Me: Hello, minna-san! Muki dateng lagi tapi dengan fict baru karena ada yang request.

Sakura: Yah, Muki-chan. Lanjutin 'Konoha Academy' dulu, napa?

Me: Abiznya ini 'Nee-chan' yang request dan kebetulan Muki belum ada ide buat kelanjutan Konoha Academynya. Mohon bersabar ya, jika sudah ada ide Muki pasti akan segera update 'Konoha Academy'.

Sakura: Oh, gitu. Tapi kok bisa, Nee-chan Muki request fict segala?

Me: Jadi gini ceritanya...

Flashback—

Nee-chan : Meiko-chan, lagi ngapain?

Me : Namaku Mayla, bukan Meiko!

Nee-chan: Lho, bukannya kamu pernah cerita, kalau kamu jadi author...kamu akan menggunakan penname 'Meiko' karena itu lebih mirip dengan namamu?

Me: Ga jadi! Aku lebih suka 'Sakurai Mitsumuki'...kawaaii ne!

Nee-chan: Heh? Bukanya itu nama Jepangku yang berdasarkan tanda lahir di like FB itu, ya?

Me: Hehe, boleh kan aku pakai abiz aku suka nama itu, toh Nee-chan kan udah punya penname sendiri.

Nee-chan: Wakatta! Kamu lebih suka dipanggil Muki-chan?

Me: Hmm, cute kan?

Nee-chan: Tapi sebagai gantinya aku request fict NaruHina, ya?

Me: Eh?

Nee-chan : Kamu tau kan kalau aku NaruHina Lovers. Bikinin ya, aku mau deh jadi beta readermu.

Me: Aku ga janji, Nee-chan... lagian aku masih punya beberapa fict yang belum selesai!

Nee-chan: Kan aku udah bilang, kalau aku akan menjadi beta readermu!

Me: Aku lagi ga ada ide bikin fict baru.

Nee-chan: Oh begitu. Kalau gitu inspirasinya dari Korean Drama 'Big' aja!

Me: Big? Okay, aku mau bikin tapi pairnya MenmaHina dan NaruSaku aja!

Nee-chan: Hah? Baiklah aku mengerti kecintaanmu terhadap NaruSaku toh Menma itu kan Naruto juga.

Me: Nee-chan emang yang paling baik deh tapi kenapa aku jadi merinding, ya.

Nee-chan: Maksudmu apa?

Me: Nee-chan kan demen banget sama cerita yang sedih-sedih... bisa-bisa fict ini jadi 'Angst'.

Nee-chan: Angst is my favorite, you know?

Me: #MakinMerinding. Nee-chan, Hurt/Comfort aja, ne? #melas

Nee-chan: #EvilSmirk. No! Angst and Hurt/Comfort.

Me: #pingsan

_Flashback End_

Sakura: Terus? Kau mau menurut saja Muki-chan?

Me: Ya, sekarang fictnya akan dimulai. Happy reading minna!

Disclaimer : All Character belong to Masashi Kishimoto

Story by me terinspirasi dari 'Kdrama Big'. Beta reader MySister.

Tittle : Soulmate

Genre : Supernatural, Angst, Family, Romance.

Rate : T

Pairing : NaruSaku, MenmaHina.

Warning : AU, OOC, gaje, abal, ancur, minim deskriptif, typo(s), dll.

.

.

Summarry: Sejak kecil ia sangat menyukai buku bergambar itu. Buku dongeng berjudul 'Miracle' karya Uzumaki Kushina. Hidup di panti asuhan miskin yang kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah membuatnya berharap akan adanya suatu keajaiban. Namun apakah 'keajaiban' itu benar-benar ada?

.

Chapter 1 : Miracle

.

.

Mungkin sesuatu yang sangat tidak masuk akal ini adalah bagian dari keajaiban yang ia harapkan. Keajaiban yang Kami-sama hadiahkan untuknya—Sakura Haruno—

oooOOSoulmateOOooo

.

.

.

Satu tahun yang lalu ia mendapati kedua orang tuanya tewas di tangan perampok. Hari itu ia baru saja pulang dari kegiatan study tour sekolah. Pintu gerbang dan pintu rumahnya tidak terkunci, tetapi anehnya tidak ada satu pun lampu yang menyala walaupun hari sudah malam. Rumahnya benar-benar gelap gulita. Saat ia masuk dan menyalakan saklar lampu. Ia mendapati kedua orang tuanya sudah tewas bersimbah darah dan barang-barang berharga di rumahnya menghilang, dengan reflek ia berteriak histeris. Saat itu ia sangat shock dan ketakutan, dan ia hampir gila saat matanya menangkap sosok seseorang berpakaian serba hitam sebelum akhirnya orang itu kabur melompati tembok gerbang. Ia tidak bisa mengenali wajah orang itu, karena orang itu menggunakan topeng yang membuat hanya kedua matanya saja yang terlihat. Ia yakin orang itu adalah salah satu dari mereka yang merampok rumahnya. Tidak mungkin orang itu hanya bekerja sendirian mengingat barang-barang berharga yang hilang sangatlah banyak.

Masih dalam suasana berkabung. Rumah kedua orang tuanya malah disita oleh polisi karena ternyata ayahnya mempunyai hutang pada Bank dalam jumlah besar. Ia benar-benar frustasi, selain kedua orang tuanya ia tidak punya sanak keluarga yang lain. Akhirnya ia pergi dari rumah itu dengan hanya membawa beberapa pakaian, ponsel miliknya, dan uang saku-nya yang tersisa. Ia tidak bisa menggunakan kartu ATM miliknya karena kartu-kartu itu telah diblokir oleh polisi. Awalnya ia masih bisa hidup dengan baik sampai akhirnya persediaan uangnya habis, termasuk uang dari hasil menjual smartphone miliknya.

Pada masa-masa itu ia telah berkali-kali mencari pekerjaan, namun kebanyakan dari mereka tidak menerima anak dibawah umur. Hingga akhirnya ia bertemu dengan Tenten dan Rock Lee. Saat itu kedua temannya itu tengah memarkerkan sebuah pertunjukan sirkus di tengah keramaian kota. Michigo dan Machiko adalah anjing shiberia milik Tenten yang sangat lucu. Kedua anjing itu berhasil menarik perhatian banyak orang. Tenten sangat pandai akrobatik, sedangkan Lee adalah pesulap jalanan yang handal. Meski tidak punya uang untuk membayar mereka, ia begitu kagum menonton pertunjukan tersebut. Setelah pertunjukan sirkus jalanan itu selesai, Lee dan Tenten membereskan barang-barang sekaligus penghasilan mereka saat itu. Saat keduanya hendak pergi, ia menghampiri mereka, mengajak berkenalan, dan memohon untuk menjadi bagian dari mereka.

Hari itu Tenten dan Lee saling pandang, sebelum akhirnya keduanya mengangguk. Saat ia bertanya apakah ia diterima atau tidak. Lee dan Tenten langsung bercerita kalau mereka tinggal di sebuah panti asuhan. Panti Asuhan itu sangat sederhana namun cukup luas untuk menampung belasan anak-anak sebatangkara seperti mereka. Namun Panti Asuhan Himawari tergolong panti asuhan yang miskin. Panti itu kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah, bahkan panti itu hanya dibantu oleh beberapa Donatur yang tidak terlalu kaya.

