Untuk fic keempat, akhirnya saya buat fic kayak begini...

Tadinya saya ditantang buat nulis fanfic yang nggak pernah kepikiran sebelumnya, jadi saya buat fic ini. Soalnya saya nggak pernah kepikir buat bikin fic HM yang tempatnya di kerajaan. Ohya, saya milih Cliff sebagai pangerannya setelah baca fic-nya Anisha Asakura, Wedding with Corpse... Cerita yang bagus...

Disclaimer : Harvest Moon milik Natsume


Di pagi yang cerah ini, aku merenung sambil memandang keluar jendela istana di kamarku. Ya, akulah Putri Claire yang tinggal di istana megah. Walau kadang aku berharap aku bukan putri. Terlebih lagi di hari ini.

Kerajaanku ini sebenarnya sangat indah dan damai. Hanya saja aku tidak pernah punya kesempatan untuk berjalan di luar kawasan istana sendirian. Kalau ingin keluar istana, pasti aku harus dikawal, belum lagi tempat yang kulalui pun harus dibatasi. Aku jadi tidak nyaman jika keluar dari istana. Kurasa ayahku memang tidak mengerti kalau aku ingin melihat-lihat sisi lain kerajaan ini.

Teman-temanku di istana ini juga sangat baik. Ada temanku Popuri, anak Lillia, pelayan pribadiku. Ada Karen yang kadang datang ke sini untuk menengok kami dan pacarnya sekaligus kakak Popuri, Rick. Ayah Karen memiliki sebuah toko di kerajaanku. Elli, temanku yang bekerja sebagai asisten dokter sekaligus istrinya. Ada juga Ann, sahabat baikku, anak kepala koki istana. Ann juga adik dari pacarku, Gray.

Kerajaanku bukanlah tempat yang buruk. Malah karena itu, menjadi putri di kerajaan ini sungguh bukan keinginanku. Andai saja kerajaanku miskin dan tandus, aku tidak akan dipaksa menikah dengan pangeran-pangeran negeri tetangga. Sayangnya, keadaan kerajaanku amat baik sehingga aku terpaksa diperebutkan pangeran-pangeran yang tidak kukenal.

Hari ini, aku akan bertemu satu pangeran dari beberapa yang sudah diseleksi oleh ayahku. Dan aku tahu ayahku akan memilih yang kerajaannya paling baik, bukan hatinya. Aku hanya bisa berharap agar sifat pangeran ini tidak terlalu buruk. Aku takkan berani menolak pangeran yang dipilih ayahku. Aku tidak seperti kakakku yang amat berani menolak Pangeran Skye.

"Ayo cepat bersiap, Claire," suruh ibuku, membuyarkan lamunanku. "Jangan melamun saja. Tamu kita akan tiba tiga jam lagi."

"Sepertinya masih lama," gumamku, melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 07.11.

"Lebih baik kau segera bersiap." Ibuku mulai mendekat ke sofa yang kududuki sedari tadi. "Jangan khawatir. Menurut Ratu Manna, anaknya itu sangat baik. Kamu harus percaya kalau ayahmu pasti memilih pangeran yang terbaik."

Ibuku mengelus sedikit rambutku. "Lagipula, tidak semua perjodohan hasilnya buruk. Contohnya, Bunda dan Ayah."

Aku terdiam. Perkataan ibuku ada benarnya juga. Tapi yang juga harus kucemaskan adalah soal Gray. Sedangkan ibuku, pasti tidak punya kekasih waktu dijodohkan dengan ayahku.

"Nanti akan Bunda ceritakan tentang pertemuan kami, tapi sekarang kau harus bersiap-siap dulu." Ibuku berjalan keluar kamar.

"Kenapa sih kerajaan ini harus mengusung perjodohan?" tanyaku pada Lillia setelah ibuku pergi.

"Jarang ada kerajaan yang tidak mengusung perjodohan, karena mereka tidak berani menyalahi tradisi," jawab Lillia.

