Ini adalah kisah tentang awal kami berjumpa. Layaknya kisah picisan lain, kisah kami penuh dengan drama tetekbengek merusak mata. Sebutlah aku pria paling tidak romantis di bumi ini. Namun, bila untuk kebahagiaannya, aku rela berubah.

Romantis dalam kamus besarku. Bukan romantis yang ada di dalam kamus orang lain, terutama kamusnya.


.

.

.

Shingeki no Kyojin (c) Isayama Hajime

When We Meet (c) Begundal Busuk

.

Riren | Rivaille x Eren | Modern AU | MxM | Drama Romance Humor | Rate T (sementara) | Omegaverse | Bad Language | maybe typo(s) | maybe OOC

.

.

Begundal Busuk present...

.

PROLOG : HIS EYES

.

.


Kisah ini dimulai dari sudut pandangku. Entah kalian suka atau tidak dengan gayaku bercerita. Aku tidak begitu peduli. Baca ulang saja jika otak kalian sulit untuk berpikir. Kumulai kisahku dengan fakta di dunia ini. Kami, aku dan orang-orang di dalam cerita ini, hidup dengan dua gender. Laki-laki dan perempuan adalah gender yang umum. Kalian pasti paham maksudku. Gender kedua kami adalah alpha, beta, dan omega.

Kujelaskan dengan singkat saja. Alpha adalah si penebar benih. Ia berada pada strata tertinggi di kehidupan. Pekerjaan dengan jabatan tinggi, kepopuleran, dan apapun yang diinginkan pasti dengan mudah tercapai. Alpha mampu membuahi wanita beta, wanita omega, dan laki-laki omega. Beta adalah si tengah-tengah. Kusebut seperti itu karena strata orang dengan genderbeta ada di tengah. Jabatannya biasa-biasa saja. Mereka hanya bisa menebar benih kepada wanita beta. Yang terakhir, omega adalah si penerima benih. Ia berada di strata paling bawah. Sering dianggap sebelah mata dan disebut sebagai 'lubang kawin'. Omega memiliki masa heat atau masa kawin. Mereka akan menebar feromon yang tajam untuk memikat alpha. Tujuan mereka hidup mungkin hanya untuk kawin dan beranak.

Hidup di dunia kami penuh dengan kesulitan. Aku mungkin tidak merasakan masa-masa itu. Hidupku terjamin. Aku adalah alpha. Jabatan pekerjaanku tinggi. Semua orang tahu siapa aku. Wanita atau pria omega akan memujaku. Terdengar sangat percaya diri, tapi memang begitu adanya.

Hidup sebagai alpha adalah yang terbaik. Lain halnya, bila kalian hidup sebagai omega. Jika lelaki, tidak hanya bisa beranak, tetapi juga rentan mengalami pelecehan dan penindasan. Satu hal yang harus kuberitahu. Hidup sebagai omega adalah kutukan dan rasanya seperti neraka. Kukutip dari dia yang mengalami kepahitan menjadi seorang omega laki-laki.

Kisah ini mungkin menjadi kisah tragis dan penuh drama. Kalian bisa bayangkan bagaimana jalan ceritanya mulai dari sekarang. Tetapi tenang saja, aku jamin akan berakhir bahagia.

Layaknya kisah pada umumnya, biarkan aku untuk mengenalkan diri. Aku Levi Ackerman. Pria berusia tiga puluh lebih yang sangat mapan. Menjabat sebagai seorang CEO di sebuah perusahaan yang dimiliki oleh Erwin Smith, selaku Presiden Direktur. Aku tinggal di apartemen mewah. Hidup sebagai garis keturunan alpha dari generasi ke generasi, membuat kekayaanku melimpah.

Ya, Ackerman adalah keluarga total alpha. Tidak ada beta atau omega yang terlahir di dalam garis keluarga besar kami.

Bicara mengenai keturunan, sudah beberapa bulan ini aku selalu diberi pertanyaan yang sama oleh ayahku yang brengsek, Kenny. Kapan menikah. Kapan punya orok. Kapan aku mati. Pertanyaan si tua itu hanya berputar pada tiga hal tersebut. Mungkin dia tidak tahan melihatku yang terus-terusan bekerja dan tidak kunjung mati. Takut ia pergi ke neraka duluan dan hartanya menjadi milikku.

Kalian berpikir bahwa hidupku sangat nyaman. Terlahir dari keluarga kaya dan terhormat, punya jabatan tinggi dalam pekerjaan, digilai siapa saja. Bila dilihat dari luar, mungkin aku terlihat seperti itu. Coba besok kalian intip lebih jelas bagaimana hidupku yang sebenarnya.

