"Gulali dan Ayam"
.
.
By : Gynna yuhi
.
.
Naruto © Masashi Kishimoto
.
.
Enjoy! DLDR!
Gedoran pintu setengah soak semakin membuatku gila. Apa si penggedor tak pernah belajar sopan santun dalam bertamu? Ck, masih ada waktu satu jam lagi sebelum petugas laundry datang. Lalu itu siapa?
Wow. Ku beri nilai seratus untuk kegigihan si penggendor pintu yang masih dengan setia menciumi pintu kesayanganku dengan kepalan tangannya. Aku tak yakin ia tahu fungsi bel yang tertempel di tembok samping pintu itu. Mungkin seharusnya aku sediakan saja sebuah drum dan seperangkat alat tabuhnya didepan pintu, itu akan sedikit menghentikan percobaannya dalam menghancurkan satu-satunya pintu yang melindungi ruangan berantakan ku ini dengan dunia luar.
Oh tuhan, sampai kapan pintu itu akan terus digedor?
"Baiklah, kau menang penggedor. Tunggu sebentar aku akan segera membukanya."
Sial, dimana celana yang semalam aku pakai? Seingatku sebelum tidur aku taruh diatas lemari. Sebenarnya aku tak masalah dengan celana atau tanpa celana. Tapi aku masih membutuhkan telinga ini untuk mendengar, jadi sebaiknya aku cepat mencari apapun yang dapat ku gunakan untuk menutupi bagian bawahku sebelum pintu apartemenku hancur. Baiklah sebaiknya ku ambil yang baru saja dilemari. Itu lebih baik.
Sial, apa penggedor itu tak merasa jera menciumi pintuku? Ya tuhan, apa aku memang harus menggunakan boxer bergambar bebek ini? Dimana semua celana dan bajuku? Isi lemariku seperti habis kerampokan. Tak ada yang tersisa. Fyuuuuh akhirnya pintu itu diam, mungkin si penggedor sudah frustasi dan pergi. Syukurlah aku tak perlu repot-repot mencari baju atau celana. Sebaiknya aku tidur lagi karena... Oh ya ampun jam berapa ini?
Brakkk!
Suara apa itu? Oh tidak. Aku segera berlari menuju ruang depan dan mencoba menyampingkan urusan jam, penampilan, bahkan celana. Aku memiliki firasat buruk sekarang.
"Pintu kesayanganku!" pekik ku nyaring. Orang tolol mana yang berani merubuhkan pintu kesayanganku ini. Aku mengalihkan pandanganku dari pintu yang terbaring tak bernyawa di lantai ke arah luar. Ku lihat ada dua anak perempuan berdiri tepat didepan -yang seharusnya- pintu dengan seringaian kemenangan diwajah keduanya. Memamerkan gigi susu putih yang tampak bolong dibagian paling depan.
"Siapa kalian?" ucapku tak suka.
Anak berambut merah jambu maju selangkah, ia membungkuk sopan lalu memperkenalkan diri. "Konnichiwa, Ji-san. Perkenalkan namaku Sakula, dan anak yang belmuka sulam itu adalah Sasuke, Saudala kembalku." Ia menunjuk anak berambut raven bermodel pantat ayam dibelakangnya tepat dimuka. Bocah gulali itu kembali menyeringai lalu mundur kesamping saudaranya kembali. Ia membuat bulu kuduk ku meremang sekarang.
"Jadi, apa yang membawa kalian kemari?" tanyaku malas. Oh ya ampun bagaimana bisa tuyul gulali dan ayam ini kesini. Ke lantai dua puluh. Kamar apartemen paling pojok yang tak terurus, sampah berserakan dimana-mana, dan tak terjamah oleh siapapun pula. Aku saja berani jamin seluruh penghuni apartemen ini tak tahu bahkan bila tahupun aku berani jamin mereka tak akan repot-repot untuk peduli akan kehadiranku. Berpura-pura tidak tahu adalah jalan terakhir yang mereka ambil.
"Sebelum aku jawab, bisakah paman menutupi itu -berani sekali ia menunjuk bagian itu- dengan sesuatu di depan anak kecil seperti kami ini?" tanyanya mengacuhkan tatapan tak suka dari ku. Tentu saja.
