NOTE: One Piece dan karakternya adalah sepenuhnya milik Oda, author hanya meminjam demi hiburan dan asupan semata. Fanfiksi ini sepenuhnya milik author. Kritik dan saran sangat membantu.
Keterangan Umur(?): Franky dan Robin berumur 32 tahun
Zoro berumur 23 tahun
Sanji berumur 22 tahun
Nami, Luffy, Ussop berumur 19 tahun
Chopper berumur 13 tahun
Dan Brook berumur 58 tahun
Chapter 1 – Sweet Cotton Candy
Tidak pernah terlintas dibenaknya sekalipun bahwa perpisahan itu terlalu cepat, ia bahkan tak tau apa yang harus ia katakan di pemakamannya gadis itu. Matanya terpaku akan peti mati bewarna coklat gelap yang mengkilat, ingin rasanya ia menghentikan peti itu masuk terlalu dalam ditanah yang basah. Mengeluarkan gadis itu, membangunkannya dari tidur abadi, dan ingin rasanya ia tetap berharap bahwa ini hanyalah sebuah lelucon kecil yang gadis itu buat. Tapi tidak, ia melihat semuanya. Ia lihat bagaimana mobil yang dikendarai gadis itu menabrak sebuah truk, ia masih ingat berteriak pada gadis itu untuk membanting stir. Ia lihat bagaimana mobil mereka terbalik. Bahkan dia masih ingat silaunya lampu rumah sakit yang bergerak cepat. Kilatan demi kilatan bergerak cepat dimatanya. Ia ingat bagaimana dia berusaha meneriakkan kepada orang-orang untuk lebih membantu gadis itu, kakak perempuannya. Sebelum semuanya menjadi gelap.
Hal pertama yang ia lakukan ketika bangun adalah mencerna semuanya, berharap bahwa itu hanyalah mimpi yang sangat buruk. Namun tidak, hal yang membuatnya tersadar bahwa semua itu bukanlah mimpi adalah warna putih yang memuakkan khas rumah sakit. Infus yang masih menancap dipunggung tangan kanannya memperkuat kenyataan bahwa itu bukanlah mimpi. Ia mencabutnya paksa, bersiap lari dari kamar yang membuatnya sesak. Ingin berteriak memanggil kakaknya, merasa ketakutan yang pelan-pelan menggerogoti kewarasannya. Pintu kamar itu terbuka, pria paruh baya berkacamata memandang kaget menatap punggung tangannya yang berdarah. Dia memandang lelaki paruh baya itu, bertanya dengan nada yang cemas dimana kakaknya.
Mereka bilang kakaknya tak tertolong. Mereka bilang dia hanya bertahan selama 3 hari sebelum menghembuskan nafas terakhirnya. Kakaknya meninggal sehari sebelum ia bangun. Kenapa bukan dia saja yang mati? Kenapa dia bangun? Nafasnya tercekat ketika gilirannya untuk melemparkan bunga kedalam liang itu sebelum ditutup.
"Kuina...", lirihnya pelan sebelum melemparkan bunga.
"Zorooooooooooooooooooo! Lihat! Ada umang-umang!", cowok kurus bercelana pendek biru melambai dengan semangat ke arah pria yang sedang duduk diam dipasir pantai yang hangat. Pria yang satunya, Zoro, hanya melirik sedikit sebelum berteriak juga.
"Kau bisa bawa pulang kalau kau mau, Luffy!". Teriakan itu menghasilkan senyum cerah dan mata berbinar dari Luffy.
Ia tak mengerti kenapa dirinya masih hidup. Semua hal yang ia lakukan untuk mengakhiri hidupnya entah mengapa tak berhasil membuatnya mati. Setiap kali ia terbangun dengan melihat langit-langit putih kamar rumah sakit yang memuakkan, rasanya ia ingin sekali membakar habis seluruh rumah sakit disana. Tidakkah mereka bisa berpikir bahwa ia sudah menyerah? Dia menghela nafas berat. Panasnya cuaca dipantai seperti menambah beban berat ditubuhnya. Melihat luasnya laut biru yang membentang didepan matanya, ada keinginan yang tak tertahakan untuk menenggelamkan dirinya dan berharap tak akan pernah ditemukan. Dia menghela nafas lagi.
"Zorooooo~~! Jangan melamun! Kata Ace, kalau kau melamun terus menerus kau bisa melihat hal-hal aneh! Aku mencoba melamun tapi tidak bisa!", Luffy tiba-tiba sudah berada didepannya. Zoro terkekeh sedikit mendengar hal itu.
"Ya. Ya. Lebih baik kita pulang sebelum Nami ngamuk-ngamuk". Ucapnya seraya beres-beres. Luffy cemberut. Zoro benci laut, tempat yang sangat disukai Kuina.
