Hello Readers…

Berbekal kemampuan author saat ujian berlangsung, akhirnya author dapat menyelesaikan ff pertamanya yang pasti ga jauh beda bentuknya dengan muka author sendiri.. (If you know what I mean)

Pemeran utamanya yaitu: Kosim, pemuda urakan yang bermimpi menjadi seorang detektif. Dan juga Tere, gadis blasteran Singapura yang ceritanya dia sedang melancong ke Indonesia.

Yukk lanjut.. Selamat membaca..

Udara menampakkan kesejukannya di pagi hari itu. Aroma semerbak embun yang menetes di dedaunan menambah kesegaran. Suara kicauan burung yang bernyanyi di pepohonan, menambah kenyamanan di pagi itu.

Suasana hotel masih Nampak sepi. Namun beberapa kendaraan masih banyak yang terparkir di situ. Menandakan kalu hotel ini masih banyak menampung tamu, hanya saja mereka belum semua bangun, padahal bangun pagi bisa menyegarkan badan mereka.

Hal berbeda dirasakan oleh sepasang muda-mudi yang baru saja memasuki hotel pagi hari itu. Mereka bahkan belum tidur semalaman. Tampak baju sang pemuda berlumuran darah, para staf hotel kebingungan melihat pemuda berlumuran darah itu, namun si pemuda cuek saja dan terus berjalan menuju kamarnya.

"Re, gue mandi dulu ya. Darah Ardi bau amis banget, untung gue enggak pingsan!" ujar sang pemuda. "Entar kalo lo udah rapi, lo ketok kamar gue. Tapi kalo gua rapi duluan, gue ketok pintu kamar lo."

"Ya sudah, Sim. Saya ke kamar dulu. Jangan lama-lama." Jelas Tere.

Kosim masuk ke kamarnya sedangkan Tere masuk ke kamar di sebelahnya. Selang lima belas menit, Tere keluar kamar, dia sudah berganti pakaian. Lalu menuju kamar Kosim.

Tok.. tok.. tok..

"Eh elo, Re. gue kira siapa." Kata Kosim yang rambutnya tampak basah berantakan serta sebuah handuk terlampir di pundaknya. "lo udah rapi, cepet banget?"

Tere memicingkan matanya. "Kamu masih bau amis, Sim. Kurang bersih."

Kosim terkejut. Dia segera mencium aroma tubuhnya. "perasaan gue mandi udah bersih banget."

Tere tersenyum melihat kalakuan Kosim yang mengendus tubuhnya, "kalau kamu sendiri yang mencium, ya tidak terasa apa-apa. Jika orang lain yang mencium pasti akan terasa."

"Waduh, gue harus mandi lagi nih.." kata Kosim

"Ehh, tidak usah sim. Tidak ada waktu lagi. Darah memang seperti itu, apalagi waktu dingin kamu bermandikan darahnya, turun gunung dan berkeringat. Kemungkinan darahnya menyerah ke tubuh kamu dan sulit dihilangkan." Sahut Tere panjang lebar.

"Masa sampe segitunya sih, Re?" Kosim terkejut mendengar penjelasan gadis Singapura itu.

Kosim akhhirnya menurut saja permintaan gadis itu meskipun sebenarnya dia agak keberatan. Dilemparkannya handuk yang tergantung di pindaknya sembarang, lalu keluar kamar.

"ehh Re, tungguin…"

"Apa ga sebaiknya kita sarapa dulu? Gue laper nih, perut udah keroncongan…" sahut Kosim

Tere menghentikan langkahnya dan menoleh ke pemuda detektif itu. "kita bisa cari makan setelah sampai di klinik. Saya menghawatirkan si Ardi." Kosim ikut menghentikan langkahnya. "Tapi perut gua udah laper banget. Kita beli makan di warung depan aja. Noh, yang di depan hotel. Kita bungkus saja."

"kenapa tidak beli makan di restoran saja sih, Sim." Protes Tere

"ahh, sekali-sekali gapapa makan dipinggir jalan. Sekalian menghemat duit lo, Re." Tepis Kosim sambil mengedutkan kedua alisnya.

Kosim dan tere segera melangkah menuju warung tersebut. Sang penjual tampak sibuk melayani pembeli. Pria paruh baya ini tampak cekatan melayani, tak peduli peluh di wajahnya. Namun, dari gaya melayaninya, terlihat pria ini sudah biasa berkerja cepat.

" Pak, nasi campur dua, dibungkus ya." Pesan Kosim saat berhadapan dengan pedagang tersebut. "lauknya campur yang enak-enak ya, Pak."

"Iya mas, sebentar ya," kata penjual yang masih berhadapan dengan beberapa piring di depannya.

"Kayaknya ngantri nih, Re." keluh Kosim sambil duduk di bangku kosong samping gerobak.

"Lama tidak, Sim?" Tanya Tere yang tampak gelisah.

Kosim hanya mengankat kedua bahunya, tanda tidak tahu. "Tau ramai gini, mending gue lanjutin mandi dulu tadi." Kosim memoncongkan bibirnya sambil menopang dagu.

Tere hanya tersenyum melihat temannya itu menggerutu tak karuan.

"Mas, abis tidur sama ikan ya? Kok bau amis banget sih?" terdengar suara wanita di sebelah Kosim. "Mau muntah rasanya!"

Kosim menoleh ke arah wanita gendut itu. Dia agak kaget juga dengan ucapan wanita di sebelahnya. Di depannya duduk seorang pria paruh baya, sepertinya suami dari wanita yang mengomentari keadaan Kosim sambil terus menutup hidungnya.

