"Unforgiven Hero Remake"

True Novel Tittle : Unforgiven Hero

True Author Story : Santhy Agatha

Author : moontjdchs

Main Cast : JAEDO

Genre : Drama, Romance

WARNING : Rate M, genderswitch, Remake

'DON'T LIKE DON'T READ DON'T BASH'

Ini Remake dari Novelnya Santhy Agatha, tidak ada yang berubah dari isinya. Cuma untuk Cast-nya aja yang dirubah dan beberapa hal mengenai ceritanya agak dirubah sedikit agar sesuai dengan castnya dan saya disini buat GS.

Happy Reading

Unforgiven Hero Chapter 1

"Kau sangat menyedihkan" Krystal menoleh ke laki-laki di sebelahnya, yang kebetulan kakaknya.

"Bukan urusanmu." Balasnya singkat.

Krystal mendengus lalu menyesap minuman kalengnya dan meletakkannya di dasbor mobil.

"Sampai kapan kau mau begini terus? Sampai dia menjadi nenek-nenek dan tetap tidak menyadari keberadaanmu?"

"Ssttt..." Jaehyun bahkan tidak menoleh ke wajah adiknya yang duduk di sebelahnya. Tatapannya lurus ke depan- ke pintu keluar sebuah gerbang kampus.

Tak lama sosok yang dicarinya itu keluar, dengan senyum manis yang sudah di hafalnya sedang bercanda bersama teman-temannya.

"Dia tersenyum." gumam Jaehyun lega.

"Tentu saja dia tersenyum, dia berhasil lulus dengan predikat Cum Laude." tukas Jaehyun dengan gusar,

"Dan itu gara-gara siapa?"

"Aku tidak mau membahasnya."

"Gara-gara kau! semua gara-gara perjuanganmu, Oppa." Krystal tidak mempedulikan peringatan kakaknya dan terus melanjutkan.

"Sekarang kau bahkan tidak bisa memberi selamat kepadanya. Malah mengintip dari jauh seperti ini. Benar-benar menyedihkan!"

Jaehyun terus menatap sosok itu sampai menjauh. Menghilang di dalam bus yang di naikinya.

"Dia bahkan masih naik bus. Aku harus mengusahakan kendaraan untuknya, supaya dia tidak perlu menunggu bus lagi."

Perkataan itu semakin membuat Krystal gusar, karena kakaknya itu tidak memperhatikan kata-katanya.

"Kau menyedihkan! Sampai kapan kau menghukum dirimu sendiri seperti ini?"

Sepi. Tampaknya Jaehyun mengganggap pertanyaan adiknya itu tidak perlu dijawab. Dua kakak beradik itu terdiam di dalam Lamborghini yang sengaja di parkir agak jauh dari kampus, agar tidak mencolok.

Jaehyun sibuk dengan pikirannya sendiri. Pikirannya melayang ke masa sepuluh tahun lalu, saat usianya masih 18 tahun.

Kaya, tampan, punya kuasa dan tidak tahu tentang rasa tanggung jawab.

Flashback On

10 tahun yang lalu

"Ini mobil hadiah ulang tahunku. Baru ada dua di negara ini." gumam Jaehyun bangga pada teman-temannya waktu itu.

Semua temannya mengagumi mobil sport warna merah yang diparkir Jaehyun di pinggir jalan.

"Gila! Mobil ini kecepatannya luar biasa mengagumkan, bukan!" seru salah satu temannya.

"Tentu saja." Jawab Jaehyun bangga.

"Lets try it Guys!" seru salah seorang temannya yang lain.

Jaehyun tertawa bangga dengan kesombongan mudanya waktu itu. Malam itu mereka mabuk-mabukkan, berpesta pora.

Malam itu pula Jaehyun belajar bahwa kesenangan sesaat kadang kala bisa merenggut nyawa orang yang tidak bersalah. Mobil yang dia kendarai dalam keadaan mabuk, menabrak sebuah taksi yang berjalan pelan di jalur berlawanan.

Pengemudi taksi itu, lelaki tua yang tidak tahu apa-apa. Tewas seketika.

Tentu saja semua permasalahan dapat dibereskan dengan cepat. Ayah Jaehyun adalah pengusaha yang sangat berpengaruh di Korea karena harta dan kekuasaannya yang melimpah.

Tidak ada yang mempermasalahkan kenapa Jaehyun mengendarai kendaraannya dalam kondisi mabuk berat, uang jaminan sudah disiapkan.