"Apa kau akan langsung menikah dengannya?" tanya Ann, tiba-tiba masuk bersama Popuri dan nampan berisi sarapan. Ia anak juru masak, jadi tiap hari ia bisa keluar-masuk kamarku untuk mengantarkan makanan. Aku hanya makan bersama keluarga saat makan malam. Kadang kami makan bersama jika sempat, tapi aku selalu makan sarapan tanpa mereka. Sebelum kakakku meninggal, kami sering makan bersama. Sekarang aku makan bersama teman-teman saja.

"Tidak, Ann. Mungkin dua bulan lagi. Aku tidak tahu," jawabku ragu. Tanggal pernikahanku sendiri pun aku tidak tahu. Aku ingin sekali menjadi seperti orang normal, yang memilih dan mengurus sendiri semua urusan berkaitan dengan pernikahannya sendiri.

"Oh..." gumam Ann, tidak seperti biasa. Ann yang selalu ceria, di hari ini juga tampak muram. "Padahal, Claire... Aku ingin melihatmu menikah dengan Kakak..."

Mataku mulai berkaca-kaca karena terharu. Ann sampai ikut sedih, tapi aku sendiri bahkan belum berani mengabarkan kabar pertunanganku pada Gray. Pasti dia sudah mendengarnya, tapi belum dariku. Aku harus memberitahunya langsung, hanya bukan hari ini.

"Kakak juga ikut kelihatan sedih sejak kabar pertunanganmu..."

Air mataku mulai mengalir pelan. Mengingat Gray membuatku merasa bersalah. Meski aku tidak dapat mengubah apapun, setidaknya aku dapat mengabarkannya pada Gray meski aku harus mengakhiri hubungan kami.

Ann merangkul dan menghiburku, diikuti Popuri dan Lillia. Mereka juga ikut terharu dan terbawa suasana.


Aku buru-buru mencuci wajahku dengan air. Mudah-mudahan saja aku tidak terlihat seperti habis menangis. Untungnya mataku tidak terlihat bengkak, hanya agak merah.

"Kok Claire langsung cuci muka? Malu ya kalau pangerannya tampan?" tanya Popuri dengan nada bicaranya yang kekanakan. Aku hanya tersenyum pahit sambil membayangkan bagaimana rupa pangeran itu. Mudah-mudahan tidak seperti Pangeran Skye. Banyak gadis lain yang menganggap Skye sebagai pangeran yang amat tampan, tapi aku tidak setuju. Menurutku, wajahnya biasa saja untuk seorang pangeran dan warna rambutnya aneh. Belum lagi, ia suka menggoda perempuan. Ada sesuatu yang ganjil darinya.

"Ayo ganti baju, Claire," suruh Ann sambil membukakan pintu lemari. "Pakai gaun biru ini. Menurut ibumu, gaun ini khusus dijahit untuk acara hari ini."

"Baiklah." Aku menurut dan memakai gaun berwarna biru langit yang indah itu. Popuri menarik laci perhiasan dan mengeluarkan kalung berbandul safir yang warnanya seperti warna mataku.

"Claire, kamu mau pakai gelang yang mana?"

Aku memilih-milih perhiasan di laci. Akhirnya perhatianku tertuju pada sebuah gelang. Bukan karena aku ingin memakainya sekarang, tapi karena Gray yang membuatnya untukku. Sudah cukup lama sejak gelang itu kuletakkan di dalam laci. Aku tak pernah memakainya karena aku takut gelang itu hilang, tapi ternyata aku malah hampir melupakannya sampai gelang itu sekarang sedikit berkarat.

"Masak kau mau memakai itu? Masih banyak yang lebih bagus," komentar Popuri heran.

"Ah, sudahlah. Aku tidak mau memakai gelang. Kalung dan anting saja sudah cukup," kataku sambil menyisir rambutku yang pirang. Seperti biasa, aku membiarkannya terurai begitu saja.

"Ya, terserah Claire deh. Yang penting sekarang kau sudah siap!"

"Tepat waktu. Sekarang sudah jam 9.30!" umum Ann. "Dah Claire. Semoga beruntung."

"Ya. Good luck, Claire!" seru Popuri.

Aku tersenyum dan melangkah turun ke ruang tamu istana. Untung saja aku punya teman-teman yang bisa mencerahkan suasana hatiku.

