Ini adalah fic request dari sahabat saya. Dia meminta saya buatin fic sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke-15 beberapa hari yang lalu. Dia maunya pair Toushirou & Rukia. Dia suka kedua tokoh itu, karena punya nasib yang sama dengan dirinya, masalah tinggi badan, haha.
Padahal, dia nggak pernah nonton Bleach, dia cuma lihat wallpaper mereka berdua di HP saya. Dan saat saya bilang tinggi badan mereka berdua nggak jauh beda dengan dia, dia langsung
Maaf, banyak cuap2nya. Langsung saja! Happy Reading!
.
.
Disclaimer : Bleach punya Kubo-sensei (Tite Kubo)
Rated : T
Pairing : Toushirou x Rukia, slight Renji x Momo
Genre : Romance & Friendship
Warning : 15 halaman di Word, beberapa chara OOC, cerita dan deskripsi tidak jelas, membosankan, typo, aneh, dan berbagai kekurangan lainnya.
.
.
DON'T LIKE? DON'T READ!
.
.
.
Terbaliknya Hukum Cinta
Bagian I
.
.
.
Seorang pemuda berambut bak salju melangkah mantap di trotoar jalan. Kadang-kadang mata turquoise-nya memandang langit kelabu dengan ribuan arakan awan gelap. Cuaca buruk masih menaungi kota kecil ini. Itu tidak mengejutkan. Sekarang bulan Januari, jadi musim dingin masih menyelimuti.
Untungnya, suasana hatinya tidak selaras dengan suasana cuaca yang tidak bersahabat. Jika digambarkan, hatinya sekarang dipenuhi bunga musim semi yang bermekaran. Sesekali tersempil senyum simpul di bibir pemuda 24 tahun ini sehingga orang yang berlalu-lalang di sekitarnya memandangnya heran seraya berbisik-bisik kecil. Mungkin mereka menganggapnya orang… err… mengidap sedikit gangguan jiwa karena tersenyum sendiri tanpa sebab.
Itu hanyalah asumsi.
Di kepala pemuda lulusan Toudai tiga tahun lalu ini sedang memutar kenangan manisnya bersama sang tunangan. Yah, baru enam bulan lalu, mereka mengikat hubungan ke jenjang tersebut setelah lebih dari 3,5 tahun berpacaran. Ditambah sisa menghitung waktu sebanyak 168 jam—ah, itu kedengaran lama, lebih enaknya tujuh hari lagi, mereka akan mengikat tali kasih seumur hidup yang akan terjadi tanggal 10 Januari.
Langkah kakinya sekarang membawanya ke tempat sang gadis pujaan menunggunya. Di mana lagi kalau bukan di rumah si calon istri. Ia melihat arloji di pergelangan tangan kirinya, pukul 02.40 PM. Masih sisa dua puluh menit waktu yang ia janjikan tiba di sana.
Sang pengacara muda ini menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya untuk mengurangi dingin yang menggigit kulit. Padahal, ia sudah mengenakan jaket tebal dengan warna yang serasi dengan warna iris matanya, tapi masih belum cukup memberi kehangatan. Siluet putih napasnya pun di udara terlihat jelas di kala ia menghembuskan karbondioksida. Musim dingin tahun ini memang cukup menyiksa dibanding beberapa tahun lalu.
Ia mendadak berhenti saat mendengar dering handphone berbunyi di saku jaketnya yang sebelah kanan. Dirogohnya kantung jaketnya itu (jaket pemberian tunangannya saat ulang tahunnya yang ke-20), dan tak lama alat komunikasi yang berdering tadi digenggamnya. Ia menekan sebuah tombol di handphone kesayangannya itu—sebuah SMS.
From : Putri 'Violet' Rukia
Kau tidak usah ke rumah. Langsung saja ke 'Taman Surga', aku menunggumu di sana. Jangan lama, ya! Umm… I love you, Pangeran 'White' Toushiro.
Kalimat terakhir membuat pemuda ini memasang senyum lebar plus rona merah di wajahnya.
"I love you, too," lirihnya pelan. Ia memasukkan kembali handphone itu ke tempat ia mengambilnya tadi.
Pemuda yang dijuluki Pangeran 'White' Toushirou meneruskan kembali langkahnya. Kali ini ia percepat karena tidak ingin membuat gadis dengan sebutan Putri 'Violet' Rukia itu menunggu lama. Kemudian ia berbelok ke kiri.
Hanya perlu berlari kecil sekitar 500 meter, figur nona yang mengirimi pesan tadi sudah menunggu di depan sebuah taman kecil yang mereka sebut 'Taman Surga'. Nona itu memakai syal putih panjang hadiah dari pemuda ini saat usia pacaran mereka mencapai satu tahun. Lalu jaket coklat yang didampingi dengan rok ungu gelap 5 cm di bawah lutut.
Di saat jarak mereka berdua hanya 20 meter, sebuah ide jahil mendadak muncul di kepala pemuda ini. Ia akan melancarkan ide kekanak-kanakan itu (padahal ia sendiri benci dengan hal-hal yang berbau kekanak-kanakan), mumpung si gadis masih belum menyadari keberadaannya. Ia masuk ke taman lewat gerbang kedua. Seperti seorang stalker atau mata-mata, ia bersembunyi dari satu pohon ke pohon lain. Langkahnya amat pelan. Jika tidak sengaja menginjak daun, ia berhenti sejenak lalu meneruskan hingga semakin dekat dengan si target. Seringai jahilnya mulai muncul di wajahnya di saat tinggal 2 meter lagi.
HAPP!
Kedua tangannya menutup kedua bola mata gadis yang berada tepat di depannya.