Ku tatap dua anak itu sinis, kemudian menghela napas pendek. "Baiklah. Tapi sebaiknya kalian diam disini, dan jangan coba-coba berlari, merangkak, berjalan, bahkan berguling sekalipun untuk masuk ke dalam. Hubungi orang tua kalian untuk segera menjemput, dan suruh orang tua kalian mengganti seluruh kerusakan ini." tudingku tepat kearah pintu yang ku pijak.
Aku kembali ke dalam, dan mengacak rambutku frustasi. Satu-satunya yang dapat ku gunakan adalah celana ini. Ku raih celana terkutuk itu dengan jempol dan jari telunjuk yang ku buat seolah-olah itu adalah alat pencapit. Celana boxer bergambar bebek kuning. Ku mengernyitkan dahi, rasanya aku tak ingat pernah membeli celana ini.
Lamunan ku buyar saat mendengar suara jeritan cempreng anak perempuan di ruang tamu. Tunggu dulu. Anak perempuan? Oh ya ampun.
Tanpa membuang-buang waktu aku langsung menarik paksa celana itu melewati kedua kaki panjang ku satu per satu dengan tergesa. Firasatku bertambah buruk kali ini. Aku berlari menuju ruang tamu yang sebenarnya terletak didepan kamarku sendiri dengan tak sabar. Apa ini?
"Dor! Dor! Dor! Kelual kau Sasuke, aku akan menangkapmu. Hahaha" ucap si bocah gulali. Dan sejak kapan ia membawa pistol air itu kemari? Dan dimana bocah ayam satunya lagi?
"Hei, apa-apaan kalian bocah? Disini bukan taman bermain. Berhenti menyemprotkan air ke barang-barangku!" Teriak ku menggelegar.
Bocah gulali itu terlihat sedikit kaget. Teriakanku berhasil membuat mereka diam. Bibir si gulali yang mungil lama-lama membentuk huruf "o", menggemaskan memang tapi tetap saja yang namanya tuyul tetap tuyul tak akan jauh berbeda. Ku lihat ada kejanggalan dibawah sofa merah marun milikku, seperti ada yang menggeliat-geliat bak ulat disana. Dan sedetik kemudian pantat ayam berwarna raven menyembul tepat dari bawah sana. Ia merangkak keluar dari persembunyiannya, dan berdiri.
"Sasu!" Seru si gulali.
"Hn" cih apa-apaan nada bicara si ayam itu.
"Kau mengelti isi pikilanku, kan? Dimulai dari hitungan ketiga, yah!" gumam si gulali tanpa melepaskan pandangannya dariku. Aku baru tahu ikatan batin itu bisa berubah menjadi telepati. Mengesankan.
"Tentu." nada tak mengenakan kembali keluar dari si ayam, yang nyatanya sama seperti si gulali. Ia tak berkedip sedikitpun kearahku aku tahu aku tampan tapi apakah orang tua mereka mengajarkan mereka untuk terpesona pada lelaki dewasa seperti ku? Oh dunia kiamat.
"Tiga" gumam gulali pelan.
"Dua" cih aku benar-benar tak suka nada bicaranya.
"Satuuuuuuuu" pekik si gulali kencang. Sungguh memekakkan. Aku menutup telinga. Tapi sedetik kemudian aku merasa semprotan-semprotan kecil datang ke arah celana bebek yang ku gunakan. Oh tuhan.
Mereka berlari ke arahku seraya menodongkan pistol air -yang tak ku sangka memiliki amunisi yang mengerikan dibelakang punggung kecil mereka- yang sedari tadi mengeluarkan cairan membabi buta. Aku tak bisa melawan tanpa senjata. Aku berlari ke kamarku untuk menyelamatkan celana boxer satu-satunya yang dapat aku temukan dan ku pakai saat ini.
Mereka sekarang menggedor-gedor pintu kamarku dan berteriak seperti suku barbar. Oh tuhan jangan sampai pintuku yang cantik ini berakhir mengenaskan seperti pintu kesayanganku yang -aku lupa- masih terkapar di lantai depan.
Ting! Tong!
Suara bel berbunyi. Tuhan, apakah itu penyelamatku? Itu pasti orang tua kedua tuyul ini. Ku buka pintu kamar dengan cepat hingga membuat kedua anak yang sebelumnya mendorong pintu kesayanganku sekuat tenaga terjerembab ke depan, tepat di bawah kaki ku. Aku langsung berjingkat, dan berlari ke ruang depan menyelamatkan diri sebelum mereka mengejar, dan kembali menembaki ku dengan membabi buta.
