Ada kala dimana Min Yoongi begitu menyadari bahwa hatinya jatuh sedalam-dalamnya kepada Park Jimin, sahabatnya sejak kecil.

Dan ada waktu dimana Park Jimin begitu memahami bahwa satu-satunya yang berarti, yang ingin dijaganya adalah Min Yoongi, dambaannya sejak dini.

Tanpa mereka sadari, sebuah benang merah yang terjuntai indah mengikat kelingking keduanya, menandakan takdir dua insan yang berjodoh dalam dunia yang entah kesekian.

Adakah bahagia yang digawangi dua lakon ini?

Hanya Sang Pelukis Takdir yang tahu.

Loveless

swaggysuga

Park Jimin / Min Yoongi

MinYoon / T / BoysLove

.

.

.

Si pucat, itu nama lain yang tersemat di diri Min Yoongi.

"Si pucat itu menyukai sahabatnya? Serius, dia laki-laki, kan?"

Nah, kalau yang ini namanya gosip. Gosip selalu salah? Tunggu dulu. Mari kita konfirmasi kepada yang bersangkutan.

"Katanya kau menyukaiku."

"Siapa bilang?"

Pemilik tubuh yang kecil namun berotot, Park Jimin, menyelidiki wajah cantik sahabatnya. "Banyak. Tak mungkin kusebutkan satu persatu."

Yoongi mencebikkan bibirnya. "Jangan dengar gosip murahan seperti itu. Kita ini sahabat, aku menyukaimu? Cih, dalam mimpimu saja, Park Jimin."

"Ya ampun, aku kan hanya bertanya," Jimin memandang Yoongi kesal. "Sudah, habiskan saja makananmu, sebentar lagi kelas kita dimulai."

Dengan ogah-ogahan Yoongi menghabiskan makan siangnya. Ini di kampus dan semua orang sudah berdesas-desus mengenai persahabatannya yang dinilai ambigu. Astaga, apa salah mempunyai sahabat seorang Park Jimin? Apa spesialnya si bantet ini sehingga semua orang menaruh perhatian lebih terhadap Jimin sampai-sampai ia kena getahnya?

"Ayo," Jimin membawa semua buku di meja—termasuk buku milik Yoongi sehingga si mungil itu tidak perlu repot-repot mengeluarkan tenaga.

Sesampainya di kelas, Yoongi dan Jimin buru-buru mencari kursi di bagian belakang. Selain bisa makan kudapan diam-diam, posisi ini memudahkan mereka untuk menghindar dari perhatian kawan-kawan sekelas mereka. Menuai gosip yang tidak perlu memang wajib hukumnya.

Dosen belum datang. Yoongi dan Jimin sudah mulai mengeluarkan kudapan mereka satu demi satu ke atas meja. Teman yang lain hanya memperhatikan sambil sesekali berbisik-bisik. Mungkin mempertanyakan apakah hubungan mereka real atau tidak.

"Rupanya kita masih sangat menarik bagi mereka," keluh Yoongi.

"Tak perlu terusik. Kau kan yang bilang untuk tidak peduli pada gosip," Jimin membuka salah satu bungkus biskuit cokelat berlambang macan keramat dan memakannya dalam sekali suap.

"Iya sih. Tapi kau sadar tidak, kalau objek yang paling menarik adalah diriku? Dominannya, gosip itu berisi 'si Yoongi yang menyukai sahabatnya', 'Yoongi yang cintanya tak terbalas' dan tetek bengek lainnya."

"Lalu kau keberatan?" Jimin menatap mata Yoongi dalam, membuat si mungil canggung.

"Tidak juga, sekali-kali berkorban untukmu," Yoongi mencubit sebelah pipi gembil Jimin.

"Dosennya sudah datang," Jimin mengalihkan perhatian Yoongi yang langsung duduk rapi ketika dosen yang killer itu datang. "Simpan dulu ocehanmu sampai pulang nanti."

.

.

.

"Jimin."

"Hmm."

"Jimin!" pletak!

"Aduh! Apa sih?!" Jimin mengusap kepalanya yang dijitak Yoongi. Ia sedang asyik bermain game di ponselnya sehingga cuek kepada sahabatnya.

"Tadi gyosunim menawariku beasiswa ke Jepang," Yoongi bergelung di samping tubuh Jimin, menyamankan diri di sofa yang nyaman.

"Oh ya? Bagus dong," sahut Jimin sambil tetap fokus kepada game-nya.

Si mungil yang kesal karena terus diacuhkan segera bangkit berdiri dan meninggalkan Jimin yang keheranan. Jimin cepat-cepat mengejar Yoongi yang masuk ke dalam kamarnya. Ya, mereka memang sedang di rumah Yoongi sekarang. Jimin mengetuk pintu Yoongi yang terkunci.