"Eh, Bu. Emangnya tampang gue tampang anak ikan apa?" tampak Kosim meradang. "Yang bener dikit ah kalo ngemeng…"

"Dasar bocah ingusan ini tidak ada sopan santunnya di depan orang tua!" Perempuan gendut itu mencibir.

"Yaelah… Ibu ini bukan emak gue, lagian yang duluan tidak sopan tadi siapa? ibu belom tua kok mauan disebut orang tua. Umur ibu paling sepanteran Mpok Ida penjual nasi uduk pengkolan."

Si perempuan gemuk langsung melotot.

"Sudah Sim jangan diladenin ahh." Desis Tere sambil menyikut legan Kosim.

"Nona, kasih tau temanmu ini, kalo mandi yang bersih. Muka sama badannya sama saja. Sama-sama amis!" hardik si perempuan tersebut.

" Sudah ma, biarkan saja." Pria paruh baya di depannya ikut bicara.

"Biarkan bagaimana pa? Kita enggak bakal nafsu makan kalau bau amis kaya gini." Bentak wanita gendut itu. " papa mau makan sendirian di sini?"

" Eh, nenek gendut. Gue juga gabakal makan di sini." Kosim meradang lagi. "lagian belagu amat gamau makan di deket gue, kingkong aja kalo makan di deket gue bisa nambah, masa lo enggak? Bukannya sama-sama gendut!"

"Sim!" desis Tere.

Si perempuan gemuk kalap mendengar ucapan Kosim. Ditengah konflik antara Kosim dengan wanita gendut itu, sang penjual membawakan dua buah piring. "ini nasinya," ujarnya sambil meletakkan piring di depan wanita gendut itu. "Minumnya apa?" Imbuhnya ramah. Seolah pedagang tidak terpengaruh dengan keributan yang terjadi di antara pembelinya.

"Air teh hangat saja, Pak." Kata pria itu sambil tersenyum.

"Pak.." panggil wanita gemuk itu ketika penjual nasi handak mengambilkan minum. "Layani pemuda bau amis ini dulu. Saya sudah enggak tahan dengan baunya!"

Penjual nasi itu hanya tersenyum saja melihat permintaan pembeli itu. Lain halnya denga kosim, ia agak tersinggung juga mendengar ucapan wanita itu. "Eh, Re. orang gendut kalo ditusuk jarum bakal kempes kagak, ya?" Tanya Kosim dengan suara agak dikeraskan.

Wanita gemuk yang baru melahap satu sendok nasi itu langsung berdiri, lalu menoleh ke arah Kosim. "Heh, anak muda! Kalau bicara yang sopan, ya!" bentaknya.

"Yang sopan gimana?" Tanya kosim pura-pura tidak mengerti.

Wanita gendut itu tidak menghiraukan pembeli yang sudah menghidangkan teh hangat itu. Dia melotot tajam ke arah Kosim "omonganmu tadi terasa tidak mengenakkan di telingaku!"

Kosim menyeringai. "Lho? Ada yang salah dengan omongan gue? Gue kan kagak ngomongin nenek gendut."

"Hush! Jangan gitu, Sim…" Kata Tere berusaha melerai.

"Gue enggak tau apa-apa Re. nenek-enek gendut ini aja yang kege-erean!" bela Kosim. Dia tidak terlihat takut sama sekali di pelototi wanita gemuk di sebelahnya ini, malahan dia tampak santai dan cuek.

"Heh jaga ucapanmu, anak muda!" bentak wanita itu dengan kalap.

"Udah lah, Ma. Biarkan saja, jangan cari masalah di sini." Dia tampak tidak menghiraukan pertengkaran antara istrinya itu dengan Kosim. "Ayo cepat di habiskan makanannya, nanti kita terlambat untuk melihat lumba-lumba." Lerai suaminya.

Si wanita gemuk itu udah kembali duduk. Namun, posisi duduknya agak menjauh dari Kosim. Bangku di tempat itu cukup panjang, dia hanya menggeser badannya sedikit saja, sedangkan Kosim berada di ujung bangku.

"Ini nasi dua bungkus," kata si penjual nasi paruh baya setelah membukus nasi pesanan mereka.

"Ohh, berapa pak?" Tanya kosim sambil berdiri.

"dua puluh ribu."

Kosim meraih plastik bungkusan itu dan melirik Tere dengan senyuman misterius, namun Tere mengerti maksudnya. "ini uangnya." Ujar tere sambil menyerahkan selembar uang berwarna biru.

GUBBRAAAK!

Semua yang hadir disitu menoleh ke arah sumber suara. Tampak disitu, sesosok tubuh wanita gemuk tersungkur ke tanah dengan posisi terlentang. Mulutnya menganga dan matanya melotot.

"Mama..!" teriak pria paruh baya yang merupakan suami wanita gemuk itu. Dia mengitari meja panjang lalu menghampiri tubuh istrinya. "Kamu kenapa, Maa…?"

Kosim memperhatikan wanita yang tersungkur itu. Bungkusan plastik yang tadi dipegangnya, dia berikan ke Tere. Kemudian Kosim mendekati wanita gendut itu, lalu berjongkok sambil memegang leher wanita itu dengan dua jarinya.

"Dia sudah tewas," desis Kosim.

To Be Continue….

Mohon maaf jika ada nama tokoh serta alur yang sama dan kata-kata yang kurang pantas juga ketikan yang typo, hanya khilaf dari author dan tidak ada unsur kesengajaan. Mohon berikan kritik dan saran agar chapter selanjutnya bisa lebih bagus lagi…