Hi! Saya datang lagi~ #emangadayangnungguin
Ini fancfic kedua saya di fandom Utapri. Fic kali ini saya persembahkan khusus buat #utapricrew di twitter~ Ah! Tanpa RP dari kalian, ffic ini bakalan stuck guys~ Thank you~ :D
Dan tokoh utama yang kali ini saya ambil adalah Shou, Nanami, dan Kaoru (tidak menutup kemungkinan adanya slash romance disini dan WARNING : OOC [saya usahakan seminim mungkin]). Kali ini multi-chapter dimana POV akan berbeda di tiap chapternya~
Yak! sekian dari saya! Selamat membaca dan semoga terhibur! :)
Uta no Prince-sama © Broccoli
Dynamics © Altaira Verantca
Rated : T
Genre (s) : Romance | Hurt/Comfort
Cast (s) : Shou Kurusu | Nanami Haruka | Kaoru Kurusu | etc.
Chapter 1 : Pianississimo
—Shou's POV—
Sejak...kapan ya tepatnya?
Aku memperhatikan sosok dihadapanku yang masih sibuk menulis, entah permainan not apa lagi yang ia tulis di music sheet-nya, yang jelas aku memperhatikannya. Membiarkan ia mengira aku tertidur di perpustakaan agar ia leluasa menuangkan isi hatinya dalam lantunan lagu yang nanti akan kami nyanyikan bersama. Bukan aku dan dia, tapi kami berenam yang ia minta untuk bernyanyi bersama.
Tapi entah sejak kapan aku menginginkan semua lagunya hanya untukku. Ingin memonopoli setiap derai tawa ataupun kecerobohan yang ia buat bahkan segala kepolosannya yang kadang hanya bisa membuatku bernafas pasrah. Ingin menjaganya...hingga senyum itu tidak hilang dari wajahnya.
Sejak kapan... keegoisanku hanya berpusat padanya?
"Selesai...," ia berkata sembari menghela nafas panjang lega, memandangi lembaran kertas musik di hadapannya dengan tatapan puas. Aku penasaran. Melodi seperti apa lagi yang sudah ditulis oleh jari ajaibnya itu.
Ia menoleh ke arahku. "Ah... Shou-kun tertidur... Sepertinya dia bosan menemaniku menulis disini. Dia kan tidak bisa leluasa kalau di perpustakaan...," aku bisa mendengar suara dengan rasa bersalah di intonasinya. Rasanya aku ingin segera menyahut 'aku senang kok!' saat ini.
Aku masih mengintip dari celah lenganku. Nanami membereskan semua alat tulis dan bukunya. Ah...mungkin sebentar lagi ia akan membangunkanku lalu kembali ke as—
Aku nyaris terjungkal dari kursi karena kaget ketika Nanami memilih untuk mengistirahatkan kepalanya di kedua atas kedua lengannya yang ditangkupkan rapi di atas meja, menghadap ke arahku. Dengan cepat aku menutup mataku, berharap Nanami tidak cukup cepat menyadari bahwa aku terjaga sejak awal.
"Terima kasih sudah menemaniku, Shou-kun. Maaf kalau malah mebuatmu bosan...," dia mengatakannya lirih, tapi cukup jelas untuk didengar olehku. Membayangkan ekspresi wajahnya ketika mengatakan itu sudah cukup untuk membuat wajahku mulai panas.
Aku memberanikan diri membuka mata perlahan lama setelah itu dan mendapati Nanami masih di tempatnya, memandangiku. "Ah! Ohayou, Shou-kun!" sapanya riang, dengan tawa kecil yang ditahannya.
"Woaa!" refleks aku bangkit dari tempat duduk. "Kau mengagetkanku, Nanami!"
"Mengagetkan Shou-kun? A-ah! Maaf! Aku sama sekali tidak bermaksud membuatmu kaget...," dia membalasku dengan kalimatnya yang tidak dibuat-buat.
"Bagaimana tidak kaget kalau ketika aku terbangun tiba-tiba aku melihat wajahmu langsung di depanku seperti tadi! Seharusnya kau langsung membangunkanku ketika kau sudah selesai tadi!"
