Judul: Anyelir Merah

Penulis: Amariys

Jumlah kata: 1635 kata

Fandom/Characters: Kuroko no Basket/Aomine Daiki, Kise Ryota.

Disclaimer: Kuroko no Basket bukan milik saya. Tidak ada keuntungan materi yang saya ambil dari penulisan cerita ini.

Rating: T

Summary: Anyelir merah akan selalu mengingatkan Aomine akan hari kelulusan, Teikou dan Kise.


Kise Ryouta menghela napas panjang seraya memandang pohon sakura yang bermekaran di halaman sekolahnya. Di tangannya, sebuah gulungan ijazah tergenggam dan siswa-siswi di sekitarnya tersenyum lega di hari kelulusan mereka dari Teikou. Seharusnya Kise pun merasa senang. Hari ini ia telah resmi lulus dari Teikou dan dapat menikmati libur panjang sebelum saatnya ia masuk ke Kaijou, sekolah yang memang telah ia pilih sebelumnya. Sayang, Kise justru merasa sedih di hari kelulusannya ini. Bukan karena ia terlalu mencintai kesehariannya di Teikou, namun karena masih ada hal yang ingin ia lakukan sebelum menanggalkan seragam Teikou untuk selamanya. Kenyataan bahwa keinginannya untuk berfoto bersama seluruh pemain regular Teikou tidak akan bisa terpenuhi kini membuat Kise merasa sedih.

Pria berambut pirang itu berjalan tanpa arah, sesekali menanggapi permintaan para siswi untuk berfoto bersama, sampai akhirnya ia berhenti di depan gedung olahraga. Kise menautkan alisnya sebelum menatap ke arah kedua tungkainya, bertanya-tanya dalam hati bagaimana ia dapat berada di sana tanpa sadar. Sejujurnya, Kise sama sekali tidak ingin menginjakkan kaki di gedung olahraga, tidak sejak ia tak pernah lagi merasakan kebahagiaan tiap kali mereka berlatih ataupun bertanding. Tidak sejak Kuroko mengundurkan diri.

Sayangnya, kedua tungkai Kise seperti memiliki pemikiran sendiri dan mereka mengayun dengan mudah, membawa Kise ke dalam gedung olahraga yang lengang. Kise berhenti beberapa langkah di depan pintu, hanya menatap lapangan kosong di hadapannya. Benak Kise dengan mudah mengisi kekosongan itu dengan bayangan para anggota tim basket Teikou yang sedang berlatih. Akashi akan berada di pinggir lapangan, sesekali meneriakkan perintah kepada para pemain, Midorima akan terus menembak tanpa pernah meleset sekalipun, Murasakibara berdiri di bawah ring dengan ekspresi bosan, walau tak ada satupun tembakan lawan yang lolos dari penjagaannya dan—di sini Kise merasakan sakit yang sudah sangat ia kenal—Kuroko pun berada di sana, memberikan operan-operan tak terlihat kepada Aomine yang dengan segera memasukkan bola dengan gayanya yang selalu memukau Kise.

Pandangan Kise sekejap menjadi buram. Bibirnya membentuk lengkung senyum getir sebelum ia memarahi dirinya sendiri. Tidak ada gunanya mengenang masa lalu. Ia tak akan bisa memutar kembali aliran waktu. Kise baru saja hendak berpaling dari gambaran masa-masa terindah baginya saat siluet seseorang yang berdiri di tengah lapangan menangkap perhatiannya. Pria itu hanya berdiri di sana, seolah sama-sama terpaku oleh kenangan yang melekat di gedung tersebut, seperti Kise. Sosok itu bertubuh tinggi, berdiri dengan posisi arogan dan kepala yang sedikit menengadah menatap ring. Kise hanya melihat punggung pria itu dari kejauhan, namun ia tak butuh melihat lebih jauh lagi.

Kise sangat mengenal punggung yang selalu ia kejar, punggung seorang Aomine Daiki.

Seketika, Kise merasa sulit untuk bernapas, seolah ada beban berat yang diletakkan tepat di dadanya. Jantungnya berdegup tak beraturan dan bibirnya terasa kering sementara keringat membuat telapak tangannya licin. Kise gugup. Ia sudah tidak pernah lagi berbicara dengan Aomine; tidak semenjak Kuroko mengundurkan diri dan Aomine berubah menjadi seseorang yang tak pernah menikmati permainan basket. Bertemu dengan Aomine di hari kelulusan nampak seperti candaan tak lucu dari Dewi Fortuna baginya.

Kise bergeming. Ia tidak ingin berbicara dengan Aomine karena ia tahu tak ada satupun yang bisa Kise katakan kepada sang pemain kunci Teikou. Namun, di satu sisi, Kise tak ingin berpisah begitu saja dengan Aomine, idola pertamanya, tanpa mengatakan apapun. Terlebih, punggung Aomine yang berdiri sendirian di sana terlihat sangat menyedihkan.

