Halo semua! Nae-chan disini! XD

Saia newbie nih di fandom ini, jadi mohon bimbingannya yah, senpai-senpai sekalian! Biar saia semangat buat meramaikan fandom deathnote ini…

Mohon kritik dan saran lewat review yah… XD

Chapter 1

. . .

Klontang.

Aku melempar kaleng bekas minumanku tepat ke dalam tong sampah di pinggir taman. Kulirik jam tanganku. Waktu sudah hampir tengah malam, tapi aku belum juga merasa mengantuk. Entah sejak kapan aku mulai terbiasa berjalan-jalan sendirian kalau tidak bisa tidur tengah malam begini―walaupun cara ini sering tidak berhasil membuatku ngantuk, tapi toh aku menikmatinya juga. Jalan yang sepi, dan lampu temaram di taman kota yang biasanya hiruk pikuk saat siang hari, selalu membuatku rileks setelah menyelesaikan targetku kali ini―menghabisi seorang yakuza ternyata cukup merepotkan, tapi toh aku bisa menyelesaikannya juga.

Aku baru saja akan berbelok keluar dari area taman ketika sayup-sayup kudengar suara isak tangis di dekat semak-semak. Isak tangis yang seperti tertahan, begitu memilukan sampai membuatku―yang biasanya tidak peduli―tergerak juga untuk mendekatinya. Siapa anak bodoh yang menangis di taman tengah malam begini? Apa orang tuanya tidak mencarinya?

Aku berjalan nyaris tanpa suara ke sumber suara tangisan itu. Akhirnya aku melihatnya, seorang anak berkaos lengan panjang garis-garis, sedang menangis. Dia berjongkok, kedua tangannya memeluk lututnya, sedang wajahnya terbenam diantara kedua lututnya. Tubuhnya bergetar, entah karena kedinginan atau menangis. Mungkin keduanya.

Mungkin dia terlalu sibuk menangis atau apa, tapi dia sama sekali tidak menyadari keberadaanku. "Hei," sapaku.

Anak itu mendongak, wajahnya terlihat sangat terkejut melihatku. Mata kehijauannya yang berair, wajahnya pucat, dan tubuhnya menggigil ketakutan. Tapi dia tidak juga mengatakan sesuatu.

"Kau kenapa?" akhirnya aku angkat bicara lagi. Tapi anak itu malah makin menunduk dan menggigil ketakutan. Kurasa dia baru saja mengalami sesuatu yang buruk.

"Hei… Jawab aku. Kau kenapa? Mana orang tuamu? Kenapa kau menangis sendirian disini?" Sesaat aku terkejut juga mendengar ucapanku sendiri. Sejak kapan aku jadi begitu peduli pada orang lain seperti ini?

"A-aku…" anak itu akhirnya bicara juga, walaupun masih tetap menunduk. Suaranya tipis dan seperti anak kecil. Padahal menurut perkiraanku dia hanya selisih beberapa tahun di bawahku, tapi wajah, sikap, dan suaranya masih seperti anak kecil begitu.

Aku mulai berpikir untuk meninggalkan dia saja, karena dia tidak kunjung bicara juga. Tapi sepertinya aku benar-benar sudah tidak waras karena semenit kemudian aku bertanya, "Memangnya rumahmu dimana?" dan berpikir mungkin aku bisa mengantarkannya kalau-kalau dia tersesat. Mungkin aku memang sudah gila.

Dan bukannya memberitahu alamat rumahnya, anak itu malah menggeleng.

Apa dia tidak punya rumah? Kalau dilihat-lihat, penampilan anak ini sepertinya menunjukkan kalau dia orang kaya, jadi tidak mungkin dia gelandangan.

Tiba-tiba anak itu mendongak, "Aku tidak tahu harus pulang kemana…"

Ya tuhan. Wajah polosnya seakan membiusku.

"Mungkin kau bisa tinggal sementara di rumahku? Mungkin besok pagi aku bisa membantumu mencari keluargamu,"

Aku benar-benar sudah gila.

. . .


"Istirahatlah di kamar ini,"

Ia melihat ke dalam kamar yang penuh mainan itu―jelas saja, itu kamar Near. Koleksi ratusan mainannya memenuhi semua sisi kamar bernuansa putih itu, yang untungnya ditata rapi sebelum dia pindah ke Inggris bulan lalu. Ya, berkat kejeniusannya itu dia mendapat beasiswa ke Inggris dan membuat L semakin bangga padanya. Oke―hal ini cukup membuatku muak.