"Umm... tadinya aku mau membangunkan Shou-kun tapi melihat tidurmu yang tampak nyaman seperti tadi... aku jadi tidak tega. Karena itu aku hanya melihat Shou-kun saja sejak tadi..." ujarnya jujur.
"Sejak tadi...," wajahku kontan memanas, kalau kau melihatku sudah pasti sangat merah. "Berapa lama kau diam dan memandangiku tadi?"
Ia menoleh dan melihat jam dinding di salah satu pilar perpustakaan. "Sekitar...lima belas menit?"
Oh ya! Berarti lima belas menit pula waktu yang kuhabiskan untuk berpura-pura tidur, menahan diri untuk tidak tiba-tiba memelukmu, dan juga cemas karena takut kau mendengar degupan jantungku yang kelewat keras!
"Hmmm... nadanya seperti mengajakku untuk segera kembali ke sekolah," gumam Otoya setelah membaca score yang tadi diberikan oleh Nanami.
"Seperti ingin cepat-cepat bertemu seseorang lagi," Masato beropini pelan.
"Kau kan sudah bertemu denganku setiap hari, Masato," timpal Ren tenang yang langsung ditatap tajam oleh Masato.
"Panggil aku 'Hijirikawa', Jinguuji," peringatan Masato hanya ditanggapi dengan senyum usil Jinguuji tanpa perhatian lebih.
Aku masih memandangi lembaran di hadapanku, menilai lagu yang kemarin sore diselesaikan oleh Nanami sembari mengetuk-ngetukkan pensil di lantai beralaskan karpet tebal. Melodi kali ini agak berbeda daripada dua lagu sebelumnya. Sama indahnya, hanya saja tempo serta dinamikanya menjadi sangat variatif; pianissimo, forte, fortissimo, lalu kembali ke pianissimo.
"Shou-chan!" aku baru sadar Natsuki memanggilku ketika ia sudah mulai mencubit-cubit gemas pipiku.
"Ouii... Lwepashkhan pwipikuw..." Sial. Suaraku terdengar sangat aneh sekarang.
"Huh? Shou-chan bilang apa? Aku tidak mengerti...," bukannya melepaskan tangannya, kini Natsuki malah mencubit pipiku yang satunya. D.I.A.I.N.I.I.I.I...!
"Kwubilangh lwepaahh!" Aku meronta-ronta sampai akhirnya berhasil mendorong Natsuki menjauh. Oke. Mendorong dengan bantuan kakiku tentu saja, tanganku tidak cukup pa—ah! Sudahlah!
"Shou-chan sedang apa?" kini Natsuki sudah duduk di lantai bersamaku setidaknya dia menjadi lebih serius setelah aku menunjukkan lembaran score di hadapanku.
"Hoo... Lagu baru ini kan? Apa ada yang salah?" tanyanya sambil memperhatikan lembaran score milikku yang penuh dengan catatan.
"Tidak. Tidak ada yang salah sama sekali. Hanya saja permainan dinamika dan tempo lagu ini seolah ingin bicara sendiri walaupun hanya dalam bentuk melodi. Kita harus menemukan tema yang tepat untuk melodi semacam ini," aku kembali menekuri lembaran di depanku ini.
"Seperti dikejar sesuatu 'kah? Ah tidak! lebih tepatnya ingin mengejar sesuatu!"
"Mengejar sesuatu ya...," aku masih mempelajari tiap detil melodi yang tertulis. Cepat, lambat, naik,naik,turun, diam, turun, tetap, naik. "Seperti jet coaster" gumamku tiba-tiba.
"Hee? Jet coaster? Kok bisa?" Natsuki merapat ketika aku mulai menunjuk setiap tanda di score dan tampaknya ia mulai mengerti apa yang kumaksud.
Ah... sepertinya aku tahu isi yang ingin disampaikan Nanami lewat lagu ini...
Seulas senyum terkembang begitu saja di wajahku. Tema yang ia minta kali ini manis bahkan terlalu polos! Ya... tapi memang jujur, ini lagu Nanami bagaimana pun juga.