Setiap hari mereka semua memang diberi makan dua kali sehari. Makanannya pun bukan hanya roti tetapi juga buah-buahan, dan terkadang mereka makan nasi dengan sayur. Mereka memang tidak pernah makan daging, tetapi makanan-makanan itu adalah makanan bergizi jadi mereka sama sekali tidak keberatan. Hanya saja belakangan ini beberapa donatur yang sering menyumbangkan uang untuk mereka berhenti mengalirkan sebagian dananya untuk panti mereka entah karena apa. Itulah sebabnya Tenten, Lee, dan beberapa anak lain yang seumuran dengannya sampai rela melakukan berbagai macam pekerjaan untuk bisa membiayai kehidupan adik-adik mereka walau sebenarnya para pengasuh mereka tidak setuju dengan tindakan tersebut, karena anak-anak itu adalah tanggung jawab mereka.

.

.

Naruto mulai beraksi. Saat ini ia berada diluar supermarket. Beberapa orang sudah keluar dari supermarket dan berjalan menuju tempat tujuan mereka. Namun Naruto memutuskan bahwa ia hanya akan mencopet dari orang-orang kaya, makanya beberapa orang tadi ia biarkan begitu saja... sampai akhirnya seorang wanita cantik berambut merah panjang keluar dari supermarket tersebut menuju tempat parkir dengan kantong plastik besar di kedua tangannya dan tas selempang kecil terpasang dibahunya. Melihat penampilan wanita cantik itu, Naruto yakin sekali kalau wanita itu adalah orang kaya. Dia pun mulai mengendap-ngendap. Ia tidak pernah mencuri sebelumnya namun ini keadaan mendesak. Kalau bukan karena ada salah seorang adiknya yang sedang sakit, ia tidak akan pernah mau melakukan perbuatan kriminal seperti ini. Saat kesempatan datang, Naruto pun menarik tas wanita itu, namun tanpa diduga wanita cantik itu mencegah perbuatannya dengan gerakan cepat. Setelah meletakkan kedua kantong belanjaan didekat kakinya, Ia memelintir lengan Naruto sampai Naruto meringis kesakitan.

"Apa yang kau lakukan anak nakal?" teriak wanita cantik itu. Kemarahan tampak jelas di wajahnya.

Tidak jauh dari sana, Sakura memukul dahi lebarnya sendiri.

"Baka, kenapa dia bisa ketahuan? Bisa gawat kalau wanita itu membawanya ke kantor polisi...padahal saat ini Mina-chan sangat membutuhkan obat." ujarnya takut-takut.

"Lho, Menma? Kenapa kau memakai pakaian jelek begitu?" tanya wanita itu setelah ia melihat wajah anak berambut kuning dan bermata sapphire tersebut.

'Eh? Menma? Si-siapa Menma?' tanya Naruto kebingungan dalam hati.

"Astaga, apalagi itu? Kenapa kau mencorat-coret wajahmu sendiri? Dan sejak kapan kau memotong rambutmu menjadi lebih pendek? Bukankah kau bilang kau sangat menyukai style rambut seperti ayahmu itu?" lanjut wanita itu sambil menyentuh ketiga garis tipis di kedua pipi Naruto.

"...lho ini bukan make up. Kau pencuri! Kau bukan Menma-ku!"

"Baka...baka...baka, kenapa dia tidak segera lari?!" umpat Sakura.

"Nyonya, tolong lepaskan aku! Aku tidak bermaksud untuk mencuri. Aku harus memberi makan adik-adikku. Mereka belum makan selama 4 hari, tolong lepaskan aku nyonya!" bohong Naruto dengan wajah memelas.

"Memberi makan adik-adikmu? Memangnya kau punya berapa adik?"

"Aku punya 7 orang kakak dan 10 orang adik." jawab Naruto.

"Hah? Dasar pembohong! Masa iya kedua orang tuamu memiliki 18 orang anak? Ayo ikut aku ke kantor polisi!" ujar wanita itu sambil menyeret Naruto.

"Nyonya, kumohon lepaskan aku. Aku tidak punya orang tua, dan yang aku maksud dengan kakak-kakak dan adik-adikku itu, mereka bukan keluargaku yang sebenarnya. Kami semua anak jalanan nyonya... jika aku dipenjara siapa yang akan memberi mereka makan?"

Kini wanita cantik itu memandang Naruto iba.

'Rupanya begitu, tetapi apa anak ini bisa dipercaya?' pikir wanita itu.

'Baka! Sakura-chan, bantu aku dong!' kata Naruto dalam hati.

Saat wanita cantik itu masih sibuk berpikir. Sakura langsung berlari ke arah Naruto dengan air mata buaya yang berhasil ia buat.

"Nii-chan...hiikz...hiikz. Nyonya, tolong jangan bawa Onii-chan...hiikz...hiikz..."

"Dia kakakmu?"

"Ha'i, kami sangat kelaparan. Aku... akulah yang bersikeras agar Onii-chan mencuri. Tolong lepaskan dia, nyonya!" mohon Sakura sambil memeluk wanita itu sekaligus membersihkan ingusnya dengan baju wanita itu. Wanita itu sampai jijik melihatnya.

"Lepaskan aku! Aku juga akan melepaskan kakakmu!" kata wanita itu pula. Sakura menyeringai lalu melepaskan pelukkannya. Ia mencoba menahan tawanya untuk tidak meledak ketika melihat ekspresi wanita itu. Wanita itu kini sudah melepaskan lengan Naruto dan mengambil tisu dari tas selempangnya, lalu melap ingus Sakura dengan jijik.

"Kalian ini sepertinya seumuran dengan puteraku, berapa umur kalian?" tanya wanita itu pula.

"Dua belas tahun." jawab Naruto dan Sakura bersamaan.

"Rupanya memang seumuran dengan Menma, dan aku juga heran kenapa kau juga mirip sekali dengan Menma?" tanya wanita itu pada Naruto.

"Be-benarkah? Oh, mungkin hanya kebetulan nyonya. Orang bilang di dunia ini ada 7 orang yang mirip dengan kita. Err, terimakasih karena sudah melepaskan kami. Kami benar-benar minta maaf."

"Kalian masih ABG, jadi sebaiknya jangan mencuri. Ah, ini ada sedikit uang untuk kalian."

Wanita itu menyerahkan seluruh uang kembalian belanjaannya pada Sakura. Sakura membulatkan matanya tak percaya. Sepertinya uang ini ada lebih dari 20.000 Yen.

"I-ini apa tidak kebanyakan, nyonya?"

"Sudah kubilang kan itu hanya sedikit. Kalau kita bertemu lagi akan kuberikan kalian uang yang lebih banyak lagi." sambung wanita itu sambil tersenyum. Wajah Naruto langsung memerah melihat senyuman wanita itu.

"Terimakasih banyak!" teriak Sakura setelah wanita itu undur diri. Naruto masih menatap kepergian wanita cantik itu dengan bengong.

"Naruto, ada apa?"

"Aku merasa pernah melihat wanita itu sebelumnya tapi dimana, ya?"

