Harry Potter © J.K. Rowling

Crazy for Harry

(My love is you)

"Harry Potter!"

"Ugghhh.." yeah, seperti biasa, tepat pukul 06.00 suara teriakan khas dan membahana itu mulai terdengar, terlalu nyaring di telinga hingga membuat pemuda yang masih asyik dalam mimpinya mengerang pelan di bawah selimut kusamnya. Perlahan kepala pemuda itu menyembul dari dalam selimut memperlihatkan surai dark brown yang berantakan. Si pemilik surai mulai mengucek mata untuk memperjelas penglihatannya. Mengambil kaca mata bundarnya kemudian memakai benda itu di wajahnya, menutupi kilau emerald yang begitu memukau.

"HARRY POTTERRRRR!"

Kembali teriakan yang sangat nyaring itu terdengar. Tak ingin mendapat teriakan yang ketiga kalinya, ia bergegas menuju sumber suara.

"Ya, paman?" dihadapannya kini telah berdiri pria tua bertubuh tambun yang ia panggil paman.

"Dasar pemalas! Cepat lakukan tugasmu!" sebuah kain bercorak kotak-kotak terlempar tepat mengenai wajahnya. Kain yang ternyata adalah serbet bekas itu ia singkirkan dari wajahnya, melipatnya dengan rapi kemudian meletakkan di sebuah meja tinggi tepat di sebelah telepon rumah berada.

"Baik paman," yah, kata-kata yang memang selalu ia ucapkan ketika hal seperti itu terjadi. Dengan mata yang masih mengantuk, ia melangkah menuju dapur, memakai celemek buluk berwarna coklat. Ia mulai meletakkan panci berisi air di atas kompor, membuka kulkas dan mengambil beberapa bahan untuk ia masak dan jadikan santapan untuk keluarga pamannya itu. Tangannya mulai lincah memotong beberapa wortel serta lobak, menyiapkan beberapa cangkir diatas nampan dan sebuah gelas berisi cairan cream kental manis. Tak lama, hanya memerlukan waktu 15 menit, semua telah siap diatas meja makan. Terhidang dengan apik, seperti biasa.

Setelah selesai dengan pekerjaan dapurnya, ia melenggang menuju kamar mandi, membasuh tubuhnya dengan air dingin dan sabun batangan hingga bersih. Memakai kemeja putih yang telah berganti warna menjadi kuning, dilapisi dengan sweater yang terlihat besar ketika ia gunakan. Tak lupa dengan celana kain berwarna abu-abu. Ia menyisir sedikit rambutnya yang berantakan. Setelah dirasa cukup rapi, ia memasukkan buku-buku yang berada diatas meja belajarnya ke dalam tas selempang bekas, dengan tambalan kain disana-sini.

"Paman aku berangkat," salam seperti biasa yang di ucapkan olehnya. Yang ditanggapi hanya dengan dengusan mencemooh dari keluarga pamannya yang tengah menikmati hasil olahan dapurnya.

Ia bergegas menuju pintu keluar, memakai sepatu hitam kusamnya dan memasukkan payung lipat ke dalam tas selempangnya, berjaga-jaga jika seandainya ada hujan yang turun.

Langkah kakinya tetap stabil, menelusuri tiap gang sempit yang menghubungkan rumah dengan sekolahnya. Jalan pintas menuju Hogwarts yang ia temukan satu setengah tahun yang lalu.

Dalam waktu 17 menit, ia telah sampai di gerbang sekolah. Seperti biasa, di tahun ketiganya, masih saja ia di pandangi layaknya kecoa yang harus disingkirkan. Dilihat dari penampilan, ia memang tak memiliki sense dalam hal itu, mungkin jika di sekolahnya ada pelajaran fashion ia pasti tak akan mendapat nilai sempurna. Untungnya ia sudah cukup kebal dengan pandangan-pandangan mencemooh dari siswa sekolah itu. Terserah apa yang mereka katakan ataupun pikirkan, yang pasti itu bukan urusannya. Tujuannya hanya belajar yang tekun, lulus dengan nilai terbaik, memiliki pekerjaan yang baik, dan keluar dari rumah paman Vernonnya—yah, hanya itu saja harapannya.

"Hey, Harry.." ia menolehkan kepalanya ke arah sumber suara. Hermione—gadis cantik yang menjadi sahabatnya sejak tahun pertama mereka di Hogwarts. Gadis itu melambai kearahnya, kemudian berlari menghampiri dirinya.

"Apa kau sudah mengerjakan tugas MID dari Prof. Snape?" Harry memutar bola matanya, jenuh ketika mendengar nama guru yang baginya paling killer seantero sekolah. Guru yang suka sekali memberinya beban lebih.

"Jangan tanyakan itu Mione, aku sudah berusaha," ia menggedikkan bahunya, Hermione menatapnya sedikit prihatin.