Zoro awalnya tinggal bersama mereka disebuah rumah besar dipinggir pantai. Namun sejak 2 bulan yang lalu ia pindah ke sebuah apartemen kecil dipinggir kota, kadang dia akan mampir sebentar untuk menginap beberapa hari agar teman-temannya tau kalau ia masih bernafas. Sungguh, dia sebenarnya malas, ia ingin tetap didalam kamarnya. Menenggak berbotol-botol minuman keras, berharap dia keracunan alkohol. Namun tidak, temannya akan mendatanginya tanpa diundang. Ia tau kalau teman-temannya khawatir semenjak ia mencoba untuk "tidak sengaja" bercekcok dengan preman di bar. Berakhir dengan dirinya disayat dari bahu ke pinggang oleh bos preman –yang diketahui ternyata mafia-. Entah kenapa dia masih saja hidup, walau luka itu hampir –HAMPIR- saja merenggut nyawanya. Ck, seseorang yang mengatur kematian benar-benar tidak ingin melihat dirinya. Menyedihkan? Memang, ia akui itu. Semua orang akan mati, lalu kenapa ia seperti tak diizinkan untuk mempercepat prosesnya? Dia terbiasa mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Dia terbiasa memberikan cengiran palsu yang khas. Memendam semua perasaan tenggelam didalam pikirannya sendiri. Zoro menghela nafas panjang.
Rumah yang mereka tempati bisa dibilang lumayan besar, dengan 8 kamar tidur. 2 kamar utama yang besar berada dilantai 2 dengan 1 kamar mandi disetiap kamar. 3 kamar dilantai 1 dengan dua kamar mandi. 2 kamar di lantai 3 dengan 1 kamar mandi. Rumah ini diberikan oleh tunangan Ussop, salah satu warisan dari keluarganya yang kaya dan direnovasi sedikit oleh Franky di beberapa tempat. Zoro awalnya menempati salah satu kamar yang berada dilantai 3 sendirian sebelum ia pindah ke apartemen kecilnya.
Sampai didepan pintu rumah itu, Zoro menarik nafasnya panjang. Mempersiapkan semua jawaban akan pertanyaan yang mungkin akan ditanyakan berulang kali, mempersiapkan ekspresi-nya, dan mengubur semua emosi negatifnya. Hirup. Hembus. Hirup. Hembus.
"Namiiiiiiiiii! Lihat! Aku bawa umang-umang!", teriak Luffy ketika pintu itu terbuka,mengagetkan Zoro dari lamunan kecilnya. Suara teriakan Nami yang menjawab pernyataan Luffy sedikit membuatnya terkekeh. Teman-temannya adalah orang yang paling menyenangkan, ia akui itu. Mereka berisik, mereka sangat 'hidup'.
Dia menggelengkan kepalanya sedikit, memaklumi semua teriakan-teriakan yang tetap berlanjut. Berjalan masuk, ia langsung menghempaskan dirinya ke sofa yang berada di ruang tv.
"Kau akan menginap hari ini." Ucap Nami, berjalan keluar dari dapur dengan membawa sebuah mangkuk berisi sereal. Itu bukan pertanyaan, itu sebuah pernyataan.
Zoro hanya menggumam kecil dan menganggukkan kepalanya seraya mengambil remote tv. Mengganti-ganti saluran seenaknya sebelum remotnya direbut paksa oleh Nami.
"Aku sedang nonton, sialan!", ucapnya, memukul pelan kepala Zoro dengan remote sebelum mengganti kesaluran yang ia tonton sebelumnya.
"Aw! Jangan pukul kepala ku, penyihir!", teriaknya. Sedikit melebih-lebihkan seraya memegang kepalanya.
"Jangan lebay, Zoro. Aku tidak memukulmu dengan keras. Oh iya, kau akan menginap 2 minggu,'kan?", Tanya Nami. Selalu memutuskan seenaknya.
"Tidak bisa selama itu. Aku kerja. Jadi mungkin aku disini hanya 2 hari terhitung hari ini." Jawabnya. Ia tidak bohong, dia bekerja sebagai kasir dicafe kecil dekat dengan apartemennya. Ia mulai bekerja semenjak seminggu yang lalu, ditawarkan oleh Ace, kakak Luffy, yang juga bekerja di situ yang terkadang punya shift yang sama padanya. Mata-mata,istilah kasarnya. Ia sangat yakin bahwa Nami atau Robin yang menyuruh Ace untuk 'mencarikan' pekerjaan untuknya. Ia menutup dojonya sementara semenjak Kuina meninggal, terlalu sakit melihat dojo dan rumah mereka kosong tanpa kakak ataupun ayahnya, Koshiro yang meninggal setahun sebelumnya.