"Di televisi kali, sudahlah ayo kita pulang!" ajak Sakura dan Naruto pun mengangguk.

.

.

.

Syukurlah berkat uang dari wanita itu, ia dan Sakura bisa membeli obat untuk Mina. Setelah selesai mandi dan makan malam, Naruto langsung pergi ke kamarnya. Ia masih kepikiran dengan wanita cantik yang ditemuinya tadi.

"Oii, Naruto! Apa yang sedang kau pikirkan?"

"Kiba, sebelumnya aku pernah bertemu dengan wanita cantik berambut merah panjang tidak?"

"Maksudmu orang itu? Mana mungkin kau bertemu dengannya! Kau sedang bermimpi, ya? Setahuku wanita cantik berambut merah panjang itu hanya pernah kau lihat di dalam buku dongeng milikmu. Itu lho, yang judulnya Miracle."

Naruto tersentak kaget. Benar juga. Wanita itu adalah penulis buku dongeng favoritnya, 'Miracle'. Dengan tergesa-gesa ia pun membuka laci lemari. Cover buku itu bergambar dua orang malaikat kecil. Salah satu dari malaikat itu tampak mencoba mengulurkan tangannya pada malaikat yang lainnya. Naruto membuka halaman terakhir buku itu. Pada halaman itu tertulis biodata singkat sang penulis, 'Kushina Uzumaki' dan foto wanita cantik berambut merah panjang dengan mata ungu keabu-abuan. Wanita itu tersenyum hangat. Setiap kali ia melihat potret itu entah kenapa Naruto selalu merasa tenang. Ia tersenyum. Ternyata wanita yang ia temui tadi adalah Kushina Uzumaki. Ia bertekad jika mereka bertemu lagi, ia akan meminta tanda tangannya.

"Sebenarnya buku dongeng bergambar itu menceritakan tentang apa?" tanya Shino yang juga merupakan penghuni kamar itu selain Kiba, Naruto, Lee, Sora, dan Leo.

"Dua orang malaikat kecil yang saling menyelamatkan satu sama lain. Cerita ini sangat mengharukan dan luar biasa. Nama kedua malaikat itu adalah 'Malvin dan Nerro'. Aku menyukainya karena inisial Nerro sama-sama 'N' sepertiku." cerita Naruto.

"Jadi kau menyukai tokoh Nerro?" tanya Sora ikut nimbrung.

"Mmm."

"Kenapa kau menyukainya? Padahal endingnya Nerro itu mati demi menyelematkan kakaknya, kan?"

"Dari mana kau tahu?"

"Aku kan pernah membacanya, baka!"

"Ah, benar juga."

"Kenapa yang kau suka bukan Malvin?" tanya Lee sambil membelai rambut Leo yang sudah terlelap tidur.

"Setidaknya Nerro bisa merasakan kebahagian sebelum ia meninggal. Semasa hidupnya dia selalu sendirian tetapi ia akhirnya bisa bertemu dengan keluarganya. Dia mempunyai ayah, ibu, dan kakak yang baik. Aku jadi berpikir... apakah aku masih punya orang tua? Jika aku masih mempunyai orang tua, apa kelak aku akan bertemu dengan mereka...sama seperti Nerro?"

"Kalau bertemu dengan orang tua kandungku, mungkin aku akan membenci mereka karena mereka telah membuangku."

"Sora..." gumam Lee,

"Lupakan! Ini sudah malam, sebaiknya kita tidur!" ujar Sora yang kemudian segera berbaring di atas kasurnya.

ooOOSoulmateOOoo

.

.

.

Five Years Later—

Seorang gadis remaja tengah berdiri di atas atap sekolahnya. Butiran bening menghiasi wajahnya yang cantik. Gadis itu terlihat begitu putus asa. Ia mulai berjalan langkah demi langkah hingga akhirnya hanya satu langkah tersisa untuk menuju kematiannya. Tubuh gadis itu gemetar. Sebenarnya ia sangat takut. Dalam jarak setinggi ini, ia yakin sekali kepalanya akan langsung hancur seketika tapi ia memang sudah tidak ingin hidup lagi. Perkataan sahabatnya tadi pagi kembali terngiang-ngiang di kepalanya,

"Ino, tolong maafkan aku! Sampai kapan? Sampai kapan kau akan menjauhiku? Aku rela melakukan apapun untukmu asal kau memaafkanku. Maafkan aku karena baru berani mengatakannya sekarang. Aku sadar aku terlalu pengecut, tapi Ino aku tidak akan pernah bisa menghilangkan rasa bersalahku kalau kau tidak mau memaafkanku."

"Haruskah aku memaafkan pengkhianat sepertimu? Hari itu, 7 tahun yang lalu... kau bilang kita akan selalu bersama. Kau tidak akan pergi lebih jauh tanpa aku, dan aku pun sama... tapi apa yang kau lakukan? Kau malah pergi sendiri!"

"Ino aku hanya... hanya ingin terus maju karena menjadi penyanyi adalah impianku."

"Kau pikir aku tidak begitu? Menjadi seorang bintang adalah impianku juga. Itulah sebabnya aku nekad mengikuti audisi itu walau sebenarnya aku tidak punya bakat menyanyi sepertimu. Meski aku hanya bisa bermain gitar dan ngedance, aku rela menjadi pelangkap untukmu agar kau bisa menyanyi dengan sempurna. Saat itu... saat juri bertanya 'apa yang akan kita lakukan jika hanya seorang diantara kita yang bisa maju ke tahap selanjutnya... Aku serius mengatakan kalau aku tak akan pernah pergi tanpamu, Hinata. Tapi apa? Kau mengkhianatiku, kau berjanji tidak akan maju jika tanpa aku tapi kau..."

"Ino, maaf. Saat itu kita baru berusia 10 tahun. Aku tidak berpikir panjang. Kupikir... kupikir aku bisa melakukannya sendiri jika aku bekerja keras tapi akhirnya aku sadar... meski aku terus berusaha, pada akhirnya aku tidak bisa bertahan. Aku tidak pernah merasa tenang setiap kali memikirkan tentang kita. Aku merasa bersalah padamu, makanya aku mengundurkan diri. Apa yang harus aku lakukan agar kau mau memaafkanku, Ino?" Saat ia mengatakan hal itu, ia sampai berlutut dihadapan Ino, namun gadis itu hanya memandangnya dengan tatapan tajam penuh amarah dan kebencian.

"Gara-gara hari itu aku bertengkar hebat denganmu, aku sampai jatuh dari tangga dan terluka parah, tapi kau tidak pernah sekalipun menjengukku di Rumah Sakit walau hanya untuk sekedar meminta maaf. Sejak saat itu aku tidak pernah bisa menari lagi. Cederaku tidak pernah sembuh. Aku bahkan hampir cacat. Jika kau ingin kumaafkan, kembalikan bakat menariku. Kembalikan!" teriak Ino sambil menangis.

"Ino... haruskah aku melompat dari atas gedung agar kau mau memaafkanku?" tanya Hinata semakin terisak. Namun Ino hanya tertawa sinis.