Dengan suara yang dibuat-buat seram pemuda ini berucap, "Nona! Jika Anda tidak mampu menebak siapa saya, jangan harap Anda akan saya lepaskan."
Gadis ini malah menanggapinya dengan tawa geli.
"Mengapa Anda tertawa? Apa Nona sudah tidak sayang nyawa?" tambah pemuda ini dengan suara yang sudah keluar dari suara aslinya.
"Kau tidak berbakat menjadi seiyu," kata si korban. "Suaramu sungguh buruk."
"Hei, saya tidak meminta Anda mengejek saya. Saya meminta Anda menebak siapa saya. Atau jika tidak…" suaranya menghilang. Ia memutar otak, berpikir ide jahil apalagi yang akan diberikan pada gadis berambut kelam ini.
Gadis ini mengernyit heran karena suara laki-laki di belakangnya itu tiba-tiba terhenti.
Sebuah ide brilliant muncul di otak encer pemuda ini membuatnya lanjut berkata, "jika tidak… saya akan mencium Anda."
Secara refleks gadis ini melepaskan tangan pemuda yang menutup matanya lalu berbalik menghadapnya. "Jangan menggodaku seperti itu, Toushirou!" kata nona bermata Iris ini dengan titik-titik merah di wajahnya. Meski tinggal menghitung hari mereka mengikat janji sehidup semati, gadis ini masih malu jika digoda seperti itu.
Toushirou mengetahuinya dengan pasti, karenanyalah ia senang melakukannya. Dengan perilaku seakan tak bersalah, Toushirou malah berpaling ke arah lain, menyembunyikan wajah yang juga merona sembari berusaha keras menahan tawanya.
Dahi Rukia berkerut. "Kau belajar dari mana permainan bodoh tadi? Dari si Tuan Nanas Merah?"
Toushirou melayangkan pandangan kembali pada Rukia. "Apa kau sudah lama menunggu, Rukia?" tanyanya, malah mengalihkan pembicaraan.
Rukia menggeleng pelan. "Aku baru sampai beberapa menit yang lalu," jawab Rukia sedikit ketus karena masih kesal dengan godaan tadi.
"Oh!" ucap Toushirou ringan. Ia menatap intens gadis berbola mata berwarna iris di hadapannya ini. Alhasil, kekesalan Rukia perlahan meleleh dan ia pun mulai rikuh. Rukia ingin kembali angkat bicara, tapi tindakan calon suaminya yang berikutnya membuatnya urung.
Toushirou memberi Rukia pelukan erat. Meski hampir bertemu tiap hari karena kesibukan mengurus pernikahan mereka, tapi entah kenapa tidak melihat wajah manis si gadis pujaan dalam beberapa jam saja membuatnya rindu tak tertahankan.
Rukia dengan senang hati membalas dekapan hangat Toushirou. Ia membenamkan kepala di pundak laki-laki yang sekitar beberapa sentimeter saja lebih tinggi darinya. Ia merasa masih bermimpi mendapatkan pria hebat ini bahkan bermimpi seperti itu pun belum pernah. Ia hanyalah seorang gadis dengan bertumpuk kekurangan di dirinya yang tidak suka bermimpi terlalu tinggi.
Kisah mereka berawal saat musim dingin empat tahun yang lalu. Pertemuan Toushirou dan Rukia menjungkirbalikkan arus hidup mereka. Dua insan ini bertemu dengan cara tak normal bahkan jatuh cinta dengan cara tak biasa, khususnya Toushirou. Bagi kebanyakan orang, jatuh cinta dengan lawan jenis, harus melihat wajah pasangan terlebih dahulu lalu perasaan kasih akan muncul. Tapi untuk si Pangeran White, ia belum melihat wajah si Putri Violet, tapi jatuh cinta sudah memburu hatinya. Seperti memutarbalikkan Hukum Cinta saja.
.
.
.
Musim Dingin Empat Tahun yang Lalu
Hari Pertama (06 Januari)
"HOAAA…" Momo menguap besar tanpa malu di tengah ramainya pengunjung di sebuah restoran sederhana di Karakura.
"Momo…" bisik Rukia.
Momo mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Hampir seluruh pengunjung memasang mata terhadapnya. Menyadari ketidaksopanannya, ia menunduk seraya meminta maaf.
Rukia mendesah pelan. "Dasar!"
Momo meruncingkan bibir. "Habis! Tiga hari ini,berturut-turut tidurku hanya dua jam." Lalu ia menidurkan kepalanya di atas meja. "Para dosen itu benar-benar ingin membunuh kita, ya," gerutunya.
Hampir setiap tahun sahabat Rukia ini, Momo Hinamori, mengeluh habis-habisan tentang Ujian Akhir Semester.
Mereka adalah mahasiswi semester lima, Universitas Karakura—universitas kecil di kota kecil pula. Hanya orang yang memiliki gangguan ekonomi atau hasil buruk nilai kelulusan sekolah menengah yang mengharuskan mereka melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi ini. Jangan berani membandingkannya dengan universitas-universitas besar seperti Universitas Kyoto, Waseda, Keio, Meiji apalagi Universitas Tokyo.
"Oh, iya!" seru Momo. "Aku ingin pinjam catatan mata kuliah Ekonomi Lanjutan-mu, Rukia. Catatanku tidak lengkap. Aku tidak ingin lagi mendapat 'hadiah' dari Pak Aizen seperti tahun lalu."
Momo ini punya hobi buruk, malas mencatat di kelas. Untungnya, ia punya teman rajin yang bisa diandalkan seperti Rukia. Bersahabat dengan Momo sejak Sekolah Menengah Atas, Rukia sudah menghapal luar kepala kebiasaan dan keburukan Momo. Momo sendiri pun begitu.