Jaehyun sendiri waktu itu lebih mencemaskan keadaannya daripada memikirkan supir taksi tua yang tewas itu. Toh supir taksi itu lebih beruntung langsung tewas, tidak merasakan sakit seperti dirinya.

Limpanya terbentur keras, bengkak. Sehingga memerlukan perawatan dan pengobatan khusus. Rasa sakitnya sungguh tidak terkira.

Bahkan Jaehyun sempat menyalahkan supir taksi kurang ajar. Kenapa bisa ada di jalan yang berlawanan dengan dirinya sehingga bisa tertabrak.

Semua permasalahan dibereskan dengan cepat oleh ayahnya. Jaehyun langsung di kirim ke Amerika untuk menjalani pengobatan.

Sampai 6 bulan kemudian setelah kecelakaan itu, dia pulang ke Korea. Ibunya, seorang perempuan Amerika yang sudah tinggal di Seoul sejak menikah dengan Ayahnya, mengingatkannya.

"Kau tidak pernah ingin tahu tentang mereka, Sayang?" tanya Ibunya.

Jaehyun yang merasa bosan karena harus beristirahat di rumah dan tidak bisa keluar rumah menatap ibunya dengan marah.

"Untuk apa eomma? Bukankah appa sudah memberikan tunjangan yang sepadan untuk mereka? Mungkin lebih banyak dari yang bisa dihasilkan supir taksi itu ketika dia hidup." Kesombongan membuat suaranya terdengar keras.

Sang ibu menggelengkan kepalanya, "Supir Taksi itu memiliki istri yang berduka dan seorang anak yang masih membutuhkan biaya sekolah. Apakah kau tidak menyesal atas kehilangan yang dialami anak kecil itu Jae?"

Jaehyun merasa terganggu mendengar ucapan ibunya, "Sebenarnya apa yang eomma inginkan dariku?"

"Eomma hanya ingin merasa sedikit lega. Eomma ingin kau kesana dan meminta maaf langsung. Bahkan selama ini hanya pegawai appamu yang datang kesana dan mengurus semuanya."

Jaehyun mencibir, "Mereka itu keluarga miskin. Kalau aku datang kesana dan menunjukkan penyesalan, mungkin mereka akan meminta tambahan tunjangan lagi."

"Kalau begitu beri saja. Kau sudah mengambil nyawa seorang ayah, Jaehyun. Berapapun harta yang kau berikan, itu tak akan tergantikan."

Keesokkan harinya Jaehyun datang kerumah supir taksi itu, dia diantarkan oleh supir keluarganya. Tak lupa dia membawa buket bunga di tangannya.

Ternyata mobilnya tidak bisa masuk ke komplek itu, Jaehyun masih harus berjalan melewati gang sempit dan rumah-rumah tak terurus dengan bau yang mengganggu indra penciumannya.

Dengan jijik dipandanginya lumpur di sepatu mahalnya,

'aku akan membuang sepatu ini', putusnya jengkel.

Rumah itu sederhana. Terletak di ujung gang, tapi tampak paling bersih di antara semua rumah yang berdesak-desakan di sana. Kelihatannya seseorang berusaha meletakkan pot-pot mungil berisi bunga mawar untuk menutupi pagar jelek yang menyedihkan di depan rumah itu.

Ketika Jaehyun mengucapkan permisi di pintu. Seorang gadis remaja, mungkin usianya beberapa tahun di bawahnya muncul dari ruang tamu dan menatapnya curiga.

Gadis itu cantik. itu yang Jaehyun pikirkan pertama kali melihatnya. Cantik, dengan tatapan mata yang cerdas. Meskipun hanya berpakaian sederhana, tetap saja tidak bisa menahan keterpesonaan Jaehyun.

"Siapa?" tanya gadis itu hati-hati.

Jaehyun memasang senyumnya yang paling mempesona menampilkan kedua dimple miliknya. Selama ini banyak perempuan yang mengejarnya dan dia tidak pernah meragukan pesonanya.

"Saya Jung Jaehyun. Maaf saya baru bisa kemari. Saya baru pulang dari Amerika setelah menjalani perawatan medis karena luka setelah kecelakaan itu."