"Aku tidak yakin kau berani! Orang pengecut sepertimu tidak akan pernah mendapatkan keberanian yang kau inginkan. Jangan pernah mendekatiku lagi, melihat wajahmu di sekolah setiap hari saja sudah membuatku muak. Kau adalah sahabatku, tapi kau menghancurkan impianku! Aku tidak akan pernah memaafkan orang sepertimu."

.

.

"Kau benar, aku memang pengecut. Hampir setiap hari aku di bully oleh teman-teman, tapi aku tidak pernah melawan. Kau tidak pernah lagi membelaku seperti dulu. Kau hanya melihat dan diam saja. Aku juga tidak pernah berani menentang ayahku meski ia terus menyuruhku untuk melakukan hal-hal yang sama sekali tidak kusukai. Aku juga hanya bisa mengagumi Menma dari jauh. Aku tidak pernah mengungkapkan perasaanku meski sebenarnya aku sangat mencintainya. Mungkin orang pengecut sepertiku memang lebih baik menghilang saja dari dunia ini."

Hinata memandang pemandangan indah dari atas sana dengan tatapan kosong. Tiba-tiba ponselnya bergetar. Ia pun merogoh ponsel dari sakunya. Rupanya Menma yang menelponnya.

"Menma-kun, gomennasai..." ujar Hinata tanpa menjawab panggilan tersebut dan ia langsung menjatuhkan ponselnya dari atas sana. Ponsel itu pun meluncur cepat akibat gaya gravitasi bumi dan hancur berkeping-keping.

"Otou-sama, Hanabi-chan, Neji-Nii, gomennasai."

Hinata melangkah sekali lagi, kini sebelah kakinya sudah tidak menapak di tembok. Terayun di udara. Hanya perlu mensejajarkan kaki kirinya hingga ia akhirnya bisa menghilang dari sana.

"Ino, akhirnya aku bisa mendapatkan keberanian yang aku inginkan. Sayonara, minna."

'Apakah seperti ini rasanya kematian itu... tapi kenapa aku tidak bisa merasakan sakit?'

.

.

'Sial sebenarnya kemana Hinata? Kenapa ponselnya tiba-tiba mati?' rutuk seorang pemuda dalam hati. Pada saat yang bersamaan ia mendengar suara benda yang jatuh. Sontak ia kaget setengah mati saat menyadari benda yang jatuh dari ketinggian dan hancur berkeping-keping tersebut adalah ponsel Hinata. Ia pun menengadah dan semakin shock saat melihat sosok Hinata tengah berdiri di atas sana.

"HINATA! TIDAK! APA YANG AKAN KAU LAKUKAN?" teriaknya yang langsung bergegas lari menuju atap sekolah.

"Tidak! Kumohon jangan sampai aku terlambat Kami-sama." ujarnya sambil terus berlari menaiki puluhan anak tangga. Ia bahkan tidak peduli dengan nafasnya yang mulai tersengal-sengal akibat kelelahan. Dia hanya ingin menyelamatkan gadis itu.

"Baka, jangan lompat!" rutuknya berusaha terus meningkatkan kecepatan larinya walau langkahnya terasa semakin berat.

Sedikit lagi. Hanya tinggal sedikit lagi sampai ia berhasil meraih kenop pintu dan membukanya. Semoga ia tidak terlambat.

.

.

"Bisakah kau segera turun dari atas tubuhku?" ujar seseorang.

Hinata yang masih heran dengan apa yang terjadi segera membuka kelopak matanya. Ia mengerjapkan matanya berkali-kali menatap sosok seseorang yang familiar baginya, tertindih tubuhnya sendiri. Ya, ia ingat sekarang... beberapa detik sebelum ia jatuh, ia merasakan tubuhnya ditarik dengan paksa. Rupanya dia selamat dari kematian. Orang inilah yang telah menyelamatkan nyawanya.

"Syukurlah! Teme, terimakasih karena kau sudah menyelamatkan Hinata-chan!" ujar seseorang yang menghampiri mereka dengan nafas satu-satu.

"Menma-kun?" ujar Hinata, saat itu juga ia langsung turun dari atas tubuh Sasuke dan berlari meninggalkan atap sekolah tanpa berkata sepatah katapun. Hanya air mata yang mengalir membasahi wajahnya.

"HINATA!" teriak Menma hendak mengejar Hinata, namun Sasuke menghentikannya.

"Berhenti! Biarkan dia sendirian untuk sementara waktu. Aku yakin saat ini ia merasa sangat malu." ujar Sasuke sembari bangkit dari posisinya tadi dan membersihkan seragamnya yang kotor.

"Aku mengerti, tapi kenapa kau bisa ada disini?"

"Kau lupa, ya? Aku kan bolos dan daritadi aku memang berada disekitar sini. Dia datang kesini sembari menangis hingga tak menyadari keberadaanku. Hah? Si bodoh itu! Dia berdiri di sini sekian lama hingga membuatku sedikit merasa lega karena kupikir dia tidak akan berani melompat, tapi tak kusangka akhirnya dia berani untuk melompat."

"Aku benar-benar berhutang budi padamu. Terimakasih banyak."

"Untuk apa? Aku tidak melakukannya untukmu? Kau pikir aku sudi merepotkan diriku sendiri hanya demi dirimu."

"Apa maksudmu?"

"Hn. Pikir saja sendiri!"

"Kau juga menyukainya?"

"Hn."

"Kau juga tidak ingin kehilangan dia. Itulah sebabnya kau menyelamatkannya, bukan?"

"Hn."

"Kenapa kau tidak pernah bilang, kalau kau juga menyukainya?"

"Tidak jauh berbeda dengan apa yang kau lakukan."

Menma menghela nafas panjang, yang dimaksud Sasuke adalah mencintai Hinata diam-diam. Itulah yang selama ini dilakukannya. Meski ia menyukai Hinata, ia tidak pernah berani untuk mengungkapkannya. Jika saja ia boleh memilih, ia tidak ingin jatuh cinta, namun cinta adalah perasaan yang muncul begitu saja tanpa bisa ia cegah.

'Aku melakukan itu karena aku punya alasan, tapi Sasuke... kenapa kau tidak pernah mengungkapkan perasaanmu padanya? Kau perfect. Tidak seperti aku.'

"Di dunia ini mana ada manusia yang sempurna. Kau tetap dobe seperti dulu."

"EH? Kenapa kau bisa tau apa yang kupikirkan di dalam hati?"

"Lima belas tahun. Lima belas tahun kita bersahabat. Kau pikir aku tidak bisa memahamimu?"

'...tapi aku tidak pernah bisa membaca isi hatimu.'

"Itulah sebabnya kubilang, kau itu dobe!"

"Teme!"

"Ayo kita bersaing secara fair untuk mendapatkan Hinata!"

'Gomen, Sasuke. Aku hanya akan mencintainya secara diam-diam!'

"BAKA!" ujar Sasuke yang kemudian melengos pergi sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

Menma mematung di tempat. Memikirkan apa yang baru saja dikatakan oleh Sasuke. Tiba-tiba saja kepalanya mendadak sakit.

'Tes! Tes!'