Oooh tidak, pupus sudah harapanku akan kebebasan dari kedua tuyul setan ini. Yang datang adalah Konan, ia adalah satu-satunya penghuni apartemen di gedung ini yang menyadari eksistensiku. Ia gadis yang cantik, baik, dan ramah. Ia berambut biru muda pendek dengan sebuah aksesoris bunga mawar origami yang selalu tersemat diatas kepalanya. Aku tersenyum kearahnya sebelum suara teriakan nyaring kembali menyadarkan ku akan posisi ku sekarang. Aku waspada.
Kedua anak itu berlari ke arahku dan kembali menyemprotkan air secara membabi buta, mereka senang membuat celanaku basah. "Diam, anak-anak." Ucapku dibuat setegas mungkin untuk ukuran anak kecil. Tapi itu tidak mempan. Konan tersenyum lembut kearah mereka, dan hebatnya hal itu berhasil membuat mereka diam.
Konan mengalihkan pandangannya ke arahku, dari atas ke bawah. Rambut merah menyala ku yang berantakan. Wajahku yang tak diragukan lagi ketampanannya. Dada bidang yang sedikit berotot -ku lihat wajahnya sedikit bersemu- dan celanaku yang...
Konan sontak menutup mata dengan kedua tangan, dan memekik.
Oh tidak. Ini tidak baik. Aku langsung menatap celana boxer ku yang basah dan... mencetak jelas isi didalamnya.
"Oh tuhan. Konan, maafkan aku." Aku langsung berlari tanpa menghiraukan kikikan cempreng yang berasal dari kedua tuyul itu masuk ke dalam kamar. Ku raih seprai dan langsung melilitkannya di bagian pinggang sampai ke bawah. Aku beranjak kembali menemui Konan yang masih mematung didepan pintu setelah ku rasa penampilanku cukup aman.
"Konan, ku rasa sekarang sudah cukup aman untuk membuka mata." Ucapku pelan menahan malu -tentu saja- Ia membuka kedua matanya perlahan. Pipinya masih bersemu merah. Ia melihatku malu-malu.
"Ehm A..ano Sasori-kun tadi ada seorang petugas laundry yang mengantarkan dua buah kantung ini ke apartemenku. Aku sudah mengatakan ini bukan milikku. Tapi ia terus bersikeras bahwa alamat yang tercantum di kedua kantung ini adalah alamatku. Saat ku buka isinya ternyata ini milikmu. Aku pernah sekali melihatmu memakai kemeja berwarna merah muda ini. Maka dari itu aku datang kemari." Ia masih tertunduk malu. Oh yeah, Pria brengsek mana yang merusak suasana indah saat berkunjung di menit pertama? Dan apa dia bilang? baju merah muda?
Aku meraih kedua kantung itu, dan meletakkanya di sebelah pintu. Aku tak akan mengajak Konan masuk. Keadaan di dalam benar-benar dapat merusak citraku sebagai tetangga tampan.
"Terimakasih, Konan-chan. Maaf telah merepotkanmu." Aku menggaruk tengkuk tak gatal. Aku selalu canggung di hadapan seorang wanita dewasa. Sial, kedua tuyul itu kembali beraksi.
"Sebaiknya aku pulang, Sasori-kun. Kelihatannya kau sedang sibuk dengan kedua tamu cantik itu." Ia tersenyum manis, dan aku berani bersumpah bahwa salah seorang diantara dua tuyul itu mendengus. Oh Konan jangan pergi. Ku mohon.
"Hati-hati di jalan, Konan-chan. Sampai ketemu lagi." Oh mulutku berkhianat. Seharusnya tadi aku mengatakan jangan tinggalkan aku, atau setidaknya meminta tolong untuk membuang dua tuyul ini, dan meyakinkan semua orang bahwa apartemenku bukanlah tempat jin buang anak. Oke lupakan bagian yang terakhir. Jadi, apa yang harus ku lakukan sekarang?
Konan telah menghilang di balik koridor. Aku berbalik dan menatap kedua anak yang sedang menyeringai dengan tatapan malas. Kedua tangan mereka yang menggenggam pistol air menjulur panjang ke arah kantung laundry milikku. Oh tidak lagi. Sepertinya aku harus menyandera seseorang di antara mereka sekarang.
