Hi, everyone!
Siapa di sini? Yups, Anne muncul lagi. Yeeee cepat, ya!
Anne rajin banget, nih. Oke, fic baru Anne kali ini agak emejing! Kenapa? Anne sebelumnya udah punya konsep ceria ini dan sempat Anne tulis di note, eh, besoknya salah satu pembaca tiba-tiba request dengan inti cerita yang sama dengan cerita yang baru Anne konsep itu. Kebetulan yang cantik banget! Sebelumnya, Anne ucapin dulu terima kasih untuk teman-teman yang sudah review di fic sebelumnya. Thanks, banget, ya!
Kalian memang luar biasa, kawan!
Dan kali ini, Anne hadirkan lagi kisah baru masih dengan kisahnya Daddy Harry dan Mummy Ginny. Bagaimana kisah permulaannya? Mari disimak!
Happy reading!
Seandainya saja Harry tetap menahan Ginny untuk tinggal di rumah dan menuruti instingnya, menahan istrinya agar tak kembali bertanding, Ginny tidak akan terbaring mengenaskan di salah satu bangsal St. Mungo seperti hari ini. Tubuhnya utuh meski kain-kain putih membebat beberapa bagian tubuh serta benda keras menyangga seluruh area lehernya. Ginny sekarat.
"Aku yakin Ginny akan bangun dan melihatku di sini."
Harry mencoba untuk kuat. Hati suami mana yang tidak kalut ketika melihat istri tercintanya jatuh dari ketinggian puluhan kaki. Menyaksikan sendiri tubuh wanita itu terkapar di atas tanah setelah membentur tiang besi tepat di kepalanya. Plangg! Suara itu masih terngiang di telinga Harry. Teriakan ketakutan penonton yang meneriaki Ginny saat terjatuh. Mengingatkan betapa menakutkannya kejadian dua jam yang lalu itu pernah terjadi, dan juga Ginny.. yang entah kapan akan membuka matanya.
"Aku minta Hermione membawa James dan Al ke rumah George dan Angelina. Lily dibawa Hermione ke rumahku. Kau tenang saja, Harry."
"Tapi kau tak menceritakan tentang Ginny, kan, pada James atau Al?"
Ron, yang sedari tadi menemani Harry mengurus segala perawatan Ginny seusai pertandingan menggeleng pelan. "Tapi Lily.. Oh, Ron, kau suruh Hermione menjaga Lily? Kalian juga harus merawat Rose, kan? Lalu Hugo? Ron—"
"Lily keponakanku juga, Harry. Orang tua Hermione juga ada di rumahku. Jadi mereka bisa membantu mengurus Lily. Dua bayi tidak akan membuat kacau rumah tanggaku. Kau dengar itu!" Ron menarik satu kursi di sisi Harry dan mendudukinya. Mereka berdua menghadap ranjang Ginny dengan perasaan tak karuan. "Aku akan menemanimu. Ginny adalah adik kandungku. Aku tak mungkin meninggalkannya seperti ini juga." Protes Ron.
Harry dan Ron memilih menemani Ginny, dibantu beberapa Healer yang keluar masuk ke kamar rawat hanya untuk sekadar memeriksa dan memberikan ramuan serta mantera-mantera penyembuhan. Ginny belum kunjung sadar hingga dua hari berlalu. Molly dan Arthur ikut datang namun dilarang keras oleh Harry menginap. "Kalian harus istirahat, pulanglah. Aku tak apa." Pesan Harry. Ia dan Ron mengatur waktu jaga di St. Mungo. Mereka terus bergantian menjaga di dalam kamar rawat meski untuk sekadar membeli makanan atau meladeni para wartawan yang sedianya tak pernah bosan menunggu di luar gedung rumah sakit.
Di balik jendela, Ron melihat masih begitu banyak penyihir berkumpul di lantai dasar St. Mungo. Harry memang sengaja memilihkan kamar rawat yang memiliki pelayanan privasi yang paling baik di sana. berada di lantai atas. Sebagai sosok yang dikenal luas oleh masyarakat dunia sihir, Harry tak mau mengorbankan kenyamanan istrinya untuk kepentingan kabar heboh di luar sana tentang kecelakaan itu. Harry tahu seluruh media cetak sihir kini memasang headline tentang pertandingan reuni maut yang membuat Ginny terluka.