Nami cemberut sebentar, menggigit ujung sendoknya. Sangat jelas dia ingin Zoro tinggal lebih lama. Ide bagus terlintas dibenaknya. Nami tersenyum cerah seraya menghadap Zoro yang berada di sebelahnya.
"Aku akan bilang pada Ace untuk meliburkanmu setidaknya seminggu, bagaimana? Kau tau, dirumah ini akan ada pendatang baru. Akhirnya aku bisa mendapatkan uang lebih karena dia akan menyewa kamar diatas sebelah kamarmu." Nami menepuk tangannya sekali.
"Lalu kenapa aku harus libur?", Tanya Zoro, menyuap sesendok sereal Nami dan mengunyahnya.
"Ck! Zoro! Kau bisa bantu-bantu bawa barang, dan aku yakin Luffy juga mau kau tinggal untuk merayakan 'pesta' penyambutannya hari kamis! Dan aku sangat yakin kalau kau punya hutang padaku! Jadi kau jangan membantah! Huft!", celoteh Nami, mengambil kembali sendoknya dari tangan Zoro.
Zoro berdecak ketika mendengar kata 'hutang'. Entah mengapa ia rasa hutangnya tidak berkurang—ia rasa malah bertambah-.
"Dimana yang lain? Aku tak melihat mereka, Chopper mana?" Tanyanya. Rumah itu sepi, tidak ada tanda-tanda kehidupan lain selain mereka. Nami tersenyum sedikit ketika Zoro menanyakan Chopper. Zoro sangat menyukai Chopper seperti adiknya sendiri, begitu juga sebaliknya. Chopper sangat mengagumi Zoro.
"Robin dan Franky sedang liburan, hari selasa mereka akan pulang. Ussop sedang kencan. Brook kerja dan Chopper sedang bersama , kurasa dia akan pulang nanti malam." Jawab Nami tetap terfokus dengan tontonannya. Nami kurang suka ketika rumah mereka sepi. Walau teman-temannya sangat menjengkelkan, ia lebih suka kalau mereka tetap berisik. Itu sebabnya dia sangat tidak setuju ketika Zoro malah pindah ke apartemen kecil sendirian, dan ia sangat berusaha untuk "membujuk" Zoro tetap menginap.
"Aku lapaaaaaaaarrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr~", Luffy yang tiba-tiba menjatuhkan dirinya dilantai seraya merengek memotong pembicaraan mereka berdua.
"Bah, Luffy! Jangan mengusap-usap wajahmu ke kaki ku! Liurmu! Liurnu!", Zoro berjengkit berusaha menjauhkan betisnya dari Luffy. Sebelum Nami menabok kepala dengan rambut hitam itu, suara bel pintu mengagetkan mereka bertiga.
"Zoro, buka pintu."
"Tidak."
Nami menghela nafas sebal. "Luffy! Buka pintu. Nanti ku berikan sereal ku." Suruh Nami, menunjuk arah pintu dengan sendok. Luffy segera beranjak untuk membukakan pintu dengan senang. Sesaat kemudian, Luffy berjalan masuk dengan seorang bocah berambut coklat terang yang bergelombang. Bocah itu sedang bercakap-cakap dengan semangatnya.
"…..-ngat keren! AH! Zoro! Sejak kapan disini? Apa kau akan tinggal?", seru bocah itu semangat.
"Chopper! Aku baru saja sampai kok. Iya, aku akan menginap sebentar." Zoro menjawab dengan senyuman yang mengembang. Entah sejak kapan dia dan Chopper menjadi dekat. Chopper seperti adik –atau malah anak- yang ia tak pernah punya. Dia sangat suka dengan rambut gelombang Chopper yang terlihat sangat fluffy. Ia mengacaknya pelan.
"Yessss!", Chopper melompat senang. Walau ia bisa mengunjungi Zoro kapan saja di apartemennya, tapi Chopper kurang suka jika berada lama-lama di sana. Bau alcohol yang menyengat sangat membuat hidungnya sakit. Makanya, jika Zoro menginap disini lagi dia sangat senang dan sangat berusaha untuk berlama-lama dengan Zoro.
Zoro tersenyum, mengacak lagi rambut Chopper –dan Chopper menggerutu sebal karena itu-. Nami melihat pemandangan damai itu dengan senang, ia melompat senang dari sofa menuju dapur untuk memberikan Luffy serealnya –yang baru, karena yang dimangkoknya sudah habis-, meninggalkan Zoro dan Chopper berdua untuk mengobrol.
"Hey, buddy. Mau beli es krim? Aku yang traktir." Ucap Zoro seraya beranjak dari sofa. Melihat Chopper yang berbinar, ia tahu kalau itu adalah ide bagus. Dompet. Dompet. Dompet. Aha!