Ini hanyalah prolog dari kisah kami. Ingin kubeberkan saja semuanya secara singkat dari awal hingga akhir, agar aku tidak perlu repot bercerita. Tetapi, dia ingin semuanya diperjelas. Maka kuturuti permintaannya. Sudah kubilang, aku rela berubah hanya untuk dia. Lagipula, ini sudah hampir sampai pada akhir prolog.

Intinya, hidupku tidaklah bahagia. Terlalu luas maknanya. Sengaja kupilih kata itu agar otak kalian bekerja.

Sampai suatu hari, aku bertemu dengan dia.

Dia, yang mengubah seluruh hidupku.

Pertama kali aku bertemu dengannya di taman kota. Sore hari, aku terlalu lelah bekerja. Duduk di bangku taman ditemani rokok dan teh hitam adalah saat yang menyenangkan. Masih dengan pakaian kerja, aku duduk bertumpang kaki. Jas tersampir di sandaran bangku. Lengan kemeja kugulung hingga siku. Pun, dasi sudah kulonggarkan.

Hanya duduk seperti ini saja, aku sudah mendapat perhatian dari beberapa orang. Terutama wanita dan pria omega. Acuh dengan kehadiran mereka, aku hanya diam. Menghisap batang rokok yang terselip di antara bibir. Taman kota cukup ramai saat itu. Wilayahnya yang luas dan rimbun oleh tanaman hijau, membuat orang-orang merasa nyaman untuk sekadar duduk santai atau jalan-jalan.

Suara mengeong terdengar sayup-sayup. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Mencari sumber suara itu berasal. Sebuah kotak kardus teronggok beberapa meter di seberangku. Tergeletak di samping bak sampah. Kucing dibuang bukan hal yang baru. Rokok kuhisap dalam, merasakan nikotin memanja paru. Tidak beberapa lama, empat orang remaja tanggung berjalan melewati kardus. Mereka berhenti. Menemukan hal yang menarik perhatian.

Remaja tak dididik itu mengeluarkan kucing kecil yang kurus dan dekil. Membalikkan kardus sehingga kucing itu terjatuh. Tawa senang terdengar. Remaja-remaja tak lucu mulai menjahili. Ekor kecil diinjak, tubuh kurus ditendang. Ujung rokok yang menyala kugencet kuat di atas tutup bak sampah berbahan stenlistil. Mainan baru empat remaja itu nyaris mati. Aku berdiri. Meraih jasku yang tersampir.

Tawa senang masih terdengar. Jarakku sudah hampir dekat. Rahangku mengeras melihat kucing kecil itu tak berdaya. Belum sempat aku menegur mereka, sekelebat putih menerjang empat remaja. Bak banteng bertanduk dari Negeri Para Matador. Aku berhenti melangkah. Memilih untuk diam, berdiri dan mengamati apa yang akan terjadi.

Empat remaja yang tersungkur mulai berdiri. Memandang garang ke arah remaja banteng yang telah meletakkan kucing kecil ke dalam kardus dan menepikannya. Tak terima diseruduk hingga terjengkang, salah satu di antara remaja barbar itu merangsek maju. Menubruk si banteng jejadian dengan keras hingga tersungkur ke belakang. Belum puas, tiga remaja lain ikut bergabung. Tendang sana. Tendang sini. Pukul sana. Pukul sini. Remaja banteng tidak mengaduh sakit. Tubuhnya menggulung. Duplikat dari trenggiling. Melindungi kepala dengan kedua tangan.

Puas menganiaya banteng tak bertanduk, empat remaja kembali melanjutkan perjalanan pulang. Kucing kecil di kardus tak dianggap. Aku diam. Mengamati remaja banteng yang perlahan mulai bangun. Ia meringis. Mengusap punggungnya yang sering terkena tendangan. Tiba-tiba, ia tersentak lalu merangkak menuju kardus. Kucing kecil tak berdaya digendong dengan sangat perlahan. Tubuh kurus diperiksa dengan cermat.

Entah bisikan dari mana, aku berjalan mendekat. Penasaran dan... tertarik. Aku berdiri beberapa langkah di belakangnya. Remaja banteng itu sedang bergumam sendiri. Mengajak kucing kecil berbicara.

"Lukanya tidak begitu serius" adalah kalimat yang kuucapkan. Remaja itu terdiam. Ia berdiri. Kucing masih di dalam gendongan. Kepala bersurai brunette itu menunduk. Pundaknya sedikit bergetar. Aku membayangkan wajah basah remaja cengeng.

"Kenapa Anda diam saja?" tanya remaja itu dengan suara bergetar. Aku mengerutkan kening. Remaja ini menyalahkanku.

"Aku bermaksud menegur, tapi kau sudah menyeruduk mereka seperti banteng kebelet kawin."