"Yoon? Yoongi?"

"Enyah kau, jelek!"

"Astaga, kenapa kau marah hanya gara-gara hal sepele? Game-ku ini nanggung sekali, sekarang aku malah kalah gara-gara kau pergi mendadak."

"Aku memang selalu salah."

"Iya, kau salah. Apalagi kalau kau tidak membukakan pintu. Kau akan dimarahi Eomma karena pintunya rusak kudobrak."

Sunyi. Jimin hanya tinggal menunggu sambil bersidekap, menunggu sampai hitungan tiga dan, voila! Pintu terbuka dengan mudah.

Jimin langsung merangsek masuk dan menyudutkan si pucat ke tembok dengan kedua tangan mengungkung tubuh Yoongi, menatapnya dengan setajam-tajamnya.

"Awas."

"Tidak mau."

"Jimin, kutendang selangkanganmu."

"Tendang saja."

Tentu saja Jimin tahu bahwa Yoongi tak akan tega melakukan itu. Jimin semakin berani, mendekatkan wajahnya kepada wajah Yoongi yang sudah merah padam. Seringainya semakin menjadi. Yoongi tidak berani menantang netra kembar Jimin, ia memejamkan matanya, terlalu takut akan apa yang terjadi selanjutnya.

Jimin semakin mendekat, hingga wajah mereka, bukan, bibir mereka, tidak lagi menyisakan seinci pun jarak. Bertabrakan begitu saja dalam ritme yang tidak beraturan. Yoongi, bukannya tidak membalas. Ia tidak membiarkan Jimin mendominasi begitu saja. Tangannya merayapi rambut kelam Jimin, merenggutnya sedikit sehingga membuat Jimin meringis dalam ciumannya.

Keduanya tidak mengerti apa yang terjadi. Yang mereka tahu, perasaan mereka mengambil alih logika, membuat mereka menikmati apa yang ada sekarang. Tubuh keduanya merapat, tidak memberi kesempatan semilimeter pun mengambil alih. Hangat tubuh Jimin, Yoongi pun rasa. Jimin mulai menggigiti bibir Yoongi dengan agresif, menyesapnya sepuas hati, sesuka-sukanya. Si mungil pada akhirnya pasrah saja didominasi sahabatnya.

Yoongi masih memejamkan mata ketika Jimin berinisiatif melepaskan ciuman mereka yang singkat namun sensual. Jimin tersenyum samar dan mengusap kedua pipi halus Yoongi dengan ibu jarinya, membuat pemilik marga Min membuka matanya perlahan, menyaksikan wajah si tampan Jimin yang sedang menatapnya penuh damba.

"Yoongi-ya," Jimin berdesis lirih. "Kau harus bahagia, dengan atau tanpaku."

Jimin melangkah keluar dari kamar Yoongi setelah sebelumnya mengecup lembut ujung hidung Yoongi. Yang ditinggalkan hanya terdiam, tak memahami apa maksud perkataan terakhir Jimin. Ia lalu terduduk di lantai dan memegangi dadanya. Entah kenapa dadanya berdenyut nyeri karena harus berpisah dengan Jimin, sahabatnya, yang barusan memberikan sentuhan yang sangat intim kepadanya.

.

.

.

Setelahnya, Yoongi hanya mampu menghitung hari semenjak Jimin menghilang dari pandangannya. Ajaib, tidak ada seorang pun temannya bahkan keluarganya dan keluarga Park yang mengingat Jimin. Jejak Jimin liau seketika, tidak ada yang mengenalnya meskipun Yoongi bersikeras menunjukkan fotonya, fitur wajahnya, senyum ramahnya dan segalanya. Yoongi sampai merelakan beasiswanya ke Jepang karena kalap mencari sesosok Jimin.

Sudah entah keberapa kali Yoongi menangisi Jimin, seperti sekarang ini.

"Jiminie, hiks, kau jahat sekali, kau tega… hiks, pergi kemana kau ini sebenarnya, brengsek?!"

Kesabarannya beda nasib dengan airmatanya. Airmatanya seolah tak pernah habis, sedangkan kesabarannya menguar tak tersisa. Ia marah. Marah sejadi-jadinya. Murka karena Jimin tiba-tiba menghilang setelah meninggalkan jejak begitu dalam di hatinya.

Dalam setengah tahun ini, ia tidak pernah tidak menangis jika mengingat seorang Park Jimin. Ia bosan. Yoongi mencapai batasnya sendiri, enggan melompatinya dan menjadi pemenang atasnya.