Tanpa keputusan pasti, Kise melangkah mendekati Aomine. Bunyi yang dihasilkan saat sol sepatunya menyentuh lantai gedung memantul di sekitar ruangan, memecah keheningan yang ada. Aomine menoleh, bola mata beriris birunya menatap sosok Kise yang tersenyum tipis, kemudian kembali berpaling tanpa kata-kata. Senyum Kise mengembang. Setidaknya Aomine tidak menolak kehadirannya.

"Aominecchi," Kise memulai dengan suara yang lebih pelan dari biasanya. Tangannya yang bebas terkepal erat. "Apa Momocchi tahu kau ada di sini?"

"Satsuki bukan ibuku. Dia tidak perlu mengetahui segala hal tentangku." Aomine menggerutu. "Kau sendiri, sedang apa di sini? Apa para fans-mu tidak akan mencari-cari Kise Ryouta, sang model, hmm?"

Kise tertawa wajar. Ia telah terbiasa dengan cemoohan semacam itu dari Aomine. Terlalu terbiasa, mungkin, hingga ia justru merasa lega mendengar perkataan merendahkan itu kembali terarahkan kepadanya. "Tidak akan. Lagipula, Kise Ryouta sang model sedang tidak ada di sini, sekarang."

Jawaban Kise berhasil membuat Aomine kembali memandangnya. Kali ini, sorot pandangan Aomine terlihat sedikit berbeda. Kedua alisnya bertaut tidak senang dan ia membuka mulutnya sebelum berhenti dan mengurungkan niat awalnya. Nampaknya, Aomine akhirnya ingat bahwa ia telah memutuskan untuk tidak memedulikan mantan rekan-rekan satu timnya lagi.

Kembali keheningan merajai seisi gedung. Kedua pria yang berada di sana tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing, menatap ke arah ring dan mengenang semua tawa, canda, kebahagiaan dan kesedihan yang sempat mereka bagi di sana. Mereka berdua mungkin akan merindukan masa-masa itu, namun tak ada satupun yang akan mengakuinya. Tidak dengan ego mereka saat ini.

Kise menjengit, tak tahan dengan tekanan yang dihasilkan oleh sunyi. Aomine mengizinkan bibirnya membentuk lengkung tipis. Mereka berdua sebetulnya sama sekali tidak berubah. Kemudian, Aomine menghela napas, memutuskan untuk mengasihani Kise untuk sekali ini. Lagipula, mereka mungkin tidak akan bertemu sebagai teman lagi setelah ini. Tidak setelah mereka masuk ke sekolah yang berbeda.

"Kau pernah menyangka tiga tahun akan berlalu secepat ini?"

Kise menggeleng menjawab pertanyaan Aomine. "Tidak. Kurasa waktu memang terasa berlalu dengan lebih cepat saat kau sedang bersenang-senang."

Aomine terdiam mencerna perkataan Kise. Bersenang-senang. Entah apakah kata itu tepat digunakan untuk menggambarkan apa yang telah mereka lalui selama tiga tahun di Teikou. Memang, pada awalnya mereka semua bersenang-senang di dalam lapangan, hanya sekadar menikmati permainan basket tanpa perlu mengkhawatirkan apapun. Namun, seiring dengan tumpukan kemenangan yang mereka capai, perlahan kesenangan itu memudar. Basket bukan lagi permainan yang bisa membuat jantung Aomine berdebar lebih cepat karena adrenalin. Tak ada lagi senyuman kemenangan di akhir pertandingan. Kemenangan absolut selalu mereka dapatkan. Apakah mereka, pada akhirnya, benar-benar telah bersenang-senang?

Kemudian Aomine mengingat saat-saat mereka menghabiskan waktu bersama sepulang latihan, sekadar berkumpul untuk menikmati es krim bersama dan melontarkan candaan-candaan ringan. Mungkin, mereka memang telah bersenang-senang. Walaupun demikian, Aomine tidak dapat menyuarakan persetujuan ataupun bantahan untuk menanggapi pernyataan Kise. Ia memutuskan untuk bungkam.

"Aominecchi, ke mana kau akan melanjutkan sekolah?" Kise memecah keheningan sebelum keadaan menjadi canggung.

"Aku belum memutuskannya," Aomine mengedikkan bahu sebelum memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Aneh rasanya berbicara seperti ini kepada Kise, terutama di hari kelulusan mereka. "Tapi, kurasa aku ingin masuk ke sekolah yang memiliki hubungan dengan kepolisian."

"Eh? Aominecchi ingin menjadi polisi?" Keterkejutan membuat Kise berpaling menatap pemain kunci Teikou. Bola mata beriris cokelat madu beradu pandang dengan dua manik biru tua. Napas Kise tercekat. Pandangan Aomine tak pernah gagal membuatnya merasa kecil di hadapan pria itu. Hanya saja, kali ini kedua lutut Kise terasa lemas bukan karena intimidasi, melainkan karena sorot pandang lembut Aomine yang belum pernah Kise lihat sebelumnya. Dan … apa itu rona merah yang mengotori kedua pipi Aomine? Kise tak dapat memercayai penglihatannya.