"Tunggu sebentar!"
Rukia menggeledah tas coklat lusuhnya. Karena begitu banyak buku dan barang-barang yang berdesakan dalam tas kecilnya, Rukia harus mengeluarkan sebagian barangnya terlebih dahulu. Dompet, novel, dan dua buku wajib perkuliahan, ia letakkan di kursi sampingnya yang kosong. Belum menemukan yang dicarinya, ia mengeluarkan lagi isinya, yaitu map besar yang kucel. Karena bangku kosong di sebelahnya sudah penuh oleh barang-barang tadi, map itu ia letakkan di bawah meja.
Masih sibuk mencarinya, mendadak handphone Momo berdering.
"Iya?" kata Momo. Ia diam sejenak, menunggu sang lawan bicara di telepon selesai berucap. "Aku menyimpannya di bawah pot bunga kok. Aku serius," lanjutnya meninggi.
Rukia hanya meliriknya sekilas. Ia tahu siapa yang menghubungi Momo. Sudah menjadi kebiasaan hampir setiap hari Kak Kiyone (kakak perempuan Momo yang galak) menelepon adiknya menanyakan kunci apartemen mereka. Rukia sendiri heran, mengapa tidak membuat duplikatnya saja supaya tidak susah. Tapi, si sahabatnya itu selalu mengatakan 'malas'.
"Ah, dapat!" pekik Rukia spontan seakan harta karun yang ia cari hampir ratusan tahun baru ia temukan sekarang.
Kesenangannya sirna saat Momo langsung mencekal tangannya kasar hingga ia hampir terjatuh dari kursi.
"Ayo cepat pergi! Si Nenek Sihir Pirang mengamuk. Dia mengancam mogok membayar biaya kuliahku kalau aku tidak tiba di sana dalam waktu sepuluh menit," ucap Momo hampir tanpa jeda.
"Memangnya Kak Kiyone tidak menemukan kuncinya?"
Momo menggeleng keras. "Mungkin kuncinya dibawa oleh kucing terbang."
Rukia melongo hebat. Di saat genting seperti ini, hobi Momo dengan gurauan gilanya akan sontak terucap.
"Kak Kiyone tidak akan tega melihatmu berhenti kuliah," Rukia berupaya menenangkan.
"Kau tidak kenal si Nenek Sihir, sih," Momo menimpali. "Ahh… sudahlah… nanti aku jelaskan di bus saja."
Buru-buru Rukia membereskan barang-barangnya yang tercecer di atas kursi: novel, dompet, dan buku perkuliahan. Momo pun membantunya.
"Maaf," seorang pelayan menyela kegiatan mereka. "Anda ingin pe—"
"Maaf, ya," potong Momo cepat. "Kami tidak jadi memesan Nona"—Momo membaca nametag pelayan berkepang itu—"Kurotsuchi."
"Tapi aku lapar, Momo," kata Rukia setelah membereskan semuanya.
"Aku juga lapar Rukia, tapi masa depan kuliahku lebih penting sekarang," tandas Momo.
Belum sempat Rukia berkomentar lanjut, dengan cepat Momo menarik tangannya. Tergesa-gesa mereka pergi dari restoran itu, berlari mengejar tenggat waktu yang diberikan oleh orang yang dipanggil Momo, 'Nenek Sihir Pirang'.
Si pelayan Kurotsuchi terbengong-bengong sesaat melihat tingkah mereka. Kemudian ia kembali melanjutkan tugasnya, melayani pengunjung lainnya yang sedang menunggu. Saat ia bergeser melangkah dari meja bekas Rukia dan Momo, terlihat sesuatu yang asing di bawah meja.
.
.
.
Angin berhembus pelan membuat Renji sontak berseru, "Huah… dingin!"
Toushirou yang berjarak beberapa langkah di depannya mendengus kesal. "Bulan ini masih musim dingin, Abarai. Berhentilah mengeluh!"
"Yah… mau bagaimana lagi, aku tidak memakai jaket tebal sepertimu, Toushirou," keluh Renji. Ia berjalan cepat berupaya mensejajari sahabatnya itu. "Oh, iya. Hadiah apa yang kau dapat di ulangtahunmu kemarin?"
Toushirou menegang sesaat, Renji menanyakan topik yang sensitif buatnya.
"Bukankah ayah dan ibumu datang?" lanjut Renji. "Tidak biasanya mereka—"
"Mereka tidak ingat."
"Eh?"
"Mereka lupa hari ulangtahunku," kata Toushirou dengan wajah yang menggelap. "Yang mereka tanyakan hanya tentang nilai semester kemarin."
Renji merasa ingin menjedukkan kepala ke tembok, menyesal atas pertanyaannya. Pantas saja keluarganya selama ini selalu menganggapnya 'Pria Berotak Angin', ia lambat peka. Padahal, ia sudah tahu kalau sahabatnya sejak SMP ini terakhir kali mendapat hadiah dari kedua orang tuanya saat ulang tahun ke-15—sebuah jaket, dan jaket itu masih terpasang di tubuh pemuda ber-IQ 180 itu. Tubuh yang tidak berkembang pesat sejak SMA menyebabkan jaket lusuh itu masih pas di badan Toushirou.
"Maaf," ujar Renji sesal.
"Sudahlah! Tidak perlu memikirkannya."
Tatapan Toushirou dari jalan teralihkan pada pemandangan seorang anak dengan kisaran umur lima tahun memegang tangan kedua orang tuanya, berdiri di depan sebuah toko mainan. Dengan tawa menyertai di selingan ucapan mereka, Toushirou merasakan kehangatan keakraban sebuah keluarga yang selama ini dirindukannya. Sejak kesibukan yang menggerogoti ayah dan ibunya, Toushirou hampir lupa kapan mereka tertawa bersama. Saat ia masih duduk di Sekolah Dasar, mungkin.