"Kau bisa minta bantuanku Harry," ia tersenyum senang mendapat penawaran dari gadis cantik itu.

"Kau sangat membantu kalau begitu," mereka terkikik pelan, hingga sebuah suara baritone menginterupsi mereka.

"Lihat, lihat, siapa yang ini~" Draco Malfoy—sosok yang ia benci yang ia patenkan sebagai musuhnya. Pemuda sombong dan angkuh itu tak pernah tak mengusili atau mencari gara-gara dengan dirinya. Muak, kata itu mungkin sudah tak bisa lagi mewakili ungkapan perasaannya saat ini.

"Ayo, Harry jangan pedulikan dia," Hermione menarik lengan kurus miliknya. Membawanya pergi dari hadapan pemuda bersurai pirang itu.

"Oh, tidak secepat itu nona mudblood,"

BRUK!

Tak ada yang tahu kapan reaksi tiba-tiba itu terjadi. Draco Malfoy kini terduduk di lantai dengan tidak elitnya. Beberapa siswa yang lewat di tempat kejadian tercengan melihat satu-satunya keturunan bangsawan dari keluarga Malfoy jatuh dengan tidak elit. Hanya sebuah doRongan dari pemuda berkacamata, sukses membuat Draco Malfoy menjadi tontonan.

Grrrr….

Malfoy kini telah menggeram marah. Tak terima dengan apa yang dilakukan oleh si rambut- berantakan-Harry Potter.

Tanpa aba-aba ia berdiri dengan cepat, menarik—menyeret lebih tepatnya— si kacamata dengan cepat. Hermione berteriak berusaha menghentikan tindakan Malfoy, namun sayang kecepatan langkah kaki bangsawan muda itu terlalu cepat bagi gadis cantik itu untuk mengejar dan menghentikannya.

"Ada apa Mione?" Ronnald Weasley—satu lagi sahabat Harry yang setia menemaninya selain gadis cantik itu. Ia berlari tergesa menghampiri si cantik yang berusaha menghentikan si bangsawan Malfoy menyeret Harry-nya.

"Ron! Kemana saja kau?! Cepat bantu Harry!" suruh Hermione begitu Ron berada di sebelahnya. Tanpa mengeluarkan pertanyaan lagi, setelah menatap tatapan tajam gadis itu yang menyuruhnya 'jangan-tanyakan-apapun!'.

"Eitss! Kau tak akan kubiarkan mengganggu kesenangan tuan kami, weasley!" dua pemuda tambun menghalangi langkah Ron. Ia mengeram kesal.

"Menyingkir dariku!" dua pemuda itu tetap tak mau menyingkir, mereka malah semakin mengeratkan penjagaan agar dua orang itu tak bisa melewatinya. Para siswa dan siswi lainnya menatap kegiatan 'jaga-tangkap' itu sebagai sesuatu hal yang menarik. Mereka ada yang terkikik geli melihat aksi keempat orang itu, hiburan di pagi hari sebelum memasuki ruang kelas dengan guru yang membosankan, itulah yang serempak mereka pikirkan.

Beralih dari keadaan empat orang itu, mari kita lihat kondisi Harry dan juga Draco.

Pemuda berkacamata itu masih tetap diseret oleh si bangsawan Malfoy. Melewati loRong-loRong kelas hingga berhenti di sebuah menara tinggi dan tua—menara astRonomi yang tak lagi dipakai.

BRUK!

Draco melempar pemuda berkacamata itu hingga membentur dinding.

"Aww!" pekiknya sakit ketika punggungnya merasakan sengatan ngilu akibat benturan keras dengan dinding.

"Nah, Potty~ bagaimana kalau ku beri kau sedikit hadiah karena berani mempermalukanku, hum?" Draco mendekatkan tubuhnya hingga menghimpit tubuh Harry yang notabene lebih pendek beberapa senti darinya.

Harry menatap tak suka dengan emeraldnya.

"Kau memang brengsek Malfoy!" ia tak memiliki satupun rasa takut untuk menghadapi si darah bangsawan itu. Ia tetap menatap tajam ke arah manik mata Draco.

"Hoo~ baiklah kurasa kau ingin bermain kasar rupanya, potty," Draco memberikan senyum yang entah seperti apa di mata Harry. Bukan senyum mengerikan seperti penjahat Voldemort yang tengah menanti hukuman matinya di penjara Azkaban karena kasus pembunuhan berantai. Bukan-bukan senyum seperti itu, melainkan senyum yang terasa sangat-sangat mencurigakan.

"Apa yang kau lakukan Malfoy!" Harry berteriak tepat dihadapan Draco ketika ia di putar balik secepat kilat menghadap dinding. Kedua tangannya tercekal kebelakang tubuhnya.

"Lihat~ apa kau takut Potty?" nafas Draco bisa ia rasakan di tengkuknya, terlalu dekat. Itu yang ia pikirkan saat ini.