Pintu ruang musik tiba-tiba terbuka. Aku menoleh dan mendapati Tokiya, Nanami, dan—
"Kaoru?" aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku ketika melihatnya masuk ke ruangan, "K-Kamu tidak sekolah?" Ini masih belum jam makan siang dan dia sudah ada di dalam gedung sekolahku. Alasan apa lagi yang membuatku tidak berpikir seperti itu.
"Shou-chan!" Kaoru segera menghampiri lalu memelukku yang baru saja berdiri. "Aku kangen!"
"Hee? Kangen? Bukankah kita baru saja bertemu tiga hari lalu?" aku menepuk kepalanya ringan. Terkadang aku berpikir kalau Kaoru sejenis dengan Natsuki, mulai dari memanggilku 'Shou-chan' sampai hobi memelukku.
"Ya tapi kan te—"
"Nanami! Aku tahu tema lagu yang cocok kali ini!" aku melepaskan diri dari pelukan Kaoru dan langsung melesat ke tempat Nanami berbincang dengan Tokiya dan Otoya.
Nanami langsung menoleh ke arahku, "Benarkah? Tadi aku juga sudah membicarakannya dengan Ichinose-san."
"Iya!" aku menunjukkan score yang sudah penuh dengan coretanku, "Cinta pertama! Benar tidak?"
Nanami tertegun sejenak melihat catatatan di kertasku, "Kau benar-benar memperhatikan setiap detil yang ada, Shou-kun. Ah! Bahkan kau menandai notasi yang salah!" Ia buru-buru memberikan tanda di score miliknya.
"Cinta pertama? Kurasa kau benar-benar memperhatikan lagu ini sampai bisa menyimpulkan seperti itu ya?" Tokiya ikut memperhatikan score milikku dengan wajah serius. Kau tidak bisa mengganggunya dalam urusan macam ini. Kuakui, Tokiya memang paling pintar dalam urusan melodi macam ini.
"Heee? Bukannya mau berangkat ke sekolah? Seperti takut terlambat begitu?" Otoya merebut score-ku dan mulai membacanya, "tapi cinta pertama juga tidak buruk sih."
Aku masih memperhatikan Nanami yang serius dengan score-nya sendiri. Score miliknya jauh lebih rumit daripada milik kami. Bukan saja menulis bagian yang nanti harus dinyanyikan, dia juga menulis bagian piano dengan lebih detil.
"Nanami?" panggilku dan tdak ada tanggapan, masih terlalu tenggelam dalam catatannya. "Nanami," aku memanggilnya lagi sambil mencubit kecil ujung hidungnya.
"Hyaa!" aku tertawa kecil ketika ia kaget, "A-ah! Maaf! Aku tidak mendengarmu tadi, Shou-kun. Ada apa?"
"Hahaha! Tidak apa-apa. Tidak... tema yang kubilang. Apa cocok dengan lagumu?" aku menunjuk kertas yang ia pegang erat dari tadi.
Nanami mengangguk cepat. "Iya! Ichinose-san sudah menebaknya sejak pertama kali membaca melodinya! Dan memang yang kumaksud adalah tema itu!" Aku bisa melihat luapan semangat di matanya.
"Tokiya?" aku melirik Tokiya cepat, "Kalau begitu kenapa kau tidak bilang pada kami secepatnya? Kan kita bisa langsung mulai membuat liriknya!"
Tokiya tersenyum hangat, semenjak debut kami bersama sebagai ST*RISH dia memang menjadi lebih mudah dimengerti daripada sebelumnya, lalu bicara dengan ketenangan yang biasa, "Anggap saja ini latihan untuk memperat hubungan emosi antara composer dan penyanyinya. Lirik yang dihasilkan akan berbeda apabila hubungan emosi kedua belah pihak lebih erat, menurutku."
"Jadi kau mau bilang kalau hubunganmu secara emosi dengan domba kecil manisku lebih erat dibandingkan denganku?" aku tidak sadar ketika Ren tiba-tiba sudah ada di belakang Nanami.
"Bukan begitu. Hanya saja aku cu—"
"Tokiya sudah pernah jatuh cinta?" Otoya menyela ucapan Tokiya dan dapat membuat Tokiya terdiam lalu melemparkan pandangan 'jangan-potong-penjelasanku' kepadanya.