Remaja itu mendecih. "Ya. Kalau aku tidak kesurupan banteng kebelet kawin, mungkin kucing ini akan mati."

"Jadi kau kesurupan arwah banteng? Jantan atau betina?" tanyaku. "Ah, biar kutebak. Karena kau menangis saat ini, pasti bantengnya betina."

Tubuh remaja yang lebih tinggi beberapa senti dariku itu bergetar. Wajah menjijikkan penuh air mata dan ingus ada di dalam kepalaku. Aku mendecih pelan. Lalu remaja itu berbalik. Raut ekspresinya penuh dengan amarah. Tidak ada air mata. Tidak ada ingus. Remaja itu murni sedang menahan marah.

"Tidakkah Anda punya rasa kasihan, Paman?"

"Paman?" aku membeo.

"Seharusnya, begitu Anda melihat tingkah tak berhati mereka, Anda langsung menegur," oceh remaja itu berapi-api. "Bukannya duduk diam dan merokok seperti orang tua!"

Rahangku mengeras. "Nak, kau tidak tahu apa yang kau katakan."

"Aku tahu! Aku tahu benar apa yang aku katakan, Paman."

"Tidak. Kau tidak tahu."

Remaja itu menyalak galak. Keningnya mengerut sangat dalam. "Aku tahu! Aku tahu bahwa mereka adalah golongan alpha tak punya hati! Seenaknya mengganggu yang lemah!"

Aku terdiam. Mulai paham kenapa bocah remaja ini sangat rewel. Empat remaja tadi mungkin saja teman satu sekolahnya.

"Kau marah karena mereka alpha dan mengganggu kucing ini? Atau iri?"

Kalimat itu keluar begitu saja. Aku menyesal sekarang. Tubuh remaja itu tidak lagi bergetar karena marah. Semua yang ia rasakan, tercermin secara sangar di wajahnya. Aku terdiam. Menatap dua bola mata yang sedang mendelik ke arahku. Memancarkan sesuatu. Amarah, iri, sakit hati, penyesalan. Semua menjadi satu.

"Ya. Aku bukan alpha. Aku omega!" ucap remaja itu penuh dengan tekanan. "Aku memang iri. Siapa yang tidak iri dengan alpha? Alasanku marah tidak hanya iri, tapi juga kesal dengan alpha yang sok merasa paling hebat!"

Aku tercenung. Manik hijau yang ditempa lembayung itu terlihat berapi-api. Aku merasa panas hanya dengan menatap. Seakan aku benar-benar sedang terbakar.

"Seandainya...," ucapnya dengan napas tak teratur. "Seandainya aku adalah alpha, aku tidak akan melakukan hal seperti itu. Aku tidak akan memandang rendah omega! Kenapa? Kenapa hidup ini dibedakan oleh strata? Bukankah kami dilahirkan di dunia ini dengan tujuan yang sama? Untuk hidup?"

Api yang kulihat perlahan padam. Remaja itu menunduk mengambil tas sekolah yang tergeletak di tanah. Tanpa pamit, ia pergi. Membawa kucing kecil yang tertidur. Meninggalkan aku yang terdiam di tempatku berdiri. Kobaran api di dalam mata bak batu opal itu terbayang di dalam kepala. Awalnya aku tidak tahu apa yang aku rasakan. Namun, kini, biar kukatakan satu hal pada kalian : Aku terjerat oleh kobaran itu.

.

.

.

.


Author Note :

Halo. Saya datang dengan judul baru. Omegaverse yang pertama. Sudah lama saya ingin menulis fic dengan tema seperti ini. Rating sementara adalah T. Saya tidak tahu apakah nantinya akan naik tingkat ke rating M atau tidak. Niat awal saya hanya ingin membuat fic ini rating T saja. Tanpa ena-ena dan desah-desah. Kita lihat saja nanti.

Omegaverse di fic saya hampir sama seperti di manga atau yang lain. Beta hanya bisa kawin dengan wanita beta. Feromon dari omega hanya berpengaruh pada alpha. Ide awalnya seperti ini. Mungkin ada hal yang sedikit berbeda nanti. Ditunggu saja ya.

Ini baru prolog saja sih. Chapter pertama akan hadir beberapa hari ke depan. Entah kapan, saya juga tidak tahu. Saya tunggu apresiasi kalian melalui voment. Oh iya, fict ini juga akan saya publish di FFn, tetapi telat beberapa hari (bahkan minggu). Saya akan prioritaskan publish dan update fict di akun Wattpad dulu. Baru itu yang bisa saya sampaikan. Penjelasan lebih lanjut akan disampaikan pada chapter yang akan datang.

Sekian salam dari saya. Sekali lagi, saya tunggu apresiasi dari kalian. Sampai jumpa di chapter berikutnya.

Salam,

Begundal Busuk.