"Menyingkir dariku Malfoy!" Harry berusaha melepas cekalan tangannya dari tangan Malfoy. Ia bahkan menginjak kaki si bangsawan Malfoy namun sepertinya usahanya gagal. Tangannya masih berada di belakang tubuhnya.

"Ugh!" rasa geli ia rasakan di tengkuknya. Terasa dingin dan basah. Ia tak dapat melihat apa yang tengah si Malfoy itu lakukan. Namun, sensasi yang ia rasakan sungguh sangat geli.

"Apa yang kau lakukan Malfoy?!" umpat Harry tak suka.

Bukannya menjawab, Draco malah menjilat tengkuk itu semakin keras, hingga menimbulkan warna kemerahan. Ia sangat menikmati dengan apa yang ia lakukan saat ini. Menyesap aroma khas dari seorang Harry potter, bahkan menjilat leher jenjang putih itu.

Harry semakin mengeliat di bawah himpitan tubuh Draco. Sungguh ia tak suka diperlakukan seperti ini. Ini lebih parah dari diceburkan kedalam danau hitam. Hell!

"Ughhh~" Harry tak bisa mengontrol suaranya. Lenguhan itu kembali terdengar, yang tentunya membuat Draco menyeringai senang.

Sebelah tangannya ia gunakan untuk membuka kancing celana Harry.

Merasa sesuatu merambat di celananya, ia semakin membeRontak dengan keras.

"Lepas!" teriaknya.

Tangan Draco dengan cepat melepas ikat pinggang serta kancing celana Harry. Menarik turun resletingnya dan menelusupkan tangan kekarnya kedalam bagian dalam celana dalam Harry.

Kedua emerald Harry membelalak, seumur-umur ia tak pernah diperlakukan sehina ini.

Tangan Draco yang telah berada dalam celana dalam Harry, mulai meraba 'kejantanan' si pemuda berkacamata. Kulit tangannya menyentuh benda hangat dalam bungkusan itu perlahan. Cukup mungil untuk ukuran laki-laki—itulah yang ia rasakan. Gerakan dalam bungkusan celana itu semakin cepat, tak lama kemudian tubuh Harry bergetar. Dan keluarlah cairan putih kental membasahi tangan Draco yang masih berada didalam celana dalam Harry.

TES…

Tangan Draco yang masih berada dalam merasakan air menyentuh kulit permukaan tangannya. Dengan pelan ia keluarkan tangan kekarnya dari 'kejantanan' Harry. Di baliknya tubuh yang sejak tadi terdiam. Dan betapa terkejutnya ia ketika mendapati emerald itu dipenuhi dengan air mata. Ia mundur perlahan. Melepaskan tangannya dari tubuh Harry yang kini merosot jatuh ke lantai.

Harry meringkuk memeluk tubuhnya. Ia tak menatap Draco, melainkan lantai di bawah tubuhnya.

"Errr…." Draco bingung akan mengucapkan apa. yang pasti ia tahu, tindakannya saat ini sudah cukup jauh.

"Aku membencimu sampai mati Malfoy!" bukan teriakan hanya sekedar nada datar yang penuh dengan dendam. Tanpa menatap bagaimana ekspresi Draco saat ini, Harry berdiri dan merapikan kekacauan yang terjadi padanya.

Tanpa kata apapun lagi, ia melenggang pergi. Meninggalkan Draco yang masih terpaku di tempatnya.

Meskipun membenci seseorang tapi tak seharusnya sampai pada tahap menginjak harga dirinya bukan?

TbC

Cat:

Hellow, saya bawa fic baru. Ini sebenarnya fic yang dari dulu mau saya publish tapi.. err… entah saya rasa hanya menunggu saat yang tepat, hehehehe…

Untuk saat ini, saya belum bisa melanjutkan fic-fic yang tertunda. Saya sudah mengetik beberapa bagian ceritanya namun, saya rasa masih kurang pas untuk saya update. Saya masih menunggu ilham dan feel yang pas untuk melanjutkkan fic itu.

Oh, ya, saya menghargai jika para pembaca mau meninggalkan reviewnya dalam kolom yang tersedia. Mungkin sebagai saran ataupun kritik bagi saya. Dan saya juga menghargai para pembaca yang memberikan like / follow terhadap karya karya saya, dan saya juga tidak akan mengucilkan kalian yang silent readers. Itu hak kalian, disini saya hanya menyalurkan kesenangan saya terhadap para pair di karya saya dalam bentuk tulisan. Jadi, saya akan menerima apapun yang para pembaca lakukan terhadap karya-karya saya.

Psstt~ ini pair yang lagi saya utamakan saat ini… jadi bagi yang suka sasunaru, saya minta maaf karena belum bisa mengutamakan pair itu untuk saat ini. feel saya mulai berkurang terhadap pasangan sasunaru, tapi tenang biasanya tak akan lama…. Hehheee~

Salam kata,

Ku-chan~