Setelah kalimat itu. Jaehyun bahkan tidak bisa mengingat dengan jelas apa yang terjadi, yang bisa diingatnya adalah jeritan histeris penuh kemarahan sang gadis, tetangga-tetangga yang berdatangan untuk memisahkan mereka karena sang gadis tiba-tiba menyerangnya dengan tamparan bertubi-tubi, bunga-bunga yang berserakan dihancurkan gadis itu, dan ancaman penuh kebencian dari si gadis kecil.

"Jangan pernah kau menampakkan wajahmu di muka kami! Kau manusia hina yang bersembunyi di balik kekuasaan ayahmu. Manusia pengecut, tidak bertanggung jawab! Kau pikir nyawa manusia bisa diganti semudah itu dengan uang? Kami memang miskin, tapi kami punya harga diri! Jadi sebelum kau bisa menunjukkan kalau kau punya harga diri, jangan berani-berani menunjukkan mukamu di depan kami!"

Hari itu, Jaehyun diberitahu oleh seorang tetangga, sang ibu yang jatuh sakit karena tak kuat menahan kepedihan. Meninggal semalam dalam kondisi sakit parah, menyusul ayahnya.

Hari itu juga, Jaehyun menyadari bahwa perbuatannya telah menghancurkan hidup sebuah keluarga.

"Mereka sama sekali tidak mau menerima uang tunjangan dari keluarga kita, itulah yang mengganjal di hati eomma." sang Ibu menatap Jaehyun sedih.

"Gadis itu membenciku eomma, baru kali ini aku menerima tatapan kebencian seperti itu."

Jaehyun masih terpekur shock dengan kejadian yang baru di alaminya. Sang Ibu hanya menatapnya sedih.

"Gadis itu kehilangan ayahnya dengan tragis, dan ibunya pula. Apalagi yang bisa dilakukannya selain menumpahkan kebencian padamu, penyebab semua ini?"

"Dia sebatang kara. Dia tidak mau menerima bantuan dari kita, lalu aku harus berbuat apa eomma?"

Ibunya menatap Jaehyun dengan kebijaksanaan yang diperolehnya dari pengalaman hidupnya bertahun-tahun, "Mungkin kau harus memulainya dari dirimu sendiri dulu Nak."

Flashback Off

"Mau sampai kapan kita parkir disini? Gadis itu sudah pergi sejak tadi." suara Krystal memecahkan keheningan, hampir membuat Jaehyun berjingkat karena kaget.

"Melamun lagi ya? Akhir-akhir ini kebiasaanmu melamun makin parah."

Jaehyun menarik napas lalu memundurkan mobilnya keluar dari parkiran, "Terima kasih sudah menemaniku menunggunya."

Krystal menatap kakaknya seksama, lalu tatapannya berubah penuh sayang.

Kejadian kecelakaan itu sudah lama, tapi kakaknya menanggung beban rasa berdosa itu di pundaknya tanpa henti. Sampai seolah-olah Jaehyun sudah lupa bagaimana caranya tersenyum.

"Aku sayang padamu Oppa. Aku tidak tahan jika kau terus-terusan dalam kondisi seperti ini."

Jaehyun terdiam, tidak menanggapi. "Dia sudah lulus kuliah, nilainya bagus. Dia pasti akan diterima di perusahaan yang juga telah susah payah kau siapkan untuknya."

Krystal menatap Jaehyun penuh arti, lalu mendesah ketika Jaehyun tidak mengatakan apa-apa.

"Bukankah ini waktunya kau berhenti, Oppa?"

"Berhenti apa?" tanya Jaehyun.

"Berhenti memikul tanggung jawab ini seolah-olah kamu tidak akan pernah termaafkan" Cengkeraman Jaehyun di roda kemudi semakin erat.

"Aku memang tidak akan pernah termaafkan."

"Kejadian itu udah lama berlalu. Gadis itu bahkan mungkin sudah kehilangan kesedihannya dan menjalani hidup dengan bahagia."

Jaehyun mengernyit menggelengkan kepala. Membantah apapun yang berusaha diucapkan oleh adiknya.

"Tidak. Aku yang merenggut semua kebahagiaannya. Sebelum semua bisa aku kembalikan kepadanya dalam kondisi utuh. Aku tidak akan berhenti."

"Kau itu menyedihkan." Krystal menatap kakaknya dengan pandangan jengkel. Merasa seperti kaset yang rusak karena mengulang-ulang kalimatnya terus-menerus.

"Aku berdoa, semoga suatu saat gadis itu tahu siapa yang berada dibalik hidupnya yang berjalan dengan begitu mudah selama ini."

