Identities

Prolog

Gadis itu berlari dan secara berkala menoleh ke belakang, berharap sang pengejar tak dapat menangkapnya. Tak kuat lagi berlari, ia terjatuh, terperosok, dan masuk ke sebuah lubang berukuran sumur. Tak ada yang bisa membantunya, ia kini sendiri. Tangan dan kakinya kaku, tak bisa ia gerakkan. Berteriak pun sia-sia, hanya rasa sakit di tenggorokan yang dihasilkan.

'Di mana ini ?'

Tanyanya dalam hati. Sesaat yang lalu ia baru saja sampai di dasar sumur dengan keras. Tubuhnya membentur sesuatu yang pastilah akan mematahkan salah satu tulangnya. Tempat itu luas, begitulah yang ia duga, lembab, dan gelap, hingga ia tak dapat melihat apa yang berada di sekelilingnya. Ia meraba sesuatu di dalam sakunya, mencari tongkat sihir kesayangannya. Tapi ke mana benda itu di saat ia membutuhkannya ?

'Sial.'

Umpatnya. Dan mulai meraba di sekitar tempat ia jatuh, mencoba mencari tongkatnya. Saat meraba, tangannya tak sengaja memegang sesuatu. Sesuatu yang kenyal, kasar, basah, dan kental ? Ia tak yakin dengan indera perabanya. Dan untunglah ia segera mendapatkan tongkat kayu anggurnya. Dengan mengucapkan sebuah mantra dasar, lumos, akhirnya ia dapat melihat di sekelilingnya.

'Tidak.'

Ucapnya, saat mengetahui apa yang tadi ia sentuh. Sesosok tubuh manusia dengan wajah pucat, menunjukkan raut ketakutan dan kesakitan yang teramat sangat. Sepertinya ia baru mati di sini, pikir gadis itu ragu-ragu, saat melihat genangan berwarna merah darah yang masih segar. Dengan perlahan ia berdiri dan mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Berharap dapat melihat dengan jelas ada hal apa lagi yang berada di sekelilingnya

'Mayat.'

Bisiknya. Ia membelalakkan matanya. Jelas, siapa yang tak begitu, ketika melihat sebuah ruangan luas yang terisi dengan sesuatu ? Tanpa sadar ia memundurkan kakinya hingga tak sengaja menginjak sesuatu. Reflek, ia melihat apa yang diinjaknya, sepotong tangan berlumuran darah. Sekuat tenaga ia coba agar tidak berteriak. Tangan serta kakinya gemetar, tak kuat menahan rasa takut yang menderanya. Tangan kiri yang tak ia gunakan, menutup mulutnya agar tak berteriak.

'Apa yang telah terjadi ?!'

Teriaknya dalam hati. Di depannya kini ada ratusan mayat dengan raut muka yang hampir sama, mencerminkan ketakutan dan kesakitan. Tak sulit mengetahui apa yang terjadi dengan mereka, kutukan Avada Kedavra dan Crucio dengan cepat keluar masuk ke dalam pikiran gadis itu. 'Apa aku akan berakhir seperti mereka ?', pikirnya takut.

Seketika saja mayat-mayat di depannya terbangun, berdiri, dan menatapnya. Seolah-olah ia adalah makanan yang dikirimkan untuk mereka. Para mayat itu berjalan mendekat dan memojokkannya. Dengan sekuat tenaga, ia mencoba mengucapkan satu mantra, namun tak ada yang keluar dari tenggorokkannya. Menyerah, ia akhirnya berlari menerobos mayat-mayat itu. Namun terjatuh, tangan-tangan mereka menahan gadis itu agar ia tak dapat berdiri. Para mayat itu mengerubunginya, kini ia hanya bisa menutup mata, berdoa.

'Apa ini akhir hidupku ?'

Bisiknya dalam hati. 'Di tempat yang tak aku ketahui, tanpa seorang pun yang aku kenal ?' Lanjutnya lagi. Para mayat itu semakin gencar mengerubunginya, menariknya hingga ia tak bisa lagi bernapas. Tanpa sadar kini ia menangis, memohon agar dapat bertemu dengan seseorang. Dan di detik-detik terakhir hidupnya, ia akhirnya mengetahui tempat apa ini. Dari sebuah buku kuno di perpustakaan saat ia masih bersekolah dulu.

Sumur Kematian, begitu orang menyebutnya.