Captain Tsubasa © Yoichi Takahashi

Romance, fluff, keju


Mereka bergeming. Tak banyak membuat gerakan. Cukup menikmati aroma yang memanjakan indera. Meresapi eksistensi sang pendamping pada saat-saat berharga. Saat spesial ketika mereka dapat menghabiskan waktu berdua. Waktu ketika mereka terlepas dari pekerjaan, hobi sekaligus impian yang menyita.

Berasal dari kota berbeda. Menuntut ilmu di tempat berbeda. Bekerja di tempat berbeda dan posisi yang berbeda. Hanya satu yang membuat mereka sama. Sepak bola. Mereka adalah rival pada masanya. Dua sekolah yang menjadi langganan babak final tiap turnamen. Persaingan dari kedua kapten berlangsung pelik. Didukung kemampuan yang mumpuni untuk membawa tim mereka menjadi juara. Terpilih sebagai anggota tim nasional membuat waktu pertemuan mereka bertambah. Tanpa sadar mereka telah bersama selama beberapa tahun.

Posisi di lapangan yang berbeda tak lantas membuat mereka bentrok. Hal tersebut justru mereka manfaatkan sebaik mungkin, terutama ketika mereka berlatih bersama. Mereka adalah rival sekaligus tim.

Pelukan dieratkan. Wajah semakin dalam merasuki ceruk leher, membuat yang bersurai cepak geli. Nada protesnya tidak digubris. Justru semakin gencar dengan aksinya menelusuri garis leher yang terekspos. Tangan terangkat, mengusap helaian pemuda yang merengkuhnya dari belakang. Pertanda dia menyerah dengan perlakuannya. Yang bersurai lebih panjang berhenti menjamah leher pasangannya. Beralih menumpukan kepala ke bahu. Pipi mereka menyatu.

Lampu ruang santai menyala terang. Semangkuk salad buah, camilan malam ini, terabaikan di lantai. Opsi bersantai di sofa sewarna abu ditolak, memilih duduk di lantai sembari menyandarkan punggung di tepi sofa. Tak lagi fokus dengan televisi yang menayangkan acara komedi. Air conditioner menghembuskan udara sejuk, melawan gerah udara musim panas.

Mata yang terpejam membuatnya tak menyadari pergerakan partner-nya. Satu tangan meraih mangkuk salad buah, mengambil sepotong buah langsung dengan tangan. Sedikit basah dengan citrus dressing yang melapisi, lengket karena kandungan gula.

"Hey, Kazuki..." meminta perhatian striker yang merasai otot-otot pectoral pemuda di depannya melalui ujung jari.

"Hmm," yang dipanggil membuka mata.

Netranya disambut dengan sejenis buah yang dijepit di antara telunjuk dan ibu jari. Mulut membuka sukarela, memberi akses pada apa yang disodorkan kepadanya. Kedua jari menerobos, memasukkan camilan yang dibawanya. Kedua belah bibir mengatup, menangkap benda yang menginvasi. Lidahnya mengecap manis dan asam yang menerpa. Sisa-sisa saus yang menempel di jari diusap, disesap hingga rasanya lenyap. Hangat lidah dan rongga pemuda yang disuap menjalar dari ujung jari hingga pipi. Puas disesap, yang berambut cepak mengeluarkan jarinya. Wajah dipalingkan, berusaha kembali fokus menonton acara televisi.

"Yuzo,"

Tak ingin keberadaannya tak diacuhkan, sang striker yang masih setia memeluk dari belakang menggenggam dagu sang kiper. Wajah ditolehkan ke arah kiri. Kedua pasang mata bertatapan. Dia terkesiap. Nada protes tak sempat dilontarkan karena bibir telah dibekap. Indera pengecap merangsek masuk karena akses yang tanpa sadar dibuat. Langit-langit diusap. Dia melenguh nikmat. Lidah diajak bergulat. Menyalurkan buah yang telah dilumat. Berbagi rasa yang sempat ditawarkan kepadanya. Jarak tercipta seiring dengan wajah yang saling menjauh, dijembatani saliva yang merentang antara keduanya.

Yuzo mengecap lumatan buah dalam mulutnya. Ditelan mulus ke dalam kerongkongan. Namun, rasanya masih tertinggal di papila.

Cherry.