Suara gelegar drum dari perut Renji menarik kembali Toushirou dari lamunannya.
Wajah Renji memanas. Ia hanya mampu berseringai malu. "Sebelum aku jadi salah satu korban busung lapar, sebaiknya kita cepat jalan, Toushirou."
Oke! Untuk soal makanan, si tuan berjulukan 'Babun' dari teman-teman kuliahnya ini selalu jadi nomor satu.
Renji berderap cepat mendahului Toushirou, tepat saat ia berbelok, terjadi sebuah insiden kecil. Ia ditubruk seorang gadis berambut coklat menyebabkan tubuh jangkungnya terjengkang karena kecepatan tak disangka-sangka dari si pelaku.
"Maaf!" seru perempuan itu. Ia tidak berhenti untuk membantu korban tabraknya, setidaknya berdiri. Ia malah terus berlari.
"Hei! Punya mata tidak?" teriak Renji berang.
Lalu seorang perempuan berambut hitam dengan tinggi badan yang hampir sama dengan si pelaku, membungkuk sejenak kepada mereka. "Tolong maafkan teman saya!" ucapnya pendek kemudian lanjut berlari mengejar temannya yang di depan.
Dengan wajah merah karena geram, Renji bangkit. Ia membersihkan debu di celana panjang hitamnya. "Dasar," gerutunya. "Perempuan jaman sekarang tidak punya sopan santun. Pantas saja nenekku bilang aku harus semakin jeli memilih perempuan sebagai pendamping."
Toushirou memilih diam, mengabaikan gerutuan Renji. Ia tahu kalau Renji sudah berbicara tentang neneknya, ia akan berceramah tentang petuah jodoh dari A sampai Z hingga berjam-jam.
Berjalan beberapa puluh meter, mereka akhirnya tiba di restoran yang dikatakan Renji super murah tapi makanan enak dan terjamin sehat. Yah, sebenarnya untuk si Babun, semua makanan dihidangkan itu enak apalagi kalau gratis.
Setelah memesan makanan, mereka berdiskusi ringan tentang hal-hal yang tidak jauh-jauh dari kata ujian di meja pojok restoran.
"Kau yakin, Abarai?"
"Ini balasanku karena telah menemaniku ke sini menjenguk nenekku. Padahal, besok kita masih ujian," jelas Renji, setelah Toushiro memasang tampang tanda tanya besar karena Renji tiba-tiba menawarkan traktiran.
Bukan apa, selain dikenal sebagai si Babun, Renji juga punya julukan si Super Hemat alias si Pelit. Butuh sebuah keajaiban Renji menawarkan hal seperti ini. Toushirou paham hal itu, sebab ekonomi keluarga Renji tidak sebaik keluarganya. Dengan mengandalkan beasiswa dan otak encer Babunnya, Renji mampu bertahan di universitas yang sama dengannya, Universitas Tokyo.
Pantas saja, makanan dipesannya tadi cukup murah, ucap batin Toushirou.
"Terserah kau saja, Abarai!" Toushiro menyandarkan seluruh tubuhnya, meluruskan sedikit kedua kakinya. Alisnya sontak berkerut dalam. Ia membungkukkan tubuh, menengok ke bawah meja. Renji menatapnya heran.
"Apa itu?" tanya Renji saat Toushiro mengeluarkan map besar kucel dari kolong meja.
Toushirou hanya mengangkat bahu. Ia membuka map itu. Lembaran-lembaran berjumlah sekitar hampir 4000 halaman menyapanya. Itu bukan lembaran kosong. Beribu kalimat seperti untaian cerita atau kisah tertulis di sana. Ia sedikit tersentak saat pelayan menyajikan makanan yang dipesan mereka.
Pelayan berponi rata belum selesai menghidangkan makanan di meja, air liur Renji sudah mulai menetes. Kasihan sekali, ia sudah kelaparan sedari tadi. Sementara itu, Toushiro masih memusatkan perhatiannya pada lembaran kertas di map yang baru dipungutnya.
"Tidak anak nama pemiliknya," lirih Toushirou.
Dalam waktu kurang dari sepuluh menit, piring Renji sudah bersih tak bersisa sedangkan makanan Toushirou masih utuh, belum tersentuh karena si pemilik masih berkutat dengan isi map temuannya.
"Oi, Toushirou?"
"Umm…"
"Jangan menyisakan makanan seperti itu. Kata nenekku, orang yang tidak menghabiskan makanannya akan di hukum oleh Dewa."
"Itu hanya petuah untuk menakuti anak-anak, Bodoh," ujar Toushirou tanpa menatap Renji. "Jika kaumau, kauambil saja."
Sebenarnya inilah yang ditunggu-tunggu Renji dari tadi. Matanya berbinar-binar cerah. Dengan satu kali gerakan tangan, makanan Toushirou diambilnya, dan dicomot langsung ke mulutnya yang besar.
Sekarang baru diketahui alasan kenapa Toushirou tidak tumbuh tinggi, soalnya makanannya selalu menjadi santapan kedua si Babun.
Menepuk-nepuk perut kenyang, Renji melirik Toushirou yang masih belum mengubah kegiatannya dengan si map.
"Apa sih isi map itu?"
"Ribuan lembar kertas. Isinya seperti cerita, tapi tertulis tanggal, bulan, tahun bahkan harinya, seperti buku harian." Toushiro meletakkan di atas meja agar Renji bisa melihatnya.