"Haruka-chan... sedang jatuh cinta?"
"HEH?" pertanyaan Natsuki membuat kami berlima kaget bersamaan.
Natsuki memandang keterkagetan kami polos, "Kenapa? Aku kan cuma bertanya..." Iya. Kau hanya bertanya, Shinomiya Natsuki! Tapi jawaban yang nanti akan diberikan oleh Nanami itu yang membuatku harus menyiapkan mental!
"Jangan-jangan ini dari pengalaman pribadimu ya?" Masato memandang Nanami dan score-nya bergantian.
"Eeeh?" wajah Nanami merah padam seketika, yang hanya membuat kami makin penasaran, "T-tidak kok! I-itu... umm... A-aku belum pernah jatuh cinta sama sekali...," ia menutupi wajahnya dengan kertas yang dipegangnya.
...manis. Rasanya wajahku ikut memerah melihatnya bertingkah seperti itu.
"Kalau begitu kau bisa mencoba jatuh cinta untuk pertama kalinya padaku, dim—"
"REN." Sementara Masato menahan tangan Ren yang sebentar lagi sudah memeluk Nanami, aku menarik Nanami menjauh dari jangkauan tangan Ren, di sampingku.
"Cinta pertama ya...," tanpa sadar aku menghela nafas dan mengucapkannya lirih. Cinta pertamaku... Aku melirik gadis di sampingku yang wajahnya masih memerah. Kalau aku mengatakan ini pada Nanami, kira-kira tanggapannya seperti apa ya?
"Shou-chan, sampai kapan kau mau memegang tangan Nanami? Wajah Nanami makin memerah kalau kau terus memegang tangannya seperti itu, " suara yang sudah kuhafal selama hidup mengagetkanku.
"Kaoru!" ah! Aku hampir lupa ia masih disini!
Kaoru tertawa. "Wajahmu memerah Shou-chan! Aku hanya bercanda kok!" tapi candaannya cukup membuat aku melepaskan tanganku dari tangan Nanami dengan wajah nyaris merah padam. Syukurlah yang lain mulai sibuk dengan score dan pensil masing-masing.
"K-kamu...!" aku menarik Kaoru ke sudut ruangan agar pembicaraan kami tidak terdengar oleh yang lainnya. "Bagaimana dengan kelasmu siang ini?"
"Hm? Kelasku kosong sampai selesai nanti. Shou-chan percaya aku akan membolos?" Kaoru menjawabku dengan ekspresi kalem.
"Kalau begitu kenapa tidak pulang saja? Kan kau bisa menyelesaikan PR atau apalah di rumah... Aku agak sibuk hari ini..."
Kaoru diam sejenak, kurasa ia memikirkan ucapanku tapi yang ia jawab adalah, "Aku sudah selesai mengerjakan PR-ku. Selain itu semua pekerjaan di rumah sudah kubereskan sebelum berangkat sekolah tadi. Jadi tidak ada yang perlu kukerjakan lagi disana."
Rajin seperti biasa ya, dia lebih mandiri dan jauh lebih cekatan dalam hal semacam itu dibandingkan aku. "Kau tidak memasak makan malam untuk ayah dan ibu?" sebenarnya aku sudah tahu apa jawabannya, tapi tak ada yang salah untuk memastikannya.
"Ibu baru kembali dari tur Eropa-nya dua minggu lagi dan ayah sepertinya baru kembali minggu depan," jawabnya cepat, seolah malas membicarakannya. "Kau tidak mau pulang? Setidaknya itu bisa mengurangi kecemasanku akan keseh—"
"Aku tidak mau kau membahas itu, Kaoru," potongku tegas. Aku menghargai sikapnya yang perhatian seperti itu, namun bukan berarti aku tidak kesal.
Kaoru menyandarkan punggungnya di dinding, melipat kedua tangannya rapi di depan dadanya, dan menghela nafas panjang. "Kau tahu kalau aku selalu mencemaskanmu, Shou. Untung saja tidak ada kejadian signifikan ketika debut kalian bulan lalu," ujarnya sepelan mungkin sampai hanya aku yang bisa mendengarnya.