"Claire! Kau terlihat anggun," puji Bunda begitu aku sampai di ruang tamu kerajaan. Di ruang ini sudah berdiri Ayah dan Bunda dengan beberapa pengawal raja. "Tapi, ada yang kamu lupakan. Tiara milikmu."

"Oh iya! Aku ambil dulu ya, Bunda, Ayah," pamitku. Ah, aku harus naik tangga lagi ke kamar. Dengan ini, sepertinya lima menit harus aku luangkan untuk mencapainya. Tidak apalah. Aku juga yang lupa untuk memakainya.

"Claire, tunggu. Ini tiaramu."

Aku menoleh. Pelayan di depanku menunjukkan sebuah mahkota dengan hiasan yang lebih rumit daripada milikku. Saat kuperhatikan lagi, aku sadar kalau aku biasa melihatnya.

"Ini... Milik Kak Jill."

"Ya, ini milik putri mahkota. Kini tiba saatmu untuk memakainya."

Aku meraih tiara itu. Sejak kakakku meninggal, posisi putri mahkota jatuh padaku. Jadi, aku harus memakai tiara ini mulai sekarang. Ayah mengambilnya dari tanganku, lalu memakaikannya di kepalaku. Ternyata pas sekali, tidak longgar atau terlalu sempit.

"Semoga kamu dapat menjadi putri mahkota yang baik, putriku."

"Terima kasih, Ayah!" Aku langsung memeluk ayahku. Ayahku kadang terlalu mengaturku, tapi ia memang bijaksana. Mudah-mudahan saja ia juga bijaksana dalam memilih seorang pangeran untukku.

"Rombongan tamu kerajaan sudah sampai, Baginda," umum seorang pengawal. Ayahku mengangguk. "Kau diam dulu di sini, Claire."

Aku hanya mengangguk. Terpaksa aku berdiri di ruang ini sendirian. Memang ada beberapa orang penjaga istana di pinggir pintu masuk, tapi seperti biasa, mereka tidak bersuara. Suasana istana ini benar-benar sunyi sehingga aku dapat mendengar deru nafasku sendiri. Kudengar deru nafasku tidak tenang dan teratur seperti biasanya karena aku sangat penasaran dengan pangeran itu.

Tiba-tiba saja terdengar suara terompet bersahut-sahutan memecah keheningan. Suara terompet semakin kencang, berarti tamu sudah dekat. Penjaga istana membukakan pintu ruang tamu kerajaan. Aku buru-buru memasang senyuman. Menurut ibuku, kunci untuk dianggap sopan dan baik adalah tersenyum. Aku juga sangat setuju.

Para tamu dan orangtuaku mulai melangkah ke ruang tamu. Tentu saja perhatianku langsung tertuju pada sang pangeran. Orangnya cukup tampan, wajahnya juga tidak memancarkan keangkuhan seperti beberapa pangeran yang pernah kutemui. Malahan, ia terus menundukkan kepalanya.

"Ini putri kami, Claire," kata ayahku pada Raja Duke. Aku segera menjabat tangan Raja Duke dan permaisurinya, Ratu Manna.

"Suatu kehormatan dapat bertemu dengan Baginda," ucapku sopan. Kalau sang pangeran, aku memang sengaja tidak menyalaminya.

"Pasti kebanggaan memiliki seorang putri yang sopan dan anggun," puji Raja Duke pada ayahku. Benar 'kan? Kunci untuk dianggap sopan adalah tersenyum.

"Ya, juga sangat cantik. Cocok sekali dengan anak kami. Penikahan ini akan menjadi pernikahan terbesar! Antara dua kerajaan terbesar sepanjang masa!" seru Ratu Manna. "Bagus sekali bukan, putraku?"

Pangeran itu malah memalingkan wajahnya malu-malu. Aku melihat ibunya menyikutnya.

"Bagus bukan, putraku?" ulang ibunya, mencoba tetap tersenyum. Pangeran itu menghela nafas, lalu menanggapi ibunya sambil masih menatap lantai.

"Ya, Ibunda."

Sang permaisuri kembali menyikutnya. Aku menahan senyumku saat melihatnya. Aku belum pernah melihat seorang pangeran seperti ini sebelumnya...


Makasih buat yang baca fic ini, padahal fic ini agak aneh! Tolong review cerita ini...