"Surat panggilan untukmu." Pengurus asrama menyerahkan surat yang terbungkus rapi oleh amplop berbahan kertas mahal itu.

Doyoung mengernyitkan kening. Dibacanya kepala surat di amplop surat itu yang ditulis dengan tinta emas elegan dengan lambang perusahaan yang sangat bonafit.

Perusahaan ini bergerak di bidang jasa konstruksi dan sangat terkenal. Doyoung tahu lambang perusahaan ini. Dia mengenal perusahaan ini, yang sering disebut-sebut oleh dosennya, dan juga sering muncul di berbagai media massa terutama yang menyangkut literatur bisnis dan keuangan.

Perusahaan ini benar-benar didirikan dari bawah. Menurut gosip pemiliknya masih muda. Memulai usaha ini setelah pulang dari sekolahnya di Amerika.

Dia mendirikan perusahaan dengan sistem yang serupa dengan joint ventura dengan penanaman modal dari perusahaan asing yang bergerak di bidang sejenis.

Kemudian dalam waktu lima tahun sudah merajai jajaran perusahaan konstruksi yang patut diperhitungkan.

Sebuah surat panggilan? itu benar-benar membuat Doyoung bingung, dia tidak pernah merasa mengirimkan lamaran ke perusahaan ini. Perusahaan ini terlalu bonafit untuk fresh graduation seperti dirinya. Bagaimana mungkin ada surat panggilan kalau dia tidak pernah mengajukan surat lamaran?

Pengurus asrama tersenyum melihat keragu-raguan Doyoung, "Sudah buka saja. Mungkin isinya benar-benar panggilan kerja untukmu."

"Tapi eomma, aku tidak pernah merasa mengirimkan lamaran ke perusahaan ini." Doyoung terbiasa memanggil pemilik asrama ini dengan sebutan eomma.

Bibi Pengurus asrama ini sudah seperti ibu kedua baginya. Ketika dia sebatang kara dan kedua orang tuanya meninggal dulu.

Doyoung memutuskan untuk berhenti sekolah dan mencari pekerjaan.

Kebetulan waktu itu seorang tetangganya mengenalkannya dengan eomma Park, seorang pegawai yang bertanggung jawab terhadap sebuah asrama putri yang saat itu sedang membutuhkan pembantu dan teman untuk menunggui asrama milik sebuah yayasan swasta tersebut.

Eomma Park adalah seorang janda tanpa anak yang hidup sendirian. Kehadiran Doyoung sangat membantunya. Bahkan kemudian eomma Park mengusahakan beasiswa untuk Doyoung agar dia bisa melanjutkan sekolahnya.

Kemudian semua terasa mudah bagi Doyoung, beasiswanya terus berlanjut hingga Doyoung bisa lulus kuliah. Tentu saja sebagian biaya hidupnya harus Doyoung tanggung sendiri, dia sekolah sekaligus bekerja sebagai pegawai asrama putri tersebut, mengurus administrasinya, bahkan kadang menjadi pegawai kebersihan kalau sedang tidak ada tenaga kebersihan.

"Mungkin itu rekomendasi dari Universitasmu, kau kan lulusan terbaik." Eomma Park tersenyum lembut, "Ayo, bukalah."

Dengan enggan dan sedikit takut-takut, Doyoung merobek amplop itu. Sebelumnya dia memastikan kalau amplop itu benar-benar ditujukan padanya. Setelah yakin dia mengeluarkan kertas surat yang tak kalah elegan dengan amplopnya itu dan mulai membaca isinya.

Dengan Hormat,

...maka kami memanggil anda untuk menjalani rangkaian interview...

Doyoung mengerutkan keningnya, membacanya berulang-ulang.

"Bagaimana?" Eomma Park tampak begitu optimis dan penasaran. Doyoung tersenyum, "Memang surat panggilan pekerjaan."

"Kau harus datang."

"Tapi eomma... aku masih bingung."

Eomma Park menggelengkan kepalanya, menelan semua bantahan Doyoung, "Tidak semua orang berkesempatan sepertimu Young, kau harus datang memenuhi panggilan kerja itu."

Doyoung terdiam, mengerutkan kening. Tapi pikirannya melayang, hidupnya terasa begitu mudah. Seolah-olah Tuhan mengulurkan tangan-Nya langsung dan membantunya.