Kaoru marah. Ketika ia tidak lagi memanggilku dengan akhiran '-chan', aku tahu dia marah. Oh! Aku kadang tidak tahu apakah dia hanya kesal atau memang sudah marah padaku setiap kami bicara mengenai topik ini!
Aku menghela nafas panjang, memikirkan alasan yang tepat untuk kuberikan pada Kaoru sebelum ia berpikir lebih lanjut dalam spekulasinya. "Aku... harus bersama yang lain untuk membuat lirik. Kau lihat sendiri 'kan? Kami baru akan mulai, dan ini akan memakan cukup waktu." Itu bukan alasan, yang kuucapkan ini adalah fakta.
"Maksudmu bersama dengan gadis itu juga?" tanyanya kalem, melempar pandangan ke arah Nanami yang tampaknya sedang berdiskusi dengan Tokiya. Ah... Nanami tentu saja senang bisa membuat lagu yang nantinya dinyanyikan oleh Hayato alias Tokiya.
"A-apa maksud dari perkataanmu, Kaoru?" desisku agak panik, tidak akan lucu kalau orang lain mendengarkan pembicaraan kami barusan!
"Pfftt! Tidak akan ada yang mendengarnya. Tenang saja. Tapi...," Kaoru masih melihat ke arah Nanami sebelum akhirnya menatap sepatunya sendiri, "...aku tidak suka. Kau tahu alasannya kan?"
Sebuah alasan konyol bagiku kalau orang yang menderita sakit jantung tidak diijinkan jatuh cinta karena bisa memperburuk keadaannya. Walau aku tidak memungkiri kalau bersama Nanami kadang membuatku menjadi lebih awas akan keadaanku sendiri.
"Itu urusan pribadiku, Kaoru." Tentang apa yang kurasakan terhadap Nanami, tentang kata apa yang ingin kuucapkan padanya, tentang sejauh mana resiko yang kuambil bila ingin terus bersamanya sekaligus mewujudkan impianku. Aku tahu dan aku mengerti semuanya, Kaoru tidak perlu tahu tentang hal ini.
"Obatmu... masih ada?"
Aku membuang muka, malas membahas topik ini lebih lanjut. "Ada dan aku meminumnya dengan rutin kalau kau akan bertanya tentang hal itu juga."
Sebuah senyuman penuh kelegaan yang lembut terulas sempurna di wajah Kaoru, meskipun wajah kami sama, aku ragu senyumku bisa sesempurna miliknya. "Syukurlah...," ujarnya tulus, "tidak ada keluhan lain?"
Aku menggeleng, "Tidak. Tidak ada. Kau tidak perlu secemas itu, Kaoru. Aku yang sekarang lebih kuat daripada aku 10 tahun lalu," jawabanku melunak setelah melihat ekspresinya.
"Bagaimana tidak cemas...," Kaoru tersenyum muram sembari menatapku, "sebagian hidupku juga ada disini," ia meletakkan tangannya di dada kiriku. Tepat dimana ia dapat merasakan detak paling keras dari jantungku, membuatku hanya bisa diam selama beberapa saat. Tindakan Kaoru memang tidak bisa diduga kadang-kadang.
"Nah!" seruan kecil Kaoru berikutnya menyadarkanku, "Aku pulang dulu kalau begitu. Kau masih sibuk dengan semuanya, 'kan? Mungkin aku akan mengunjungimu lagi lain kali. Bilang padaku kalau kau sudah tidak sibuk, Shou-chan," ia tersenyum seraya berjalan ke arah pintu.
"Huh? Kau mau pulang sekarang?" tunggu? Bukannya tadi akulah yang menyuruhnya pulang?
"Yup! Tidak enak mengganggu yang lain. Sampaikan saja salamku pada mereka yang sedang serius itu! Mata-nee, Shou-chan!" dia masih sempat menepuk punggungku pelan sebelum akhirnya membuka lalu menutup pintu ruang musik tanpa suara sama sekali.