"Oh, sial. Aku mimisan lagi." Gumamnya sembari menghapus tetesan darah yang baru saja terjatuh di di tembok atap dengan sepatunya. Ia pun mengambil tisu dari saku celananya dan membersihkan noda darah di sekitar hidung dan bibirnya, namun aliran darah itu tak kunjung berhenti. Ia pun menengadahkan wajahnya untuk mengurangi pendarahan sembari menatap langit yang saat ini cerah.

'Kami-sama, mungkinkah akan ada keajaiban untukku?'

.

.

Pemuda itu masih mengangkat karung-karung tepung dari gudang menuju sebuah truk. Setelah bolak-balik berkali-kali akhirnya karung yang baru saja ia letakkan di kap mobil tadi adalah yang terakhir. Ia pun menghapus peluh di wajah dan lehernya dengan handuk kecil yang sejak tadi melingkar dilihernya. Tiba-tiba saja ia terhuyung.

'Tes! Tes!' Tiba-tiba darah segar yang bersumber dari hidungnya menetes ke tanah.

'Setiap hari bekerja di tiga tempat yang berbeda benar-benar melelahkan. Aku sampai mimisan begini. Kalau Sakura-chan lihat dia pasti akan histeris.'

"Astaga, Naruto! Kenapa belakangan ini kau sering sekali mimisan? AYO KITA KE RUMAH SAKIT!" teriak seorang gadis yang langsung berlari menghampirinya.

'Tuh kan, baru saja aku mengatakannya.'

"Hahaha, kau mengkhawatirkanku ya, Sakura-chan?"

"Tentu saja, baka!" tegas Sakura sembari menjitak kepala Naruto.

"Aoww, ittaii... Sakura-chan." sambungnya sembari mengelus kepalanya.

Sakura mengambil saputangannya dan lekas membersihkan noda darah disekitar hidung Naruto sambil memandang pemuda itu dengan tatapan khawatir.

"Tidak usah pikirkan uang! Pokoknya kau harus check up hari ini juga!"

"Sakura-chan, aku baru saja check up minggu lalu dan kau juga lihat sendiri, kan? Aku sehat-sehat saja! Kau tidak perlu berlebihan seperti ini!"

"Baka! Bagaimana kalau rumah sakit itu keliru mengenai hasil pemeriksaanmu?"

"Tidak mungkin. Aku juga merasakan tidak ada yang aneh dengan tubuhku."

"Kau yakin?"

"Aku yakin 100%. Mungkin aku hanya kelelahan saja. Belakangan ini aku juga kurang tidur, makanya aku pusing sekali sampai mimisan seperti ini. Setelah istirahat sebentar, aku akan baik-baik saja. Jadi berhentilah merasa cemas!" kata Naruto sambil tersenyum.

"Kalau merasa sakit, jangan sembunyikan apapun dariku, ya?"

"Aku tak akan menyembunyikan apapun dari kekasihku. Sakura-chan, sampai sekarang apakah kau masih sering kepikiran orang tuamu?"

"Tidak. Aku sudah bisa merelakan kepergian mereka. Lagipula perampok itu sudah tertangkap empat tahun yang lalu. Aku sangat lega, karena dengan begini orang tuaku bisa tenang di alam sana. Kau sendiri?"

"Aku ingin bertemu. Aku ingin sekali bertemu dengan mereka. Menurutmu apa keajaiban seperti itu bisa terjadi padaku?"

"Jika kau percaya, keajaiban itu pasti akan datang." Kata Sakura sambil tersenyum.

"Yoo, Naruto! Kau sudah selesai mengangkut terigunya?"

"Sudah semuanya, Kiba! Kau bisa antarkan itu ke toko cabang?"

"Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu!" pamit Kiba yang lekas masuk ke mobil dan mulai tancap gas.

"Oii, Naruto!"

"Ada apa, Sora?"

"Tenten sedang sibuk di dapur. Kau tolong gantikan dia mengantar pesanan ya! Aku masih harus membuat banyak roti."

"Aku mengerti. Sakura-chan kau mau ikut?"

"Tidak. Aku kan harus membantu Lee menjaga toko. Hati-hati di jalan ya, Naruto."

"Hmm. Sora, mana kunci mobilnya?"

"Ini. Jangan sampai telat, nanti kita bisa di pecat!"

"Wakatta!" kata Naruto yang lekas mengambil kunci mobil itu dari Sora.

ooOOSoulmateOOoo

.

.

.

"Sasuke, katakan pada sensei... aku izin pulang." Kata Menma sembari memakai helmnya. Saat ini ia tengah berkomunikasi dengan Sasuke lewat telepon dengan ponsel yang sudah tersambung dengan headset yang terpasang di telinga.

"Doushite? Kau kambuh lagi?"

"Hmm."

"Tunggu disana! Biar kuantar!"

"Tidak usah. Aku bisa pulang sendiri. Kau fokus saja dengan pelajaran."

"...tapi..."

"Bye, Sasuke!"

"Apa-apaan ucapanmu itu, hah? Jangan pernah mengucapkan selamat tinggal padaku!"

"Itu bukan ucapan selamat tinggal, temel! Itu tanda kalau aku akan mengakhiri sambungan telepon." Kata Menma yang langsung mematikan ponselnya. Ia mulai duduk di motornya dan melajukan motor tersebut dengan kecepatan tinggi.

Naruto masih fokus menyetir saat ia tiba di jembatan layang. Tiba-tiba saja ia melihat sebuah motor yang melaju kencang ke arahnya. Untuk mengakhiri tabrakan ia pun membanting setir, namun terlambat. Motor itu bertabrakan dengan mobilnya hingga akhirnya mobilnya menabrak pembatas jalan dan terlempar ke sungai. Pengendara motor itu pun mengalami nasib yang sama dengan dirinya.

.

.

Menma masih mengendarai motor sportnya dengan kecepatan tinggi, saat tiba-tiba rasa pusing itu kembali menyerangnya. Ia bahkan bisa merasakan sesuatu yang cair mengalir dari hidungnya, dan seluruh tubuhnya mendadak terasa sakit. Pandangannya mulai kabur. Hal itu membuatnya tidak bisa mengendalikan motornya dan...

'BRAAKKK!'

'Prang!'

"Sakura, kau tidak apa-apa?" Lee berlari ke arah Sakura yang tiba-tiba saja menjatuhkan nampan berisi pesanan pelanggan. Tatapan Sakura terlihat kosong. Gadis itu memegangi dadanya dan terlihat meringis.

"Sakura! Ada apa? Apa yang terjadi denganmu Sakura?" panik Lee. Sakura masih tetap dengan ekspresi yang sama. Namun kali ini, Lee bisa melihat air mata jatuh membasahi pipi mulus gadis itu.

.

.

Naruto masih mencoba menahan napas. Mobil milik restoran tempatnya bekerja sudah dipenuhi dengan air. Ia terus berusaha membuka pintu mobil agar bisa keluar. Namun ia kembali gagal hingga akhirnya paru-parunya terasa sesak karena air mulai masuk melalui lubang hidung dan mulutnya.

'Apa aku akan mati disini? Kalau aku mati disini, bagaimana dengan Sakura-chan?' pikirnya sembari terus mencoba menghancurkan kaca jendela mobil dengan tendangannya. Namun ia kembali gagal. Paru-parunya semakin terasa penuh dan pandangan matanya semakin buram.

