkan fakta. Sakura bosan menyalahkan takdir yang begitu tega menjatuhkan vonis yang menyengsarakan hidupnya.

Sakura ingin dihargai. Dihargai atas apa yang telah ia lakukan, bukan hanya dicela, disindir dan caci karena satu atau dua kesalahan yang telah ia perbuat.

Sakura menginginkan perceraian. Namun teman-temannya selalu merayunya untuk bersabar, bersabar dan bersabar. Mereka berpendapat perceraian akan berpengaruh pada psikologi sang anak dan membujuk Sakura untuk menuruti saja apa keinginan sang suami.

Sungguh konyol, sungguh tidak masuk akal.

Sakura merasa tidak pantas diperlakukan serendah ini. Ia berhak mendapatkan lebih.

Kebenciannya pada sang suami kini telah sampai di ubun-ubun. Ia tak sanggup lagi. Merawat anak dan merawat suami yang manja, cepat salah paham, selalu ingin dihargai tapi suaminya sendiri tak pernah menghargai kerja kerasnya selama ini, penakut, terlalu cemburu adalah pekerjaan yang sangat melelahkan lahir dan batin.

Akankah Tuhan mengabulkan permintaannya?

Akankah takdir bersedia melepaskan cengkeramannya hingga ia bisa berbahagia?

Akankah malaikat datang dan menyelamatkannya dari lubang kebencian yang setiap hari semakin dalam?

Sakura tak tahu.

.

OoOoOoO

Author's Note: Baiklah, sebenarnya ini hanya pengalaman pribadi yang ingin saya curahkan, jadi saya tidak mau memilih karakter laki-laki di Naruto untuk berperan sebagai suami Sakura, hehehehehe.

So if you're thinking of getting married, think about it over and over and over and over again. Because marriage isn't for everybody. For some people, marriage could mean happiness. But for others, marriage could mean living in HELL with no way out, hahaha.

Mau nikah? Mikir dulu deeeeeehhhh! Preeett