Aku bisa bernafas lega sekarang. Setidaknya Kaoru pulang dan akan tenang di rumah. Bukannya aku tidak suka ketika bertemu dengannya tapi kadang aku merasa terlalu diawasi bila bersamanya. Kalau di rumah setidaknya ia bisa bicara de—
Tunggu... Kalau ibu masih sibuk dengan tur Eropa, maka selama tiga minggu ini ia tidak pulang kan? Lalu ayah... seingatku dia bilang akan dikontrak secara eksklusif oleh salah satu artis di Shining Agency dan—
Aku bergegas keluar dari ruang musik dan mengejar Kaoru, yang untungnya masih belum terlalu jauh dari ruanganku tadi, "Kaoru!" panggilku begitu melihat sosoknya sebelum menikung ke arah tangga.
Kaoru segera berhenti dan menatapku agak kesal. "Jangan berlari," itulah yang ia ucapkan pertama begitu aku sampai di hadapannya.
"Menginaplah!"
"Huh?" kali ini ekspresi bingung menghiasi wajahnya.
"Menginaplah sampai akhir pekan ini. Kau sendirian di rumah kan?" bodoh... Kenapa aku tidak lebih cepat menyadarinya? Hampir tiga minggu ia hanya sendirian di rumah, sudah pasti ia akan kesepian 'kan? Aaahhh! Kakak macam apa aku yang kurang peduli pada adik kembarnya sendiri?
"Bukankah tadi kau bilang sedang sibuk?"
Aku menggeleng. "Tidak apa-apa! Menginaplah sampai hari senin disini! Setidaknya kita bisa berakhri pekan bersama kan?"
"Benar tidak apa-apa?" suaranya terdengar lebih bersemangat kali ini. "Aku boleh menginap di kamarmu lagi?"
Aku menepuk kepalanya ringan. "Tidak apa. Sekarang pulanglah dan kemasi barang-barang yang kau butuhkan dan...," aku menyerahkan kunci kamarku ke tangannya. "Kalau nanti aku belum selesai, beristirahatlah dulu. Aku bisa meminjam kunci milik Natsuki nanti."
Kaoru tersenyum senang dan langsung memelukku (lagi), "Terima kasih, Shou-chan! Aku akan pulang sekarang dan cepat kembali kemari!"
Aku melambai ringan ketika ia bergegas menuruni tangga lalu berbalik hendak berjalan kembali ke ruangan tadi. Jangan tanya betapa kagetnya aku ketika mendapati Nanami sudah berdiri tepat di belakangku.
"N-nanami!" seruku tanpa bisa menutupi kekagetanku, "Sejak kapan kamu disini?"
"Huh? Baru saja. Habisnya aku tidka menemukan Shou-kun di ruangan, jadi aku mencarimu...," jawabnya ringan.
"M-mencariku? A-ada apa?" aku menggaruk kecil pipiku yang sebenarnya tidak gatal.
" 'Ada apa'? Tentu karena kita tidak bisa menyusun lagunya tanpa kau 'kan?" Nanami menarik tangan Shou, mengajaknya berjalan lebih cepat kembali ke ruangan tadi.
Ah... Iya... tentu saja 'kan? Kami harus menyelesaikan lagu itu. Lebih cepat lebih baik...
"Selain itu, aku juga tidak tenang kalau Shou tidak terlihat," tambahnya cepat tanpa menoleh ke arahku.
Eh? Aku mencerna ucapan Nanami lebih lanjut lalu menutup sebagian wajahku yang pastilah tampak merah saat ini.
Gawat. Kalau Kaoru tahu aku sesenang ini, dia pasti akan memarahiku...
Kaoru memandangi sebungkus permen berwarna hijau di tangannya. Gadis yang sudah beberapa bulan disukai oleh kakak kembarnyalah yang memberinya permen ini.
.
"Cinta pertama? Kalian akan menyanyikan lagu semacam itu nanti?" Kaoru bertanya ketika Tokiya mengingatkan Nanami tentang score terbarunya.
"Begitulah! Kaoru-kun sudah pernah merasakannya?" Nanami bertanya tanpa maksud menyelidik lebih jauh.
Kaoru berpikir sejenak. "Sepertinya... belum pernah. Hahaha! Aku terlalu sibuk dengan banyak hal sampai tidak pernah berpikir tentang hal semacam itu." Kaoru menjawab pertanyaan Nanami tanpa perlu menutup-nutupinya.