Holyhead Harpies mengundang Ginny untuk kembali bertanding dalam acara reuni akbar para mantan pemain Quidditch seluruh tim besar dari Inggris. Para mantan pemain Quidditch yang telah resmi keluar diminta untuk kembali dan bermain dalam pertandingan spesial itu. "Hanya untuk pertandingan ini, sayang. Aku tidak kembali lagi, kok. Ini hanya pertandingan reuni. Pemain lawan juga mengeluarkan pemain lamanya. Ada chaser yang dulu pernah aku kalahkan juga akan bertanding. Mungkin mereka akan membalas dendam atas kekalahan mereka dulu padaku. Boleh, ya!" Rayu Ginny meminta ijin pada Harry setelah menyusui Lily.
"Tapi kau yakin masih kuat? Kau baru melahirkan empat bulan yang lalu, sayang."
"Aku sudah kuat. Jauh lebih sehat dari sebelumnya." Ginny menyerahkan undangan resmi yang diatasnamakan managerial Holyhead Harpies pada Harry. Surat berwarna putih dengan beberapa aksen hijau di sekelilingnya mengingatkan Harry akan tim kebesaran yang begitu dibanggakan istrinya dulu. "Apa salahnya untuk aku bisa kembali bermain? Quidditch tumbuh sebagian di hidupku, Harry. Kau tahu itu, kan?"
Dengan wajah memelas penuh pengharapan, Ginny membiarkan Harry untuk sejenak berpikir sebelum mengambil keputusan. "Perasaanku tak enak, sayang."
Ginny sangat menginginkan Harry memberinya ijin untuk pergi. Hampir tiga tahun sejak ia melahirkan Al, Ginny tidak lagi menyentuh kejuaraan apalagi berlatih dengan timnya. Ginny sepenuhnya mengabdi untuk keluarga dan bekerja paruh waktu di Daily Prophet. Meski berat, Ginny telah meyakinkan jika itu adalah keputusan terbaik yang harus dipilihnya. Harry sangat bangga pada Ginny.
"Mereka kabarnya terus memburu penjelasan Laura Adkins sebagai chaser yang diduga mendorong tubuh Ginny hingga terjatuh. Ada beberapa saksi yang melihat Laura berusaha mencelakai Ginny selama jalannya perandingan, Harry. Itu menurut Daily Prophet hari ini." Ron membuka lembar pertama tentang investigasi sembunyi-sembunyi pihak Daily Prophet yang terus melakukan penyelidikan tentang siapa pelaku jatuhnya Ginny di pertandingan waktu itu. Harry sama sekali tidak tahu siapa pelakunya. Untuk saat ini, Harry hanya fokus pada kesembuhan istrinya. Paling tidak, ia mengharapkan jika Ginny dapat segera sadar.
"Terserah, Ron. Aku tak peduli dengan mereka. Aku hanya butuh Ginny sekarang sadar."
"Ya, aku paham, Harry."
Ron membantu salah satu Healer melepas penyangga batang leher Ginny sementara Harry membantu memiringkan kepala istrinya ke kanan. Dengan posisinya kali ini, Harry berada sangat dekat dengan wajah Ginny. Ia memeluk kepala sang istri dengan perasaan bergejolak. Sedih, kecewa pada dirinya sendiri, dan takut. Takut jika Ginny meninggalkannya.
"Leher Mrs. Potter sudah membaik, begitu juga lengannya. Semoga sebentar lagi beliau bisa sembuh, semua akan baik-baik saja, Mr. Potter. Oh, ya, ada yang bisa ikut saya untuk membantu mengurus pendataan pasien di bagian administrasi?" Healer melihat ke arah Harry lantas berganti pada Ron.
"Ah.. saya saja, Madam." Ron mengajukan diri. "Kau jaga Ginny saja, Harry. Aku yang urus." Pesan Ron.
"Thanks," jawab Harry lega. Ia belum mau meninggalkan Ginny. Instingnya mengatakan jika Ginny sebentar lagi akan sadar. Sebentar lagi.