'Sial! Mataku...'

Menma membuka kelopak matanya yang semula terpejam. Ia bisa melihat tubuhnya sudah berada di dalam air. Meski kepalanya semakin terasa sakit dan dadanya sesak karena kemasukan air, ia terus mencoba mempertajam penglihatannya. Tidak jauh dari sana ia melihat sosok seseorang yang terjebak di dalam mobil.

'Tidak! Boleh saja aku mati, tetapi orang yang tertabrak olehku itu tidak boleh mati. Aku harus menyelamatkannya!' pikirnya yang kemudian mulai berenang ke arah orang itu.

Menma terus mencoba meraih kenop pintu mobil hingga akhirnya mobil itu terbuka. Ia pun segera mengulurkan tangannya. Seseorang dihadapannya tampak mencoba meraih uluran tangannya. Menma sedikit terkejut karena wajah orang itu tampak sama dengan wajahnya. Hanya tiga garis kembar di kedua pipi orang itu saja yang membedakan mereka.

'Kenapa kau sangat mirip denganku?'

Kedua mata orang itu terpejam. Menma yakin orang ini sudah tidak sadarkan diri. Ia pun berusaha menarik orang itu menuju ke permukaan air, namun dadanya semakin terasa sesak. Dan pandangan matanya semakin tidak jelas hingga hanya kegelapan yang bisa ia lihat.

Naruto membuka kelopak matanya. Ia merasakan genggaman seseorang di tangannya. Ia bisa melihat, orang itu mencoba menarik tubuhnya ke permukaan.

'Aku... sudah keluar dari dalam mobil? Siapa orang yang menyelamatkanku ini? Kenapa ia begitu mirip denganku?' pikir Naruto. Namun tiba-tiba saja genggaman orang yang ia maksud melemah hingga akhirnya terlepas dari tangannya. Tubuh orang itu perlahan terjun ke bawah melewati tubuhnya.

Naruto mencoba meraih tangan orang itu kembali. Orang itu sudah tidak sadarkan diri dan hampir tenggelam. Ia mencoba berenang ke bawah hingga akhirnya, ia berhasil menggapai tangan orang itu. Tiba-tiba sebuah cahaya terang bersinar di sekitar mereka dan selanjutnya hanya kegelapan yang bisa ia lihat.

.

.

"TIDAK! MENMA TIDAK MUNGKIN MATI! MENMA TIDAK MUNGKIN MATI SECEPAT INI!" teriak seorang wanita histeris hingga ia tidak sadarkan diri dipelukan suaminya.

"Kushina! Buka matamu, Kushina!"

"Naruto... Naruto! Dimana dia? Dimana dia?" teriak seorang gadis sembari terus berlari-lari di lorong rumah sakit dengan air mata bercucuran.

"Sakura, tenangkan dirimu!" teriak seorang gadis sambil terus mengejar langkah Sakura yang tak tentu arah.

"Dia pernah bilang kalau tiga tahun lagi dia akan menikah denganku. MANA BOLEH DIA MATI!"

'Plak!' tiba-tiba saja pipi kanannya terasa sakit dan panas.

"DIA BELUM MATI, SAKURA! DIA BELUM MATI! SIAPA YANG BILANG KALAU DIA SUDAH MATI, HAH?" teriak seorang gadis yang baru saja menampar pipi Sakura. Sakura juga bisa melihat gadis itu menangis seperti dirinya.

"Tenten... aku takut!" kata Sakura yang mulai tersadar dan langsung memeluk sahabatnya itu.

"Kenapa kalian diam saja disini? Ruang UGD-nya di sebelah sana!" ujar seorang pemuda yang akhirnya berhasil menyusul langkah kedua gadis yang merupakan sahabatnya itu.

"Lee, benar. Ayo, kita kesana!" ajak Tenten yang kemudian menggandeng Sakura menuju ruang UGD.

Kini mereka bertiga sudah sampai di ruang tunggu, tepat di depan ruang UGD. Sakura terus mondar-mandir dengan perasaan cemas. Sedangkan Tenten dan Lee duduk di kursi sambil berdo'a dengan khusu. Beberapa menit kemudian pintu ruangan itu terbuka. Seorang dokter wanita bersama beberapa orang asistennya pun keluar dari ruangan tersebut.

"Sensei, bagaimana keadaannya?"

"Maaf, pasien dalam keadaan kritis dan dia... koma."

Sakura yang shock langsung lunglai ke lantai dan kembali menangis. Tenten menghampiri Sakura untuk menenangkannya.

"Apa kalian keluarganya?"

"Ya." Jawab Lee.

"Kalau begitu, mari ikut ke ruangan saya! Akan saya jelaskan dengan detail mengenai kondisi pasien." Ujar dokter cantik tersebut dan Lee pun mengangguk.

ooOOSoulmateOOoo

.

.

.

Ia membuka kedua matanya perlahan. Sesuatu yang ia yakin adalah kain menghalangi pandangannya. Ia pun melepas kain yang ia yakin telah menutupi seluruh wajahnya itu dan memandang sekeliling. Ia berada dalam ruangan serba putih. Ia langsung terduduk di ranjang dengan wajah pucat. Di kanan kirinya adalah tubuh-tubuh yang tertutupi kain putih.

"Hyaaa! Kenapa aku ada di kamar mayat?" teriaknya yang langsung bangkit dari ranjang. Dan ia sangat terkejut karena ternyata ia dalam kondisi telanjang. Hanya ada celana piyama rumah sakit yang melekat di tubuhnya. Ia memperhatikan kedua tangannya.

'Eh? Kenapa warna kulitku jadi putih begini, ya?' pikirnya kebingungan.

Ia kembali memperhatikan sekelilingnya. Ia benar-benar takut berada di tengah-tengah mayat. Ia harus segera keluar dari tempat ini. Saat ia hendak berjalan menuju pintu keluar. Ia melihat sebuah cermin besar yang tersandar di dinding. Meski saat ini ia gemetar ketakutan, ia penasaran dengan warna kulit tan-nya yang tiba-tiba saja berubah menjadi putih seperti warna kulit gadis yang ia cintai. Ia memperhatikan pantulan dirinya di cermin.

"Eh? Wajahku? Kenapa wajahku jadi lebih tampan? Dan kenapa tanda lahirku tidak ada?" gumamnya. Ia benar-benar bingung. Sosok yang terpantul dalam cermin memang adalah sosoknya tapi entah kenapa ada yang berbeda. Kulit wajahnya putih pucat. Mata biru sapphire-nya terlihat lebih tajam. Rambut pirangnya agak panjang dari sebelumnya dan...

'Kemana bodyku yang keren itu? Kenapa badanku jadi agak kurus begini? Astaga, perut sixpack-ku juga lenyap! Ada apa sebenarnya?' pikirnya yang semakin kebingungan.

Naruto mengingat-ngingat apa yang terjadi sebelumnya. Ingatan itu terlihat samar. Namun akhirnya ia ingat, tadi ia kecelakaan dan diselamatkan oleh seseorang dan wajah orang itu... ia sangat yakin wajah orang itu sama persis dengan sosoknya saat ini.