"Serius?! Yeyyy! Aaah! Aku mau yang stroberi atau vanila ya? Ahhh, ayo Zoro!", Chopper menarik tangan Zoro untuk menyuruhnya bergerak lebih cepat. Ah, es krim! Chopper sangat suka semua makanan yang manis. Apalagi permen kapas!
"Iya, iya. Nami! Aku pergi dengan Chopper sebentar!" teriak Zoro memberitahu.
"Jangan lupa kunci pintu!", balas Nami dari dapur. Sepertinya ia sedang memasak untuk Luffy.
"Zoro! Salah arah!", Chopper menarik hoodie Zoro untuk mengembalikannya ke jalan yang benar. 'Penyakit' Zoro yang satu ini sangat parah, dia bisa saja menghilang dan sampai entah dimana.
Zoro menggerutu bahwa jalannya lah yang selalu diubah, Chopper hanya menggelengkan kepalanya seraya terkekeh lucu.
Mereka berjalan cukup jauh, melihat kerumunan orang-orang yang berjalan untuk sampai ke tujuan masing-masing. Melihat kendaraan yang berlomba membunyikan klakson ketika lampu lalu lintas berubah hijau. Sangat berisik, Zoro sangat benci hal itu.
"Es krim~ es krim~ mana yang menjual es krim~ hm~ hm~", Chopper bersenandung kecil seraya melihat dengan tajam dimana yang biasa menjual es krim disekitar jalan itu.
"stroberi~ vanila~ atau coklat~ hm~ hm~ ,"
"Kau bisa minta 2 sendok, buddy. Beda rasa." Celetuk Zoro.
"Serius?! Zoro, kau memang yang terbaik! Terima kasih! Aaaaaa… mana ya yang menjual es krim? Biasanya di sekitar sini…?",
"Ah, itu. Diseberang jalan." Zoro menunjuk paman penjual es krim yang terlihat ramah diseberang jalan.
Zoro menggemgam tangan Chopper agar bocah itu tidak langsung melesat ke seberang dijalan yang ramai. Mereka menunggu lampu hijau menyala untuk pejalan kaki. Chopper melompat-lompat kecil tak sabar untuk cepat-cepat membeli es krim setelah berjalan cukup jauh di cuaca yang panas.
Lampu untuk pejalan kaki berkedip berubah menjadi hijau. Orang-orang segera menyebrang dengan tergesa-gesa. Zoro menatap Chopper yang sedang bersenandung lagu "es krim"-nya tadi.
Sampai di seberang, Chopper dengan cepat menghampiri paman penjual es krim dan langsung memesan dua sendok es krim; stroberi dan vanilla.
"Zoro, kau mau rasa apa? Ah, terima kasih paman!", ucap Chopper seraya menjilat es krimnya.
"Ah, aku tidak-", Zoro langsung berhenti bicara ketika ia melihat mata Chopper yang menatapnya dengan tatapan tapi-kita-bisa-makan-bersama-di-taman-nanti. Ia menghela nafas pasrah.
"Aaa… apa ada rasa yang tidak terlalu manis?," Tanya-nya pada si paman seraya menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Emmm….. Mint, mau?", jawab si paman menggenggam sendok es krim.
"Ah, boleh." Ucap Zoro sedikit mengintip ke tempat-tempat es krim berbagai rasa yang warna-warni.
Setelah membayar, mereka berjalan kembali menuju taman bermain kecil yang terletak tak jauh dari situ.
"Zoro! Bukan kesitu!", Chopper menarik tangan Zoro untuk tetap maju bukan masuk ke gang.
"Huh? Ck! Jalannya berubah lagi," gerutu Zoro, pasrah ditarik oleh Chopper.
Mereka berjalan sebentar sebelum Chopper melompat senang seraya menunjuk sesuatu.
"Zoro! Zoro! Zoro! Permen kapas! Boleh beli? Pleaseeeeee, Zoroooo", rengek Chopper. Kalau ditanya makanan manis apa yang paling ia suka, jawabannya adalah permen kapas. Lembut dan meleleh dimulut. Yum!
Zoro memutar kedua bola matanya. Ia tidak pernah bisa tega menolak Chopper.
"Baiklah, baiklah. Tapi jangan bilang Nami, okay? Karena pasti dia akan mengomel bilang kalau itu akan menggangu nafsu mu untuk makan malam." Jawab Zoro seraya menirukan suara Nami. Chopper melompat senang.
Tangan mereka terlepas. Chopper melesat cepat dijalan yang ramai akan kendaraan. Waktu terasa melambat namun cepat secara bersamaan.
"CHOPPER!"
Mobil hitam melaju kearah bocah itu.
Chopper merasa dirinya terlempar kearah trotoar.
Zoro sempat melihat Chopper yang terjatuh terguling dan segera dikerumuni orang-orang sebelum semuanya menjadi gelap.