Tiga menit setelah Ron pergi, Harry coba mengamati para pemburu berita yang masih sibuk menjaga pintu masuk St. Mungo. Ia mengenal beberapa penyihir yang memang sering mewawancarainya. Saking seringnya, Harry bahkan sampai mengenal namanya. "Si Drue. Si Pitta, si Chen.. mereka hobi sekali mengejarku—"
"Eegghh—"
Suara erangan kecil membuat Harry terkejut. Dari arah ranjangnya, Ginny menggeliat pelan. "Sayang, syukurlah. Kau sadar—"
"Air—"
Harry cepat-cepat memasukkan sedotan pada segelas air putih yang tersedia di sisi ranjang rawat Ginny. "Minumlah," kata Harry sambil membantu menyodorkan ujung sedotan ke mulut Ginny.
Wajah wanita itu pucat, bibirnya kering dan lingkar hitam dibawah matany tercetak begitu jelas dan sedikit cekung. Harry melihatnya miris. Tak sadarkan diri berhari-hari membuat istrinya tampak mengerikan.
"Ouch—"
"Sakit? Mana yang sakit?" tanya Harry.
Ginny memeluk perutnya lantas tangan kanannya bergerak memegang kepala. "Kepalaku.. pusing, Harry. Perutku nyeri." Keluh Ginny. Harry bingung harus berbuat apa.
"Em—aku tak tahu harus bagaimana, begini saja, aku panggil healer—"
"Mr. Potter?" belum sempat Harry keluar mencari pertolongan, healer Audy, yang sejak awal menangani Ginny telah kembali. Namun ia tak bersama Ron. "Ginny sudah sadar, Madam. Tapi, dimana Ron?"
"Mr. Weasley belum selesai di kantor administrasi kami, Mr. Potter, jadi saya kembali dulu sendiri dan ternyata—" healer berwajah kecil itu berganti menatap Ginny yang masih berbaring lemas, "Mrs. Potter sudah sadar."
Deg! Ginny mengerutkan dahinya. Bingung. "Dia bilang apa?" tanyanya dalam hati.
"Ada yang sakit? Saya periksa sebentar."
Ginny menjelaskan jika kepala dan perut bagian bawahnya terasa sakit jika digerakkan. Tongkat healer Audy kemudian mengayun dari ujung kepala Ginny dan berhenti ke bagian perut. Sesuai keluhan Ginny tadi, healer Audy akhirnya paham mengapa rasa sakit itu dirasakan oleh Ginny.
"Bekas benturan itu menganggu sistem syaraf otot kepala, Mr. Potter. Tapi saya membutuhkan pemeriksaan lanjutan, tidak sekarang, mungkin besok." Kata healer Audy tenang.
"Ke-kenapa, Madam?"
Healer Audy tersenyum simpul. "Anda masih lemah, Mrs. Potter. Dan ditambah lagi, perut anda yang sakit itu karena rahim Anda syok akibat Anda terjatuh. Ada kontraksi keras mengingat rahim anda masih dalam masa recovery paska melahirkan."
Ginny hanya bisa diam sambil terus mencerna kalimat demi kalimat yang diucapkan healer Audy. "Melahirkan?" ulang Ginny namun tak ditanggapi oleh healer Audy.
"Saya akan mengambil ramuan agar tubuh Mrs. Potter segar kembali." Kata sang healer pada Harry di ujung ranjang. "Mrs. Potter, saya tinggal dulu, ya. Berbicaralah dulu dengan suami anda. Pasti kalian sudah rindu sekali bukan? Saya permisi dulu, Mr. Potter."
"Iya, silakan. Thank you, Madam." Kata Harry dengan senyuman mengembang di wajahnya. Sejenak, ia terdiam lantas kembali berbalik melihat keadaan Ginny.
Harry semakin mendekati Ginny. Ada perasaan berbeda ketika tiba-tiba Harry melihat ekspresi ketakutan pada wajah Ginny. "Ginny?" panggil Harry bingung.
"Kau kenap—"
Cepat, Ginny menyingkirkan tangan kirinya yang siap dipegang oleh Harry. Dahinya mengerut pertanda ia memikirkan sesuatu. "Ada apa?" ulang Harry. Ia memilih duduk di bangku sisi ranjang. Mengamati Ginny yang kini seolah takut berdekatan dengannya.
"Ha-harry.. telingaku tak salah dengar, kan?" tanya Ginny terbata.
"Maksudmu?"