Kaki mungilnya membawanya ke atap gedung tinggi. Angin kencang menerpa wajah dan mengacak rambut serta bajunya. Dengan bibir bergetar ia melangkah ke tepi atap gedung. Tekadnya sudah bulat, tak ada yang bisa menggoyahkan. Tangannya ia kepalkan kencang-kencang, lalu direntangkannya sembari melonggarkan kepalan jari jemarinya.

"Selamat tinggal, Jimin…"

.

.

.

Kepalanya berdengung. Ia baru saja ingin menentukan jumlah uang yang ia pertaruhkan ketika sebuah suara mengganggu konsentrasinya. Pangkal kelingkingnya memanas, menandakan ada sesuatu terjadi pada takdirnya.

Sesaat ia bangkit berdiri dan bersuara, "Aku berhenti sampai disini. See you next time, guys."

Kepergiannya mengundang tanda tanya dari para gambler senior maupun junior—yang tentunya hanya menonton serta berdecak kagum karena yang belum berpengalaman mana mau menantang Jimin—namun Jimin tak ambil pusing. Ada hal yang lebih krusial untuk ia urus.

Ia berjalan ke lorong yang sepi dan gelap, melirik pangkal kelingkingnya yang sudah memerah, dan memegang satu sisi pelipisnya dengan kelingkingnya. Dengung di kepalanya semakin kentara, membuatnya sadar bahwa ia harus melakukan semuanya dengan cepat.

"Jangan dulu, Yoongi-ya. Tunggu aku."

.

.

.

"Hei, hei. Jangan memukuliku seperti ini…"

Sudah diselamatkan, malah tak tahu diri. Itulah Min Yoongi. Jimin susah payah menarik pinggangnya ketika tubuh Yoongi hampir saja melayang dan menyisakan nama.

"Brengsek, sialan! Kau pergi kemana saja?! Apa aku harus mati dulu baru kau akan muncul?! Bedebah!"

"Agak sulit menjelaskannya kepadamu, tapi," Jimin mengangkat kelingking kanannya dan meraih jemari Yoongi, mengangkat kelingking kiri Yoongi. Seketika benang merah samar tampak menghubungkan kedua kelingking itu. "Ini pengikat kita. Kau tak akan terpisah denganku, Yoongi."

"Tapi kemarin kau meninggalkanku, bangsat."

"Peranku mengharuskanku seperti itu," Jimin mencebik kesal. "Aku punya banyak peran di bumi yang harus kupenuhi. Tapi, kau tidak bisa memungkiri bahwa aku adalah takdirmu. Makanya kuingatkan kau untuk bahagia, dengan atau tanpaku. Karena toh, nanti pun aku akan kembali."

"Apa kau baru dapat peran sekarang? Karena dulu kau tidak pernah meninggalkanku mendadak. Belum ikut audisi kau rupanya, hah?!" mulut Yoongi masih sepedas semula.

Jimin hanya terbahak puas. "Tidak, tidak. Aku sering meninggalkanmu, apa kau ingat? Aku sering pergi beberapa bulan. Hanya saja, tidak setelah menciummu, sehingga engkau tidak terlalu terbawa perasaan."

Wajah Yoongi memerah hebat mengingat ciumannya dengan Jimin kala itu. Ia kembali memukul lengan Jimin keras-keras. Jimin hanya terkekeh.

"Ayo ke bawah, disini dingin," Jimin menggamit lengan Yoongi dan membawanya turun.

"Lebih baik berdingin-dingin di sini daripada ikut denganmu."

"Baiklah, baiklah. Kuhangatkan di sini saja kalau begitu."

Tanpa tedeng aling-aling Jimin meraih pinggang Yoongi, menarik dagu si pucat dan menyerbu bibirnya habis-habisan tanpa memberi jeda. Peduli setan dengan rengekan Yoongi agar melepaskannya, yang penting Yoongi paham bahwa takdirnya jelas mengikat mereka berdua. Akhirnya, seperti biasa, Yoongi hanya ambil acuh atas perlakuan Jimin kepadanya. Ia tahu betul bahwa Jimin yang sedang seperti ini tidak bisa diganggu gugat. Lagipula, ia juga menikmatinya. Walaupun dirinya masih kesal setengah mati, dan ia merasa perlu menghukum Jimin lagi nanti.

"Terima kasih sudah menjadi takdirku, Min Yoongi. Aku mencintaimu…"

"Aku juga mencintaimu, Park-brengsek-Jimin."

END

.

.

.

Caci maki saja diiiirikuuu bila itu bisa meeeembuatmuuu kembali bersinar dan berpijar seperti dulu kalaaaaaaaa~