"Mana mungkin ini buku harian? Ini sih lebih mirip skripsi."
Toushirou pun beropini yang sama, tapi menurutnya itu bukan poin pentingnya. Yang menarik perhatiannya sedari awal adalah kisah di lembaran-lembaran ini.
Selesai membayar makanan yang harganya tidak lebih dari 500 yen, Toushirou memertanyakan tentang benda itu kepada pelayan ber-nametag Kurotsuchi. Karena ia punya perasaan kalau benda yang mirip makalah tebal ini adalah benda berharga si empunya.
"Oh, mungkin itu milik dua nona yang baru pergi sebelum Anda berdua datang."
Merasa enggan untuk menitipkannya pada pelayan ini, Toushirou memberikan kartu nama jika pemiliknya datang untuk mengambilnya.
.
.
.
"Hei! Tenanglah, Rukia!"
"Bagaimana aku bisa tenang? Harta karunku tertinggal, Momo."
Ini semua gara-gara benda berharga Rukia yang tertinggal, mereka harus kembali berlomba dengan waktu. Perut keroncongan pun dinomorduakan. Lima belas menit di apartemen Momo hanya dihabiskan mencari kunci apartemen si Hinamori bersaudara yang ternyata memang dibawa oleh 'kucing terbang' alias Momo sendiri yang secara tak sadar menyimpan kunci itu di saku tasnya. Seperti orang kesemutan atau tidak tahan ingin ke toilet, Rukia duduk begitu gelisah di kursi paling depan. Dia dan Momo berada di bus sekarang—bus yang akan membawanya ke tempat dengan asumsi terkuat kalau benda berharganya ada di sana.
Tepat saat bus berhenti di halte, dan dibarengi pintu bus yang terbuka, Rukia dengan tidak kalemnya langsung berlari keluar, Momo pun mengekorinya di belakang.
Untungnya, Rukia masih punya sopan santun meski di saat krisis seperti ini, ia masih sempat berucap maaf saat tak sengaja menabrak pemuda berpostur mungil sepertinya di trotoar jalan. Karena desakan situasi, ia tak memerhatikan jelas paras laki-laki itu, warna rambut walau sebenarnya Rukia tak yakin karena hanya beberapa helai yang tersembul keluar dari tudung jaket yang dikenakannya, putih?
Dengan napas tersengal-sengal dan wajah memerah panas berpeluh keringat, Rukia masuk ke restoran dengan tidak manisnya. Reflektif langkahnya bergerak cepat ke pojok restoran. Tanpa ragu, ia berjongkok mengamati detail kolong meja itu.
Di mana? Kenapa tidak ada?
Seorang pelayan dengan tubuh jangkung mendekati Rukia sembari membungkuk. "Apa ada yang bisa saya bantu, Nona?"
"Maaf. Kami melupakan map penting tadi waktu kami datang ke sini," Momo menggantikan Rukia menjelaskan masalah mereka. Ia tahu saat seperti ini, Rukia susah diajak bekerja sama.
"Tepatnya, Anda lupa di mana?"
Momo menjawab dengan menunjuk kolong meja. "Belum sampai 45 menit kok kami meninggalkan restoran ini, tapi..." suara Momo menghilang. Ia menatap sendu sahabatnya yang masih berjongkok muram, mengamati lorong bawah meja itu.
"Siapa pelayan yang melayani Anda waktu itu? Mungkin saja dia yang menyimpannya."
Momo meletakkan dua jarinya di dahi, memaksa membuka bongkahan memorinya. Padahal, belum sampai sejam, tapi hobi pelupanya tidak memilih waktu.
Mendadak mata Momo membesar diiringi senyum lebar. Ini pertanda bagus.
Dengan menjentikkan jari tengah dan jempolnya hingga berbunyi 'klek', Momo dengan kerennya berseru, "Aku ingat!" Beruntunglah kerja memorinya cukup bagus hari ini. "Namanya itu… Kurotsuchi."
"Oh, Kurotsuchi-san…." ucap suara lemah pelayan ber-nametag Kotetsu ini.
Mendengar nada suaranya, Momo mendapat firasat buruk kalau ini tidak akan mudah.
"Sayang sekali. Kurotsuchi-san baru saja pergi kurang lebih lima menit yang lalu. Dia buru-buru karena mendapat panggilan telepon kalau penyakit ayahnya kambuh."
Firasat buruk Momo terkabul.
"Boleh kami meminta nomor teleponnya?" Rukia menyela pembicaraan mereka.
Kotetsu tampak sangsi. Tapi dengan beberapa kali desakan dan wajah super memelas Rukia plus Momo, keraguannya menguap juga di udara.
Meski tidak berhasil mendapatkan yang mereka cari, setidaknya duo sahabat ini keluar dari restoran tidak dengan tangan hampa. Secarik kertas berisi informasi sudah tersimpan aman di tangan mereka. Sisanya usaha sendiri.
"Bagaimana? Apa sudah tersam—"
Momo menghentikan perkataan Rukia dengan satu lambaian tangan.
Rukia menunduk, mencengkram rok hitamnya. Pandangannya beralih keluar jendela bus. Malam sudah menyapa.
"Sial!" umpat Momo.
Rukia memandang wajah geram Momo dari jendela. Sejak keluar dari restoran hingga di atas bus sekarang, hampir lima puluh kali Momo menghubungi pelayan Kurotsuchi. Tapi hasilnya nihil. Sama sekali tidak aktif. Ketika menghubungi pelayan Kotetsu untuk memastikan nomor ini benar atau tidak, dengan kekeh, Kotetsu berucap kalau itu bukan nomor yang salah.
