Assassination Classroom © Yuusei Matsui

.

Warning : OOC, Typo(s), dll.

.

Rated : K+

Genre : Drama, Fluff, Friendship, Romance.

.

Happy reading!

.

.

.

Nagisa memandang cafe di depannya dengan senyum yang mengembang di bibirnya. Jika beruntung ia akan bertemu murid-muridnya yang biasa nongkrong di sana sepulang sekolah. Nagisa bisa memperkirakan ia tidak akan diterima dengan baik oleh mereka, tapi ia hanya ingin mengenal murid-muridnya lebih jauh. Ia bisa berdalih tidak sengaja bertemu nantinya.

Kling!

"Irrashaimase!"

Nagisa mengangguk sekilas pada seorang pelayan yang langsung memberinya sapaan diiringi senyum hangat yang lebar.

"Ano, maaf mengganggu kenyamanan Anda. Tapi tempat ini sedang digunakan untuk syuting, bisakah Anda menghindari area sebelah sana?" terang pelayan tadi.

Nagisa menoleh ke arah yang ditunjuk. Memang ada kesibukan sutradara dan kawan-kawan serta tetek bengkeknya di sana. Nagisa juga mengenali beberapa wajah artis yang sedikit familiar. Yah, meskipun ia lebih kenal dengan beberapa wajah gravure idol atau artis JAV—berkat dari menyita majalah serta DVD terlarang dari para muridnya.

Nagisa mengedarkan pandangannya, tidak ada satu pun dari muridnya yang kelihatan ada di sana. Sepertinya mereka tahu akan ada syuting di sana dan sengaja tidak datang. Nagisa menghela nafasnya.

"Apakah ada seseorang yang ingin kau temui? Aku bisa membantu mencarikannya."

Nagisa menggeleng. "Tidak. Aku pesan es cappucino saja."

"Baik, silakan pilih tempat duduk Anda."

Nagisa beralih ke meja yang bersebelahan dengan jendela. Ia menyenderkan punggungnya ke bangku yang di didudukinya. Pemuda biru itu mengecek ponselnya yang sedari tadi bergetar karena banyak notifikasi yang masuk.

Ia mengembangkan senyumnya saat tahu sebagian besar berasal dari grup kelasnya. Dan yang paling aktif adalah Maehara, Nakamura serta Okajima, mereka sering berdebat dan membuat lelucon yang membuat orang lain ikut menanggapinya juga.

"Pesanan Anda."

"Aa, terima kasih." Nagisa batal mengetikkan balasannya di grup chatting kelasnya. Berikutnya segelas es di depannya lebih menarik perhatiannya dari pada perang hujatan di grup.

"Permisi, kau seorang pembunuh bukan? Kau sudah mendapatkan pelatihan selama satu tahun bersama teman-teman sekelasmu. Bisakah kau pergi dari sini? Aku merasa tidak nyaman jika berada satu tempat dengan seorang pembunuh."

Nagisa terkejut dan membelalakkan matanya. Ia menatap curiga dan gelisah seorang pemuda SMA yang ada di hadapannya. Ia hendak bicara lagi tapi pemuda itu kembali memotong.

"DOR! Kena kau Nagisa. Wajahmu sangat terkejut tadi, harusnya kau melihatnya." Pemuda itu tertawa senang. Ia duduk di hadapan Nagisa.

"Halo? Kau masih mengenaliku? Aku Kayano."

Nagisa mengerutkan dahinya. "Kayano?"

Pemuda itu membuka wignya dan menampilkan rambut hitam bergelombang sepanjang punggung. Ia juga menghapus bedak yang tebal—make up yang membuat kulitnya terlihat jauh lebih putih dari yang semestinya. Ia tersenyum lebar.

"Kayano... Kayano Kaede. Yukimura Akari. Salam kenal kalau kau lupa," ujar Kayano setengah kesal karena Nagisa hanya diam sambil melongo.

Baru setelah semua rentetan perkenalan dan pembongkaran identitas itu, Nagisa menyadari sesosok yang ada di hadapannya adalah seorang gadis penuh semangat dengan rambut hijau yang diikat twintail di kelasnya.

"Maaf, kau benar-benar berbeda tadi. Aku tidak tahu itu kau Kayano," ujar Nagisa penuh penyesalan.

"Tidak masalah, lagi pula aku masih memakai kostum dan dandanan karakter lain. Ngomong-ngomong apa aku terlihat seperti anak laki-laki tadi?"