Dia mendapatkan semuanya dengan begitu mudah. Rumah asrama yang menampungnya gratis, beasiswa demi beasiswa untuk melanjutkan sekolahnya, eomma Park sebagai pengganti orangtuanya, pekerjaan yang sangat fleksibel yang memungkinkannya bekerja sambil sekolah sekaligus menyediakan uang untuk kebutuhan pribadinya.

Sekarang, begitu lulus pun, tawaran pekerjaan langsung datang kepadanya. Tidak tanggung-tanggung, langsung di sebuah perusahaan bonafit berkelas tingggi.

Doyoung tersenyum dan otomatis memandang ke atas. Ke titik khayalan yang dibayangkannya.

"Hei malaikat pelindungku." bisiknya pelan kepada langit.

"Kau pasti sudah bekerja sangat keras, bernegosiasi dengan Tuhan untuk membuat hidupku begitu mudah. Terima kasih." Ujarnya sambil tersenyum.

Doyoung merapikan rok setelan kerjanya yang sedikit kusut dengan gugup. Bus yang dinaikinya sangat penuh dan sesak sehingga penampilan Doyoung jadi tidak serapi ketika dia berangkat tadi.

Sekarang disinilah dia berdiri di lobby mewah perusahaan ini dengan keragu-raguan dan kecemasan yang tampak jelas.

'Aku telah berbuat kesalahan dengan kesini, ini bukanlah tempatku', desahnya dalam hati.

Doyoung mengusap keringat di dahinya ketika petugas resepsionis yang ramah tersenyum kepadanya, mengundangnya mendekat.

"Ada yang bisa saya bantu?" Resepsionis itu mungkin kasihan melihat Doyoung yang gugup dan kebingungan seperti salah tempat.

"Eh... ini..." Doyoung mengeluarkan surat panggilan interview yang diterimanya kemarin. Dia mengeluarkannya dengan hati-hati seolah itu harta karun berharga dan menunjukkannya kepada sang resepsionis.

"Saya mendapatkan panggilan interview di sini hari ini." Resepsionis itu menerimanya dan mengerutkan kening.

Dia adalah pegawai berpengalaman. Dia tahu bahwa surat panggilan ini tidak main-main. Dikirimkan langsung oleh sekretaris sang owner bahkan ditandatangani langsung olehnya. Ini bukan surat sembarangan. Surat Penting.

"Sebentar, saya akan menelepon atasan saya." Sikap sang sekretaris yang ramah dan mengasihani itu langsung berubah serius dan dia meninggalkan Doyoung untuk menelepon atasannya.

Jantung Doyoung langsung berdegup kencang. Pikiran-pikiran buruk langsung menerpanya.

'Apakah dia salah? Apakah surat itu palsu? Atau mungkin sekedar lelucon untuk mengerjainya?'

'Astaga!' Pekiknya dalam tak pernah terpikirkan di benaknya tentang kemungkinan itu?

Doyoung memandang sekeliling dengan gelisah.

'Apakah dia akan diusir? Apakah dia akan dipermalukan?'

Rasanya lama sekali ketika Resepsionis itu kembali dari belakang. Dia sudah berhasil menguasai diri rupanya, senyum ramahnya sudah kembali.

"Interview akan dilakukan di lantai lima, saya akan meminta petugas kami untuk menemani anda ke atas."

Seorang petugas entah muncul dari mana dengan ramah menemani Doyoung melangkah masuk lift menuju lantai lima.

"Mari nona. Silahkan duduk dulu di situ, saya akan memberitahukan kedatangan anda."

Doyoung duduk di sofa sambil tetap mengerutkan kening, memberitahukan kedatangannya?

Kenapa seolah-olah dia adalah tamu yang sudah ditunggu dan bukannya salah seorang calon pegawai yang akan menghadapi test interview?

Dimana yang lain?

Doyoung memandang sekeliling yang sepi. Dia menyangka akan di interview bersama calon-calon pegawai lainnya tapi ternyata dia cuma sendirian.

"Silahkan Nona. Beliau berkenan menemui anda."

Masih dengan bertanya-tanya Doyoung melangkah memasuki ruangan itu. Sebuah ruangan rapat kecil yang mungkin difungsikan untuk mewawancarai calon pegawai.

Seorang perempuan yang sangat elegan dan cantik menunggunya di sana. Cantik sekali seperti model, wajahnya sangat beribawa dan terkesan dingin seperti Miss Korea. Dibalut setelan kantornya yang terlihat mahal dan menarik.