"Tidurlah dulu, besok mungkin kau bisa menceritakan semuanya padaku. Kalau kau perlu sesuatu panggil saja, aku ada di kamar sebelah. Oke?" ujarku sebelum menutup pintu.

"Emm, tunggu… Bagaimana aku harus memanggilmu?" tanyanya sedikit malu―aku menyimpulkan setelah melihat wajahnya mulai memerah.

"Mello. Panggil saja aku Mello."

"A-aku Matt. Te-terima kasih, Mello," ujarnya sambil sedikit tersenyum, tapi wajahnya masih saja terlihat begitu sedih.

Aku bisa merasakan bibirku sedikit tertarik, membentuk lengkungan ke atas.

Apa aku barusan tersenyum?

Ini benar-benar aneh. Aku hanya kenal senyum sinis yang selalu kuberikan pada orang lain, dan rasanya tidak seperti ini. Rasanya seperti ingin menghapus kesedihan di wajahnya dan membuat dia juga tersenyum. Sejak kapan aku jadi kenal perasaan aneh ini?

Aku menutup pintu, dan beranjak ke kamarku sendiri. Aku bisa mendengar langkah kakiku sendiri, karena rumah ini memang begitu sepi. Hanya aku yang biasanya sendirian disini―walaupun mungkin hari ini adalah pengecualian karena ada orang asing yang menginap. Orang asing yang manis sekali, wajahnya yang polos dan manis itu kembali terbayang di benakku.

Hei, bukan salahku kalau aku terpesona pada muka polosnya itu, 'kan?

Masih belum merasa ngantuk juga, akhirnya aku mengambil sepotong coklat batangan di meja belajarku dan menggigitnya dengan kasar hingga menimbulkan bunyi gemeretak. Bunyi gemeretak ketika aku mengunyahnya juga jelas sekali terdengar, anak di kamar sebelah itu mungkin sudah tidur karena tak ada suara apapun yang berasal dari sana. Aku jadi berpikir, kira-kira apa yang barusan terjadi pada anak itu? Aku ingin melihat wajah manis itu tersenyum, bukan menangis ketakutan seperti tadi. Mungkin aku bisa menolongnya―mencarikan orangtuanya atau apapun.

Oke, mungkin aku memang benar-benar sudah tidak waras.

Arghh. Kuhabiskan coklatku dan kujejalkan kepalaku ke bawah bantal. Mungkin sebaiknya aku tidur saja.

. . .


Krieettt. Pintu kamar Near terbuka, dan yang keluar dari sana bukan Near, tapi seorang pemuda berambut merah yang sama sekali asing di rumah ini.

"Sudah bangun?"

Matt menoleh, didapatinya pemuda lain berambut pirang―sambil tetap mengunyah sesuatu yang kelihatannya sebatang coklat―sedang memasak sesuatu di dapur kecilnya. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Mello bisa memasak, walaupun dia tidak tahu apa yang sebenarnya dimasak oleh si blonde itu dan apa masakannya layak dimakan. Dia melangkahkan kakinya ke arah dapur kecil namun bersih itu.

"Iya. A-apa ada yang bisa kubantu, Mello-san?" tanyanya malu-malu, walaupun ia sendiri tidak bisa memasak, tapi paling tidak ia harus melakukan sesuatu untuk membalas kebaikan Mello menampungnya disini.

"Tidak usah, aku cuma masak mi instant kok. Ah, bisa kau ambilkan dua piring di rak, Matt―namamu Matt 'kan?" tanya Mello lagi sambil mematikan kompor. Matt menurutinya sambil menggumamkan 'ya'. Lalu mereka bersama-sama menyiapkan sarapan ala kadarnya itu dalam diam, dan duduk berhadapan di meja makan kecil di sebelah dapur.

Menyadari suasana canggung antara mereka berdua, Mello memutuskan untuk bertindak sendiri. "Kau tidak makan? Kalau begitu aku makan duluan,"

Dia baru saja akan menyuapkan sesendok mi ke mulutnya ketika Matt tiba-tiba menyela, "Ehm, Mello-san, aku… Aku cuma mau bilang… Terima kasih banyak…"

Mello meletakkan sendok yang tidak jadi masuk ke mulutnya itu dan menatap anak laki-laki di depannya yang menunduk sambil mengaduk mi di piringnya―yang belum ia makan sama sekali. "Untuk apa?"

"Semuanya… Terima kasih karena sudah menolongku, dan menampungku disini…"

"Ya, ya… Sama-sama…" Mello bisa merasakan wajahnya sedikit memanas, "dan hei, aku tidak suka dipanggil seperti itu, jadi cukup panggil Mello saja, oke?"