Rukia menatap lembaran kertas yang diberikan pelayan jangkung itu, sebenarnya bukan hanya nomor handphone yang tertulis di sana tapi sebuah alamat juga. Tepatnya alamat rumah sakit tempat ayah dari pelayan Kurotsuchi dirawat.
"Momo?" panggil Rukia hati-hati.
Tidak melepas kegiatannya dengan si handphone, Momo hanya menggubris, "Hn."
"Bagaimana kalau kita ke Tokyo saja?"
.
.
.
Hari Kedua (07 Januari)
Renji mengamati dengan detail seluruh penghuni kelas di pagi ini. Wajah tegang mendominasi mereka. Tinggal menghitung menit, ujian akan segera dimulai. Ketika pandangannya tertumbuk pada Toushirou—yang duduk di sampingnya—ia melihat kalau si pemuda super jenius itu malah sibuk membaca skripsi—ralat—ribuan lembaran yang ditemukannya kemarin. Renji berusaha mengintip, sontak ia memegang dahi lalu berseru, "Wow! Kau sudah membaca sebanyak itu, Toushirou?" Makalah setebal skripsi baru ditemukan kemarin tapi hampir setengahnya sudah dibaca Toushirou.
Toushirou hanya mengerling sekilas. Ia merasa tak perlu menjawab pertanyaan Renji.
Renji sudah melihat sebagian isi lembaran itu kemarin, dan isinya seperti kisah seseorang, mungkin seperti novel. Ia menggeleng-geleng tidak percaya atas keantusiasan sahabatnya ini. Ia tahu Toushirou bukanlah pecinta novel atau cerpen atau kisah apapun. Kau lihat saja di kamarnya, yang ada hanya deretan buku tebal yang isinya tentang masalah hukum dalam berbagai bahasa, tidak ada komik atau apapun yang bisa menghibur.
"Oi!" panggil Renji, berusaha mengalihkan perhatian Toushirou. "Sebentar sore, kita jadi menjenguk Kaien-senpai, kan?"
"Hn."
Cuma begitu jawabannya, gerutu Renji dalam hati. Ia menghela napas pendek. "Apa semenarik itu ceritanya?"
"Kalau pendapatku, ini lebih dari kata menarik," komentar Toushirou, tidak memandang sahabatnya yang ber-IQ 145.
Renji menaikkan alis kanannya tinggi. "Benarkah?" Ia mulai tertarik dengan percakapan ini. "Lalu siapa nama tokohnya?"
Toushirou memalingkan wajahnya ke arah Renji sembari tersenyum tipis. "Rukia. Namanya Rukia."
.
.
.
"Momo! Maaf, ya?" Rukia mengatupkan kedua telapak tangannya memohon pada Momo yang duduk di samping jendela kereta api Shinkansen.
Anjuran Rukia saat di bus untuk ke Tokyo mendapat tantangan keras dari Momo. Bukan apanya. Mereka masih di tengah-tengah ujian, Karakura ke Tokyo itu bukan dua kota yang berjarak beberapa kilometer atau bisa ditempuh hanya dalam beberapa menit, tapi harus ditempuh hampir 4 jam menggunakan kereta api. Tidak tahan atas rengekan Rukia, dan ia tahu bagaimana berharganya barang itu untuk sahabatnya, Momo akhirnya menyerah. Ia melepaskan ujian selanjutnya di pukul 2 siang nanti, ia rela ikutpengulangan di akhir bulan Januari.
Rukia sebenarnya bernasib sama. Cuma, pikiran tentang barang berharganya berada di urutan pertama. Benda itu seperti memoar seluruh hidupnya. Benda itu sekalipun tidak pernah jauh darinya sejak ia membuatnya di kelas 1 SMA, tepat ketika ia pertama kali bertemu Momo. Ia hampir tidak tidur semalam karena memikirkan buku hariannya.
Iya. Yang hilang itu adalah buku harian Rukia. Pemiliki tinggi badan 144 cm punya kebiasaan aneh, menulis kesehariannya di Ms. word lalu dicetak.
Momo beralih dari pemandangan di luar jendela kepada Rukia yang sudah memelas dengan tampang menggemaskan. Dengan senyum manis, Momo berucap, "Permintaan maaf diterima, Nona Rukia."
Kontan Rukia memberikan pelukan sayang. "Aku mencintaimu, Momo."
"Jangan bilang 'cinta', Bodoh!" Momo menjitak kepala Rukia. "Harus berapa kali aku memperingatkanmu. Nanti orang salah paham. Padahal, aku masih normal."
Rukia hanya bisa cengengesan. "Maaf. Maksudku, aku menyayangimu."
"Ya, ya, ya. Aku tahu itu kok, jadi tidak perlu diucapkan lagi." Momo menyandarkan seluruh tubuhnya sambil bersedekap. "Tapi yang menjadi masalah sekarang, aku baru tiga kali ke Tokyo dengan hari ini, Rukia. Terakhir kalinya waktu kelas 1 SMA bersama si Nenek Sihir. Aku takut kita tersesat setiba di sana," papar Momo pesimis.
"Tenang saja! Kita tinggal bertanya. Pasti ketemu alamatnya," timpal Rukia optimis.
Momo melengos. Ia tahu, ini pertama kalinya Rukia ke Tokyo, jadi Rukia tidak paham bagaimana susahnya menemukan alamat di kota metropolitan itu. Apalagi kalau bertemu orang yang tidak benar. Meskipun rumah sakit yang mereka tuju itu terkenal (Rumah Sakit Universitas Tokyo), tapi tetap saja rasa was-was menyelimutinya. Bagaimana kalau ternyata buku harian itu tidak ada di tangan pelayan Kurotsuchi? Begitu banyak pikiran negatif menyerang Momo. Tetapi rasa tidak tega terhadap Rukia yang hampir gelisah setiap detik jika tahu kalau buku diarinya tidak ada di tangannya memaksanya untuk tak terlalu menunjukkannya.