Nagisa mengangguk. "Anak laki-laki yang sedikit manis," jawab Nagisa. "Apakah peranmu seperti itu?"

"Ya! Aku mendapat peran utama sebagai gadis yang menyamar sebagai laki-laki dan masuk ke sekolah khusus pria," jawab Kayano penuh penjelasan.

"Sepertinya aku kenal dengan sinopsis itu."

"Ini memang drama remake. Kau nonton ya, biar ratingnya semakin tinggi."

"Tanpa aku harus menontonnya, setiap kau yang membintanginya pasti akan mendapat rating yang tinggi," ungkap Nagisa.

"Terima kasih Nagisa. Kau memang pandai berkata manis," balas Kayano. "Eh, kau hanya memasang minuman? Padahal kue di sini enak lho... aku juga baru merasakannya tadi. Mau kupesankan?"

Tanpa persetujuan dari Nagisa, gadis dengan nama palsu Kayano itu langsung memanggil pelayan dan menyebutkan pesanannya.

Dua kue yang disebutkan Kayano tadi dan segelas jus kesukaan gadis itu tersaji dengan cepat.

"Cepatnya!" seru Kayano riang.

"Aku menduga karena kau adalah artis yang syuting di sini. Mereka memberikan pelayanan khusus untukmu," ujar Nagisa.

"Kalau begitu aku senang dengan itu."

"Ne Kayano, apa tidak apa-apa kau bersamaku sekarang? Pekerjaanmu sudah selesai?"

"Tenang saja.Bagianku sudah selesai kok." Kayano mengedipkan matanya. "Apa kau sedang luang? Tidak memeriksa PR muridmu atau menyiapkan soal untuk ujian mereka?"

"Aku tidak pernah memberikan PR atau kuis dadakan."

"Enaknya. Andai aku punya guru sepertimu!"

"Tidak juga. Habisnya meskipun mereka kuberi PR mereka juga tidak akan mengerjakannya. Dan Koro-sensei itu guru yang jauh lebih baik dari aku," tegas Nagisa. Kayano hanya tersenyum untuk ini.

"Aku lupa. Muridmu itu anak-anak yang nakal ya."

Nagisa hanya terkekeh pelan. Ia memang tidak bisa mengingkarinya kan?

"Aku cukup kerepotan kalau saja tidak mendapatkan pelatihan membunuh selama satu tahun itu."

"Aku juga merasa sangat terbantu. Karena itu aku bisa memainkan banyak peran bahkan tanpa pemeran pembantu dan pamorku semakin naik."

"Itu memang satu tahun yang sangat membantu."

"Ya."

"Apakah kau akan datang ke acara reuni nanti? Kita akan bersih-bersih sekalian pesta barbeque di malam harinya, jangan sampai tidak datang lagi. Kau dan Karma sudah tidak hadir tahun lalu, aku tidak akan membiarkan kalian berdua menyerahkan tugas bersih-bersih pada kami semua," ucap Kayano dengan sedikit rutukan.

"Ahahaha... iya, akan aku usahakan. Tapi aku tidak yakin Karma bisa datang. Dia kan sangat sibuk."

"Sesibuk-sibuknya Karma pasti juga memiliki hari libur dan cuti. Kau juga. Bahkan aku sampai memundurkan jadwalku untuk ikut serta."

"Kau sepertinya tidak sungkan melakukannya."

"Pssst! Terkadang aku menyalahgunakan namaku sebagai artis besar," ujar Kayano sambil berbisik.

"Kayano—"

"Jangan protes! Aku juga sudah banyak memenuhi keinginan orang-orang di sekitarku. Aku juga ingin sekali-kali berbuat hal yang sedikit kau tahu lah," ia mengucapkannya sambil nyengir. "Lagi pula tahun ini Nakamura akan pulang dari Inggris. Ini kesempatan yang bagus bagi kita untuk berkumpul semua."

"Baiklah, akan aku usahakan."

"Kau harus datang! Padahal pekerjaanmu tidak lebih besar dariku, kenapa kau tidak bisa datang huh?"

Nagisa sweatdrop. "Kayano, kau mengejekku?"

"Ahahaha... maaf, maaf. Aku hanya bercanda kok. Jangan terlalu di ambil pikir." Kayano tertawa renyah. "Hei, kenapa kita hanya bicara terus? Ayo makan kuenya, ini enak lho. Kapan lagi kau akan ditraktir oleh artis cantik sepertiku?"