"Selamat siang. Silahkan duduk." gumamnya datar mempersilahkan.

Dengan canggung Doyoung duduk di hadapan perempuan itu.

"Saya Jung Krystal, Manager Utama. Mungkin anda bertanya-tanya kenapa anda bisa mendapat panggilan di perusahaan ini. Kami memperoleh rekomendasi dari universitas anda. Anda adalah lulusan terbaik di sana."

Rupanya kata-kata eomma Park ada benarnya, dia dipanggil karena rekomendasi dari kampusnya.

"Baik, pekerjaan yang akan ditawarkan kepada anda adalah Staff inti dari Direksi. Maksud saya, anda akan bekerja sebagai bawahan langsung dari Pemilik Perusahaan ini."

Otak Doyoung serasa dicubit, Staff direksi? Kenapa untuk jabatan sepenting staff direksi, perusahaan ini mengambil seorang lulusan baru sepertinya? Bukankah untuk jabatan seperti itu biasanya sebuah perusahaan akan mengambil dan mempromosikan pegawainya yang sudah lama mengabdi untuk naik jabatan?

Tapi pertanyaan-pertanyaan di otak Doyoung langsung terabaikan ketika dia berusaha berkonsentrasi penuh atas wawancara resmi yang mulai dilakukan oleh Manager yang cantik itu.

Wawancara itu berlangsung lama dan begitu resmi. Doyoung menjawab semua sesuai kemampuannya. Setelah pertanyaan terakhir dijawab, Nona Jung terdiam agak lama dan menatap catatan di mejanya. Perempuan itu lalu menatap Doyoung lama seolah-olah ingin membaca isi hati Doyoung.

"Kalau anda diterima. Seberapa cepat anda bisa mulai bekerja di perusahaan kami?"

Doyoung tergeragap, tidak menduga akan ditanya selugas itu. Biasanya mereka akan menyalaminya terlebih dahulu, kemudian mengatakan akan melakukan evaluasi dan akan menghubungi beberapa waktu nanti, bukan?

"Saya bisa kapan saja." jawab Doyoung cepat.

Krystal menganggukkan kepalanya, "Anda diterima. Saya ingin anda siap dan mulai bekerja senin depan. Cukupkah waktu untuk mempersiapkan semuanya? Tiga hari?"

Doyoung menganggukkan kepalanya meski masih merasa seperti mimpi, "Baik. Saya akan siap."

Krystal berdiri dan mau tak mau Doyoung ikut berdiri juga. Perempuan itu lalu menyalaminya dengan senyuman yang sulit diartikan.

"Semoga sukses di perusahaan ini." Dia lalu melepaskan tanggannya dan melangkah keluar.

"Sampai bertemu lagi, anda bisa keluar sendiri kan?" dengan langkah cepat dan tegas, setegas pembawaannya, wanita itu meninggalkan Doyoung sendirian.

Meninggalkan Doyoung yang terpaku di tengah ruangan itu, menahan keinginan kuat untuk mencubit dirinya sendiri.

Secepat ini prosesnya? Mimpikah dirinya?

"Sudah beres." Krystal meletakkan berkas-berkas itu di meja Jaehyun. "Gomawo." Jaehyun tersenyum menatap adiknya, "Bagaimana?"

"Dia kebingungan." Krystal mencibir, "Semua ini terlalu mudah. Kalau aku jadi dia, pasti juga akan sebingung dia. Oppa, kau sudah membuatku melanggar aturan perusahaan dalam merekrut pegawai."

Jaehyun tersenyum miris, "Perusahaan ini milikku. Aku berhak menentukan penerapan aturan itu."

Krystal mengangkat bahunya, "Yah... Lagipula siapa aku berhak menentangmu Oppa. Bisa dibilang kau merintis perusahaan ini demi gadis itu. Sekarang keinginanmu udah tercapai, Jaehyun Oppa."

"Panggil aku Mr. Jeffrey jika disini."

Krystal mengernyitkan alisnya tidak setuju, "Dia pasti akan tahu suatu saat nanti, Jaehyun Oppa," dengan keras kepala Krystal tetap memanggil kakaknya dengan panggilan "Jaehyun".

"Ayah kita bisa dibilang pengusaha dengan nama besar, suatu saat nanti dia pasti akan bisa menghubungkan namamu dengan ayah, dan identitasmu akan terbongkar."

Jaehyun diam tidak membantah kebenaran yang terasa jelas di ucapkan adiknya, matanya menerawang.