"Memangnya ada yang salah jika aku ingin menjadi polisi, huh?" Aomine bertanya dengan ketus walaupun rona merah di kedua pipinya semakin gelap. Ia memang tipe yang menutupi rasa malunya dengan amarah.

"…" Untuk sesaat Kise tak bisa mengatakan apa-apa. Ia hanya menatap Aomine dengan mulut yang setengah terbuka dan mata terbelalak. Namun, kemudian, Kise tak dapat menahan dengus tawa yang keluar begitu saja dari bibirnya. "Pfft! Aominecchi menjadi seorang polisi! Aku yakin anak-anak akan ketakutan saat melihatmu!" Kise tergelak.

"Kau-! Berani-beraninya meledekku seperti itu, bodoh!" Aomine bergerak tanpa berpikir, memiting kepala Kise dan mengacak-acak rambut sang model. "Kuberitahu saja, ya, aku pasti bisa menjadi polisi yang hebat dan terkenal!"

Kise masih tergelak, walaupun ia mulai berontak untuk melepaskan diri. Tawanya hampir-hampir memasuki taraf histeris, namun ia tidak peduli. Ia lega, karena ternyata Aomine tidak berubah sama sekali. "Maaf, maaf! Lepaskan aku, Aominecchi! Rambutku bisa rontok kalau kau terus mengacaknya seperti itu!"

"Heh. Aku yakin kau tidak akan laku lagi sebagai model kalau hal itu sampai terjadi." Aomine mengejek dengan seulas seringai di wajahnya, walaupun ia tetap menuruti permintaan Kise dan melepaskan pria berambut pirang itu.

"Jahat sekali. Asal kau tahu, aku terpilih menjadi model karena wajahku, bukan rambutku, Aominecchi." Kise segera merapikan rambutnya, bibirnya melengkung ke bawah, menunjukkan kekesalannya.

"Tidak usah bangga dengan hal itu, Nona Cantik." Aomine memutar bola matanya pelan.

Kekesalan Kise tidak bertahan lama setelah itu. Wajah masamnya segera berganti cerah hanya dalam hitungan detik dan ia pun tersenyum lebar saat mengatakan, "Tenang saja, aku yakin Aominecchi akan menjadi polisi yang hebat! Lagipula, Aominecchi selalu dapat menjadi yang terbaik dalam hal yang digelutinya."

Aomine cukup terkejut mendengar dukungan dari Kise. Ia berkedip memandang rekan sekaligus rivalnya itu, sebelum akhirnya seulas senyum tipis yang tak bisa ia tahan terbentuk di wajahnya. "Trims, Kise."

Seketika, Kise merasa kedua pipinya terasa panas dan ia tahu bahwa rona merah dapat terlihat jelas di sana. Ia memalingkan wajah, tidak mau Aomine melihat ekspresinya saat ini. "A-ah. Tidak masalah, Aominecchi! Selamat berjuang di tes penerimaan nanti! Aku harus pulang sekarang!" Kise bahkan tidak menunggu reaksi dari Aomine sebelum ia berlari keluar dari gedung olahraga, merutuki jantungnya yang berdebar dengan terlalu cepat.

Aomine hanya bisa memandangi sosok Kise yang berlari meninggalkannya dengan wajah memerah. Tangannya terulur, seolah hendak menahan Kise, walaupun kemudian ia menurunkannya kembali dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Apa-apaan itu tadi?"

Pertanyaan Aomine meninggalkan gaung di gedung kosong itu, namun tak ada jawaban yang membalasnya.

xXXx

Keesokan harinya, Aomine Daiki dikejutkan dengan adanya paket yang dikirimkan ke rumahnya. Di dalamnya terdapat sebuah buku berjudul Tokyo Zodiac Murder dan saat Aomine membuka halaman pertama buku itu, sebuah surat dan pembatas buku dari anyelir merah yang dikeringkan terjatuh. Aomine mengambil keduanya dari tanah dan membaca isi surat tersebut.

Aominecchi,

Selamat berjuang untuk menjadi seorang polisi! Bermain one-on-one dengan seorang polisi pasti sangat menyenangkan!

.Kise

Kedua alis Aomine terangkat setelahnya, walaupun sebuah perasaan yang tak bisa ia mengerti perlahan timbul di dalam dirinya. Aomine masih tersenyum saat Satsuki menjemputnya. Saat gadis berambut merah muda itu menanyakan apa yang membuatnya tersenyum, Aomine hanya menyeringai dan menjawab,

"Rahasia."

Di dalam tasnya, setangkai anyelir merah terselip di antara halaman buku catatan Aomine.

xXXx