Empat jam berlalu. Mereka akhirnya tiba di Stasiun Tokyo. Suasana stasiun yang sangat ramai menyapa mereka. Jam berukuran besar di tempat itu menunjukan pukul 03.53 P.M.
Rukia memandang dengan bingung ke sekeliling. "Jadi, kita ke mana dulu?"
"Mana aku tahu?"
"Momo, jangan bercanda."
"Aku juga tidak tahu, Rukia. Aku bukan penduduk Tokyo."
Rukia dan Momo seperti manusia hutan yang tersesat di kota. Bagaimanapun, mereka sangat jarang ke kota besar. Mereka kelinglungan.
Tidak ingin terlihat seperti orang bodoh, Momo mulai bergerak. Ia mendekati seorang wanita berbadan tambun yang tak jauh berdiri di depan mereka menanyakan tentang alamat yang mereka tuju. Wanita itu memberitahu kalau tempat itu cukup jauh dari sini. Ia menyarankan kalau Momo dan Rukia sebaiknya menggunakan alat transportasi taksi dibanding bus. Karena harus kerepotan naik turun berkali-kali di halte jika menggunakan kendaraan beroda banyak itu.
"Jadi?" tanya Rukia.
Momo terlihat menimbang-nimbang. Sebenarnya ia tidak punya niat sama sekali untuk naik taksi. Taulah Tokyo, kota dengan segala hal super mahal. Ia tidak berencana pulang ke Karakura dengan berjalan kaki. Tapi melihat wajah malang sahabatnya, ia tak sanggup. "Kita coba saja dulu."
Di luar gedung Stasiun Kereta Api Tokyo, Rukia menatap malas Momo yang mengamati dengan saksama wajah-wajah sopir taksi. Ada hampir belasan taksi berderet rapi. Sementara itu, sopirnya melempar 'rayuan' pada calon penumpang yang baru keluar dari stasiun. Momo berpikir keras yang mana yang akan ia pilih, seolah memilih calon suami.
Rukia beranjak, dan berjalan ke seberang jalan menghampiri taksi yang terdiskriminasi. Ia mengetuk kaca pintunya. Sang sopir menurunkan setengah kaca. Sekarang Rukia paham mengapa si sopir tidak bergabung bersama teman sejawatnya.
Senyum mirip rubah langsung menyapa saat kau mulai melihatnya. Rukia ragu untuk bertanya tapi ia sudah kepalang tanggung karena telah mengusik si sopir. "Umm… dari sini ke Rumah Sakit Toudai, berapa ya?"
Si sopir rubah memberikan senyum semakin lebar membuat Rukia sedikit bergidik. "600 yen."
"Eh… benar—"
Ucapan Rukia terpotong oleh tarikan keras Momo. "Apa yang kaulakukan, Rukia?"
"Momo, kita naik taksi ini saja. Cuma 600 yen." Seingat Rukia tadi, ini adalah harga termurah setelah penawaran beberapa sopir yang sebagian besar biayanya 750 yen.
"Apa kau tidak memerhatikannya Rukia. Dia mengerikan." Momo melirik si sopir. "Aku yakin dia laki-laki hidung belang."
"Jangan lihat orang dari tampangnya," Rukia berkomentar. "Jadi, bagaimana?"
Momo memegang dahinya lesu, dan mengangguk sekenanya.
Sepanjang perjalanan, Momo selalu siap siaga jikalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Tapi hampir setengah jalan, semuanya terlihat aman-aman saja hingga taksi berhenti di lampu merah. Seorang perampok dengan masker yang menutupi mulut dan hidungnya, berbola mata biru, dan rambut pirangnya menutupi sebelah matanya—menyerang mereka.
Anehnya perampok itu langsung berjalan ke jendela penumpang, bukan ke arah sopir. Secara naluri, Rukia dan Momo terkejut dan ketakutan. Sang perampok meminta barang berharga mereka. Untungnya atas kejelian Rukia atau mungkin kebodohan minta ampun si perampok, ia menodong Rukia dan Momo dengan pisau terbalik—mata pisaunya di atas dan tumpulnya di bawah. Si perampok pun memegang dengan tangan gemetar. Perampok amatiran, pikir Rukia. Lalu sepasang kaus tangan wol yang dipakai si perampok berhasil membuat otaknya mengeluarkan ide jenius.
"Hei, Tuan perampok, apa kau tidak sayang ibumu?" tanya Rukia. Momo hanya melongo tak paham. Rukia pasti cari mati, ucapnya dalam hati. Mata perampok itu membulat. Rukia tidak menunggu jawabannya, "Kaus tangan yang kaupakai pasti buatan ibumu. Aku juga punya kaus tangan seperti itu. Kau pasti sering memakainya hingga lusuh tidak karuan. Itu sudah membuktikan kau sangat sayang pada ibumu."
Tuan perampok menunduk nelangsa sambil menurunkan pisaunya, "Aku hanya punya seorang kakak, dan… ibuku sudah lama meninggal dunia."
Rukia tersenyum hangat. "Biarpun ibumu sudah tidak ada. Pasti dia tidak ingin melihatmu seperti ini."
Perampok menanggapi perhatian Rukia dengan menangis bagai anak kecil menggunakan tangannya menutupi wajahnya. "Hiks… hiks… ini pertama kalinya ada yang peduli padaku."