"ASTAGA! KENAPA JIWAKU BISA TERJEBAK DALAM TUBUH ORANG ITU? INI BURUUKK!" teriaknya.

Naruto lekas keluar dari ruang mayat tersebut. Ia berjalan di koridor rumah sakit. Ia harus mencari seseorang. Semoga saja Sakura ada di rumah sakit ini. Saat ia melewati ruangan yang diisi belasan bayi. Ia bisa mendengar bayi-bayi itu tiba-tiba saja menangis.

"Hey, kenapa kalian menangis? Aku bukan hantu, hey!" ujarnya sembari memperhatikan bayi-bayi itu dari kaca. Namun tangis bayi-bayi itu malah semakin kencang.

Ia pun memutuskan untuk segera pergi dari sini sampai akhirnya ia tiba di depan ruang ICU. Tiba-tiba saja jantungnya berdetak jauh lebih cepat. Perasaan ini sama dengan perasaannya setiap kali ia berada didekat Sakura. Ia pun mengintip dari pintu kaca dan matanya membulat sempurna. Ia sangat kaget. Tubuh itu. Tubuh yang tengah terbaring di ranjang dengan berbagai macam peralatan medis itu adalah tubuhnya.

'Tubuhku? Sakura-chan...' Dan Naruto pun segera membuka kenop pintu saat matanya menangkap sosok gadis yang ia cintai tengah menangis sembari mengenggam tangannya yang terpasang jarum infus.

"Sakura-chan?" ujarnya sembari melangkah mendekati gadis itu.

.

.

Sakura terkejut. Suara itu. Itu adalah suara Naruto. Sakura kembali memperhatikan tubuh pria yang sangat ia cintai itu. Sepertinya ia berhalusinasi. Naruto masih terbaring lemah dengan mata terpejam.

"Sakura-chan, hey! Kenapa kau menangis?"

Suara itu semakin terdengar jelas. Sakura pun langsung menoleh ke belakang. Seorang pemuda tampan memandangnya sambil tersenyum. Dan senyuman itu... Sakura yakin itu adalah senyuman kekasihnya. Sakura berdiri dan memandang pemuda didepannya dari ujung kaki hingga ujung rambut. Sakura mengucek-ngucuk matanya. Sosok didepannya benar-benar mirip sekali dengan Naruto. Tapi ada yang berbeda. Style rambut pirang orang itu berbeda dengan style rambut Naruto. Kulitnya putih. Warna kulit yang hampir sama dengan warna kulitnya sendiri. Ah tidak, ia pernah melihat foto Naruto saat masih balita. Dulu warna kulit Naruto juga putih. Hanya saja selama ini Naruto banyak bekerja dan sering terkena sinar matahari, makanya kulit putihnya berubah menjadi tan. Sakura kembali memandang sosok dihadapannya dengan intens. Mata orang ini tampak lebih tajam dari Naruto tapi iris mata mereka sama-sama biru samudra.

"Siapa kau?" tanyanya.

"Jahat sekali! Tentu saja ini aku, 'Naruto'. Aku calon suamimu, Sakura-chan. Kau ingat?"

"Hahahaha, apa kau gila? Jelas-jelas tubuh kekasihku masih terbaring lemah. Ya, kuakui suara kalian memang sama persis. Tapi aku sangat yakin, kau itu bukanlah Naruto!"

"Sakura-chan, ini benar-benar aku. Aku sendiri tidak paham, kenapa jiwaku bisa terjebak dalam tubuh orang ini. Tapi percayalah Sakura-chan, aku benar-benar Naruto!" tegasnya sambil memandang Sakura dengan tatapan tajam.

"Hahahaha... astaga sepertinya aku sudah gila? Ini semua gara-gara kau, Naruto! Makanya cepatlah kau bangun, baka!" kata Sakura kembali memandang sosok kekasihnya yang masih dalam keadaan koma.

"Sakura-chan, itu memang tubuhku tapi jiwaku ada disini... di depanmu, Sakura-chan!"

"Hiikz...hikz... Naruto! Aku sudah gila gara-gara kau. Cepat bangun! Kumohon bangunlah, Naruto! Lihat aku! Cepat lihat aku!" tangis Sakura semakin kencang. Saat ini ia bahkan memukul-mukul dada Naruto.

Naruto menarik tangan Sakura, hingga akhirnya tubuh mungil itu terkurung dalam dekapannya. Ia memejamkan matanya dan mulai mengecup bibir gadis musim seminya tersebut. Awalnya Sakura menolak dan terus memberontak. Namun akhirnya gadis itu membalas ciumannya.

"Naruto? Kau benar-benar Naruto?" tanya Sakura setelah ia melepas ciumannya.

"Ya, ini aku. Jadi kumohon jangan menangis lagi, Sakura-chan. Hatiku sakit melihatnya." Jawab Naruto sembari menyeka air mata Sakura dengan tangannya. Kini ia bisa merasakan gadis itu memeluknya erat.

.

.

Kushina berlari-lari di koridor rumah sakit. Setengah jam yang lalu ia baru saja mendapatkan telepon dari dokter. Dokter itu bilang Menma masih hidup. Menurutnya rupanya tadi siang puterannya itu hanya mati suri. Dan saat ini Menma sedang berada di sebuah bangsal bernomor 402.

"Kushina, pelankan larimu! Nanti kau jatuh!" teriak seseorang dari belakang. Kushina menoleh. Ia bisa melihat suaminya—Minato—berlari menyusul langkahnya.

"Gomen ne. Aku terlalu senang. Ternyata Menma masih hidup. Aku sangat bahagia, anata!"

"...tapi Kushina, menurut dokter sepertinya Menma mengalami amnesia. Mungkin dia tidak mengenali kita. Apa kau sudah siap dengan itu?"

"Aku pasti bisa meyakinkan Menma kalau aku adalah ibunya." Kata Kushina sambil tersenyum. Kini ia berjalan santai sambil menggandeng tangan Minato.

.

.

"Aku merasa aneh melihatmu tapi... ayo makan lagi apelnya, Naruto!" Kata Sakura sembari menyodorkan sepotong buah apel ke mulut Naruto.

"Sebentar, Sakura-chan. Menurut dokter nama orang ini Menma, kan?" tanya Naruto sambil menunjuk dirinya sendiri. Lebih tepatnya menunjuk raga Menma.

"Mmm."

"Kalau begitu jangan panggil aku Naruto. Sampai aku bisa kembali ke tubuhku sendiri, mari berakting seakan-akan aku adalah Menma. Dan kau juga harus memanggilku Menma."

"Mmm. Wakatta... tapi Naruto, sampai jiwa Menma-kun kembali ke tubuh ini... bisakah kau berakting sebagai dirinya dengan baik? Kita kan tidak tahu seperti apa sikapnya. Apa dia orang yang periang sepertimu atau justru dia pendiam seperti Shino."

"Tenang saja. Orang tua Menma taunya aku ini amnesia. Nanti setelah kita kembali ke rumah Menma, kita bisa mencari tahu!"

"Benar juga."

"Sakura-chan, aku merasakan ada yang aneh dengan tubuh ini."

"Maksudmu?"

"Entahlah, aku merasa tidak nyaman. Sewaktu-waktu semua sendiku mendadak terasa sakit begitu juga dengan kepalaku."