"Hmmm... Kalau begitu mari kita coba sesuatu yang Tomo-chan ajarkan padaku semalam!" Nanami mengambil beberapa permen dari kantongnya. Semua permennya masing-masing berbentuk bola kecil yang dibungkus dengan plastik bening, menampakkan warna-warni ceria dari tiap bolanya.
"Apa itu?" tanya Tokiya ingin tahu dengan permen-permen di tangan Nanami.
Nanami tersenyum kecil. "Kata Tomo-chan, kalau kau berkonsentrasi dan berdoa sambil memejamkan mata lalu mengambil salah satu permen ini dengan mata tertutup juga, kisah cintamu berikutnya akan sama seperti rasa permen yang kau pilih!"
Baik Tokiya maupun Kaoru terdiam mendengarnya sebelum tertawa kecil. "Kau percaya hal seperti itu, Nanami-san?" Kaoru berusaha menahan kegeliannya sebaik mungkin.
"Y-ya... kan tidak ada salahnya dicoba... Kalian tidak mau coba?" Nanami menawarkan permen-permen itu ke hadapan Kaoru dan Tokiya.
Tokiya berdehem kecil lalu memejamkan matanya, "Yah... tidak ada salahnya dicoba." Ujarnya lalu mengambil salah satu permen di tangan Nanami.
"Kaoru-kun?" Nanami menyodorkan tangannya lebih dekat ke arah Kaoru.
Kaoru tersenyum. "Baiklah. Akan kucoba." Ia memejamkan matanya sejenak dan diam, berdoa atau hanya berpura-pura tampak berdoa lalu mengambil salah satu permen dari tangan Nanami.
"Milikku manis," gumam Tokiya, "Kamu sendiri sudah mencobanya, Nanami-san?"
Nanami menggeleng. "Belum. Tapi aku ingin mencobanya!" kemudian ia menangkupkan kedua tangannya dengan mata terpejam lalu menggoyangkan tangannya, seolah mengocok permen-permen di dalam tangkupan tangannya agar tercampur.
Masih dengan mata tertutup, Nanami mengambil salah satu permen. Warnanya merah, sama seperti permen yang tadi Tokiya makan. Namun dengan cepat Nanami melepasnya lalu ganti mengambil permen berwarna kuning.
"Ah... kuning," ujarnya ketika ia membuka matanya. Setelah menaruh kembali semua permen di sakunya, ia membuka bungkus permennya dengan semangat. "Aku penasaran bagaimana rasanya," kemudian ia memasukkan permen itu ke mulutnya.
"Bagaimana rasanya?" tanya Kaoru sedikit penasaran.
"Ummm... Masam!" jawab Nanami agak muram, "Ah! Tapi terasa sedikit manis dan—ah! Lama-lama terasa manis!" sebenarnya ada sedikit rasa pahit disana, tapi Nanami tidak berani membicarakannya setelah melihat wajah cemas Tokiya.
.
.
"Masam ya... kalau begitu semoga dia pasangannya bukan Shou-chan." Tidak terbayang oleh Kaoru kalau Shou-chan tidak mengalami kisah cinta yang manis nantinya.
Kaoru membuka permennya lalu mulai mengulumnya. Sesaat kemudian ia tersenyum tipis.
"Masam... Manis juga..."
Tapi masih terlalu masam...
—Chapter 1 : Pianississimo - end—
note :
Dynamics are indicators of the relative intensity or volume of a musical line.
Pianissimo Very soft. Usually the softest indication in a piece of music, though softer dynamics are often specified with additional ps
Maaf kalau ada istilah-istilah musik yang salah. Saya sendiri juga bukan orang musik tapi yah... ngerti lah kalau masalah dinamika, tempo, dan accent kalau lagi paduan suara... ^^
Yak! Sekian untuk kali ini~ Terima kasih bagi yang sudah bertahan membaca sampai akhir~ Segala komentar, kritik, saran (singkatnya review) saya terima dengan senang hati~
Ah! kalau ada saran mengenai chapter ini maupun chapter berikutnya, akan sangat membantu saya lho! -' '-
with evil laugh, Altaira Verantca