"Dia akan tahu, nanti, setelah aku membereskan semuanya untuknya."

"Dan kau pikir dia akan berterima kasih padamu nantinya?" ucap Krystal sebal.

Jaehyun menggeleng dan tersenyum, "Ini bukan tentang pemberian dan rasa terima kasih. Ini tentang hutang yang dibayar, Krystal-ya. Tidak pernah ada orang yang wajib berterima kasih atas hutangnya yang dibayarkan, yang ada, yang berhutang itulah yang wajib mengucapkan terima kasih."

Krystal mendesah, menatap kakaknya dengan sedih, "Aku cuma bisa mendoakanmu. Semoga semua baik-baik saja." dan menyerahkan semuanya pada Tuhan, sambung Krystal dalam hati. Meskipun dia mulai merasa tidak yakin, sebab seperti kata orang-orang bahwa Tuhan itu Maha Pemaaf, kenapa Dia membiarkan kakaknya menanggung dosa dan rasa bersalahnya selama bertahun-tahun?

JD

"Ini ruanganmu", perempuan yang lebih tua itu menunjukkan sebuah ruangan kecil di sudut yang terletak di lantai paling atas gedung megah itu.

"Seluruh staff direksi berjumlah delapan orang - termasuk dirimu. Kami bertugas untuk memfasilitasi kegiatan owner perusahaan ini, Mr. Jeffrey. Tugasmu adalah membantu Park Sooyoung , sekertaris direksi terutama karena dia akan cuti hamil satu bulan lagi. Kau harus bisa mem-back up semua pekerjaannya selama dia cuti nanti. Jadi sekarang dia yang akan menjadi mentormu."

Perempuan yang lebih tua itu, Kwon Yuri mengedikkan bahu ke arah seorang perempuan muda cantik yang tadi tidak sempat dilihatnya, Park Sooyoung. Perempuan muda cantik yang kelihatan montok karena sedang hamil besar itu tersenyum padanya. Doyoung merasa lega karena mentornya itu kelihatannya sangat baik.

"Yuri eonni memang kelihatan ketus, tapi dia sangat baik. Dia bisa dibilang wakil direktur utama disini. Dia yang menghandle semuanya jika Mr. Jeffrey sedang tidak ada di tempat."

Sooyoung menjelaskan sambil tersenyum ketika mereka duduk bersama. Sooyoung menerangkan tugas-tugasnya.

"Pemilik perusahaan ini namanya Mr. Jeffrey?" Doyoung sudah tahu sebenarnya, karena penasaran, kemarin dia membeli dan membaca berbagai majalah bisnis yang menyangkut perusahaan ini. Sesuai dengan keterangan dosennya waktu mencontohkan perusahaan ini sebagai materi kuliahnya, pemilik perusahaan ini masih muda -muda dan cemerlang, karena bisa membangun bisnis sesukses ini dalam waktu yang begitu singkat.

"Ya, kau akan sering bertemu dengannya nanti, apalagi saat aku cuti melahirkan nanti. Bisa dibilang pekerjaannmu adalah mengatur seluruh jadwal dan keperluannya." Sooyoung tersenyum dan matanya menerawang, "Jangan kuatir, Mr. Jeffrey tidak seketus Yuri eonni. Dia sangat baik dan tenang, tidak pernah marah, dan sangat tampan karena eommanya berdarah Amerika. Bayangkan pria-pria Amerika yang sexy itu." Sooyoung mengedip nakal.

"Biarpun beliau sedikit murung. Seperti ada sesuatu yang selalu tersimpan di benaknya, membuatnya susah tersenyum, tapi walaupun begitu..." Sooyoung mengedipkan matanya lagi, "Dia adalah bujangan paling diincar disini. Kesan misteriusnya malah membuatnya semakin banyak penggemar. Sayang dia begitu penuh rahasia, tidak pernah ada kelihatan dia dekat dengan siapapun."

Doyoung mengernyit. Muda, kaya, sukses dan cemerlang, tapi tidak pernah dekat dengan satu perempuan pun?

Sooyoung tertawa, bisa membaca apa yang ada di pikiran Doyoung, "Dia bukan gay." bisiknya pelan.

"Sebenarnya ini rahasia, tapi aku pernah mengatur beberapa pertemuan beliau dengan perempuan-perempuan cantik dari kalangan atas, tapi hubungan mereka sambil lalu saja. Mr. Jeffrey tidak pernah menjalin hubungan lama dengan satu wanita," Sooyung menghela nafas dengan dramatis.