"Mungkin Menma mendapatkan luka dalam."

"...tapi menurut dokter, Menma tidak terluka parah."

"Hmm, atau mungkin dia sakit. Sakit secara fisik maksudku. Astaga! Kalau dia beneran sakit, berarti kaulah yang merasakan sakitnya, kan?"

"Selama jiwaku ada di dalam tubuh ini, tentu saja jawabannya 'Ya'. Tapi Menma sakit apa?"

"Nanti kau tanyakan saja pada orang tua, Menma-kun."

"Ya, kau benar Sakura-chan."

"Kau tinggalah bersamaku, Sakura-chan. Aku akan menanyakannya kepada orang tua Menma, apa kau boleh tinggal bersamaku."

"Kalau aku tidak diizinkan tinggal bersama mereka, bagaimana? Mereka kan tidak tahu siapa aku?"

"Menma!" tiba-tiba saja pintu itu terbuka. Naruto dan Sakura sontak menoleh ke arah pintu. Seorang wanita cantik berambut merah panjang lekas berlari ke arah Naruto dan memeluknya. Sementara itu seorang pria tampan yang sangat mirip dengan Menma tersenyum ke arah Naruto.

"Maaf, kau siapa?" tanya pria tampan itu pada Sakura.

"Aku... aku temannya Menma-kun. Kudengar Menma-kun kecelakaan. Jadi aku datang ke sini untuk menjenguknya."

"Menma! Syukurlah kau masih hidup, Kaa-chan senang sekali." ujar Kushina sambil terisak. Naruto membalas pelukannya. Ia bisa merasakan perasaan hangat dan nyaman dalam posisi seperti ini. Tiba-tiba saja ia ingin menangis entah karena alasan apa. Yang jelas, ia ingat... Wanita cantik ini adalah penulis buku dongeng favoritnya. Uzumaki Kushina.

'Kita bertemu lagi, oba-san. Tak kusangka kau adalah ibunya Menma.' Pikir Naruto dalam hati.

"Gomen ne, aku tidak ingat siapa kalian berdua. Tapi entah kenapa aku merasa yakin, kalau kalian adalah kedua orang tuaku."

"Tentu saja, Menma! Aku ini ibu kandungmu dan orang yang mirip sekali denganmu itu adalah ayah kandungmu."

"Senang bertemu kalian lagi, Okaasan, Otousan." Kata Naruto sambil tersenyum. Minato dan Kushina membalas senyumannya.

"Oh, Menma! Bagaimana keadaanmu, sayang?"

"Aku sudah merasa lebih baik. Oh ya, boleh tidak aku meminta sesuatu?"

"Apa yang kau inginkan, kami pasti akan mengabulkannya, Menma?!" tanya Minato sambil tersenyum.

"Sakura-chan... maksudku, temanku ini namanya Sakura. Ia tidak punya tempat tinggal. Boleh tidak dia tinggal di rumah kita?"

"Tentu saja boleh." Kata Minato sambil membelai rambut Menma.

"Arigatou."

ooOOSoulmateOOoo

.

.

.

"Sakura-chan, bagaimana? Sudah kau temukan sesuatu?" tanya Naruto. Ia heran karena saat ini kekasihnya itu tampak membaca sebuah agenda sambil menangis.

Hari ini ia dan Sakura sedang berada di kamar Menma. Kemarin dokter sudah mengizinkannya pulang ke rumah. Dan Naruto sangat terkejut karena ternyata Menma adalah orang kaya. Rumahnya sangat besar dan bergaya Eropa. Akhirnya ia tahu kalau ayah Menma, Minato Namikaze adalah blasteran.

"Dia..."

"Ya, Sakura-chan?"

"Menma-kun ternyata dia... mengidap Leukemia."

"Nani? Leukemia?"

"Kurasa ini diary miliknya. Aku tak menyangka, ternyata cowok-cowok juga suka menulis diary. Ia mencintai seorang gadis bernama Hyuuga Hinata."

"Aku tidak pernah menulis diary tuh. Lalu kenapa kau menangis?"

"Tentu saja karena selama kau berada dalam tubuh Menma, kaulah yang merasakan semua rasa sakitnya. Aku takut... aku takut kau terjebak dalam tubuh Menma selamanya."

"Jangan khawatir... sampai aku kembali, aku akan meminum semua obat Menma agar Menma bisa bertahan hidup lebih lama."

"Dia juga harus kemotherapy setiap tiga minggu sekali, Naruto!"

"Aku juga akan melakukan itu."

"Tapi penyakitnya sudah stadium akhir!"

"NANI?"

"Dia butuh donor. Dia harus segera melakukan operasi tranplantasi sum-sum tulang belakang. Dan kau tahu, sampai sekarang... belum ada pendonor yang cocok untuknya."

"OH MY GOD! Giliran aku bisa merasakan kasih sayang orang tua, aku malah sakit. Ah, tidak... maksudku bukan aku yang sakit tapi Menma yang saat ini tubuhnya aku ambil alih."

"Kau tahu Naruto, Menma-kun juga bilang kalau dulu Menma-kun punya adik kembar. Menurut Menma-kun, hanya saudara kembarnya yang bisa menyelamatkan hidupnya."

"Eh? Saudara kembar? Tapi apa maksudnya dengan dulu?"

"Entahlah, Naruto. Mungkin saudara kembarnya hilang saat dia masih kecil."

"Jadi asal saudara kembarnya bersedia menjadi pendonornya, Menma bisa sembuh?"

"Ya, tapi Menma-kun ingin bertemu lagi dengan saudara kembarnya bukan karena ia ingin mengambil sebagian sum-sum tulang adik kembarnya itu, melaiankan... ia merindukan adiknya itu. Ia ingin keluarganya bisa kembali utuh sebelum ia meninggal karena penyakitnya."

Tiba-tiba saja hati Naruto terasa sakit. Tanpa sadar ia pun meneteskan air mata. Ia bisa mendengar Sakura kembali menangis sesenggukan. Ia pun segera menghampiri Sakura dan memeluk gadis itu.

"Dobe, aku senang kau sudah pulang dari rumah sakit... tapi siapa gadis yang kau peluk itu? Bukankah kau hanya mencintai Hinata?"

Sakura dan Naruto menoleh secara bersamaan. Di depan pintu tampak seorang pemuda tengah berdiri seraya memandang mereka dengan tatapan tajam dan menusuk.

.

.

_TBC_

.

.

Well, fict ini adalah pengganti 'When Love Come Lates' yang sebentar lagi akan tamat. Saya membuatnya satu minggu yang lalu. Dan kakak saya meminta saya untuk memposting fict ini sekarang. OOC banget, ya? Ini adalah fict multichap pertama Muki yang bergenre supernatural. Gomen, bila ada kesamaan ide cerita dengan siapapun itu, semua adalah unsur ketidaksengajaan semata karena fict ini murni buatanku. Thanks to Nee-chan yang udah bersedia menjadi beta readerku. Hanya satu kata buat Nee-chan ku tersayang "SAIKO!" :D

Keep or delete? Semua terserah kalian, minna! REVIEW please and No Flame! Arigatou. ^_^