Kali ini Matt menatap muka pemuda di hadapannya yang mulai memerah, "Baiklah, Mello. Itadakimasu!" ucapnya riang sambil mulai memakan mi instant di piringnya dengan lahap. Kali ini giliran Mello yang terdiam. Rasanya sudah lama sekali dia tidak mendengar ataupun mengucapkan 'selamat makan'seperti itu, mengingat dia sudah terbiasa makan sendirian. Mungkin terakhir kali dulu saat keluarganya masih berkumpul bersama.

Dan sekarang, tiba-tiba ada seseorang yang mengingatkan ini padanya. Seulas senyum kembali terbentuk di bibirnya saat dia juga mengucapkan, "Itadakimasu…"

. . .


"Ah…" gumam Matt spontan saat melihat ada PSP usang tergeletak di meja belajar Mello. Mengingatkannya pada kebiasaanya di rumah dulu, yang membuat dia rela dimarahi ayahnya karena tidak menyelesaikan PR atau diomeli ibunya karena tidak makan siang gara-gara keasyikan main game di kamar. Tapi sekarang semua itu…

"Kenapa? Kau mau PSP itu? Ambil saja, aku sudah lama tidak memainkannya," ujar Mello sambil merebahkan dirinya di kasur.

"Benarkah? Asyik! Thanks, Mello!" pekiknya kegirangan, langsung memencet tombol-tombolnya dengan sangat lincah sambil duduk seenaknya di kursi belajar Mello. Sekarang dia sudah tidak canggung lagi berbicara dengan Mello setelah hari ketiganya di rumah itu. Benar-benar masih seperti anak-anak, batin Mello. Dia mengubah posisi tidurnya menjadi telungkup dengan kepala miring, menghadap kearah Matt. Diam-diam dia tersenyum melihat wajah manis Matt yang serius dan penuh semangat memainkan game di tangannya. Matanya setengah terpejam karena kelelahan, walaupun dia tidak berkeliaran seperti biasa tiga hari ini―setelah malam itu. Entah kenapa dia merasa tidak aman meninggalkan Matt sendirian, atau memang dia sekedar ingin menemaninya saja.

Tapi tetap saja Mello masih penasaran tentang pemuda bermata hijau emerald di depannya itu. Walaupun mereka sudah saling tidak canggung satu sama lain, tetap saja Matt tidak pernah menceritakan sedikitpun tentang dirinya, masa lalunya, ataupun kejadian yang menimpanya malam itu. Kadang Mello melihatnya terlihat begitu sedih dan tatapan matanya kosong, menerawang entah kemana. Berkali-kali ia mau menanyakannya, tapi tidak jadi. Ia takut akan membuat wajah manis itu akan semakin sedih.

Tapi tidak ada salahnya juga 'kan kalau dicoba? Mungkin dia bisa membagi bebannya denganku, pikir Mello.

"Umm, Matt… Apa kau keberatan kalau aku bertanya sesuatu?" tanya Mello lembut. Ia lagi-lagi terkejut sendiri mendengar nada suaranya, ia tidak pernah berbicara selembut itu sebelumnya, bahkan pada L atau Near sekalipun.

"Hm? Tentu saja tidak," sahut Matt enteng sambil tetap memainkan PSP di tangannya, tanpa menoleh sedikitpun ke pemuda blonde di sampingnya. Meskipun Mello tahu itu sangat tidak sopan, tapi ia justru senang karena bisa memandangi wajah Matt sepuasnya tanpa takut ia akan merasa canggung―sepertinya anak itu benar-benar tidak bisa diganggu kalau sudah menyentuh game.

"Sebenarnya… apa yang terjadi padamu malam itu?"

Matt terdiam, jemari tangannya yang tadinya menari lincah di atas PSP tiba-tiba berhenti. Mello bisa melihat air mukanya berubah drastis, jadi dia semakin yakin kalau pasti sesuatu yang sangat buruk terjadi malam itu. Ia menyesal sudah bertanya tentang itu.

"Ah, tapi kalau kau tidak mau menceritakannya juga tidak ap―"

"Orang-orang itu membunuh mereka semua… Darah… berceceran di lantai… Aku… Aku tidak bisa berbuat apa-apa… Aku…" Matt mencengkeram erat PSP di tangannya. Wajahnya memancarkan kesedihan, kemarahan, dan banyak kesakitan lain yang tidak bisa diungkapkan. Hati Mello terasa bagai tersayat melihat mata emerald yang tadinya bercahaya itu berubah kelam dan seperti menahan sakit.