Momo menggunakan kesempatan ini. Ia memberi isyarat pada si sopir untuk segera pergi, sebelum mereka muncul di koran besok sebagai korban perampokan. Ketika taksi sudah melaju, Rukia masih sempat berteriak kepada si perampok untuk sering-sering mengunjungi makam ibunya.
Pukul 05:47 PM, mereka tiba tepat di depan gedung Rumah Sakit Toudai.
"Apa Anda yakin?" tanya Rukia membungkukkan tubuhnya di depan taksi.
"Anda telah menolong saya dari perampok tadi, jadi bayarnya setengah saja."
"Terima kasih banyak."
"Saya yang seharusnya berterima kasih," ucap si sopir. Ia memberikan senyum lembut bukan seringai rubah seperti biasanya. Lalu taksi melesat pergi.
Rukia terpaku, baru kepikiran, mengapa si sopir tidak punya tanda pengenal? Dan yang lebih penting, kenapa kaus tangan si sopir rubah mirip dengan milik sang perampok?
"Jangan berdiri saja, Rukia! Ayo cepat!" tarik Momo cepat.
Mereka bergegas masuk ke rumah sakit. Bertanya di lobi tentang seseorang bermarga Kurotsuchi. Ternyata tidak sulit menemukannya. Mereka menunggu di depan lift bersama segerombolan orang. Tepat ketika pintu lift terbuka, serempak mereka berebutan masuk, berdesak-desakan. Ada sebagian segerombolan orang tadi yang harus mendengus kecewa, menunggu lift berikutnya. Contohnya saja, sepasang pemuda. Terdesak di posisi paling belakang, Momo hanya mampu melihat kalau salah satu pemuda itu berambut merah lalu rambutnya diikat dengan gaya nanas.
Setiba di lantai empat, duo sahabat tidak susah mencari kamar yang dituju. Mereka mengetuk pintu kamar itu, pintu berderit terbuka, dan berdirilah di hadapan mereka seorang perempuan yang sejak kemarin ingin ditemui. Gembira yang berlebihan membuat Rukia spontan memeluk perempuan itu.
"Kurotsuchi-san, akhirnya kita bertemu," ucap Rukia dengan mata sedikit berkaca-kaca.
"A… A…" Kurotsuchi kesusahan berucap karena tercekik.
"Rukia, lepaskan dia! Kau ingin membunuhnya," perintah Momo.
"Maaf."
Kurotsuchi menghembuskan napas panjang. "Kalian ini siapa?"
"Anda tidak ingat. Itu loh, kami yang kemarin pengunjung di restoranmu yang tak berhasil memesan makanan," jelas Momo.
"Oh, iya. Ada apa ya?"
"Kok, ada apa?" heran Rukia. "Di mana map-ku yang di kolong meja itu?"
"Hah?"
Nama pelayan itu Nemu Kurotsuchi yang baru beberapa menit lalu diketahui nama lengkapnya oleh Rukia dan Momo. Ia berjalan membawa dua minuman cola ke sofa yang diambilnya dari lemari di samping ranjang ayahnya yang tertidur lelap. Lalu menghidangkannya di hadapan dua tamu yang baru dikenalnya kemarin.
"Jadi…" kata Rukia saat Nemu duduk di hadapannya, "orang ini yang memegang map milikku?"
Nemu mengangguk. "Iya."
"Nama yang keren, pasti orangnya juga keren," Momo berkomentar ketika ia juga memperhatikan kartu nama di tangan Rukia.
Rukia memejamkan mata sejenak. "Kalau begitu kita ke Toudai."
Spontan Momo menyemburkan minuman cola yang sudah diteguknya. "Kau gila, Rukia! Ini sudah malam."
Rukia menoleh pada Momo. "Maksudku, bukan sekarang, tapi… besok."
"Jadi kita mau menginap di mana?" tanyanya seraya mengambil selembar tissue yang disodorkan Nemu. "Aku sudah tidak punya uang."
Rukia menggaruk kepalanya yang tidak gatal karena bingung juga.
"Kalian menginap di sini saja," tawar Nemu.
"Benarkah, Nemu-san?" kata Rukia.
"Iya. Aku juga merasa bertanggung jawab atas semuanya."
Rukia langsung menatap Momo meminta persetujuannya. Momo hanya menggangguk malas.
Rukia bangkit dari sofa. "Kalau begini, sudah diputuskan," ucapnya semangat. "Besok kita ke Universitas Tokyo mencari mahasiswa bernama Toushirou Hitsugaya."
.
.
.
TO BE CONTINUED
.
.
.
A/N : Awal rencana, fic ini saya mau buat OneShot saja. Ternyata kepanjangan lebih dari 30 halaman word, jadi dipisah deh. Ini cuma TwoShot kok, jadi ditunggu aja chapter terakhirnya. Nggak akan lama kok, hehe. Maaf bagi readers yang nunggu 2 fic saya*kayak ada yg nunggu aja*, dalam waktu dekat saya akan segera meng-updatenya. Salahkan teman saya yang teror-teror saya*dilempar ke laut* maksa buatin fic ini, hehe. Memang dari awal udah rencana buat HitsuRuki kok, tapi setelah 2 multichapter IchiRuki saya selesai.
Untuk My Best Friend, bagaimana? Kau sendiri yang bilang cerita terserah saya 'kan, haha. Padahal, udah diberi hadiah, tapi minta hadiah lagi.
Untuk Readers sekalian, saya sangat mengharapkan REVIEW-nya. Di koreksi cara penulisan, EYD, tata bahasa, atau apalah, saya akan dengan sangat senang hati menerimanya. hoho
SEE YOU AGAIN di chapter terakhir.
Ray Kousen7
29 April 2012