Aku balik menyeringai, dan berlari mencoba untuk menangkap salah satu dari mereka. Kejar-kejaran berlangsung begitu saja. Dan lima belas menit kemudian aku berhasil menangkap si gulali.
"Kena kau, bocah. Aku akan menggoreng kalian berdua. Nyahaha rasakan itu anak nakal seperti ini." Aku tertawa penuh kemenangan. Si gulali meronta-ronta mencoba melepaskan diri dari ku. Tapi, aku masih cukup kuat untuk menahan seorang bocak kecil sepertinya, tentu saja.
"Sasu, tolong aku!" gumam si gulali memelas kepada si ayam. Aku tak tahu bagaimana cara mereka menjadi kembar, dan aku berani jamin mereka tidak mirip sama sekali.
"Hn." Gumaman aneh keluar dari mulut si ayam. Apa dosanya hingga bicara saja dapat membuat orang kesal?
"Sekalang, Sasu!" Pekik si gulali sambil terus meronta. Tak akan ku lepaskan bocah nakal. Coba saja. Ha ha.
Si ayam mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Ia berlari kearahku seraya berteriak. "SELBUUUUUU..." Si gulali dengan liarnya menggigit tanganku yang tak berdosa. Sontak saja aku melepaskannya. Ia berlari menjauh, namun si ayam masih berlari memutariku. Berani sekali.
Sedetik kemudian tubuhku tak dapat digerakkan. Apa aku terikat?
Dan kenyataannya sekarang aku yang menjadi sandera. Mereka berdua berkacak pinggang, menatap puas dengan apa yang telah mereka kerjakan. "Kelja bagus, Sasu." mereka berhigh-five dan kembali menatapku.
"Paman penculik, jangan bandel lagi yah! Ga enak kan di iket gitu? Padahalkan Saki anak baik. Saki sekalang mau kasih tau alesan Saki dan Sasu datang ke sini," ia merogoh saku rok merah muda bermotif kotak-kotak berwarna merah stroberi yang ia pakai, lalu mengeluarkan sebuah kertas yang sedikit basah. Ia menggoyang-goyangkan kertas itu di depan wajahku. Dasar tuyul tidak sopan.
"Hey bocah! Bagaimana aku bisa membaca surat itu dengan tangan terikat seperti ini, huh?" Aku mencoba sabar tapi tak bisa. Biarkan saja.
"Oh iya yah -lihat cengiran menyebalkan diwajahnya- Sasu boleh tidak Saki lepaskan ikatan paman penculik itu?" si gulali menelengkan kepalanya ke arah kiri menatap polos si ayam.
"Hn." Cih lagi-lagi gumaman menyebalkan itu. Apa sih artinya?
"Yah, sayang sekali paman. Sasu bilang tidak boleh. Benal begitukan, Sasu?" Nah, kembarannya sendiri saja ragu. Apa lagi aku?
"Altikan sesukamu saja." si ayam mengendikan bahu acuh. Dasar tuyul pantat ayam.
"Baiklah paman, kalau begitu Saki anak baik akan membacakan sulat ini untuk paman." ia kembali menggoyangkan kertas itu di wajahku sejenak, lalu menariknya menutupi wajah.
"Ehm.. Ehm.. Sasoli teman lama ku yang baik hati. Aku Uchiha Itachi, Ayahanda dali Uchiha Sakula, dan Uchiha Sasuke menyatakan bahwa dengan datangnya sulat ini. Aku, sebagai ayah telbaik didunia membelikan keholmatan untukmu wahai bujangan lapuk yang pemalas untuk menjaga, dan mengawasi kedua anak manis dihadapanmu ini sampai libulan musim panas belakhil. Hal ini dikalenakan aku dan Kalin akan pelgi bulan madu yang kedua. Aku yakin kau tak akan kelepotan, meleka adalah anak yang baik dan penulut. Holmat saya. Uchiha Itachi" si gulali melipat kembali kertas lepet tersebut seraya menyeringai.
Oh tuhan.
Ini benar-benar kiamat.
Tbc
A/N :
Selamat hari Kartini. Sebenarnya cerita ini sudah selesai kemarin malam, tapi karena hal yang tak diinginkan terjadi. Cerita ini baru di publish sore ini. Terimakasih untuk kalian yang sudah mau menyempatkan diri membaca fic ini. Boleh minta review? :)