"Matt…"

"Mereka membunuh orangtuaku… Dan semuanya…" Masih terekam jelas di pikiran Matt ketika ia melihat ayahnya terkapar sekarat di lantai, dengan darah merembes di bagian dada, sementara di sudut lain ibunya menangis ketakutan, di belakang para pelayannya yang menodongkan senjata ke beberapa orang berpakaian serba hitam di dekat ayahnya. Ia masih ingat jelas suara serak ibunya yang berteriak menyuruhnya lari, menjauh dari orang-orang itu.

"Matt, maafkan aku... Harusnya aku tidak menyinggung tentang ini,"

Mello tidak tahu harus berkata apa lagi saat bahu Matt mulai bergetar―menangis. Jadi dia merengkuh tubuh yang terlihat sangat rapuh itu dengan tangannya yang kokoh, memeluknya, mencoba mengurangi rasa sakit yang tergurat jelas di mata sembab itu.

"Kau tahu? Kau lebih beruntung dariku, aku bahkan tidak ingat bagaimana wajah orangtuaku. Ibuku meninggal sesaat setelah melahirkanku, dan ayahku entah masih hidup atau tidak, aku sama sekali tidak tahu. Yang jelas setelah itu aku diasuh oleh keluarga L, kakak sepupuku,"

Matt sedikit tersentak, bahunya masih sedikit bergetar ketika ia bertanya, "lalu, bagaimana hidupmu selama ini? Dimana kakak sepupumu itu sekarang?"

"Hidupku?" Mello tertawa pahit. Tidak mungkin 'kan, ia akan bilang kalau selama ini ia bekerja sebagai pembunuh bayaran untuk membiayai kuliahnya? Sampai Near lahir dan mengambil perhatian semua orang darinya, ia sangat dielu-elukan oleh keluarga itu karena kecerdasannya yang hampir menyamai L. Near mengungguli rekor akademisnya dan Mello tidak suka dikalahkan seperti itu, walaupun Near mendapatkannya dengan jujur.

"L dan keluarganya pindah ke Winchester setahun lalu, bersamaan dengan Near yang mendapat beasiswa untuk sekolah di London. Aku menolak ikut mereka ke Inggris,"

"Kenapa?"

"Entahlah, aku lebih suka tinggal sendirian di sini," Mello mengangkat bahu. Beberapa saat mereka lalui dalam diam.

Matt sudah berhenti menangis. Ia melepas pelukan Mello, menatap mata pemuda berambut pirang itu lekat-lekat.

"Mello," Matt tersenyum tulus, "terima kasih banyak…"

"Yaa, sama-sama…"

Sekali lagi senyum tipis bermain di wajah Mello.

. . .


Mello membuka laptopnya.

Seharusnya hari ini mereka mengirim kabar, batin Mello sambil mengecek emailnya. Ia belum mendapatkan bayaran sepenuhnya untuk tugas yang ia selesaikan tiga hari yang lalu. Setengah dari jumlah yang lumayan besar itu memang sudah ia terima, tapi setengahnya lagi akan dikirim malam ini melalui rekeningnya, dan mereka akan memberi kabar lewat email setelah mengirim uangnya.

"Ternyata belum dikirim juga," gumamnya sambil mendengus kesal.

Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, dan lagi-lagi ia tidak bisa tidur. Tentu saja Matt sudah tidur. Karena tidak ada kerjaan, iseng-iseng dia membuka kembali file-file tentang target-targetnya bulan ini. Matanya menyipit saat melihat data tentang yakuza yang baru saja dihabisinya tiga hari lalu―dia memang tidak menghabisi secara langsung, tapi dialah otak dibalik pembunuhan itu.

Wajah itu, rasanya familiar…

Penasaran, ia membuka data-data tentang keluarga orang itu. Keluarga Jeevas.

Seketika matanya membelalak lebar.

"Anak itu… Mail Jeevas…?"

…tbc…

Huahhh….

Akhirnya saia bikin fic detnot juga…

Gimana, menurut para senpai? Kasih saran dan kritik yah, berhubung saia masih baru di fandom ini…

Mari kita bersama semarakkan fandom deathnote indo! -ngomong apa sih gw? Kayak kampanye pemilu aja…- XD

Ahh, bahkan sampai menyelesaikan chapter ini saia belum menemukan judul yang tepat... Agak nggak sreg gitu, sama judul yang ini... Mungkin ada yang bisa ngasih saran buat judul fic ini??

Saia mohon reviewnya yah… Sampai jumpa di chapter berikutnya (semoga)…

Terima kasih sudah membaca. Review, please? XD