"Lelaki setampan itu..." Sooyoung menggantungkan kalimatnya.

Lalu melanjutkannya, "Kau tidak boleh jatuh cinta kepadanya Young, daripada kau nanti patah hati seperti yang dialami beberapa karyawan disini. Mereka berani memendam perasaan kepada Mr. Jeffrey dan semuanya berujung patah hati, Mr. Jeffrey tidak sedikit pun melirik mereka."

'Aku tidak akan jatuh cinta kepada 'Mr. Jeffrey' itu.' Doyoung tersenyum dikulum, berpikir dalam hati.

Dari ceritanya, lelaki itu terdengar terlalu sempurna-, sempurna dan pemurung, sama sekali bukan tipe lelaki idaman Doyoung. Kekasih impiannya adalah lelaki biasa yang ceria dan bisa membuatnya tertawa setiap saat.

'Dan lelaki itu bukan Mr.Jeffrey, aku tidak akan pernah jatuh cinta kepadanya.' Yakin Doyoung dalam hati.

Meskipun keyakinan manusia kadang kala bisa bertentangan dengan kehendak Tuhan.

'Dia ada disini.'

Jaehyun menelan ludahnya, merasa konyol karena kegugupannya.

Astaga! Dia yang selama ini menghadapi begitu banyak orang dengan percaya diri sekarang merasa gugup hanya karena seorang perempuan biasa yang bahkan tidak akan mengenalinya.

Jaehyun berdehem menenangkan diri, tapi perempuan ini bukan perempuan biasa. Perempuan ini lah - entah sadar atau tidak, telah mengubah seluruh kehidupannya. Telah mengubah seluruh cara pandangnya terhadap kehidupan. Perempuan inilah yang sekarang telah menjadi tujuan hidup seorang Jung Jaehyun. Kebahagiaannya adalah tujuan hidup Jaehyun.

Setelah menarik napas panjang, Jaehyun melangkah masuk ke ruangan kantor staff direksi. Yuri sedang berdiri di dekat pintu dan langsung membungkuk kepadanya.

"Selamat pagi Mr. Jeffrey." sapanya hormat.

Jaehyun mengangguk tak kentara, matanya berputar ke sekeliling ruangan.

'Dimana Doyoung? Seharusnya dia mulai bekerja hari ini kan?'

Yuri sepertinya menyadari apa yang dicari oleh Jaehyun. Dia termasuk orang kepercayaan Jaehyun yang tahu rencana boss-nya itu ketika memasukkan Doyoung keperusahaan ini.

"Dia sedang ke toilet, Mr. Jeffrey."

Jaehyun mengangguk, merasa sedikit malu karena wakil direksinya ini menyadari apa yang dicarinya.

"Suruh dia menghadap ke ruanganku nanti", gumamnya setelah berdehem dan melangkah masuk ke dalam ruangannya.

Di dalam ruangannya, Jaehyun merasa begitu susah berkonsentrasi. Berkali-kali dia melemparkan pandangan ke pintu dengan gelisah. Kenapa Doyoung lama sekali?

Jaehyun merasa bahwa detik pertemuan inilah yang nantinya akan menentukan langkah ke depannya. Dia harus memastikan bahwa Doyoung tidak akan mengenalinya. Tentu saja dia tetap harus menghadapi resiko bahwa Doyoung tetap akan mengenalinya.

Siapa yang bisa mengukur kekuatan ingatan seseorang? Apalagi ingatan tentang kejadian buruk biasanya akan lebih kuat melekat. Jika Doyoung mengenalinya, maka selesailah sudah semuanya.

Jaehyun merasakan jantungnya berdenyut, dia tidak akan siap. Dia tidak akan siap jika Doyoung mengenalinya dan kemudian membencinya dengan kebencian yang sama seperti yang ditunjukkan di pertemuan pertama mereka di masa lalu.

Semoga Doyoung tidak mengenalinya. Jaehyun masih merapalkan doa singkat itu berulang-ulang bagai mantra, ketika sebuah ketukan pelan di pintu mengalihkan perhatiannya.

"Masuk", gumamnya penuh antisipasi.

To Be Continue?

FYI seharusnya dicerita asli kak Santhy pria ini keturunan Spanyol, tapi khusus untuk fanfiction ini, saya ubah Jaehyun keturunan Amerika.