Ginny melihat sekeliling kamar rawatnya. Hanya ruang rawat biasa yang dipenuhi dengan buket-buket bunga cantik serta kantung-kantung makanan yang sebagian telah terbuka. "Healer tadi—" telunjuknya mengarah ke pintu, "memanggilku.. Mrs. Potter?"
Harry hanya diam sejenak.. lantas terbahak, "kau bicara apa, sih, sayang?"
"Aku—melahirkan? Dan kau.. Suami—"
"Ginny!" Harry mulai panik, semua yang ditanyakan Ginny seolah ia melupakan siapa dirinya. "Tolong jangan bercanda." Bisik Harry berusaha tenang. Dikepalanya kini hanya pengandaian buruk tentang.. Ginny kehilangan memorinya.
"Aku tak bercanda, hanya.. semua ini seperti lelucon—berhenti!"
Ginny menyingkirkan tangan Harry untuk sekian kalinya. "Aku bingung!"
"Baiklah, tenang, Ginny. Sekarang jawab pertanyaanku. Siapa dirimu?" Harry memulainya sedikit lebih absurd. Ia bertanya tentang siapa Ginny pada Ginny sendiri.
Napas Ginny naik turun tak teratur. Ginny berkeringat. "Pertanyaanmu—baiklah, a-aku Ginny. Ginevra. Aku diberi nama seperti nama istri raja Arthur. Guinevere. Begitu, kan, yang dulu pernah kau ceritakan padaku, Harry? Tentang raja Arthur dan kerajaannya." Jawab Ginny penuh keyakinan.
"Benar sekali, kau mengingatnya." Ujar Harry sedikit lega.
"Tentu, kau sendiri dulu yang menceritakannya padaku saat kita jalan-jalan ke salah satu tempat ramai Muggle." Ginny tertawa.
Harry ikut menyunggingkan senyumannya meski di hatinya masih menyimpan sedikit keraguan. Ia masih belum yakin dengan Ginny. "Sekarang, ceritakan siapa aku!" pinta Harry.
Ginny mengerutkan dahinya lagi. Ia berusaha tenang saat Harry menatapnya tajam. Ginny seolah dipaksa untuk menjawab cepat. "Semua orang tahu siapa kau, Harry. Harry James Potter. The chosen one. Anak yang bertahan hidup dari penyihir paling berbahaya abad ini, Voldemort. Dan kau yang mengalahkannya. Sejarah sihir mencatat namamu, Harry—"
"Lalu siapa aku.. di hidupmu?" Harry memotong cepat. Ia harus segera mengetahui apakah Ginny benar-benar masih mengingat semuanya.
Mereka saling pandang sampai akhirnya Ginny berkata, "you're my boyfriend."
Harry menjauhkan tubuhnya perlahan. Ekspresinya berubah drastis dari tegang menjadi syok. "Boyfriend?" ulang Harry.
"Kau—kau memutuskanku lagi, Harry? Tapi.. Aggh—"
"Ginny, kau tak apa?" Harry berusaha kembali mendekat dan menggenggam tangan kiri Ginny. "Lepaskan!"
Ginny menepis tangan Harry kasar dan tak sengaja mengamati sesuatu yang melingkar di jari manisnya. Diangkatlah tangan kirinya sedikit ke depan wajahnya. "Cincin?" batinnya tak percaya. Ia seolah sedang hidup di masa yang tidak ia kenali.
Matanya melirik cepat ke arah jemari tangan kiri Harry. Cincin yang sama melingkar indah di jari manis Harry. "Healer tadi mengatakan kalau.. aku—Mrs. Potter. Dan aku baru saja melahirkan—"
"Aku suamimu, Ginny!" kata Harry terbata. Dadanya sesak.
"Apa?"
"Permisi!"
Healer Audy datang dengan satu troli berisi ramuan-ramuan untuk Ginny. Ia terkejut ketika melihat Harry seperti baru saja menangis. "Madam.. Aku rasa anda benar-benar harus melakukan pemeriksaan lanjutan." Suara Harry bergetar. Ia takut.
- TBC -
#
Yeahhh.. cerita ini muncul waktu Anne lihat video klipnya Nathan Sykes yang Over and Over Again, tentang memory kisah cinta sepanjang masa gitu. Sweet banget. Tercetuslah cerita ini. Bagaimana awalnya.. Mari direview, teman-teman. Semoga terhibur. Maaf kalau masih ada typo!
Thanks, ya!
Anne xoxo