Nagisa mengambil garpunya. Ia memotong kecil kue yang didominasi warna cokelat itu dan mengunyahnya perlahan. Kayano benar, kue itu legit dan manis.

"Ini enak."

"Tentu saja. Tapi, jangan mengajakku bicara dulu. Biarkan aku menghabiskan ini."

Nagisa menyeruput habis es cappucino-nya. Ia yang selesai lebih dulu memperhatikan Kayano yang makan lebih lambat darinya.

"Kayano, ada krim."

Nagisa menunjuk ujung bibir Kayano sebelah kanan. Tapi karena Kayano masih memegang garpu yang kotor karena krim saat membersihkannya, justru bagian pipinya yang lain juga ikut kotor.

Nagisa tertawa kecil. "Biar aku membantumu."

Nagisa menghadapkan layar ponselnya—yang mana kameranya sedang menyala, agar gadis itu lebih mudah membersihkan wajahnya. Tapi baru setengah jalan Nagisa malah tidak sengaja menekan tombol kamera dan berhasil memotret Kayano.

Gadis itu terkejut.

"Hapus fotonya, pasti wajahku jelek."

"Tidak. Ini cukup bagus kok. Biar aku simpan."

"Jangan Nagisa."

"Tak apa. Sebaiknya kau segera bersihkan sisa krimnya. Kau seperti anak kecil yang baru pertama kali makan kue," ujar Nagisa.

Kayano memasang ekspresi cemberut yang dibuat-buat. "Kau mengejekku?"

"Balasan yang tadi, mungkin."

Gadis itu mendesis dan membersihkan pipinya dengan tisu basah. Ia mengeceknya sekali lagi dan puas saat sudah tidak ada krim yang menempel di sana.

Kayano meminum jusnya selagi Nagisa memeriksa pesan masuk di ponselnya. Kayano diam-diam tersenyum saat memandangi Nagisa yang serius. Meski wajahnya serius Nagisa tetap terlihat manis.

"Ada yang salah dengan wajahku?"

Kayano tersentak. "Ya. Wajahmu terlalu manis."

"Jangan membuatku malu."

Kayano menimbang-nimbang untuk bertanya. "Nagisa, apakah Sakura masih meminta les darimu?" tanya Kayano.

"Ya, terkadang. Ada apa?"

"Tidak. Hanya saja, sepertinya hubungan kalian semakin dekat ya?"

Nagisa termenung sejenak. Ia memandang Kayano yang menunduk sambil mengaduk-aduk jusnya. "Tenang saja, hubungan kami hanya sebatas itu kok. Tidak ada yang perlu kau khawatirkan."

"Eh?"

Nagisa memalingkan wajahnya ke jendela, menatap orang-orang yang berlalu lalang dengan sedikit bias merah di tulang pipinya. "Kalau perasaanku sudah mantap dan aku sudah menjadi guru yang baik, aku akan mengungkapkan perasaanku padamu. Sampai saat itu tiba... berjuanglah menjadi aktris yang berbakat."

"Nagisa..."

"Tolong jaga hatimu juga, jangan sampai berubah."

Kayano tidak bisa menyembunyikan semburat merah di pipinya. "Ya," bisiknya pelan.

Drrrrt. Drrrrt. Drrrrt.

Sebuah email masuk di ponsel Nagisa. Pesan yang menyuruhnya segera bergegas karena muridnya terlibat dengan aparat kepolisian.

"Maaf. Aku harus pergi sekarang. Terima kasih untuk traktirannya. Dan sampai jumpa di acara reuni nanti."

Nagisa bergegas pergi dari cafe itu. Pipinya yang memerah masih kentara saat ia meninggalkan cafe.

Kayano tersenyum bahagia. Ia mengepalkan tangannya dan mengangkatnya ke udara. "Yes! Akhirnya!"

"Ada apa Yukimura-san? Kukira kau sudah pulang."

"Tidak. Ayo kita lanjutkan syutingnya."

"Bukannya kau yang meminta kalau bagianmu cukup sampai di sini saja?" tanya kru itu kebingungan.

"Adegan selanjutnya adalah saat aku mulai jatuh cinta kan? Kurasa suasana hatiku sedang pas."

.

.

.

End.

.

.

.